12. Tentang Pernikahan
Rhys mencoba mencari keberadaan Nara dari deret sepatu kets putih yang berada di tangga terbawah musala dekat tempat latihan drifting. Setelah menangis Nara menjadi semakin pendiam. Ia seakan malas untuk berbicara, bahkan dengan Rhys sekalipun. Membuat Rhys benar-benar merasa bersalah. Pesan Rhys juga belum dibalas hingga waktu maghrib hampir usai.
Helaan napas lega Rhys berembus, ketika yang dicari telah ditemukan. Ia pun langsung duduk di dekat sepatu Nara berada. Menunggu Nara dengan begitu sabar. Kepala Rhys menoleh saat sepatu Nara tiba-tiba diambil oleh pemiliknya.
"Mau langsung ke coffee shop, atau kita makan dulu?" tanya Rhys memastikan.
Setiap malam minggu, Nara akan datang ke coffee shop Lingga untuk bernyanyi di sana. Bernyanyi bukanlah pekerjaan sampingan bagi Nara. Ia melakukan itu karena permintaan Lingga. Kesediaan Nara pun bersyarat, Lingga harus bersedia menjadi partnernya di atas panggung. Kesempatan itu akan dipergunakan bagi Rhys untuk bertemu dengan Nara di luar sekolah jika dirinya tidak sibuk.
"Abang nggak usah antar aku. Aku bisa sendiri," jawab Nara sebelum beranjak berdiri setelah memakai sepatunya.
Rhys meraih salah satu tangan Nara, "Kalau kamu sudah bertemu Abang, itu berarti kamu nggak bisa pergi atau pulang sendirian. Abang akan menemani kamu."
"Aku ada urusan. Aku nggak ke coffee shop malam ini," tolak Nara. "Abang nggak perlu antar aku. Aku pergi dulu."
Rhys sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya pada Nara. Meski Nara telah berusaha untuk melepaskan diri.
"Gaja!" kata Rhys sambil membawa Nara ke mobilnya.
"Abang, please. Aku mau pergi sendiri," rengek Nara tidak suka.
Rhys memandang Nara yang terlihat kembali bertingkah dingin setelah menangis, "Hari ini kita berjodoh untuk bertemu. Jadi, Abang nggak akan menyia-nyiakan pertemuan kita hari ini."
Nara hanya terdiam. Ia tampak kesal dengan Rhys yang sedang memaksanya. Ia terus menatap Rhys yang juga tidak mau kalah memandangnya tanpa rasa bosan.
"Kamu mau kemana? Pulang?" tanya Rhys lagi.
Nara menatap Rhys skeptis, "Aku nggak mau pulang."
Rhys terdiam sejenak setelah mendengar jawaban Nara. Ia menatap kedua mata Nara yang tampak takut bercampur sedih seusai mengatakan hal tersebut.
"Oke. Kita jalan-jalan. Abang juga kadang nggak pulang kalau lagi main sama anak-anak Kancil," kata Rhys sebelum menuntun Nara agar mengikuti langkahnya.
Nara pasrah. Rhys benar-benar tidak membiarkan dirinya untuk pergi sendirian malam ini. Antara senang dan sedih karena telah bertemu Rhys tanpa sengaja. Rhys memang bukan hanya sekedar pacar bagi Nara. Terkadang Rhys lebih mirip seperti teman untuk Nara yang tidak suka berinteraksi dengan orang-orang.
♡♡♡
Jam di layar sentuh yang berada di mobil Rhys telah menunjukkan pukul sebelas malam. Mobil Rhys melewati gerbang megah komplek privat vila 'The Imperial City' di Sentul, Bogor, setelah men-scan kartu kepemilikan vila keluarga. Selesai makan malam, Rhys mengajak Nara menikmati jalanan Ibu kota yang begitu padat di hari sabtu malam. Hari di mana semua orang sedang mencari hiburan pada akhir pekan--Rhys dan Nara salah satunya.
Mereka juga sempat menikmati pemandangan malam di sepanjang jalan menuju Sentul. Nara tidak banyak bertanya. Ia terlihat pasrah mengikuti kemana Rhys akan membawanya pergi. Rhys pun memutuskan untuk menginap di vila keluarga karena tiba-tiba hujan turun. Nara yang sudah tertidur lelap juga menjadi salah satu alasan Rhys agar beristirahat di suatu tempat.
