14. Permintaan Absolut

"Selamat pagi, Pak," salam Lingga pada kedua bodyguard ayah Re di depan pintu garasi.

"Selamat pagi," jawab kedua lelaki tersebut yang sedang bersiaga di luar vila.

Langkah Lingga tampak santai menuju dapur, setelah pulang dari masjid bersama Pak Budi. Ia tidak bisa tertidur nyenyak karena ulah nakal Re. Namun ia pun juga tidak mampu membalas perlakuan Re tersebut.

Re sering kali melakukan hal-hal yang di luar nalar Lingga. Ia selalu memberikan pengalaman pertama bagi Lingga. Entah karena Re lebih tua dan berpengalaman, atau Lingga yang memang kurang bergaul.

"Mbok, boleh minta air mineral lagi?" pinta Lingga setelah berada di dapur.

"Boleh, Mas." Mbok Rani segera mengambil keranjang rotan kecil yang sudah diisi oleh botol air mineral 330 ml, dan meletakkannya di atas meja makan. "Silakan, Mas. Maaf, Mbok lupa taruh di meja tadi malam."

"Nggak apa-apa, Mbok. Terima kasih," ucap Lingga sebelum minum setelah duduk di kursi meja makan.

Suara Re terdengar memanggil-manggil Mbok Rani, "Mbok..., Mbok...!"

"Iya, Mbak," sahut Mbok Rani yang sedang bersiap untuk pergi ke pasar.

"Oh. Nggak jadi, Mbok. Re cari Mas Lingga tadi," terang Re sembari menghampiri Lingga.

"Oalah. Mbak Re mau nitip sesuatu? Mbok mau ke pasar," ujar Mbok Rani.

"Enggak, Mbok. Beli ayam sama sawi aja buat Rhys, barangkali dia mau masak sendiri." Re mengingatkan.

"Iya, Mbak. Mbok pergi dulu," pamit Mbok Rani sebelum pergi.

Re segera duduk di samping Lingga, "Mas kemana tadi? Kok, smartphone-nya ditinggal?"

"Tadi ke masjid sama Pak Budi," terang Lingga sebelum menguap.

"Masih mengantuk?" tanya Re serius, menatap wajah Lingga yang tampak lelah.

Kepala Lingga mengangguk. "Mas nggak bisa tidur tadi malam."

"Kenapa?" tanya Re ingin tahu. "Dingin banget, ya? Atau Mas nggak suka di sini?"

"Kamu yang bikin Mas nggak bisa tidur."

"Kok, aku?"

"Itu ciuman bibir pertama Mas."

Re bergeming. Beberapa detik kemudian tawa Re menggema. Ia tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Lingga. Hingga Lingga hanya mampu mengembuskan napas sebalnya.

"Puas?!" kata Lingga kesal.

"Maaf, Mas. Kan, Mas yang mulai duluan," jawab Re santai.

"Huum," sahut Lingga sebelum menghabiskan air minumnya, lalu bersiap untuk beranjak.

Re menarik lengan tangan Lingga, menahan Lingga sesaat. "Mas mau kemana?"

"Tidur lagi," jawab Lingga sebelum mengelus puncak kepala Re, lalu berjalan ke arah kamar.

"Ikut...," goda Re yang dibalas embusan napas berat dari Lingga.

"Jangan ganggu, Mas. Nanti Mas mengantuk waktu menyetir pulang."

"Enggeh, Mas Lingga Sayang...."

"Mas serius."

"Re lebih serius dari Mas."

Lingga menghentikan langkahnya sebelum memasuki kamar. "Kamu tahu, kan, resikonya kalau Mas khilaf?"

"Tahu," balas Re tanpa ragu. "Dan, Mas pasti langsung nikahin aku. Ya, kan?"

"Fine. Jangan ganggu Mas, please!"

"Gendong...."

Lingga terdiam sejenak. Menatap gemas Re yang sudah mengangkat kedua tangannya ke atas untuk digendong. Kebiasaan Re ketika sedang bermain di rumah Lingga. Mengganggu Lingga saat sedang memasak atau berolah raga.

