1. Matematika Kehidupan

Embusan napas lelah meluncur pelan setelah menutup pintu kelas. Gadis bertubuh tinggi semampai itu melangkah gontai seusai mendapat hukuman dari kakak senior yang mendampingi masa orientasi siswa di SMA swasta favorit pilihan sang Ayah. Wajah cantik dengan kulit putih bening bak idol Korea tersebut terlihat lesu memandang setiap sudut sekolah barunya yang tampak sunyi. Hanya beberapa guru dan staf sekolah yang berlalu lalang di gedung bertingkat di depannya.

"Hai," sapa gadis berwajah oriental dengan senyum manisnya--Rosie, nama yang tersemat di baju seragam sekolah.

Kepala gadis yang di sapa itu menunduk sopan, "Annyeong haseyo."

"Annyeong...," ucap Rosie sumringah sebelum mengulurkan tangan untuk berkenalan, "Rosie, kelas X3."

"Nara, X2." Nara menerima jabat tangan Rosie dengan seulas senyum.

"Dihukum juga?" tebak Rosie yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Nara.

"Aku nggak mau nyanyi tadi. Terus dikasih tugas buat cari kakak kelas terganteng yang paling berpengaruh di SMA Biru. Terkecuali Kak Bagas," cerita Rosie sembari berjalan beriringan dengan Nara.

"Sama."

"Sama apa? Kamu juga disuruh nyanyi nggak mau?"

"Ani."

"Ani?!"

"Tidak. Aku disuruh menari tadi. Rok aku pendek, nggak nyaman."

"Ah. I see. Terus kamu disuruh ngapain sekarang?"

"Aku disuruh mencari Jenderal Kancil. Meminta foto, kata motivasi, dan tanda tangannya. Aku nggak tahu harus tanya siapa."

Seulas senyum Rosie kembali tersungging di wajah cantiknya, "Aku antar kamu bertemu dengan Jendral Kancil. Setelah itu, kamu temani aku cari kakak kelas terganteng yang paling berpengaruh di SMA Biru. Gimana?"

"Eung. Kamu tahu Jendral Kancil?" Nara penasaran.

"Tahu banget. Dulu kita satu sekolah di International School. Ayo!"

"Kemana?"

"Ke lapangan basket. Kalau dia nggak ada di sana, kita ke kelasnya."

"Kamu tahu kelasnya juga?"

"Dia anak XI IPA 1."

Nara mengangguk mengerti. Ia mengikuti langkah Rosie menuju lapangan basket di belakang gedung tempat di mana semua kelas untuk belajar berada. Sesekali kepala Nara menggangguk. Mendengarkan Rosie bercerita tentang kakak-kakak kelas menyebalkan yang mendampinginya saat MOS berlangsung sejak tiga hari kemarin.

♡♡♡

Suasana lapangan basket tampak riuh oleh suara-suara siswa yang sedang bermain. Sinar matahari yang menyengat tidak menyurutkan langkah mereka untuk saling berebut bola dan mencetak skor tertinggi. Di sebelah lapangan basket, ada lapangan futsal yang juga telah diisi oleh beberapa para siswa lelaki. Mereka semua mengenakan kaos putih polos, dan celana panjang berwarna abu-abu khas seragam SMA.

"Gege...!" teriak Rosie saat melihat salah satu teman Jendral Kancil.

Siswa lelaki yang dipanggil 'Gege' itu pun langsung menoleh. Seulas senyum bahagia menghiasi wajah tampannya. Tangan kanannya terangkat. Melambaikan tangan pada Rosie sebelum berlari menghampiri sang pujaan hati.

"Hai. Ternyata kamu benar-benar jadi ekornya Rhys," kata Leo--sosok tampan dan gagah yang dipanggil 'Gege' oleh Rosie.

"Masih mau jadi pacarnya si ekor?" canda Rosie yang semakin membuat wajah Leo berbinar-binar bahagia.

"Masih, dong. Gimana? Kapan mau jadi pacar Leo Ge?" goda Leo lagi.

"Nanti, ya, Ge. Aku masih kecil. Lagian tembok kita tinggi banget," sahut Rosie diiringi kekehannya.

Leo mengangguk mengerti, "Gege akan panjat tembok itu buat Rosie."