Suara klakson mobil Rhys terdengar saat memasuki halaman sebuah rumah. Memberi tanda kepada penjaga rumah agar membukakan pintu garasi. Seorang lelaki dan wanita paruh baya tampak tergopoh untuk membuka pintu garasi. Keduanya terkejut kala melihat kedatangan Rhys dengan seorang gadis cantik.
"Selamat malam, Bang," salam Mbok Rani ketika Rhys membuka kaca mobilnya.
"Malam, Mbok. Tolong siapkan kamarku, ya," pinta Rhys sopan.
"Iya, Bang." Mbok Rani pamit sebelum pergi, sembari menerka-nerka mengapa Rhys hanya meminta disiapkan satu kamar saja.
"Teman-temannya masih di belakang, Bang?" tanya Pak Budi yang juga suami dari Mbok Rani.
"Aku cuma berdua, Pak. Ditutup aja pintunya," perintah Rhys sebelum menutup pintu mobil dengan pelan.
"Iya, Bang." Pak Budi menurut, meski pikiran di kepala sudah seperti benang kusut melihat kedatangan Rhys dan teman perempuannya.
Nara terbangun saat mendengar suara petir. Napasnya tercekat. Ia melihat sekeliling bersamaan dengan Rhys yang membuka pintu mobil di sampingnya.
"Sudah bangun? Ayo turun," ajak Rhys seraya tersenyum sebelum merapikan rambut Nara yang berantakan. "Kita istirahat di sini. Hujan deras, Abang nggak berani kalau kita jalan terus."
Nara menerima uluran tangan Rhys. Rhys menggenggam tangan Nara dengan erat karena khawatir. Tangan Nara terasa begitu dingin. Sementara Nara hanya terdiam mengikuti langkah Rhys memasuki sebuah rumah mewah entah milik siapa. Melewati ruang kecil sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah yang berisi dapur bersih, tempat makan, serta ruang keluarga tanpa sekat. Terlihat kolam renang kecil yang berada di samping rumah, terhalang oleh dinding dan pintu kaca. Rhys membawa Nara ke lantai dua tempat di mana kamarnya berada.
"Ini kamar Abang kalau menginap di sini. Kamu nanti tidur di sini, ya," cerita Rhys setelah memasuki kamarnya yang bernuansa dark natural ala Jepang.
Tempat tidur Rhys tampak langsung menyentuh lantai kayu dengan lukisan abstrak besar di belakangnya. Ada tiga patung khas Jepang yang berada di atas meja nakas di samping tempat tidur. Pintu kaca yang juga merangkap sebagai dinding membatasi bagian dalam kamar dan taman kecil di luar. Dinding, sprei, lemari dan atap kamar semuanya berwarna hitam. Terkecuali lantai kayu yang berwarna gradasi cokelat seperti potongan batang pohon besar.
"Jangan dibuka pintu kaca itu. Nanti air hujannya bisa masuk," peringat Rhys sebelum mengambil handuk dari lemari baju yang tampak seperti dinding dengan empat pintu.
Rhys menunjuk pintu paling ujung di dekat pintu masuk, "Ini pintu kamar mandi."
Setelah itu Rhys memberikan handuk kimono berwarna hitam kepada Nara.
"Abang mandi dulu. Abang ada di kamar sebelah. Kalau ada apa-apa, teriak aja. Oke?" kata Rhys sebelum berpamitan.
Kepala Nara mengangguk. Ia memandang kepergian Rhys dalam diam. Kemudian melangkah pelan menuju kamar mandi. Sementara Rhys terperanjat setelah menutup pintu kamarnya. Pak Budi dan Mbok Rani sudah berada di depan pintu kamar dengan was-was. Membuat Rhys tersenyum penuh arti.
"Pak Budi dan Mbok Rani tenang aja. Aku nggak akan senakal itu dengan pacarku," kata Rhys yang mengerti kekhawatiran kedua penjaga setia vila keluarganya.
"Maaf, Bang. Apa Bapak dan Ibu sudah tahu kalau Bang Rhys sama pacarnya mau menginap di sini?" tanya Pak Roni mengikuti Rhys yang sedang menuju kamar kedua orang tuanya.
"Ayah sama Ibu pasti sudah tahu. Tadi ada yang mengikutiku di belakang," cerita Rhys sebelum masuk ke dalam kamar orang tuanya. "Nanti kalau ada mobil sedan hitam datang, suruh masuk aja. Mbok siapkan kamar tamu di bawah. Mereka pasti sudah dapat akses masuk dari ayah. Setelah itu, Pak Budi dan Mbok Rani silakan beristirahat. Nanti kalau aku butuh sesuatu, aku ambil sendiri seperti biasa."