Dengan pasrah Lingga berbalik membelakangi Re. Membungkukkan badan sedikit agar Re bisa menaiki punggungnya. Dalam beberapa detik, Re sudah hinggap di punggung lebar Lingga dengan senyum bahagianya. Kemudian mencium leher jenjang Lingga sekilas.

"Sayang!" pekik Lingga tidak suka. "Berhenti atau kamu akan menyesal nanti."

Re mengeratkan kedua tangannya di leher Lingga sambil tersenyum, "Wangi...."

Setelah menurunkan Re, Lingga segera merebahkan diri di tempat tidur. Kemudian menarik bed cover hingga menutupi leher sembari memejamkan matanya yang masih mengantuk. Ia tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Membiarkan Re meringsek masuk ke dalam selimut tebal itu tanpa ragu dan takut.

"Tidur!" perintah Lingga yang langsung dibalas pelukan hangat dari Re.

"Allaahumma baarik lanaa fiima rozaqtanaa wa qinaa 'adzaaban nar," ucap Re dengan wajah sebal.

Lingga yang mengerti maksud tingkah kekasihnya itu langsung mengoreksi, sembari memeluk Re dengan salah satu tangannya, "Bismika allahumma ahyaa wa bismika amuut."

"Aamiin...." sahut Re sambil menyunggingkan senyum.

Salah. Satu kata yang selalu menari-nari di dalam kepala dan benak Lingga. Tetapi ia dan Re tidak selalu memiliki waktu berdua setiap saat. Kesibukan Lingga sebagai dosen dan owner coffee shop membuat waktu kebersamaannya dengan Re sering tersisihkan. Sebagai gantinya, ia mengizinkan Re untuk melakukan apa pun untuk mengungkapkan rasa cinta dan rindu saat bertemu, seperti sekarang. Selama hal tersebut masih bisa ditolerir.

♡♡♡

Kedua mata Rhys mengerjap perlahan, kala salah satu alarm di tubuhnya bereaksi. Ia mencoba membuka matanya dengan terpaksa. Menatap langit-langit plafon kamar sembari merasakan salah satu tangannya yang tertindih sesuatu. Kemudian ia pun mulai merasakan sebuah pelukan yang mengerat di perutnya. Membuat kepalanya reflek menoleh ke samping.

Rhys memandang seseorang di sebelahnya dalam diam. Seseorang yang sedang mencoba mencari kehangatan di tengah cuaca pagi yang sepertinya tertutup awan mendung. Membuat suasana masih terasa lembab dan dingin, meski sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Dengan hati-hati salah satu tangannya mencoba menyingkap rambut panjang yang menutupi wajah sang terkasih.

Nara masih tertidur nyenyak sambil mendekap erat tubuh Rhys. Entah sadar atau tidak, sepanjang malam Nara selalu memeluk Rhys. Mencoba menghalau rasa dingin yang belum pernah Nara rasakan di Jakarta. Membuat Rhys tiba-tiba sering terbangun akan ulah sang pacar. Tetapi ia pun bersyukur karena dirinya dapat membuat Nara menjadi lebih tenang tanpa harus meminum obat untuk bisa beristirahat.

"Saranghae...," bisik Rhys sesaat sebelum mengecup pelipis Nara, lalu terbangun perlahan dan beranjak ke kamar mandi.

♡♡♡

Selepas membersihkan diri, Rhys bergegas turun menuju dapur. Mencari makanan untuk mengisi perutnya yang sudah mulai merasa lapar. Mendekati simbok yang tampak sibuk memasak.

"Pagi, Mbok," sapa Rhys sambil mengambil sebotol air minum di dalam kulkas.

Mbok Rani tersenyum sambil mendongak, memandang Rhys yang dirasa semakin lebih tinggi dari sebelumnya. "Pagi, Den."

