Suara ayam berkokok pagi ini masih terasa jelas di pendengaranku, bersamaan pula dengan teriakan nyaring dari orang-orang Jepang. Rasa kantuk membuat mataku masih setengah terlelap hingga kurapatkan pelukan ke tubuh Ayah. Ibu yang bangun duluan, beliau membangunkan Ayah yang memang sangat sulit dibangunkan. Hal yang paling tidak aku suka adalah disuruh Ibu membangunkan Ayah. Biasanya, Ibu suka menyuruhku membangunkan Ayah. Namun hari itu, aku terus memeluk Ayah dengan erat, seolah tidak setuju Ibu membangunkan Ayah. Anehnya, Ayah cepat bangun, tidak seperti biasanya.
Tak lama Ayah membangunkanku yang masih mengantuk. Aku sebal. Memangnya kenapa sih orang-orang Jepang itu? Menganggu sekali, aku tidak suka. Ibu juga membangunkan Abangku yang disahuti dengan gerutuan. Aku juga mengomel ke Ayah, aku tidak suka disuruh bangun pagi-pagi.
"Aku tidak suka melakukan seikeirei! Aku tidak mau!" omelku sambil melipatkan kedua tanganku. Ayah mengelus puncak kepalaku, dan membisikkan, "kamu tidak perlu seikeirei, tapi kamu harus masuk ke bawah kasur. Sebelum Ayah muncul, dan mengajakmu keluar, jangan pernah keluar ya?"
"Sungguh? Ayah tidak berbohong kan?" Aku menggoyang-goyangkan tangan Ayah dengan bahagia, meski masih sedikit mengantuk. Ayah mendekatkan jari telunjuk di bibirnya, yang menandakan menyuruhku untuk diam. Aku pun menutup mulut dan meniru gerakan Ayah.
"Iya, tapi kamu sendirian ya? Ayah, Ibu, dan Abang akan melakukan seikeirei dulu. Nanti jika sudah selesai, kami pasti datang. Sebelum itu jangan keluar ya, nanti kamu dimarahin orang Jepang itu. Kamu berani kan, Rit?"
Tangan kanan kutempelkan di dahi untuk memberi tanda hormat ke Ayah. "Siap, Ayah! Rita kan anak pemberani!"
Aku merangkak perlahan-lahan ke bawah ranjang sembari memeluk bantal dan membiarkan selimut masih membungkus punggungku. Rita mau tidur dulu, batinku.
****
Aku menguap lebar, sepertinya tidurku benar-benar pulas di bawah kasur, bahkan sampai tidak menyadari jika ternyata di luar begitu gaduh. Banyak suara teriakan dan tembakan. Jeritan Bi Imah terdengar jelas di pendengaranku, beliau memanggil-manggil nama Kak Sari. Aku meringkuk dan mendekatkan tubuhku ke tembok di belakangku.
Apa yang telah terjadi? Apakah ada yang tidak mau melakukan seikeirei? Kata Ayah, Jepang sangat pemarah jika kita tidak melakukan seikeirei. Apakah Ayah, Ibu, dan Abang baik-baik saja?
Bagaimana ini? Apakah aku harus keluar menyusul yang lain? Tapi kata Ayah, aku harus menunggu sampai Ayah datang. Namun aku khawatir, ingin tahu keadaan Ayah saat ini. Orang-orang Jepang itu menyeramkan, aku pernah melihat Abang Bambang dipukul dengan tembak besar karena menjatuhkan hasil panen. Kepalanya berdarah-darah dan sampai sakit panas berhari-hari.
Padahal, mereka baik sekali sewaktu dulu. Si Hindia Belanda itu diusir sampai tidak berani datang lagi. Aku bahagia sekali, bahkan aku bisa bersekolah. Abangku juga, dia terpandai di sekolahnya, dia bisa menjadi sarjana jika lulus nanti katanya. Aku sih tidak tahu apa maksudnya sarjana. Kata Ayah, bahasa Jepangku sangat hebat. Nanti kalau dewasa bisa ke luar negri.
