10. Ekonomi Cinta

Senyum Re tersungging ketika satpam rumah Lingga membukakan pintu gerbang, dan mempersilakannya untuk masuk. Selama kurang lebih satu bulan, Re telah diperkenalkan kepada beberapa penjaga rumah dan coffee shop milik Lingga. Semua karyawan coffee shop pun telah mengetahui bahwa Re adalah kekasih Lingga.

"Terima kasih, Pak," ucap Re sopan seperti biasa.

"Sama-sama, Mbak," jawab Pak Soni setelah mempersilakan Re masuk, lalu berlanjut menutup pintu pagar rumah dan kembali ke posnya.

Re berjalan santai memasuki halaman rumah Lingga sambil meminum es teh dari wadah plastik di tangan kanannya. Halaman tersebut juga dijadikan sebagai tempat parkir. Ada mobil Lingga, dan juga beberapa motor yang terparkir rapi. Membuat Re sedikit kesal karena Lingga tidak bercerita jika di rumahnya sedang ramai. Jangankan bercerita, pesan terakhir Re saja belum dibuka oleh sang pacar.

Langkah kaki Re terhenti di depan rumah Lingga, rumah minimalis berlantai dua. Rumah yang bersebelahan dengan coffee shop. Re memerhatikan bentuk rumah yang benar-benar sederhana. Rumah yang menggambarkan sosok Lingga dengan begitu gamblang--Sederhana, dan klasik. Ada dua jendela kaca berbentuk persegi panjang kecil menghiasi dinding batu alam yang dipasang tepat di tengah bangunan terbawah. Sementara di sebelahnya, terdapat pintu kayu jati besar yang menempati dinding berbeda--Dinding bercat putih senada dengan warna cat rumah yang mendominasi.


"Re...?" ujar Hasan, teman Re dari organisasi BEM terdahulu.

Re terkejut kala pintu rumah terbuka setelah dirinya membunyikan bel dua kali. "Kamu ngapain di sini?"

"Lo juga ngapain di sini? Mau bimbingan skripsi?" tebak Hasan. "Eh, tapi Lo, kan, jurusan DKV."

"Ditanya malah balik tanya. Semprul! Mana Mas Lingga?" gerutu Re tidak sabar karena belum dipersilakan masuk.

"Mas Lingga?! Lo nggak tahu siapa dia? Wah...." Hasan menggelengkan kepala.

"Siapa, Bang Hasan?" tanya Ankara yang tiba-tiba muncul. "Hai, Re. Ayo masuk."

"Kalian pada ngapain di sini?!" tanya Re lagi sambil berjalan mengikuti Ankara.

"Kita kos di sini," jawab Hasan asal. "Jangan bilang, Lo juga mau kos di sini, Re?"

Ankara menyahut santai sebelum duduk di sofa berwarna orange yang berada di teras depan halaman kecil yang membatasi bangunan pertama untuk tamu dan, bangunan utama di rumah Lingga. "Awas, Bang. Re bisa ngusir kita dari sini. Entar skripsi kita kagak kelar-kelar lagi."


"Emang ini rumah Re? Pak Lingga ngontrak rumah gitu sama Re?" tanya Hasan ingin tahu sambil menyusul duduk di sebelah Ankara, dan meminta rokok pada juniornya itu.

"Wooow.... Ada Dewi Rengganis."

"Wah, mimpi apa gue. Bisa tinggal di rumah mewah gratis, terus didatangin bidadari lagi."

"Judul skripsi Lu tentang apa, Re? Ada materi Ekonominya juga?"

"Dimana Mas Lingga?!" tanya Re menahan rasa kesalmya.

"Re, Pak Lingga itu dosen tahu."

"Iya, Re. Yang sopan, Lu."

"Guys, udah. Jangan ganggu Re, atau kita nggak lulus skripsi nanti," ancam Ankara yang sudah mengetahui hubungan Re dan Lingga. "Pak Lingga di kamar kayaknya."

Kedua mata Lingga memicing ketika melihat Re dikerubungi oleh mahasiswa-mahasiswanya. Salah satu tangan Lingga terlihat sibuk menggulung kedua lengan panjang kemejanya sembari berjalan keluar.

"Jangan ganggu calon istri saya, atau Kalian tidak akan diwisuda tahun depan," peringat Lingga tegas yang membuat mahasiswanya terperanjat kaget. "Mundur. Kalian boleh menganggap rumah ini seperti milik kalian sendiri, terkecuali Re. Jangan coba-coba menyentuh Re. You know what I mean?"

