13. Perihal Karma
Dering smartphone Lingga kembali berbunyi, diiringi getarannya yang semakin terasa di saku celana karena sedari tadi panggilan tersebut belum dijawab. Setelah memarkirkan mobil tepat di depan rumah Re, Lingga mengambil smartphone. Ia langsung mengangkat panggilan itu dengan terburu-buru.
"Selamat malam, Om. Maaf, saya sedang di jalan tadi. Ada apa, ya, Om?" tanya Lingga serius, hingga membuat Re mengurungkan niat untuk turun dari mobil.
"Kamu bertemu dengan Nara tidak di coffee shop?" tanya balik seseorang dengan bahasa Indonesianya yang tidak lancar--Appa Nara.
Lingga melirik Re di sebelahnya, "Apa Nara belum pulang, Om?"
Lingga adalah seseorang yang sangat mengetahui tentang Nara dibanding orang tuanya. Ia juga yang mengajak Nara ke psikiater ketika gadis itu bercerita sudah beberapa hari tidak bisa tidur. Nara biasanya akan bersembunyi di rumah Lingga jika tidak ingin pulang. Oleh sebab itu, Appa Nara akan segera menghubungi Lingga jika sang putri tidak pulang ke rumah. Lingga merupakan satu-satunya orang yang diketahui sangat dekat dengan Nara. Seseorang yang pernah dikenalkan oleh Nara pada Appa-nya sebagai 'oppa baik'.
"Nara belum pulang, Lingga. Ini sudah jam sebelas malam lebih," cerita Appa Nara.
"Saya sedang di luar, Om. Nanti saya tanyakan ke orang rumah, apakah Nara ada di situ, atau di coffee shop," kata Lingga menenangkan.
"Nanti telepon Om, ya."
"Iya, Om. Nara nggak akan kemana-mana. Om tenang saja."
"Titip Nara. Tolong jaga dia."
"Pasti, Om. Saya akan menjaga Nara seperti biasa."
Napas berat Re berembus saat smartphone adiknya tidak aktif. Ia menoleh ketika Lingga memanggilnya seusai menelepon.
"Apa Rhys sudah pulang?" tanya Lingga tampak khawatir.
"Mobil Rhys nggak ada. Smartphone-nya juga nggak aktif," tutur Re cemas.
"Nara malam ini nggak ke coffee shop. Tadi sore dia cerita kalau ada acara. Katanya mama sama eonni di rumah. Apa Rhys mengajak Nara pergi? Tapi biasanya Rhys akan mengantar Nara pulang sebelum jam sepuluh malam."
"Sore tadi Rhys latihan drifting. Kalau sampai jam segini Rhys nggak pulang, dia biasanya lagi nongkrong bareng anak-anak Kancil."
"Dimana mereka berkumpul?"
"Di kawasan PIK."
"Punya nomor telepon teman Rhys?"
"Ada, sebentar."
Re mencari kontak teman-teman dekat Rhys. Ia menimbang-nimbang siapa yang akan dihubunginya terlebih dahulu. Ia memilih nama 'Kancil Prince' untuk dihubungi terlebih dahulu.
"Halo, Prince. Rhys ada di situ nggak?" tanya Re tanpa basa-basi.
"Halo, Kak. Hari ini aku belum bertemu dengan Rhys. Kenapa, Kak? Rhys belum pulang?" Prince berteriak ketika racikan musik DJ bersuara keras juga terdengar.
"Tolong kamu tanya anak-anak Kancil, ada yang bertemu dengan Rhys tidak? Hubungi Kakak lagi nanti."
"Oke, Kak."
Kepala Re menggeleng. Memberi pernyataan pada Lingga bahwa adiknya tidak sedang bersama anak-anak Kancil. Embusan napas berat Lingga terdengar ketika smartphone Nara juga tidak aktif.
"Kabari Mas kalau teman Rhys menelepon lagi," ujar Lingga yang bersiap untuk menyalakan mobil kembali sambil menunggu panggilannya terangkat.
"Mas mau kemana?" tanya Re ingin tahu.