"Mbok masak apa?" tanya Rhys sembari memperhatikan berbagai macam bahan makanan yang berada di atas meja dapur.

"Capcay, ayam goreng lengkuas, tempe mendoan, sama mie goreng, Den," sahut Mbok Rani yang sedang menggoreng ayam. "Atau Den Rhys mau masak sendiri seperti biasa?"

"Enggak, Mbok. Rhys lagi malas masak," balas Rhys sebelum mengambil satu dada ayam goreng yang sudah matang, lalu memakannya dengan senyum bahagia. "Mie gorengnya nyemek, ya, Mbok. Sedikit pedas."

"Iya, Den."

"Ayamnya masih banyak?"

"Masih, Den."

"Oke. Rhys lapar."

"Jangan dihabisin dong, Den. Nanti yang lain nggak kebagian."

"Mereka paling cuma makan satu atau dua. Mau taruhan, Mbok? Kalau Mbok menang, Mbok boleh minta apa aja sama Rhys."

"Enggak, ah, Den. Tahan dulu laparnya, ayam goreng itu dimakan bersama nanti."

"Mbok kangen lihat Rhys tantrum?"

Mbok tertawa, "Nggak malu tantrum di depan pacar?"

"Enggak."

Kelemahan Rhys adalah menahan lapar. Ya, lelaki muda berbadan tinggi besar itu tidak bisa menahan rasa laparnya. Sekali makan, ia bisa menghabiskan dua porsi makan orang normal. Meski begitu, bentuk badan Rhys tetap terjaga dengan baik. Tidak ada lemak-lemak yang menempel di tubuh atletisnya. Hal itu membuatnya sering menjadi model pria untuk brand-brand terkenal bahkan brand mewah.

"Di mana, Nara?" tanya Lingga yang tiba-tiba sudah berada di belakang Rhys.

Rhys terkejut melihat Lingga dan sang kakak yang sudah duduk mengelilinginya. Membuat kunyahan ayam goreng di mulutnya melambat.

"Mas ngapain di sini?" tanya Rhys setelah menelan kunyahan ayamnya. "Aaaa.... sakit, Kak!"

Pekikan kesakitan Rhys mulai menggema di sekitar, ketika Re menjewer telinganya tanpa berdosa.

"Sayang, lepas," perintah Lingga yang merasa kasihan kepada Rhys.

"Kamu apakan Nara, heh?!" ujar Re gemas sambil melepas jewerannya dari telinga sang adik.

"Aku nggak ngapa-ngapain sama Nara," kata Rhys sembari mengelus telinganya yang sudah memerah.

"Kamu tidur sekamar sama Nara. Dan kamu bilang, kamu nggak ngapa-ngapain?!" teriak Re sebal.

"Lho, bukannya Den Rhys tadi malam tidur di kamar bapak dan ibu, Mbak?" sela Mbok Rani yang juga tampak terkejut.

"Rhys nggak ada di kamar ayah dan ibu, Mbok."

"Astaghfirullahal adzim, Den!!"

Rhys membuka mata setelah sebelum reflek menutup karena mendengar suara pekikan sang kakak dan simbok. "Rhys cuma nemenin Nara yang nggak bisa tidur."

"Benar, kamu cuma nemenin Nara tadi malam? Nggak tidur bareng?" tegas Lingga yang membuat Rhys menyunggingkan senyum berdosanya.

"Sumpah, Mas. Rhys nggak ngapa-ngapain Nara. Kalau mau gituan, mah, Rhys bawa ke hotel, Mas," jawab Rhys yang membuatnya langsung mendapat tabokan keras di lengan dari Re.

"Istighfar, Den." Mbok kembali menyahut.

Rhys mengembuskan napas pasrahnya, "Astaghfirullah.... Mbok, Rhys nggak senakal itu."

"Kalau kamu nggak nakal, nggak mungkin kamu tidur sekamar sama Nara," imbuh Re menggerutu kesal. "Gimana kalau ada setan lewat? Habislah kamu sama Ayah."