"Baik, Bang." Pak Budi dan Mbok Rani serempak menyahut sebelum berpamitan, disusul Rhys yang segera masuk ke kamar ayah ibunya.
♡♡♡
Seusai mandi dan membersihkan wajah, Rhys segera mencari pakaian ganti di lemari baju orang tuanya. Ukuran pakaian Rhys dan sang ayah tidak berbeda jauh. Walau badan Rhys lebih berisi dibanding ayahnya. Helaan napas Rhys berembus kala semua pakaian sang ayah didominasi oleh warna hitam. Hanya beberapa baju saja yang berwarna putih.
"Pantas ibu suka ngomel. Ayah kayak nggak pernah ganti baju," kata Rhys sambil mengambil t-shirt putih, dan celana hitam berbahan katun combed.
Tidak lupa Rhys juga mencari pakaian ganti untuk Nara. Ia mengambil setelan baju tidur lengan panjang berwarna abu-abu milik ibunya. Berharap semoga cocok untuk Nara. Tubuh Nara lebih tinggi dari pada ibu dan kakaknya. Ketika mencoba parfum sang ayah yang cocok untuknya, Rhys menemukan beberapa kotak kondom. Bulu kuduk Rhys meremang saat menyentuh kotak kecil benda tersebut.
"Sial," umpat Rhys sambil mengembalikan kotak itu ke tempat semula.
Tiga langkah setelah menutup laci meja rias sang ibu, Rhys kembali lagi. Ia mengambil satu buah kondom, dan memasukkannya ke dalam saku celana. Lidahnya membasahi bibir, dan berakhir menggigitnya sebelum menemui Nara di kamar sebelah dengan perasaan bercampur aduk.
"Astagfirullahaladzim," sebut Rhys sambil menggetok kepalanya. "Buat jaga-jaga, ya, Allah."
Rhys mengembuskan napas sebelum membuka pintu kamarnya, "Bismillah. Setan jauh-jauh, please," ujar Rhys diiringi membaca ayat kursi dalam hati.
Pandangan Rhys mengedar ke segala penjuru kamarnya. Mencari keberadaan Nara. Tatapannya terhenti di depan pintu kamar mandi. Salah satu telinganya didekatkan ke daun pintu. Mencoba mendengarkan suara yang ada di dalam sana. Tetapi nihil.
"Ra...., Nara," panggil Rhys, "Sayang, kamu di dalam?"
Rhys kembali menggigiti bibir bagian bawahnya karena bingung. Setelah memanggil Nara beberapa kali tanpa ada yang menyahut, Rhys memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Ia terperanjat kala melihat Nara berjongkok di bawah meja wastafel sembari menutupi kedua telinganya dengan tangan.
"Nara, kamu kenapa?" tanya Rhys bingung setelah meletakkan pakaian untuk Nara di atas meja wastafel. "Choi Nara!"
Perlahan Nara membuka matanya saat merasakan kedua tangannya digenggam oleh tangan lain. Ia menatap Rhys sambil meneteskan air mata. Membuat Rhys semakin bingung.
"Kamu kenapa?" ulang Rhys bertanya.
"Petir," lirih Nara menahan takut.
Rhys terdiam sejenak sebelum akhirnya memeluk Nara dengan erat, "Gwenchana. Abang di sini," kata Rhys sambil mengusap punggung Nara.
"Ayo keluar. Abang keringkan rambut kamu," ajak Rhys sabar. "Gwenchana...."
Nara menurut. Ia berdiri di depan cermin wastafel. Sementara Rhys berdiri di belakangnya untuk mengeringkan rambut sang pacar yang masih basah. Nara hanya menunduk sembari menutup matanya. Membiarkan Rhys mengurusi rambutnya yang berantakan setelah mandi dengan tergesa-gesa karena menahan rasa takut.
"Itu ada baju ganti. Kamu bisa pakai buat tidur. Abang tunggu di luar, ya," kata Rhys setelah merapikan rambut Nara sebisanya.
Nara bergegas mengganti kimono handuknya dengan baju yang dibawakan Rhys. Ia menatap celana panjang yang sedikit menggantung karena ukurannya tidak pas. Berbeda dengan kaos lengan panjang yang sedikit lebih besar ukurannya. Selesai berganti baju, Nara bergegas keluar dari kamar mandi.