"Mencari Nara," jawab Lingga singkat sebelum berbicara melalui hands free di telinganya. "Halo, Pak. Apa Nara ke rumah tadi?"
Lagi. Lingga mengembuskan napas kecewa saat penjaga rumahnya bercerita bahwa tidak ada siapa pun yang datang ke rumah. Ia segera menutup panggilan tersebut setelah berpesan kepada sang penjaga rumah. Suara mesin mobil mulai terdengar diiringi kepala Lingga yang menoleh ke arah Re yang masih setia duduk di kursi penumpang di sebelahnya.
"Aku ikut cari Nara. Rhys nggak pernah mematikan smartphone-nya kalau sedang main." Re mengingat-ingat pesan keras dari sang Ayah agar tidak mematikan smartphone di mana pun itu.
"Pamit dulu sama ayah dan ibu," kata Lingga sebelum memutar balik mobilnya keluar dari halaman rumah Re.
"Ayah dan ibu sedang pergi. Mereka lagi dating. Nggak akan ada yang bisa menghubungi mereka," cerita Re sambil menulis pesan kepada seseorang.
"Phuu?"
"Phuu pasti sudah tidur. Ayah sama ibu pasti tahu, kok, aku dan Rhys main ke mana."
"Tahu dari mana?"
"Nanti mas juga tahu."
Lingga akhirnya menjalankan mobil setelah mengetahui bahwa kekasihnya itu diberi kebebasan lebih oleh orang tuanya. Meski jawaban Re membuatnya berpikir keras tentang maksud dari kata-kata yang dilontarkan sang kekasih.
Mobil Lingga berhenti setelah keluar dari pintu gerbang rumah atas permintaan Re. Re segera turun dari mobil dan bergegas menuju sebuah mobil sedan hitam yang berada di seberang jalan. Membuat Lingga ikut turun karena khawatir. Diikuti seorang sekuriti di belakangnya dengan siaga.
"Buka!" perintah Re sambil mengetuk jendela kaca mobil beberapa kali. "Buka!!"
"Apa bapak tahu di mana Rhys?" tanya Re saat jendela kaca pintu mobil itu terbuka.
"Maaf. Saya tidak tahu," jawab lelaki berbadan besar dengan setelan pakaian hitam bak seorang bodyguard.
"Hubungi teman bapak, tanya dia, di mana Rhys berada," desak Re keras.
"Maaf. Saya tidak tahu," ulang lelaki itu sebelum menyalakan mobilnya.
"Aku akan melaporkan bapak ke Ayah sekarang," ancam Re sambil memotret seseorang yang beberapa kali mengikutinya. "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Rhys besok, bapak tahu, kan, akibatnya?"
Re kembali mengancam sebelum mengambil foto plat mobil orang itu. Membuat Lingga bingung mengikuti tingkah kekasihnya. Lelaki misterius itu mengangkat teleponnya setelah berdiskusi dengan sopir. Sopir yang juga memiliki badan kekar, dan berpakaian sama.
"Halo. Dimana kalian?" tanya lelaki yang telah diancam oleh Re.
"Dengan siapa PM sekarang?" tanya lelaki itu atas perintah Re. "PM 1 di sebelah saya."
Lelaki itu tiba-tiba menutup teleponnya seraya memandang Re, "The Imperial City."
"Rhys sama siapa saja?" tanya Re memastikan.
"Pacarnya."
"Siapa PM?"
"Putra Mahkota."
"PM 1?"
"Putri Mahkota, Rengganis Ava Nataya."
"Terima kasih, Pak. Kita ke sana sekarang. Jangan sampai PM menghamili anak gadis orang."
Kedua lelaki itu membulatkan kedua matanya serempak. Pun dengan Lingga yang terperanjat mendengar ucapan Re. Mereka tampak terkejut. Tidak percaya dengan perkataan Re yang tidak terduga itu. Keduanya tidak dapat menutupi kekhawatiran mereka akan apa yang mungkin terjadi esok hari. Mereka bergegas mengikuti mobil Lingga dengan buru-buru. Ini kali pertama mobil Lingga melaju dengan kecepatan tinggi. Membuat tugas keduanya sedikit kesulitan.