"Rhys cuma nemenin Nara tidur. Nara bilang, dia nggak bisa tidur karena nggak bawa obat," cerita Rhys. "Mas tahu soal itu?"

Rhys bertanya kepada Lingga. Menatap Lingga yang diketahui sangat dekat dengan Nara.

"Huum," jawab Lingga singkat setelah minum air mineral.

"Obat? Nara sakit?" tanya Re ingin tahu.

"Rhys nggak tahu. Nara bilang, dia nggak akan bisa tidur kalau nggak minum obat," kata Rhys setelah menghabiskan ayam gorengnya, lalu mengambil tempe mendoan yang berada di seberang Re. "Ceritain soal Nara, Mas. Rhys pengen tahu. Kenapa Nara nggak mau pulang ke rumah? Kenapa dia harus minum obat sebelum tidur?"

"Kamu bawa Nara ke sini karena dia nggak mau pulang?" tanya Re lagi.

"Hooh." Rhys menyahut sambil mengunyah tempe mendoannya yang kedua.

"Mas nggak bisa cerita tentang Nara sama kamu. Kamu harus mencari tahu sendiri," jawab Lingga yang membuat Rhys menatapnya sebal.

"Mas selalu nyuruh Rhys buat jagain Nara. Tapi Mas nggak kasih tahu tentang keadaan Nara sama Rhys? Are you kidding me?" ungkap Rhys menahan emosi.

"Suatu saat, Nara akan menceritakan tentang dirinya sama kamu. Mas lihat, Nara sudah mulai nyaman dengan kamu. Kamu harus bersabar. Tentang Nara, itu privasinya. Mas nggak bisa menceritakan privasi Nara sama kamu. Mas cuma minta, tolong jaga Nara semampu kamu. Jangan pernah menyakiti dia," tutur Lingga menasehati.

"Sedekat itu Mas sama Nara?" tanya Re penasaran.

"Nara sudah seperti adik Mas sendiri. Mas sudah pernah bilang, kan, sama kamu?" terang Lingga. "Kamu dan Nara punya tempat sendiri di hati Mas. Jadi jangan menanyakan hal yang konyol, dan bisa menyakiti hati kamu sendiri."

Re mencibir, "Kan, aku cuma pengen tahu."

"Kamu itu calon istri Mas. Nara itu adik Mas. That's it. You know what I mean?" tegas Lingga sembari menatap Re.

"Mas yakin mau nikahin Kak Re?" tanya Rhys yang sudah menghabiskan tiga tempe mendoan, dan langsung mendapat gigitan kecil di lengan besarnya. "Shit!"

"Yang sopan kamu!!" Re mengamuk.

"InsyaAllah," jawab Lingga mantap.

"Mas salat istikharah dulu, deh. Jangan sampai Mas menyesal," ujar Rhys sambil menangkap kedua tangan Re yang akan menyerangnya. "Mas, lihat! Mas bisa babak belur kalau Kakak tantrum."

"Riris!!!" seru Re jengkel.

"Lepas," perintah Lingga sambil menepuk pundak Rhys.

"Aaa...." teriak Rhys setelah kepalanya dipukul oleh Re.

"Sayang, udah. Stop it!" peringat Lingga yang langsung membuat Re terdiam.

"Anjaaay...!!" teriak Re yang baru saja bergeming dalam beberapa detik.

Pekikan itu membuat Rhys, Lingga dan Mbok terkejut. Benda kecil itu terjatuh ketika Rhys mengeluarkan smartphone dari saku celana. Re mengambil benda tersebut di bawah kursinya. Sesuatu yang menyebabkan Rhys dan Lingga melotot di tempat masing-masing.

"Punya siapa itu?" tanya Lingga ingin tahu.

"Kamu pakai ini?!" tuduh Re kepada Rhys, dan bersiap memukul kepala adiknya dengan sebotol air mineral.

"Rhys??" Lingga tidak percaya.