"Yes, Sir." Kelima mahasiswa Lingga menyahut serempak.

"Tunggu. Maksud Bapak, Re ini calonnya Pak Lingga?" tanya Hasan memastikan.

"Serius, Pak?!" Didi seakan mengejek pilihan Lingga.

Plak.

Tangan kanan Re reflek menabok lengan Didi yang sedang bingung. "Emang kalian ada yang bisa seserius Pak Lingga?! Janji-janji doang, tapi zonk."

"Dih! Lo aja yang nggak kasih kita kesempatan buat buktiin janji," sanggah Ryan yang pernah ditolak cintanya oleh Re.

Yogi yang kisah cintanya bernasib sama seperti Ryan dan Ankara menyahut, "Yoi."

"Janji apa sama Re?" tanya Lingga serius setelah menggandeng salah satu tangan Re.

"Janji setia, dan cinta mati sama Re, Pak." Yogi dan Ryan serempak menjawab.

"Bullshit!" maki Re.

"Kalau kamu relationshit," gurau Nabil yang sudah memahami situasi sekarang.

"Dasar boyshit!" maki Re.

"Sudah. Jaga rumah, jangan sampai berantakan! Apalagi terbakar," peringat Lingga keras.

"Pak, kalau kita lapar gimana?" tanya Nabil yang tidak diizinkan memakai dapur di rumah Lingga.

"Ya, tinggal makan, lah," sungut Re sebal.

"Kita itu nggak boleh pakai dapur sama Pak Lingga, Re," terang Ankara.

"Kalau kalian masuk dapur, bisa hangus rumah saya. Ada makanan di kulkas. Kalian bisa panaskan pakai microwave. Nasinya sebentar lagi matang," kata Lingga sebelum membawa Re pergi.

"Mas kasih makan mereka juga?!" Re tidak percaya, "Enak banget."

"Enak banget, dong."

"Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Re." Ankara kembali menyahut.

Lingga segera merangkul Re, dan membawa kekasihnya untuk pergi. Melerai Re yang sepertinya akan beradu mulut dengan para mahasiswanya. Sementara Re merengut sebelum melepas rangkulan Lingga saat sudah keluar dari rumah. Ia menatap sebal Lingga yang sudah mengabaikan beberapa pesan singkatnya hari ini. Dan juga, ketidakterbukaan Lingga karena sudah membawa beberapa mahasiswanya menginap di rumah.

"Jadi karena ngurusin mereka, Mas sampai nggak sempat balas pesan singkatku?" sungut Re kesal.

"Maaf. Mas sibuk tadi, terus buru-buru juga. Takut kamu nunggu lama nanti," terang Lingga yang sepertinya tidak bisa diterima Re.

"Bilang, dong! Jadi, kan, aku nggak over thinking," gerutu Re. "Nggak ganggu mas yang lagi sibuk juga. Nggak perlu telepon-telepon, atau kirim pesan nggak penting!"

Lingga menahan senyum sembari mendengarkan omelan Re yang sudah sering dilontarkan setiap kali dirinya sedang sibuk. Re sangat tidak suka tak diacuhkan. Ia seperti memiliki trauma dengan para lelaki yang telah menyakiti hatinya di masa lalu--Hanya karena tidak mengacuhkan pesan atau teleponnya. Terkadang Lingga pun kesal. Tetapi ini adalah resikonya karena telah memutuskan untuk masuk ke dunia Re. Dunia yang ternyata rumit untuk bisa dinalar oleh otak cerdas Lingga. Ini kali pertama Lingga memiliki hubungan percintaan dengan seseorang yang lebih tua dibandingkan dirinya.

"Sudah? Jadi nggak ngenalin Mas sama Ayah dan Ibu kamu?" tutur Lingga sabar kala Re telah menghabiskan omelannya. "Atau mau reschedule lagi?"

"Jadilah. Kapan lagi mas punya waktu buat ketemu sama Ayah yang juga lagi sibuk!" Re menekankan setiap perkataannya.

"Senyum dulu," perintah Lingga lembut kala Re sedang terbakar emosi.

Re hanya terdiam sebelum akhirnya mengembuskan napas dengan kasar. Kemudian melewati Lingga, dan memintanya agar membuka pintu mobil yang masih terkunci tanpa berkata apa pun.

"Kenapa mereka ada di rumah Mas? Why?!" tanya Re meminta penjelasan.