Namun aku tidak tahu, mereka aneh, tiba-tiba saja mereka jahat. Apa mungkin mereka dipengaruhi si Hindia Belanda itu ya? Mungkin mereka sekarang berteman dengan orang-orang Hindia Belanda. Intinya, aku tidak suka sama Jepang yang sekarang, mereka lebih jahat dari si Hindia Belanda itu.
Suara pintu terbanting membuatku terkejut. Nyaris saja suara teriakan keluar dari tapi tanganku sudah menutupi mulut dengan erat. Tidak mungkin itu Ayah, apalagi Ibu. Kalau Abangku --si Bang Reno-- juga tidak mungkin, pasti Ayah akan langsung mengamuk jika ada pintu dibanting. Kata Ayah, jangan menjadi orang tidak sopan seperti si Hindia Belanda itu.
Aku yakin ini pasti orang-orang Jepang, mereka sekarang sudah mirip dengan orang-orang Hindia Belanda. Sama kurang ajarnya, tidak sopan.
Samar-samar aku mendengar suara tangis Ibu, suaranya memohon-mohon. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Ada beberapa suara orang Jepang yang membentak-bentak, ada pula suara benda terbanting. Sebenarnya ada apa sih ini?
Aku terdiam dan memeluk bantalku erat. Mataku terus menatap lurus pada pemandangan di luar kasurku. Aku menunggu Ayah datang dan menyuruhku keluar. Jeritan Ibu dari luar kamar mulai membuatku khawatir. "Jangan masuk!"
Pintu kamarku terbanting. Aku menutup erat mulutku agar suara tangisku tidak terdengar.
"Ketemu!"
Aku berteriak kencang saat sesosok asing muncul di hadapanku. Lalu diikuti beberapa tentara Jepang yang ikut melongok ke bawah kasur untuk melihatku. Mereka mulai menarikku untuk keluar dari kasur. Aku meronta-ronta saat mereka mulai menarikku dengan kasar, kepalaku terantuk kasur beberapa kali.
"Ayah mana? Ayah! Aku mau Ayah! Ayah! Ayah! Tolong aku! Ayah! Ibu! Abang! Tolong! Ibu tolong Rita!"
Seorang tentara Jepang menggendongku dan membekap mulutku dengan erat. Aku kesusahan bernapas.
Samar-samar aku dapat melihat Ibu berteriak di hadapanku, Ibu menangis dan berteriak seperti orang gila. "Lepaskan anakku, kumohon. Tolong jangan bawa dia." Ibu memohon dengan wajah berantakan dan tangisannya membuatku ikut terisak.
Ibu memukuli orang-orang Jepang dan menyuruh mereka menurunkanku. Orang yang tidak berpakaian tentara dan bisa berbahasa sama seperti kami mengatakan, "Jangan mimpi! Anakmu akan dijadikan jugun ianfu! Diam atau kau juga kami seret bersama anakmu!" Ibu didorong keras dan dipukul dengan tembak besar sampai kepalanya mengeluarkan darah. Aku menangis tanpa suara sambil berusaha membebaskan diri.
Dimana Ayah dan Bang Reno? Mengapa hanya Ibu sendirian?
Tentara Jepang—yang menggendongku— membawaku keluar rumah, di luar aku bisa melihat pemandangan desaku yang kacau. Banyak orang yang berdarah dan tergeletak di tanah begitu saja. Banyak yang menangis kencang, banyak yang berteriak histeris, dan salah satu diantara itu aku melihat Abangku diikat. Rontaanku semakin menjadi-jadi begitu melihat Abang, kepalanya berdarah bahkan matanya bengkak. Aku menendang-nendangkan kakiku dan berusah mencakar tangan tentara yang membekapku.
Abang yang tampaknya menyadari kehadiranku, mulai berlari ke arahku namun salah satu dari tentara Jepang itu memukulnya keras di bagian punggung sehingga Abang terjerembap ke tanah. Abang masih merangkak-rangkak ke arahku meski beberapa dari tentara Jepang mulai menariknya dengan kasar. Mulutnya yang sudah diikat dengan kain berteriak-teriak tidak jelas.