♡♡♡
Helaan napas kesal berembus, ketika getaran dari salah satu smartphone terdengar semakin keras. Tangan kanan Rasi terulur, setelah melepas pelukannya pada sang istri yang masih tertidur. Jam digital di smartphone sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ibu jarinya reflek menggeser ikon telepon di layar smartphone untuk menjawab panggilan.
Dengan malas Rasi mengangkat telepon yang sudah mengganggu tidur nyenyaknya, "Halo. Apa kamu tahu sekarang jam berapa?"
"Maaf, Pak. Mbak Re menemui kami tadi." Suara aduan tegas terdengar dari seberang sana.
"Apa?!" suara Rasi terdengar meninggi, membuat sang istri merasa terganggu.
"Maaf, Pak. Mbak Re menanyakan keberadaan Bang Rhys."
"Shit! Kalian di mana?"
"Mohon maaf, Pak. Kami sedang mengikuti mobil pacar Mbak Re menuju The Imperial City."
"Awasi mereka. Kalau sampai mereka kenapa-kenapa, kalian semua harus bertanggung jawab."
"Baik, Pak."
"Hubungi saya lagi besok."
"Siap, Pak."
"Kalian dengar? Besok!"
"Siap, Pak."
"Besok kalian semua akan di rolling."
"Siap, Pak."
Suara lemparan kecil di atas meja nakas terdengar, setelah Rasi menutup telepon tanpa basa-basi. Smartphone itu terlempar hingga hampir menumbuk beberapa gawai pribadi miliknya. Hal itu membuat sang istri terbangun sambil menarik selimut yang sedikit tersingkap untuk menutupi tubuh polosnya kembali.
"Ada apa?" tanya Aries setelah membuka matanya sembari mencari kehangatan dari tubuh shirtless Rasi.
"Anak-anak ada di vila," jawab Rasi sembari memeluk tubuh mungil Aries kembali.
"Anak-anak Kancil?" tanya Aries mengingat kebiasaan Rhys dan teman-temannya di waktu weekend tiba.
"Anak-anak kita," jawab Rasi singkat dengan kedua matanya yang kembali tertutup untuk melanjutkan tidur.
"Tumben mereka pergi berdua. Sama Lingga juga?"
"Huum."
"Abang, bangun. Jangan tidur dulu!" Aries mendorong tubuh Rasi yang akan mengeratkan pelukan.
"Mau dilanjut lagi?" bisik Rasi menggoda.
"Jawab dulu pertanyaanku," kata Aries setelah berhasil membuat suaminya kembali membuka mata.
"Apa?" tanya Rasi ketika Aries sudah berbaring di dadanya.
"Anak-anak sama siapa?" tanya Aries lagi.
"Sama pacar mereka."
"Apa?! Kok, bisa? Ngapain mereka di vila? Tunggu, adek udah punya pacar? Kok, Abang nggak pernah cerita sama aku?"
"Menurut kamu?" goda Rasi, mencoba menahan gurat emosi di wajah Aries.
"Abang, kok, bisa tenang gitu? Abang nggak khawatir sama anak-anak di vila?" ujar Aries sebal.
"Mereka nggak akan ngapa-ngapain. Kecuali mereka menginap di hotel, kayak kita sekarang."
"Ish!!"
Dalam beberapa detik, posisi keduanya berbalik. Aries yang sebelumnya berniat untuk beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba posisinya langsung berubah di bawah kungkungan Rasi. Ia mencebik ketika melihat senyuman tersembunyi Rasi.
"Abang minggir, atau aku gigit!" ancam Aries kesal. "Aku mau ke tempat anak-anak sekarang."
Rasi mencium bibir Aries, "Malam ini kamu milik Abang. Anak-anak nggak akan kenapa-kenapa. Kamu nggak lupa, kan, kalau mereka lebih cerdas dari pada Abang?"
"Justru karena mereka lebih pintar dari pada Abang, jadi aku harus lebih ekstra menjaga mereka. Gimana kalau mereka melakukan hal-hal di luar batas? Abang nggak khawatir gitu?!"
"Mereka nggak akan seperti kita."