Rhys yang sedang menonton film dan duduk di tepi tempat tidur langsung menoleh saat mendengar suara pintu kamar mandi tertutup. Senyum kecilnya tersungging ketika melihat Nara sudah berganti pakaian. Tangan kirinya menepuk kasur di sebelahnya. Meminta Nara untuk duduk di sana.
"Abang bikinkan teh madu buat kamu," kata Rhys sambil menunjuk secangkir teh hangat di atas meja nakas.
"Gomawoyo," ucap Nara sopan. "Tapi aku sudah gosok gigi."
"Ah. Mau minum air putih? Dingin atau biasa?"
"Biasa."
Kepala Rhys mengangguk sebelum beranjak berdiri. Ia berjalan ke arah meja di pojok ruangan. Meja itu seperti meja belajar. Ada komputer lengkap, dan beberapa buku bacaan yang berderet rapi. Rhys mengambil sebotol air mineral dari lemari kecil di bawah meja.
"Di sini ada minuman dan makanan ringan," tutur Rhys sebelum menunjuk lemari kecil lain yang berada di sebelah meja. "Ini kulkas kecil. Ada minuman dan makanan juga. Kalau mau mengemil ambil aja."
Nara mengangguk. Tiba-tiba Nara menutup telinganya dengan kedua tangan kala suara petir kembali menyambar. Kejadian itu dilihat langsung oleh Rhys. Hal yang baru diketahui Rhys selama ini tentang sisi lain sang kekasih. Kedua tangan Rhys menggenggam tangan Nara yang sedang menutupi telinga. Hingga Nara membuka mata diiringi tangan yang mulai membuka telinganya dengan perlahan.
"Kamu takut petir?" tanya Rhys hati-hati sembari menggenggam tangan Nara yang masih terasa dingin.
Nara mengangguk. Ia menerima sebotol air mineral yang diberikan oleh Rhys. Rhys sangat ingin bertanya apa yang sedang dialami Nara. Hari ini Nara seperti bukan seseorang yang dikenalnya. Nara yang biasanya pemberani dan tampak kuat, tiba-tiba hari ini menjadi berkebalikannya--Lemah dan menyedihkan.
"Abang akan temani kamu sampai tidur," tutur Rhys hati-hati, menahan diri agar tidak bertanya lebih jauh.
Nara memandang Rhys sebelum berbicara, "Abang tidur aja di sini. Aku nggak akan tidur. Aku lupa bawa obat."
"Obat?! Kamu sakit?" Rhys tampak terkejut.
"Eung. Aku harus minum obat tidur setiap malam. Kalau enggak, aku nggak akan bisa tidur."
Rhys semakin penasaran. "Sejak kapan kamu minum obat itu?"
"Kurang lebih setahun. Sejak aku berobat ke psikiater."
Rhys terdiam sejenak tanpa mengalihkan pandangannya pada Nara. Hingga Nara yang sedang menonton film menoleh karena tiba-tiba saja keadaan menjadi hening setelah ucapan terakhirnya. Nara memandang balik Rhys dalam diam. Kemudian kembali menonton film yang berada di layar datar di hadapannya.
"Waeyo? Apa Abang menyesal kenal sama aku?" tanya Nara sambil memainkan botol yang ada digenggamannya.
Tangan kiri Rhys terulur. Mengusap kepala Nara dengan penuh sayang seperti biasa. Membuat Nara menolehkan kepala ke samping kanannya.
"Abang nggak pernah menyesal mengenal kamu," ucap Rhys seraya tersenyum bangga, "Terima kasih, karena kamu sudah bersabar dan bertahan sampai sekarang. Kalau enggak, Abang nggak akan bisa menjadi pacar kamu."
Air mata Nara menggenang di kedua mata cantiknya. Ia menahan diri agar tidak menangis di hadapan Rhys. Namun ternyata ia tidak mampu. Ini kali pertama Nara mendengar ucapan tulus untuknya karena telah berjalan dan bertahan sejauh ini.
"Gimana kalau aku tiba-tiba jadi gila? Apa Abang akan pergi?" tanya Nara ketika Rhys masih berusaha menghapus air mata dari wajahnya.
"Apa dokter bilang kalau kamu gila?" tanya Rhys yang hanya dibalas gelengan kepala dari Nara.
"Dokter bilang, aku punya trauma. Tapi kalau dibiarkan, aku bisa depresi," cerita Nara yang mulai bisa mengontrol emosinya.
"Kalau begitu, kamu pasti sembuh. Besok, Abang akan temani kamu ke psikiater. Kasih tahu Abang, kapan jadwal kamu kontrol lagi," kata Rhys yang membuat Nara keheranan. "Yaksok?"