"Aku ke sini mau ketemu Bang Rhys, Ge. Ada yang cari Jendral Kancil," terang Rosie mengalihkan pembicaraan serius Leo.

"Wah! Rosie sayang ada di sini juga ternyata," goda salah satu teman Leo yang akan minum--Jojo.

"Sayang-sayang, kepala Kakak tu peyang!" sahut Rosie.

Leo memperingati Jojo sebelum memanggil sahabat karibnya, "Jangan ganggu Rosie! Rhys.... Riris!!"

"Iya, Nyo. Santai. Rosie itu makin cantik tahu kalau marah," gurau Jojo yang langsung mendapat pelototan tajam dari Rosie. "Eh. Ada yang lebih cantik dari Rosie ternyata."

"Dasar, Buaya! Semua cewek dibilang cantik," tutur Rosie sebal.

"Duh, Rosie. Semua cewek, kan, emang cantik. Cewek jadi-jadian aja nggak kalah cantik dari Miss Universe." Jojo membela diri.

Pandangan Nara terpaku, saat bersitatap dengan seseorang yang memandangnya dari jauh. Terpesona akan sosok tinggi menjulang, tegap dan gagah berlari pelan ke arahnya--serupa dengan bentuk tubuh sang ayah. Senyum lelaki muda itu terukir kala melihat Rosie melambaikan tangan.

Satu langkah Nara mundur perlahan, ketika pemuda tampan tersebut telah berdiri di hadapannya dan Rosie. Menebar senyum manis sembari mencuri pandang pada Nara. Menampilkan kedua gigi taringnya yang runcing menyerupai gigi vampir. Raut wajahnya mirip seperti Rosie. Mata sedikit sipit, alis tebal bak ulat bulu hitam, hidung mancung, rambut hitam legam yang berantakan karena berkeringat--perpaduan sempurna dari darah keturunan Asia. Hanya kulit mereka saja yang berbeda. Rosie berkulit putih, sementara pemuda itu berkulit tanned.

"Katanya mau mandiri. Baru empat hari di sini udah cari Abang," cela Rhys yang tidak lain adalah sang Jendral Kancil.

"Suuzan banget, sih. Ada yang cari Jendral Kancil," sungut Rosie yang langsung dibalas usapan lembut di pucuk kepala oleh Rhys. "Jangan berantakin rambut aku! Ish!! Ini dikucirin Mama dari subuh tahu."

Gelak tawa keras terdengar serempak, "Hahaha...."

"Nggak lucu!!" Rosie berteriak sebal.

"Nanti dibenerin kucirannya sama Kak Gigi," ucap Leo menenangkan kala melihat kedatangan dua sahabat perempuannya yang membawa minuman serta cemilan--Gigi dan Queen.

"Wah..., ada Dedek-dedek gemes, nih," goda Prince yang baru saja datang setelah selesai memasukkan bola ke ring basket menggantikan Rhys.

Leo berteriak sambil memberikan kode dengan kedua tangannya--membentuk huruf T, "Time out!"

Semua siswa lelaki yang bermain basket segera berlari menghampiri Gigi dan Queen. Sementara Rhys, Leo, Jojo serta Prince menunggu dengan sabar jatah minuman mereka.

"Sabar, woy!" seru Gigi.

"Haus, Gi."

"Seger bener!"

"Thank you, Queen...."

"Anytime. Nih, dibagi sendiri," ujar Queen memberikan seplastik cemilan pada salah satu teman sekelasnya.

"Siap, Queen!"

Gigi membagikan air mineral pada teman-teman dekatnya. Lalu memberikan sisa cemilan kepada Jojo. Sebelum menghampiri Rosie dan Nara.

"Lu benar-benar pindah ke sini, Ros?" tanya Gigi pada Rosie.

Rosie menggangguk, "Kak Gigi, nanti tolong benerin kuciran rambutku, ya. Diacak-acak Abang tadi."

"Lu nambahin kerjaan gue aja, Ros," sahut Gigi bercanda.

Rosie langsung merengut, "Ih, Kak Gigi."

"You ngapain di sini? Kan, belum waktunya istirahat," kata Queen ingin tahu.