"Masa?! Tinggal dalam satu rumah, nggak ada pengawasan orang tua. Abang kira mereka nggak akan ngapa-ngapain?"
Rasi tersenyum kecil, sebelum akhirnya kembali memagut bibir mungil Aries. Membungkam mulut istrinya yang sudah mulai berisik di tengah malam syahdu. Kedua tangannya menahan tubuh kecil Aries yang akan memberontak.
"Re dan Rhys berbeda dengan kita. Abang percaya sama mereka," tegas Rasi setelah melepaskan ciumannya.
"Karma does exist." Aries mengingatkan.
Senyum manis Rasi tersungging sembari merapikan anak rambut Aries yang sedikit menutupi wajah, "You will get what you paid. Karma itu seperti hukum sebab-akibat. Kalau kamu berbuat baik, maka kamu pun akan diperlakukan dengan baik juga. Begitu pula sebaliknya.
Re dan Rhys sudah dewasa. Mereka pasti tahu resiko apa yang akan didapat atas perbuatan mereka."
"Adek baru tujuh belas tahun."
"Tapi Adek lebih dewasa dari pada Re. Ya, kan? Bahkan kamu pun kadang kewalahan sama Adek."
Aries terdiam sejenak. Mendengar kenyataan yang dilontarkan oleh suaminya. Ya, hanya Rasi yang bisa membuat anak-anaknya patuh dan terkendali.
"Kita nggak bisa mengontrol semuanya, Sayang. Bahkan anak-anak kita sendiri. Lagipula mereka sudah besar. Sekarang kita cuma bisa mengawasi mereka. Kalau mereka salah jalan, kita tuntun lagi mereka di jalan yang benar.
Bukankah kita sudah pernah membicarakan hal ini?" tegas Rasi memberi pengertian pada Aries.
"Huum." Aries menjawab lesu, "Besok kita jemput anak-anak."
"Kamu yakin?"
"Kan, dekat dari sini."
"Besok mereka pasti pulang. Mau dilanjutkan lagi?"
"Apa yang diilanjutkan?"
"Solo."
Aries tersipu sembari menyunggingkan senyum, "Istirahat dulu, gimana? Besok dilanjutkan lagi."
Senyum manis Rasi tampak sumringah. Mencipta sedikit lekukan kecil di pipinya. Lesung pipi yang jarang sekali dilihat. Mendadak kedua mata Aries memejam ketika seluruh wajahnya dihujami ciuman oleh Rasi. Hingga akhirnya baik Rasi dan Aries saling bergumul mesra di balik selimut tebal sebelum kembali tertidur.
♡♡♡
Re menatap mobil sedan hitam yang terparkir di luar vila setelah turun dari mobil Lingga. Ia menggandeng Lingga untuk masuk setelah disambut oleh penjaga vila, Pak Budi. Kepala Re menunduk ketika bertemu dengan dua orang bertubuh tinggi kekar di ruang keluarga--Dua orang lelaki seperti yang mengikutinya tadi.
"Selamat malam, Mbak Re," sambut Mbok Rani, istri Pak Budi.
"Malam, Mbok. Rhys di mana?" tanya Re tanpa basa-basi.
"Den Rhys ada di atas, Mbak," jawab Mbok Rani.
"Di kamarnya?"
"Tidak, Mbak. Den Rhys tidur di kamar bapak dan ibu. Pacarnya yang tidur di kamar Den Rhys."
Akhirnya Lingga bisa bernapas lega. Mengetahui keberadaan Nara sekarang. Ia tidak akan bisa tertidur nyenyak jika Nara belum ditemukan.
"Oke." Re memperkenalkan Lingga pada kedua penjaga vila keluarganya, "Mbok Rani, Pak Budi, ini Mas Lingga. Pacar Re."
Lingga mengulurkan tangannya dengan sopan untuk berkenalan, "Lingga."
"Mbok siapkan kamar dulu, ya, Mbak, Mas," ujar Mbok Rani.