Rhys mengulurkan jari kelingking tangan kanannya pada Nara. Meminta Nara untuk berjanji kepadanya. Perlahan Nara menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Rhys sebagai ungkapan setuju dalam perjanjian tersebut. Kedua mata Nara melebar ketika Rhys mencium tautan jari itu.
"Mulai sekarang, tolong kalau ada apa-apa cerita sama Abang. Abang akan selalu berusaha untuk menemani kamu," pinta Rhys seraya mengulas senyum manisnya.
"Sana tidur, coba tutup matanya. Kamu mengantuk, kan?" ucap Rhys ketika melihat wajah letih Nara. "Abang jagain kamu di sini."
Nara menurut. Ia mulai merebahkan tubuh letihnya di tempat tidur. Sementara Rhys duduk di sebelahnya sembari menonton film. Nara memiringkan tubuhnya agar bisa menghadap pada Rhys. Membuat Rhys menundukkan kepala, lalu tersenyum kecil sebelum mengulurkan tangan kanannya pada sang kekasih. Dengan ragu Nara menerima uluran tangan itu. Kemudian menggenggam erat tangan Rhys sebelum menutup matanya.
"Apa Abang akan menikahi aku?" tanya Nara serius beberapa menit setelahnya.
Rhys terlihat terkejut mendengar pertanyaan Nara. Ia pikir Nara mungkin sebentar lagi akan tertidur. Ditatapnya Nara yang sedang menunggu jawaban. Otak cerdas Rhys seakan tidak mampu menjawab pertanyaan Nara tersebut. Hal itu belum pernah terpikirkan di benak Rhys selama ini.
"Kata Mbok, kalau pacarku sayang sama aku, dia akan menikahiku," tanya Nara tanpa beban.
"Sure," jawab Rhys singkat. "Kalau kita berjodoh, insya Allah Abang akan menikahi kamu. Tapi tidak sekarang. Kita masih sekolah."
"Kalau aku berhenti sekolah, Apa kita boleh menikah?"
Kepala Rhys seperti mengebul karena pertanyaan tidak terduga dari Nara. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab hanya dalam hitungan menit, bahkan hari. Rhys tidak memiliki jawaban pasti untuk itu. Ia benar-benar merasa menjadi bodoh sekarang.
"Andwe. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Kita belum bisa menikah sekarang," tutur Rhya hati-hati.
"Tapi kata Mbok, kalau belum cukup umur kita bisa menikah secara agama. Aku, kan, udah masuk Islam," kata Nara yang menjadi semakin serius.
Rhys merebahkan tubuhnya agar berhadapan dengan Nara, "Mbok bilang apa aja sama kamu?"
"Mbok bilang, kalau aku sudah menikah, aku bisa keluar dari rumah Appa dan Mama. Abang mau nikahin aku? Aku janji, aku nggak akan nakal nanti. Aku akan nurut semua kata-kata Abang. Mbok bilang, kalau sudah menikah harus menurut apa kata suami."
Rhys tertegun mendengar penuturan Nara. Ia mulai mengerti kemana arah pembicaraan Nara sejak tadi. Ia pun mulai paham, mengapa Nara tidak ingin pulang.
"Jadi, kamu nggak mau pulang karena ini? Kamu mau menikah sama Abang supaya bisa pergi dari rumah?" tanya Rhys hati-hati.
"Abang nggak mau nikah, ya, sama aku? Waeyo?" tanya Nara balik.
"Kamu belum jawab pertanyaan Abang."
"Abang juga belum jawab pertanyaanku."
Rhys mengembuskan napasnya pertanda pasrah, "Abang akan menikahi kamu, kalau kita sudah cukup umur. Jadi sekarang, kita selesaikan sekolah kita. Setelah itu, kita bisa menikah."
Nara bergeming setelah mendengar jawaban Rhys. Ia mencoba mencerna kata demi kata yang Rhys ucapkan.
"Kalau aku hamil, Abang pasti menikahi aku, kan?" tanya Nara lagi dengan polosnya.
Rhys tersenyum sambil mengusap gemas kepala Nara, "Abang nggak akan menghamili kamu sebelum kita menikah. Arasseo?"
"Wae? Kita tidur bareng sekarang. Teman SMP ku dulu tidur bareng pacarnya terus hamil." Nara menjawab dengan lantang.
"Kita cuma tidur bareng, Sayang. Abang nggak akan ngapa-ngapain kamu. Jadi tidak mungkin kamu bakalan hamil setelahnya."