"I dihukum, Kakak." Rosie mengadu dengan logat bahasa campuran Queen.

Nara memerhatikan sekitar. Memandang Rhys dan teman-temannya yang sedang minum. Kemudian beralih menatap Queen dan Gigi yang sedang mengobrol bersama Rosie. Di benak Nara sudah tersusun beberapa pertanyaan tentang kedekatan Rosie dengan kakak-kakak kelas yang tidak dikenalnya itu. Ia juga telah membuat kesimpulan akan hubungan Rosie dan sang Jendral Kancil, juga hubungan Rosie bersama Leo.

"Siapa yang menyuruh kamu mencari Jendral Kancil?" tanya Rhys sembari menatap lekat Nara yang sedari tadi terdiam.

"Kak Bella," jawab Nara lirih.

"Kamu juga dihukum?" tebak Leo kepada Rosie.

Rosie mengangguk, "Huum."

"Kalian satu kelas?" tanya Prince.

"Aniyo."

"Enggak."

"Are you from Korea?" tanya Rhys serius.

"Appa Korea, Eomma Bali. Annyeong haseyo," kata Nara sambil membungkukkan badannya.

"Annyeong...." Leo, Prince, Jojo, Gigi dan Queen serempak menyahut bahagia.

"Ah. Because I think you are my Seoul-mate." Rhys menyahut seraya melemparkan senyum manisnya pada Nara.

"Anjay...."

"Daebak!"

"Buaya datang...."

"The real Buaya."

"Ooo..., Nyonya Jendral Kancil."

"Abang sehat?!"

Celotehan konyol mulai terdengar. Semua terheran-heran kala Rhys tiba-tiba saja menggoda seorang perempuan asing. Biasanya kata-kata itu akan terlontar hanya untuk orang terdekat saja.

Rhys dan Leo adalah dua siswa unggulan yang masuk dalam daftar high quality jomlo di SMA Biru. Keduanya begitu populer di kalangan siswi-siswi SMA Biru--terkenal menolak cinta dari para perempuan yang memuja mereka.

"Ayo," ajak Rhys pada Nara.

"You mau bawa dia kemana, Rhys?" cegah Queen.

"Iya. Di sini, kan, juga bisa," imbuh Gigi dengan kedua matanya yang menggoda.

"Berisik di sini," kata Rhys sebelum mengajak Nara pergi.

"Terus aku gimana?!" protes Rosie.

"Kamu juga disuruh cari Abang?" tanya Rhys lagi.

"Tadi niatnya gitu. Tapi nggak jadi, karena Nara harus cari Abang. Kak Pricilla suruh aku cari kakak kelas terganteng yang paling berpengaruh di SMA Biru. Terkecuali Kak Bagas," cerita Rosie.

"Leo," ujar Rhys santai.

"Leo Ge?" Rosie bingung. "Emang di sini nggak ada yang lebih ganteng dari Abang gitu?"

"Jadi kamu pikir kita nggak ganteng gitu?!" Prince dan Jojo menyahut serempak.

"Hahaha...." Semua tertawa, mendengar kekompakan Prince dan Jojo yang dengan percaya diri mengaku tampan.

"Ganteng. Tapi gantengan Abang." Rosie bersiteguh.

"Cih." Jojo mendesih.

"Pantes Leo ditolak mulu," celetuk Prince lirih.

"Gimana kalau sama Kapten tim basket SMA Biru?" tanya Leo serius.

"Sama Leo Ge?" Rosie ragu.

"Leo itu masuk dalam daftar the most wanted di kalangan SMA se-Jakarta. Ganteng, pinter, kaya, dan tidak sombong. Dia salah satu Kapten tim basket terganteng di Jakarta," ungkap Gigi.

"Peringkat Sinyo ada di bawah Bagas," imbuh Jojo.

"Rhys, Bagas, dan Leo adalah cowok-cowok unggulan di SMA Biru," tambah Prince.

"You kalau sama Leo, nggak akan ada yang berani sentuh You. Percaya sama I," ujar Queen.

"Udah sama Leo aja. Kalau ada yang nggak terima, bilang sama Abang," pungkas Rhys sebelum beranjak pergi, diikuti Nara di belakangnya.