"Bungkusnya masih rapat itu," ucap Rhys sebelum mundur, dan pergi dari hadapan Re.

"Adek!!!"

Rhys berlari kecil menghindari amukan Re, "Rhys ceritain nanti."

"Sini kamu!!"

"Kakak yang diam dulu."

"Sini!!!"

"Mas..., tolong!!"

Lingga menahan langkah Re. Mencekal salah satu tangan kekasihnya agar berhenti di tempat. Kemudian menatap sang kekasih dengan tatapan tenang namun mengintimidasi, membuat Re diam tidak berkutik. Rhys mengembuskan napas lelahnya sebelum duduk di kursi meja makan. Kemudian menenggak sebotol air mineral mini hingga habis tidak bersisa.

"Rhys nggak ngapa-ngapain Nara. Sumpah!" ujar Rhys tegas. "Rhys sayang sama Nara. Rhys nggak akan menyakiti Nara. Kakak sama Mas Lingga bisa pegang omongan Rhys."

"Terus ini apa?? Ngapain kamu bawa kondom?!" desak Re tidak sabar.

"Rhys nemu di kamar Ayah. Takut khilaf," jawab Rhys jujur, dan langsung mendapat lemparan botol air mineral dari Re. "Kakak jangan marah-marah, dong. Kan, Rhys cuma jaga-jaga aja. Lagian juga nggak dipakai."

"Sinting kamu!!" umpat Re.

"Apa yang kamu pikirkan sampai membawa barang itu?" tanya Lingga sabar tanpa ingin memojokkan Rhys.

"Nggak tahu. Rhys cuma asal ambil aja," cerita Rhys jujur. "Sumpah, Mas. Rhys nggak ngapa-ngapain. Itu masih utuh bungkusnya."

"Orang kalau udah bawa barang ginian, ya, pikirannya ke selangkangan." Re kembali mengamuk dengan bahasanya yang tidak enak didengar.

"Cowok baik-baik bakalan bawa barang itu kemana pun. Kakak tahu itu?" sahut Rhys asal. "Tanya aja Mas Lingga."

Re menatap Lingga meminta jawaban. Lingga dengan sabar mengelus kepala Re sebelum menjawab.

"Rhys benar. Mas juga punya. Benda itu bisa membuat pembatas diri," jawab Lingga yang membuat Re menelan ludahnya. "Jadi, jangan coba-coba menggoda Mas. Mengerti?"

Rhys tertawa melihat ekspresi Re. Ia adalah anak lelaki yang cukup pintar. Pembahasan tentang orang dewasa sudah dipahaminya dengan baik. Ayahnya telah membuat pondasi dan benteng kokoh di diri Rhys sejak dini. Ibunya pun telah memberikan pelajaran tentang bagaimana cara menghormati dan menghargai perempuan.

Bagi Rhys, kakaknya termasuk ke dalam perempuan yang berani dan agresif. Ia tahu betul, gaya berpacaran sang kakak tidak mungkin hanya sekadar bersentuhan tangan saja. Tapi bisa lebih dari itu. Re bahkan tidak sungkan untuk mencium sang pacar di depan Rhys sekali pun. Meski begitu, Re selalu berusaha menjaga keperawanannya dengan sekuat tenaga. Hal itu merupakan pelajaran berharga bagi Rhys.

"Tadi malam Nara minta Rhys buat menikahi dia. Mas tahu kenapa?" ungkap Rhys yang ingin menghentikan amarah Re. "Nara bilang, kalau dia menikah, dia bisa pergi dari rumah."

"Nara bilang begitu?" Re tidak percaya.

"Huum. Kakak nggak percaya, kan?"

"Terus, kamu jawab apa?"

"Rhys cuma bisa janji. One day, Rhys akan menikahi Nara setelah urusan pendidikan kita selesai."

"Daebak!"

"Apa lagi yang Nara minta sama kamu?" tanya Lingga ingin tahu.

"Nara meminta Rhys untuk menghamili dia," cerita Rhys sambil mengemil kacang almond dari toples kaca di hadapannya.