"Bu Rita meminta Mas untuk membantu beberapa mahasiswa abadinya untuk dibimbing mengerjakan skripsi agar selesai tepat waktu. Jika mereka tidak bisa menyelesaikan skripsinya, mereka akan di DO tahun depan," jelas Lingga sabar setelah duduk di kursi kemudi.

"Mas dosbing mereka juga?"

"Iya. Dosen pembimbing dua."

"Enak banget. Coba kalau dosen pembimbingku itu kayak Mas."

Lingga memandang Re dengan lekat, "Ada apa? Dosen pembimbing dua kamu berulah lagi?"

"Huum. Tadi nggak jadi bimbingan lagi. Aku udah kesel sama dia. Pindah-pindah tempat terus, kayak hantu. Apa aku ganti judul baru aja? Menurut Mas gimana?"

"Yakin mau ganti judul skripsi lagi?"

"Tapi dosbing dua-nya kayak gitu. Nanti aku nggak bisa lulus-lulus, gimana?"

Tangan kanan Lingga mengusap sayang pucuk kepala Re. Menatap kedua mata Re dengan tatapan khasnya--lembut dan meneduhkan. Membuat hati Re tiba-tiba berdebar karenanya.

"Kamu pasti lulus. Setiap orang punya cerita tersendiri saat mengerjakan skripsi. Entah itu sedih, senang atau menjengkelkan. Semua itu akan buat kamu menjadi seseorang yang lebih tangguh lagi. Mas akan bantu kamu nanti," ucap Lingga menenangkan.

"Caranya?" tanya Re bingung. "Mas mau pindah ke jurusanku?"

Lingga terkekeh, "Kalau bisa, why not? Tapi mas harus kuliah lagi sebelum pindah ke jurusan DKV. Kamu mau menunggu Mas?"

"Ih!! Aku serius, Mas."

"Mas pasti bantuin kamu nanti. Setelah kamu wisuda, Mas boleh, kan, nikahin kamu?"

"Tergantung. Ayah sama Ibu menerima Mas nggak hari ini."

"Jadi, keputusan hubungan kita tergantung dari restu Ayah dan Ibu?"

"Iya."

"Oke. Siap-siap."

"Buat?"

"Buat jadi istri Mas, lah."

Re mengatupkan kedua bibirnya. Menahan senyum atas perkataan terakhir Lingga. Entah mengapa Re begitu mudahnya percaya kepada Lingga. Tidak ada keraguan lagi akan keseriusan Lingga. Hingga ia berani membawa Lingga untuk bertemu dengan keluarganya hari ini. Tidak seperti hubungan-hubungan terdahulu.

♡♡♡

Pandangan Lingga mengedar setelah memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah Re. Jantungnya mulai berdetak kencang saat melihat betapa megah dan mewahnya rumah Re. Beberapa mobil tampak berjajar rapi di tempatnya. Bahkan ada salah satu mobil baru yang berada tepat di samping mobilnya--Mobil MPV keluarga yang telah dimodifikasi seperti mobil balap.

"Itu mobil baru siapa?" tanya Lingga ingin tahu.

Re menggandeng salah satu lengan Lingga, "Oia, platnya masih baru. Kayaknya itu mobil balap Rhys."

"Mobil balap Rhys?"

"Iya, Rhys itu pembalap rally. Tapi kemarin Rhys coba ikut Kejuaraan Nasional Drifting Series, sambil menunggu jadwal Kejurnas Sprint Rally musim depan."

"Sudah lama Rhys jadi pembalap?"

"Lumayan, sejak Rhys SD udah sering ikut turnamen balap. Ya, bukan balapan besar, sih. Awalnya ikut lomba gokart gitu. Terus Rhys juga sempat mencoba slalom. Rhys mulai ikut rally waktu umur 14 tahun."

"Kabari Mas kalau Rhys ikut rally lagi."

Kedua alis Re terangkat perlahan, "Emang Mas bisa nonton? Nggak sibuk?" sindir Re.

"Kalau weekend, Insya Allah bisa."

"Oke. Let's see."

Re tersenyum meremehkan sambil menggandeng Lingga untuk masuk ke rumahnya. Kesibukan Lingga hampir serupa dengan kesibukan sang ayah. Re bersyukur, mereka berdua masih menyempatkan waktu untuk bertemu dengannya walau hanya beberapa menit. Meski untuk sekedar mengobrol, atau menikmati kopi bersama disertai omelan dan candaan kecil.