♡♡♡

Rhys membawa Nara ke taman di dekat lapangan basket. Menjauh dari teman-teman dekatnya yang bisa dipastikan akan berpotensi menjadi pengganggu. Ia mempersilakan Nara untuk duduk di kursi buatan yang berbentuk potongan batang pohon. Nara menurut, sembari memperhatikan pergerakan Rhys di hadapannya.

"Silakan diminum," ucap Rhys memberikan sebotol air mineral yang baru saja dibuka segelnya.

Dengan ragu Nara mengambil botol tersebut. Meminumnya untuk mengobati rasa haus. Sementara itu Rhys terus memandang Nara yang telah berhasil menarik perhatiannya sejak masuk ke lapangan basket bersama dengan Rosie.

"Jadi, apa yang bisa Abang bantu?" tanya Rhys setelah Nara selesai minum.

"Aku disuruh minta foto, kata-kata motivasi, dan tanda tangan dari Jendral Kancil," terang Nara malu-malu.

Rhys mengangguk mengerti. Kemudian tangan kanannya terulur untuk berkenalan langsung kepada Nara. Nara pun mengikutinya meski dengan ragu-ragu. Rhys menjabat tangan lentik Nara seraya tersenyum sebelum memperkenalkan dirinya sendiri.

"Rhys Adhyasta Nataya," ucap Rhys lugas. "Panggil aja Abang."

"Choi Nara," kata Nara menutupi kegugupannya.

"Kamu bukan adiknya Choi Seungcheol, kan?" tanya Rhys memastikan.

"Cheol Oppa?" sahut Nara.

"Huum, Cheol Hyung. Dia kelas XII IPA 1."

"Kami masih saudara satu keturunan. Apa kita bisa mulai sekarang?"

"Oh. Sure. Mau foto dulu, atau gimana?"

Nara mengangguk. Ia mengambil smartphone dari saku baju seragamnya. Sementara Rhys sudah berdiri di sampingnya. Membungkukkan tubuh agar sejajar dengan Nara. Hal itu membuat jantung Nara berdebar tidak menentu.

"Kita foto berdua. Abang nggak suka foto sendiri," tutur Rhys yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Nara.

Beberapa kali Nara mengambil foto dirinya dan Rhys. Setelah itu Rhys kembali duduk di tempatnya. Lagi, memandang Nara yang tampak gelisah dan malu-malu. Ia menulis biodata singkat Rhys--nama lengkap, nama panggilan, kelas, dan lain-lain. Rhys juga sempat mengeja nama sendiri saat Nara salah menulis rangkaian huruf-hurufnya.

"Kak Rhys‐-"

"Panggil Abang," pinta Rhys yang langsung mendapat anggukan patuh dari Nara.

"Abang tanda tangan di sini, dan tulis kata-kata motivasinya di atas ini," jelas Nara sembari menyodorkan buku dan pulpen pada Rhys.

"Abang akan tanda tangan. Tapi kamu harus mengerjakan soal yang Abang berikan terlebih dahulu," tegas Rhys setelah mengambil pulpen dengan tangan kirinya. "Sorry, Abang kidal."

"Kidal?" Nara mengulang kata yang tidak dimengertinya.

"Kidal itu sebutan untuk seseorang yang beraktivitas menggunakan tangan kiri," jelas Rhys, "Soal ini akan memberikan hasil berupa kata-kata motivasi."

"Soal apa?"

"Kamu suka matematika?"

"Ani."

"Ani?"

"Tidak. Aku suka seni."

Rhys mengulum senyum, "Cocok."

"Cocok?"

"This is the matematics of life."

Rhys menulis tanggal terlebih dahulu di pojok atas halaman buku, lalu berlanjut menuliskan angka dan sebuah soal berbentuk serupa aljabar dengan menggunakan kata-kata. Kedua mata Nara terlihat fokus menatap tangan kiri Rhys yang sedang menulis di bukunya. Ia mengeja tulisan Rhys satu per satu.

1). Find the Life.

Life + Love = Happy
Life - Love = Sad
------------------------------

2). Solve the i.
9x-7i > 3 (3x-7u)

Otak Nara mulai berpikir. Bagaimana penyelesaian dua soal tersebut. Ia sangat benci dengan pelajaran matematika. Tetapi bukan berarti dia bodoh dalam materi tersebut. Kepala Nara mendongak saat Rhys mengembalikan bukunya.