"What?!" Re dan Lingga serempak terperanjat.

"Rhys langsung inget sama tu kondom. Sial!" umpat Rhys santai. "Mas masih nggak mau cerita soal Nara? Dia juga mengancam Rhys mau cari pacar baru. Mas bisa kecolongan nanti."

"Nara ternyata nggak sepolos itu, Mas," tutur Re.

Lingga teringat akan materi kuliah kemarin tentang Permintaan Absolut. Permintaan Absolut adalah permintaan konsumen terhadap suatu barang atau jasa yang tidak disertai dengan daya beli. Pada permintaan absolut, konsumen tidak mempunyai kemampuan (uang) untuk membeli barang yang diinginkan.

Mirip seperti permintaan Nara pada Rhys. Nara tidak memiliki kemampuan untuk memahami akan permintaannya tentang arti sebuah pernikahan dan kehamilan.

"Antara polos sama bodoh itu beda tipis," ungkap Rhys. "Rhys harus ngapain sekarang? Nikahin, atau hamilin?"

"Ya!!!" teriak Re yang dibalas gelak tawa dari Rhys.

"Nara sudah percaya sama kamu, Rhys. Sebentar lagi dia pasti akan cerita tentang dirinya sama kamu," kata Lingga yang sedang menenangkan diri atas cerita Rhys. "Tolong jaga Nara baik-baik. Kamu yang paling dekat dengan Nara saat ini."

Rhys mengambil benda yang menjadi keributan beberapa menit lalu, dan memasukkannya kembali ke dalam saku celana, "Rhys akan menjaga Nara. Rhys janji."

"Buat apa kamu masukin ke saku lagi?" Re memperingatkan.

"Sediaan. Siapa tahu Nara bikin iman Rhys runtuh di tempat," jawab Rhys asal.

"Jangan jadi cowok berengsek, kamu!" tegas Re.

Rhys mengangguk patuh, lantas mengangkat panggilan di smartphone. "Ya, Sayang. Abang di bawah, di meja makan."

"Nara?" tanya Re.

"Ibu."

"Bangke!"

"Kakak sama Mas pernah tidur bareng?"

Lingga tersedak saat sedang minum. Kejadian itu membuat Rhys kembali tertawa keras. Ia hanya menebak saja. Dan reaksi Lingga pun di luar dugaannya. Menurut Rhys, tidak masalah untuk tidur bersama dengan sang pacar. Asal tidak sampai berhubungan badan. Kalimat itu yang sedang menari di otak cerdas Rhys sekarang.

"Lingga Oppa? Re Eonni...," lirih Nara yang terkejut kala melihat Lingga dan Re duduk di hadapan Rhys.

"Ramyeon meokgo gallae?" tanya Rhys saat Nara sudah duduk di sampingnya, berbarengan dengan Mbok yang menyajikan mie goreng nyemek di atas meja makan.

"Hah??" Nara terkejut mendengar ucapan Rhys yang memiliki arti tertentu di benaknya.

Kalimat ajakan makan ramen atau ramyeon itu sering muncul di drama Korea, ketika seseorang mengajak orang lain untuk makan ramen bersama. Kalimat 'ramyeon meokgo gallae' secara harfiah berarti 'mari kita makan ramen'. Namun, kalimat ini bisa memiliki arti ganda, tergantung pada konteks dan situasinya.

Jika kalimat ini diucapkan oleh teman atau keluarga, maka artinya hanya mengajak makan ramen sebagai camilan atau makan malam. Kalimat ini bisa menjadi kode jika diucapkan oleh seseorang yang sedang berpacaran atau saling menyukai. Dalam konteks ini, artinya bisa lebih dari sekadar mengajak makan ramen. Arti ajakan makan ramen di Korea ini bisa menjadi ajakan untuk bermalam bersama, atau melakukan hal-hal yang lebih intim.

"Adek!!!" seru Re sebal.