"Re tidur sama Rhys aja, Mbok. Mas Lingga biar tidur di kamar Re," jawab Re sebelum menoleh ke arah kedua orang yang sedang memperhatikannya dengan siaga. "Mbok siapkan kamar saja buat bapak-bapak itu."
"Sudah, Mbak. Tapi katanya mau tidur di luar saja," tutur Mbok Rani lirih.
"Oh. Re ke atas dulu." Re langsung menarik tangan Lingga untuk mengikutinya.
Lingga memerhatikan setiap sudut vila yang terlihat sangat rapi dan indah. Suasana pegunungan yang asri langsung menyambut kedatangannya sejak memasuki gerbang 'The Imperial City'. Udara sejuk nan dingin pun mulai membuat tubuhnya merinding.
"Apa mereka sama dengan yang mengikuti kita tadi?" tanya Lingga yang berjalan di belakang Re.
"Iya," jawab Re singkat sambil menuntun Lingga ke arah kamarnya, di samping kamar sang adik.
"Jadi, setiap kita pergi berdua, selalu ada yang mengawasi?" tanya Lingga setelah berada di depan kamar Re.
Re mengangguk sebelum masuk ke kamarnya, "Ayah sama ibu selalu kasih kebebasan buat anak-anaknya. Tapi mereka akan mengawasi kita di mana pun itu."
"Oh."
Re mengambil handuk di dalam lemarinya. Kemudian meminta Lingga untuk masuk. Untuk pertama kalinya Lingga memasuki kamar perempuan. Ia merasa canggung dan tidak enak hati. Perasaan aneh yang belum pernah dirasakan selama ini.
Kamar Re di dominasi warna putih. Terkecuali dinding dengan batu alam berwarna hitam yang berada di belakang tempat tidur. Tidak banyak benda di dalamnya. Hanya ada tempat tidur, meja nakas, lemari kecil dengan buku-buku berjejer rapi di atasnya, lukisan yang berada di tengah dinding batu alam belakang tempat tidur, dan satu lagi lukisan di dinding menuju kamar mandi. Yang menarik adalah sebuah teleskop di depan tempat tidur Re. Teleskop itu berada tepat di depan dinding kaca yang menampilkan pemandangan indah.
"Mas tidur di sini. Kamar ini selalu dibersihkan Mbok setiap hari. Mas bisa pakai peralatan mandi di sana, ambil yang masih baru. Kalau butuh sesuatu, telepon aja," kata Re sebelum berpamitan.
"Oke." Lingga tersenyum mengerti.
Lingga mematung sesaat, ketika Re tiba-tiba saja mencium pipinya sesudah berterima kasih. Hal langka yang tidak pernah Re lakukan sebelumnya. Selama ini, Lingga yang selalu mencium kening Re terlebih dahulu setiap kali akan berpisah. Lingga bersikap sangat hati-hati kepada Re. Ia tidak ingin salah langkah ke depannya. Karena untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari Re bukanlah hal yang mudah.
Setelah sampai di kamar kedua orang tuanya, Re mencoba mencari baju ganti dan handuk sambil melihat tempat tidur yang masih rapi. Tidak ada tanda-tanda tempat tidur berantakan setelah digunakan. Ia segera ke kamar mandi, namun tidak ada suara apa pun. Di dalam kamar mandi juga ternyata kosong.
"Kemana Rhys?" kata Re bermonolog.
Re mengumpat kala pikiran buruknya terlintas, "Shit! Impossible."
Re segera keluar dari kamar setelah membuang baju ganti dan handuk di atas tempat tidur. Ia bergegas menuju kamar Rhys. Kemudian mendekatkan telinganya di pintu kamar Rhys. Jantungnya seakan berhenti berdetak dalam beberapa detik, kala tangan kanannya tidak berhasil membuka pintu kamar Rhys. Pintu itu terkunci.
"Shit...." umpat Re dengan kedua kakinya yang mulai lemas.
"Re," panggil Lingga hingga membuat Re tersentak kaget.
"Ya." Re kembali terdiam, bingung akan apa yang ada dipikirannya.
"Kamu sedang apa di situ?" tanya Lingga ingin tahu.