"Silakan dicoba. Kamu bisa menemukan kata-kata motivasi dari salah satu soal itu," ujar Rhys sebelum mengambil botol air mineral yang sempat diminum oleh Nara.

Rhys meminumnya tanpa ragu. Membuat Nara terkejut dan mematung sesaat. Hingga jentikan jemari tangan Rhys berhasil membuatnya tersadar kembali.

"Mianhae," ucap Nara meminta maaf sebelum kembali membaca soal-soal aneh dari Rhys.

Seulas senyum Rhys tertahan. Memandang Nara yang tampak bingung mengerjakan soal abstrak darinya. Ia berharap Nara bisa menyelesaikan soal tersebut. Hasil akhir dari soal-soal itu akan mengungkapkan apa yang ingin disampaikan Rhys kepada Nara.

Rhys mengamati kontur wajah cantik Nara. Mulai dari mata lentik, hidung mancung yang mungil, bibir tipis, serta senyum yang begitu sulit untuk terukir. Hingga Rhys penasaran, bagaimana cara membuat Nara tersenyum kepadanya.

"Sudah?" tanya Rhys kala Nara berhasil menyelesaikan soal pertamanya.

Nara mengangguk, lalu menyodorkan hasil pekerjaannya pada Rhys. Rhys kembali tersenyum. Menatap tulisan Nara yang begitu apik dan rapi. Ia merasa malu dengan tulisannya sendiri.

Life + Love = Happy
Life - Love = Sad
‐--------------------------------------------
2 Life = Happy + Sad
Life    = Happy + Sad
                      2
Life    = 1/2 Happy + 1/2 Sad

"Good. Jadi, kata-kata motivasi apa yang kamu dapatkan dari jawaban itu?" tanya Rhys yang ingin mengetahui pola pikir gadis cantik di hadapannya.

"Life is about balance, a half of happiness and a half of sadness," tutur Nara ragu.

Rhys tersenyum sumringah, "Right. That's a real life. This life is a matter of choice. Whatever makes you sad, leave it. And, whatever makes you smile, hold it tight."

Nara mengangguk sebelum menuliskan apa yang disampaikan Rhys sebagai kata-kata motivasi. Hidup ini adalah soal pilihan. Apa saja yang membuatmu sedih, maka tinggalkanlah. Dan apa saja yang membuatmu tersenyum, genggamlah dengan erat. Arti kata-kata itu seakan terpatri di benak Nara. Menempati tempat khusus sebagai kata yang pantas untuk menasehati dirinya sendiri.

"Nomor dua," ucap Rhys yang membuat Nara gugup lagi.

"Jamkkanman," ujar Nara dalam bahasa Korea--tunggu sebentar.

Dengan gerak cepat, Nara menyelesaikan soal kedua itu hanya dalam beberapa detik. Membuat Rhys terkagum-kagum melihatnya. Senyum manis tidak pernah luntur dari wajah tampannya. Membuat beberapa siswi perempuan yang melihatnya menjadi iri pada Nara.

9x-7i > 3 (3x-7u)
9x-7i > 9x-21u
     -7i > -21u
    -7 i > -21 u
    -7        -7
        i < 3 u

Nara membaca hasil kerjaannya, "i < 3 u. Benar?"

"Huum. Actually, that's like a symbol in English--I love you," terang Rhys yang membuat Nara terperanjat dan kembali meneliti jawabannya.

Rhys pun menulis kembali jawaban Nara, "i <3 u = I Love U. Kalau bahasa Korea-nya apa?"

"Saranghae," jelas Nara.

"Nado," balas Rhys lugas yang berarti 'aku juga', dan langsung membuat Nara terpaku di tempat.

Tbc.

Thu, Apr 6.
24.05.23

Hai semua...
I'm back, Alhamdulillah.
Semoga masih ada penghuninya, ya, di sini. Terima kasih buat kalian yang selalu setia di wattpad-ku. Semoga cerita abstrakku bisa selalu menghibur kalian di mana pun itu.

See you soon, Insya Allah.
🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top