Rhys tertawa, "Mas, see? Otaknya Kakak mulai ke selangkangan."

"Selangkangan?" ujar Nara tidak mengerti.

"Nggak usah dengerin Rhys, Ra. Bocah sinting!" gerutu Re gemas.

"Sinting, apa?" tanya Nara bingung.

"Lihat, Kak Re. Agak gila," terang Rhys diiringi kekehan kecil.

"Gwencana?" tanya Lingga mengalihkan perdebatan Re dan Rhys.

"Eung. Lingga Oppa ngapain di sini?" Nara bertanya balik.

"Oppa cari kamu. Kalau kamu mau main sama Rhys seharian, telepon Oppa. Yaksok?" tegas Lingga keras agar Nara berjanji.

"Eung," jawab Nara singkat. "Mianhaeyo."

"Kamu boleh main sama Rhys, kapan pun kamu mau. Tapi kasih kabar sama Appa, atau Oppa. Arrajji?"

"Ne. Arraso," tutur Nara mengerti dalam bahasa Korea.

"Kamu nggak diapa-apain Rhys, kan, Ra?" ungkap Re ingin tahu.

"Aniyo," sahut Nara bingung akan maksud pertanyaan Re.

"Kalian ngapain aja tadi malam?" ulang Re bertanya karena tidak puas dengan jawaban singkat Nara.

Nara menatap Rhys, "Ngobrol. Nonton film. Tidur."

"Kakak mau tanya apa sebenarnya? Nara bingung tahu," terang Rhys yang sedang mengambil nasi untuk Nara.

"Rhys nggak peluk atau cium-cium kamu, kan?" kata Re memastikan.

"Ani," jawab Nara yang membuat Re berhenti mengambilkan mie goreng untuk Lingga.

"Mwo??"

"Abang peluk sama cium kening aku."

Rhys terkekeh, "Karena dingin, ya, kita pelukanlah. Cium kening itu tanda sayang. So what? Itu nggak akan bikin hamil."

"Siapa bilang?" sela Lingga tidak setuju akan perkataan Rhys.

"Mas, Rhys udah lapar dari tadi. Mas nggak mau, kan, jadi makanannya Rhys?" ujar Rhys saat melihat Lingga menjadi tampak semakin serius. "Rhys tahu maksud Mas. Tapi kita nggak melakukan hal yang lebih dari itu. Kalau hal itu dilanjut, ya, bisa aja bikin hamil. Tapi Rhys nggak melakukan itu."

"Emang kenapa kalau aku hamil? Kan, bukan karena Lingga Oppa?" tandas Nara yang membuat Re tersedak kala memakan tempe mendoan.

"Wah...! Kalian emang bener-bener sinting," ucap Re.

"Kamu nggak boleh hamil sampai lulus sekolah, Nara," peringat Lingga mencoba untuk sabar.

"Ara. Aku boleh nikah sama hamil setelah lulus sekolah nanti?" tanya Nara lagi, dan hanya dibalas senyuman dari Rhys yang sedang menikmati sarapan.

"Eung. Kamu masih ingat kata-kata Abang semalam, kan?" giliran Rhys yang ingin menghentikan pertanyaan-pertanyaan absurd Nara.

"Ne," jawab Nara singkat, dan langsung menerima suapan mie goreng nyemek dari Rhys.

"Suka?" tanya Rhys mengalihkan perhatian Nara.

Nara mengangguk, "Suka."

"Ayo makan. Habiskan," perintah Rhys sambil mengelus puncak kepala Nara.

Tingkah polah Rhys pada Nara membuat orang di sekitarnya takjub. Nara tampak begitu patuh akan perkataan Rhys. Hal itu membuat Re dan Lingga sedikit lebih tenang. Meski mereka masih penuh dengan tanya akan apa yang sudah dilakukan Rhys dan Nara semalam di kamar.

Tbc.
24.09.09

Ada yang masih nunggu?
Atau sudah bosan??
Mianhae....🙏🏻

Kasih semangat, please...! ☺️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top