"Tunggu sebentar, ya, Mas. Aku panggil Ayah dan Ibu dulu," kata Re setelah mempersilakan Lingga untuk duduk di sofa ruang tamu.

Lingga menganggukkan kepala. Ia memandang sekitar ruang tamu yang terlihat sederhana karena hanya ada sofa, meja kayu, dan hiasan tanaman kering. Tetapi bisa dipastikan, betapa mahalnya harga barang-barang tersebut. Lingga telah mengetahui latar belakang keluarga Re. Sebelum memberanikan diri mengungkapkan perasaan kepada Re, ia telah mencari tahu tentang keluarga kekasihnya itu.

Kakek dan kedua orang tua Re merupakan jajaran konglomerat di Indonesia. Nama mereka pun sering muncul di majalah bisnis yang sering Lingga baca. Begitu pula dengan keluarga besar Re. Sejak dahulu, keluarga besar Re adalah orang terpandang yang begitu berpengaruh pada pemerintahan dan perekonomian negara. Hal itu sempat membuat Lingga ketar-ketir karenanya.

Embusan napas Lingga meluncur perlahan, ketika Re muncul diikuti oleh kedua orang tuanya. Ayah dan ibu Re tampak masih muda. Keduanya terlihat serasi mengenakan pakaian berwarna hitam. Ayah Re mengenakan setelan kemeja dan celana jeans hitam. Sementara Ibu Re memakai atasan kemeja tanpa lengan berwarna hitam, dan bawahan rok span jeans panjang.

"Ayah, Ibu, ini Mas Lingga," kata Re memperkenalkan sang kekasih.

Lingga tersenyum kecil sebelum menjabat tangan kedua orang tua Re bergantian, "Selamat sore, Om, Tante. Saya Lingga."

"Silakan duduk," ucap Rasi, Ayah Re.

"Ini Lingga yang difoto itu, kan?" tanya Aries, ibunda Re, memastikan ingatannya.

"Foto?" Lingga melirik Re.

"Iya, Bu. Ini Mas Lingga yang difoto adek dulu," terang Re gugup. "Jadi, waktu itu Rhys sempat foto kita berdua, Mas. Maaf, ya, Mas."

"Oh," balas Lingga singkat.

"Pulang kerja?" tanya Rasi basa-basi sembari mengingat biodata Lingga yang pernah dibacanya dari sang informan beberapa minggu lalu.

"Iya, Om," jawab Lingga yang sedang mengontrol kegugupannya.

"Mas Lingga kerja di mana?" Aries mencoba mencairkan suasana.

Aries tahu betul jika sedari tadi aura suaminya seperti ingin menguliti Lingga. Rasi menatap Lingga dengan tatapan tajam khasnya. Tatapan yang selalu ditampilkan Rasi ketika ingin mengalahkan seseorang, meski mengulas senyum sekali pun. Pandangan tersebut juga telah membuat Lingga panas dingin di tempatnya.

"Saya dosen di kampus Re, Tante," jawab Lingga mencoba menenangkan diri.

"Di fakultas Re juga?" lanjut Aries.

"Tidak, Tante. Saya dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis," cerita Lingga.

"Kamu sepertinya masih muda," ujar Rasi yang tidak tahu harus membahas apa dengan pacar putrinya.

"Umur saya 19 tahun, Om," jawab Lingga lugas.

"19 tahun sudah jadi dosen?" Aries terperanjat.

"Ikut kelas akselerasi?" tanya Rasi.

"Iya, Om, Tante. Kebetulan juga saya kecepatan buat sekolah," terang Lingga sebelum memberikan sebuah amplop dari saku kemeja kepada Rasi. "Ini CV saya, Om."

Salah satu alis tebal Rasi terangkat. Ia tidak menyangka jika pacar Re benar-benar cerdas. Tangan kanan Rasi mengambil amplop tersebut, dan membukanya dengan hati-hati. Ia dan Aries membaca daftar riwayat hidup Lingga dalam hati. Semua tulisan yang tercetak rapi di selembar kertas tersebut sama dengan apa yang pernah diperoleh dari informan kepercayaannya.

"CV? Emang Mas mau melamar kerja?" kata Re lirih.

"Kan, Mas mau melamar kamu," sahut Lingga singkat, dan mampu membuat Re diam seribu bahasa.

"Wow..., kamu kuliah S1 hanya tiga tahun, dan S2 dua tahun dengan double degree," tutur Aries terperangah dengan isi CV Lingga yang begitu apik.