"Kok, gitu? Emang gimana caranya biar bisa hamil?"
Rhys membasahi bibir dengan lidahnya. Ia merasa semakin gemas pada Nara saat ini. Ia pun teringat dengan benda yang ada di saku celananya. Pikirannya pun mulai liar merambah ke segala arah. Memikirkan sebab dan akibat jika ia benar-benar menggunakan benda tabu milik ayahnya itu.
"Kamu lihat film itu baik-baik. Yang mereka lakukan itu bisa bikin si cewek hamil," kata Rhys saat melihat adegan dewasa di film yang dipilihnya secara random. "Itu pun harus dilakukan berulang kali. Kalau Allah berkehendak, baru si cewek bisa hamil. Arraseo?"
"Ani," jawab Nara singkat.
"One day, Abang akan menikahi kamu secara agama dan negara. Jadi, tolong kamu bersabar. Oke?"
"Arraso." Nara menjawab mengerti dalam bahasa Korea. "Abang nggak sayang sama aku."
"Kalau Abang nggak sayang sama kamu, Abang nggak akan jadiin kamu pacar."
"Tapi Mbok bilang, di agama Islam itu nggak boleh pacaran. Dosa."
"Dosa kalau kita berbuat kayak di film itu."
"Tadi kita di kamar mandi bareng. Sama kayak di film itu. Cuma tadi Abang yang peluk aku."
Embusan napas berat Rhys terdengar. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara memberi pengertian pada Nara tentang sebuah arti pernikahan, atau sejenisnya.
"Gini, Abang nggak mau menikah sekarang karena Abang sayang banget sama kamu. Abang nggak mau kalau nanti setelah menikah terus kamu hamil. Saat kamu hamil di usia yang belum matang, Abang bisa kehilangan kamu nanti. Abang nggak mau itu. Itulah kenapa di umur belasan tidak dilegalkan untuk menikah. Resikonya banyak, nyawa taruhannya. You know what I mean?" terang Rhys sabar.
"Teman aku nggak papa habis melahirkan. Dia masih hidup. Sekarang dia sekolah lagi," bantah Nara.
"Berarti dia beruntung. Kondisi setiap orang itu berbeda. Apa kamu tahu, bagaimana nasib anak teman kamu itu? Dia nggak akan berhak mendapatkan apa pun dari ayahnya, entah harta atau nasabnya."
"Anak haram? Aku juga anak haram."
Rhys terperanjat lagi, "Kamu tahu dari mana soal anak haram?"
"Eonnie bilang, mama menikah waktu hamil aku. Jadi aku ini anak haram, kan? Aku nggak bisa ikut Appa. Gitu, kan, maksud Abang?"
"Aninde."
"Kalau Abang nggak mau nikah sama aku, aku mau cari pacar lagi."
"Andwe!!"
"Wae...?"
"Kenapa kamu mau menikah sama Abang?"
"Biar aku bisa pergi dari rumah Appa."
"Oke. Abang akan cari cara, bagaimana kamu bisa pergi dari rumah dengan baik-baik. Tapi tolong, kamu bersabar dulu."
"Cara apa?"
"Abang yang akan mencari caranya. Sekarang kita tidur."
Nara tersenyum atas ajakan Rhys, "Abang mau hamilin aku?"
"Ani.... Besok kita lanjutkan lagi, Abang mengantuk."
"Eung."
Senyum Rhys tersungging saat melihat raut wajah Nara yang merengut. Dikecupnya kening Nara sebelum mengajak Nara tidur. Hal itu membuat Nara mematung sejenak akan ciuman itu. Ini kali pertama Rhys berani mencium keningnya dengan begitu jelas. Hingga suara kecupannya masih terngiang di kedua telinga Nara.
"Tutup matanya. Jangan lupa berdoa sebelum tidur," perintah Rhys lugas.
Saat petir kembali terdengar, Nara langsung memeluk Rhys dengan erat. Membuat tubuh Rhys serasa panas dingin. Ketika tersadar, Rhys membalas pelukan Nara dengan ragu dan takut. Ia terus berdoa dalam hati, agar tidak lepas kendali untuk berbuat seperti film dewasa yang ditontonnya beberapa menit lalu.
"Jalja." Rhys mengucapkan selamat tidur sebelum menutup matanya, diiringi dekapan Nara yang semakin erat.
Tbc.
24Nov.23
Hai,
Semoga bisa menghibur, ya.
Dan semoga sudah pantas dapat vote dan komen dari kalian semua. ^^
See you...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top