Re menyapu bibirnya yang terasa kering. Ia segera menggandeng Lingga untuk masuk ke dalam kamarnya, sembari mencoba menenangkan diri.
"Tangan kamu dingin banget. Kamu kenapa?" tanya Lingga cemas.
Re menatap cemas pada Lingga, "Rhys nggak ada di kamar ayah ibu. Kamar Rhys dikunci tadi. Aku harus ngapain? Mereka berdua nggak akan ngapa-ngapain, kan? Mas tadi dengar suara aneh nggak?"
"Rhys ada di kamar sebelah?"
"Who knows. Kan, Mbok bilang Rhys tidur di kamar ayah ibu. Tapi dia nggak ada. Kamarnya kosong."
"Mungkin Rhys di kamar yang lain."
"Kita nggak berani ke kamar Phuu sendirian."
Keheningan tampak semakin membuat suasana menjadi terasa lebih dingin. Re dan Lingga terdiam sejenak. Mereka terhanyut dengan pikiran buruk masing-masing. Hingga Lingga mengembuskan napas berat sebelum menenangkan Re dan dirinya sendiri.
"Kita tanya Rhys dan Nara besok. Sekarang kita istirahat. Kamu sudah mengantuk, kan, tadi?" tutur Lingga yang hanya dibalas anggukan kepala dari Re.
"Atau kamu mau tidur di sini?" gurau Lingga yang ingin meruntuhkan pikiran buruk di kepalanya dan Re. "Barangkali nanti ada suara aneh dari kamar sebelah."
Re melangkah maju mendekati Lingga. Salah satu kaki Lingga tampak reflek mundur selangkah, ketika Re hampir membuang jarak kepadanya. Berulang kali Re melangkah maju. Mencoba memperpendek jarak hingga kedua kaki Lingga membentur sisi tempat tidur. Hal itu membuat keseimbangan Lingga goyah, dan terjatuh di atas tempat tidur.
Senyum Re tertahan. Ia mengungkung separuh tubuh Lingga yang berada di tempat tidur. Menahan tubuhnya sendiri agar tidak menjatuhkan diri di atas dada sang kekasih. Kedua mata Re menatap wajah Lingga yang terlihat tegang. Lingga tampak menahan napas, dan bergeming bak patung.
"Mas benaran mau tidur di sini sama Re?" goda Re yang membuat Lingga semakin tidak bisa berkata-kata. "Yakin mas bisa tidur kalau Re ada di sini?"
Lingga tidak berkutik. Ia sungguh mati kutu berada di bawah belenggu Re. Re benar-benar gadis yang tidak terduga.
"Re, can you please...," kata Lingga terbata-bata, seakan kehilang kosakata di kepalanya.
"What?" Re seakan menantang, melihat Lingga yang tampak kebingungan.
"Sayang, please. Sorry."
"What for?"
"To...."
"To..., what?"
Senyum Re tersungging sebelum akhirnya mencium bibir Lingga dalam beberapa detik. Membuat Lingga semakin terlihat tidak berdaya di hadapan Re. Lingga tetap bergeming. Tercengang akan tindakan Re yang di luar pikirannya. Bahkan ini kali pertama Lingga mendapat ciuman di bibir.
"Good night, Sayang. Have a nice dream," ucap Re sebelum beranjak berdiri, dan kembali ke kamar ayah dan ibunya.
Tbc.
053124/062524
Hai dears,
Terima kasih buat kalian yang masih berada di sini sampai sekarang. Terima kasih banyak untuk kesetiaan dan kesabarannya.
Well, aku mau pamit. Mewakili Alrescha sekeluarga. Kami akan pindah rumah. Karena ada sesuatu hal, jadi aku akan bawa Alrescha sekeluarga untuk pindah ke rumah baru. Ya, kalian bisa baca ulang cerita Alrescha di sana dengan versi lengkap. Aku akan menyelesaikan cerita itu di sana.
Silakan cek link bio di igku, di sana ada rumah baru Alrescha dan Rasi. Sementara aku baru mencoba membawa Rasi terlebih dahulu.
Kalau ada saran untuk rumah baru Alrescha, sila komen di sini. 😉
See you guys.... 🥰🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top