Re langsung mendekat kepada ayah dan ibunya untuk melihat CV Lingga, "Daebak! Aku aja tiga tahun setengah masih ngejar-ngejar dosen buat bikin proposal skripsi."

"Tanya Lingga, gimana caranya biar cepat lulus kuliah," sindir Rasi yang membuat Re mencebik.

"Itu, sih, nggak usah disuruh. Masalahnya, jurusan Re sama Mas Lingga itu beda," sanggah Re sebelum kembali duduk di samping Lingga. "Kalau Mas Lingga dosen pembimbing Re, besok juga udah lulus. Ya, kan, Mas?"

Re kembali duduk di samping Lingga. Ia merasa kesal dengan ucapan ayahnya yang terkesan menghina. Ciri khas sang ayah ketika ingin menyadarkan seseorang akan kenyataan yang sedang terjadi.

Aries kembali berceloteh untuk mencairkan suasana. "A family man, who loves Re so much," baca Aries di CV Lingga.

"Really?" selisik Rasi.

"Sure," tegas Lingga. "Meski mungkin, Re belum sepenuhnya mencintai saya."

Re tersentak, "Kok, Mas ngomongnya gitu? Mas nggak percaya sama aku?"

"Mas percaya sama kamu. Tetapi cinta tidak semudah membalikkan telapak tangan," jelas Lingga hati-hati.

Kedua orang tua Re bergeming. Mereka ingin mengetahui bagaimana cara Lingga menenangkan Re yang mulai tersulut emosi. Re menuruni sikap agresive dari sang ibu. Ia akan meluapkan semua perasaannya jika dirinya diusik. Berbeda dengan Rhys yang sedikit lebih tenang, dan selalu berpikir sebelum bertindak.

"Terus gimana sama perasaan Mas sendiri? Kita baru bertemu beberapa kali, sebelum Mas bilang suka sama aku. Jadi itu bukan cinta?!" sungut Re.

"Dari perspektif ekonomi, Mas akan menganggap cinta sebagai suatu komoditi. Dengan begitu, pertambahan nilai atau value added dari sebuah cinta akan menjadi sumber kekuatan ikatan antara dua manusia," terang Lingga santai.

"Jadi menurut Mas, cinta itu sama dengan barang?"

"Seumpama."

"Cinta itu kata sifat, jadi nggak bisa disamakan dengan benda. Cinta itu tentang perasaan."

Lingga menjelaskan dengan hati-hati, "Cinta itu bukanlah kata sifat, dan bukan juga kata benda. Cinta itu kata kerja. Ketika kata cinta diberi imbuhan me- dan menjadi 'mencintai' maka imbuhan tersebut memiliki arti melakukan.

Saat pertama kali seseorang melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, nilai atau value dari perbuatan tersebut masih dalam keadaan utuh. Tetapi, jika seseorang telah memiliki hubungan berkali-kali--Dalam arti mereka putus dengan seseorang kemudian menjalin hubungan dengan yang lain, mereka secara tidak sadar akan mengurangi value of the next relationship dengan melakukannya berulang kali."

"So what?" Re sedikit tersinggung dengan perkataan Lingga.

"Seperti yang sudah Mas jelaskan tadi, value adalah komoditi penting untuk membangun kekuatan hubungan antara dua manusia. Jika value sudah berkurang, dan hubungan menjadi lemah, hubungan tersebut kemungkinan akan gagal ketika berhadapan dengan ujian atau cobaan.

Tetapi, ketika seseorang mencoba untuk berkomitmen pada seseorang dan berinvestasi untuk membangun hubungan yang berjangka panjang seperti pernikahan, ia bukannya mengurangi value dari hubungan tersebut melainkan value itu justru semakin bertambah. Yang berarti bahwa hubungan cinta akan semakin kuat dan bermakna.

Mas berharap, cinta kamu akan selalu bertambah buat Mas. Seperti cinta Mas sama kamu saat ini," tutur Lingga sabar.

Re bergeming. Tubuhnya serasa kaku ketika kata demi kata terlontar dari mulut Lingga. Kedua mata lentik Re mengedip, kala Lingga mengusap lembut puncak kepalanya. Usaha Lingga agar Re segera meredam emosinya. Ia tidak ingin pertemuan pertamanya dengan kedua orang tua Re menjadi berantakan.

"Kamu lelaki pertama yang diajak Re ke rumah," ujar Rasi seakan ingin memberitahu Re dan Lingga tentang keberadaannya.

Lingga tidak percaya. "Oia, Om?"

"Kan, aku udah bilang. Yang serius, silakan ketemu sama Ayah dan Ibu," imbuh Re serius sembari menatap Lingga. "Dan cuma Mas yang berani diajak ke rumah buat ketemu sama Ayah Ibu."

"Kamu yakin dengan Re?" tanya Rasi setelah sebelumnya mempersilakan Lingga untuk minum.

"Yakin, Om."

"Apa kamu tahu, kalau Re sering bergonta-ganti pacar?"

"Tahu, Om."

"Apa kamu juga tahu, kamu itu pacar ke berapa Re?"

"Saya ada diurutan kedelapan, Om."

Aries menahan tawa ketika mendengar jawaban Lingga, "Kakak nggak salah hitung? Beneran cuma delapan?"

"Cinta monyet nggak terhitung. Nggak penting!" jawab Re lugas yang membuat ibundanya terkekeh.

Suara salam menginterupsi Aries yang sedang menggoda putrinya. Salam itu juga mengiringi lantunan azan magrib yang sedang berkumandang. Aries langsung mengenalkan Lingga kepada ayah mertuanya yang baru saja datang.

Lingga memerhatikan lelaki berusia lanjut yang sama tampannya dengan ayah Re. Meski raut wajah dan kulit mereka tampak berbeda. Lelaki itu terlihat seperti keturunan Arab dengan kulit sawo matang. Sementara ayah Re berkulit kuning langsat dengan garis wajah oriental namun memiliki sorot mata tajam khas keturunan Asia Barat. Berbeda dengan ibu Re yang sepertinya berasal dari Asia Timur--Cantik, berkulit putih, mirip seperti Chinese.

"Pah, kenalin pacarnya Re," tutur Aries sopan.

"Pacar? Baru lagi?" sindir Alrescha, kakek Re dan Rhys.

"Iya, Phuu. Baru, nih." Re tampak pasrah.

"Panggil Phuu," kata Alrescha menerima uluran tangan Lingga.

Lingga tampak bingung, "Lingga."

"Phuu itu panggilan Kakek dari bahasa Thailand, ayahnya ayah," terang Re yang membuat raut bingung Lingga perlahan memudar.

"Panggilan kakek itu kelihatan tua, saya nggak suka," tegas Alrescha sebelum bertanya pada Lingga. "Ayo salat. Kamu salat?"

Rasi menatap papanya dengan lekat. Ia langsung mengetahui maksud sang papa saat mengajak pacar Re untuk salat berjamaah. Ajakan singkat yang mempunyai banyak maksud terselubung. Kepribadian Lingga akan segera terlihat dari jawabannya nanti.

"Iya, Phuu," jawab Lingga singkat.

"Kita salat berjemaah. Kamu bisa menjadi imam?" Alrescha seakan mendesak Lingga dengan segala karismanya.

Embusan napas berat Re sempat terdengar di kedua telinga Lingga. Re tidak pernah memprediksi jika sang Kakek akan bertindak sejauh ini.

Lingga mengangguk tanpa ragu, "Insya Allah bisa, Phuu."

"Ayo. Setelah ini kita makan malam bersama," ajak Alrescha seraya tersenyum bahagia, sambil melirik kedua mata tajam Rasi dengan penuh arti.

Alrescha berjalan terlebih dahulu. Diikuti Rasi dan Aries di belakangnya. Sementara Re menahan salah satu tangan Lingga sebelum mengikuti langkah kedua orang tuanya.

"Mas sudah pernah menjadi imam?" tanya Re khawatir.

"Belum," jawab Lingga singkat.

"Terus kenapa Mas bilang bisa tadi? Konyol."

"Ayah kamu sama Phuu sedang menguji Mas sekarang. Kalau Mas nggak bisa menjadi imam dalam salat, Mas nggak akan diizinkan mereka untuk menjadi imam kamu."



Tbc.
Wed, 041023.

Hai, long time no see....
Terima kasih untuk yang masih bertahan di sini meski hanya menjadi sider (Silent Reader). Silakan menikmati bacaan gratis ini sebelum nanti berbayar.

Tolong vote and comments di sini, ya.

Sekali lagi, thanks buat kalian yang sudah vote dan komen di part sebelumnya.
Saranghae..., 🫰

See you soon. 🤗

Ini CV Lingga, barangkali ada yang mau nyontek. Wkwkwk.


Bayangan rumah Re dan Rhys.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top