Aku pun meronta-ronta sama seperti Abang. Di saat aku hampir terjatuh, tentara Jepang yang menggendongku langsung mengangkatku kembali dan membekapku lebih kencang. Aku tidak dapat bernapas dan kepalaku merasa sangat pusing, tiba-tiba saja semuanya menjadi hitam.
****
Sinar putih terang menerangi pemandanganku sehingga aku memejamkan mata lagi. Beberapa detik kemudian aku membuka lagi mataku, sudah tidak terlalu silau seperti tadi. Tapi, ini di mana? Mengapa aku bisa ada di tempat seperti ini? Mataku mengelilingi ruangan tempatku berada saat ini, aku sama sekali tidak tahu ini di mana. Banyak wanita dengan wajah lebam ada di sini, mereka menangis, ada juga yang diam, dan beberapa tertidur. Aku bangun dari posisi tidurku, berjalan mengelilingi ruangan tempat aku berada.
"Umurmu berapa?" Seorang wanita tiba-tiba mengagetkanku, dia menyentuh punggungku. Kulihat wajahnya sangat cantik, kulitnya mulus, pakaiannya pun sangat rapi. Berbeda sekali dengan penampilan orang-orang yang ada di sini. Mirip seperti bidadari, mungkinkah dia istri Jaka Tarub yang sering diceritakan Ayah padaku.
"Sepuluh tahun," jawabku singkat. Wanita itu memberiku senyuman. Dia memang bidadari. Aku yakin, tidak ada wanita yang secantik dia, senyumnya juga sangat manis.
Dia menggandengku tanpa berkata apapun, aku menurutinya tanpa bertanya akan dibawa ke mana.
"Nama kakak siapa?" tanyaku penasaran, "kakak umur berapa? Kenapa kakak ada di sini? Kenapa kakak sangat cantik? Apa kakak tahu kenapa kita ada di sini?"
"Kamu ini kalau tanya langsung banyak ya? Lucu sekali," ucapnya sembari tertawa, aku ikutan tertawa. "Nama kakak itu Kak Maya. Kalau umur kakak sekarang mungkin tujuh belas tahun, kakak juga agak lupa umur kakak. Kak Maya sudah ada di sini lama sekali, kakak tidak tahu kapan. Kita ada di sini karena kita orang terpilih dan jika kamu bisa menjadi kesukaan mereka, itu sangat bagus. Lihat Kak Maya, kenapa kakak bisa cantik katamu tadi? Karena kakak menjadi kesukaan mereka dan kakak akan membuat kamu menjadi kesukaan mereka."
Aku hanya mengerti jika nama kakak cantik ini adalah Maya, dia juga seumuran Bang Reno dan dia sudah lama di sini. Sisanya, aku tidak paham dengan apa yang dibicarakan Kak Maya, namun aku mengangguk-angguk saja seperti orang yang paham.
Kak Maya membuka sebuah pintu ke luar, ternyata ruangan ini sangat besar. Rasanya, aku sudah berjalan sangat jauh dengan Kak Maya dan kami baru saja keluar dari ruangan ini. Berbeda dengan ruangan tadi, di luar cukup sepi dan hanya ada beberapa tentara Jepang. Selain itu, ada banyak sekali pintu di sini seperti ruang kelas, bahkan lebih banyak dari ruang kelas yang ada di sekolah.
Tanganku tetap menggandeng Kak Maya yang berjalan entah ke mana. Ada beberapa tentara Jepang yang melewati kami, mereka menyapa Kak Maya, beberapa juga mencium pipi Kak Maya. Mengapa Kak Maya mau saja sih dicium tentara-tentara Jepang itu? Kak Maya justru tersenyum saat dicium. Aneh sekali. Harusnya Kak Maya memarahi mereka, ingin sekali kukatakan hal itu pada Kak Maya.
"Mengapa kakak dicium mereka? Kata Ayah, kita harus setia pada pasangan kita. Kak Maya sudah punya pasangan? Mengapa kakak mau dicium mereka?" tanyaku sedikit sebal.
Kak Maya melihatku dan tersenyum. "Kamu sangat polos ya. Benar-benar anak yang lucu. Kak Maya suka deh."
Jawaban Kak Maya tidak jelas, aku tidak paham maksud Kak Maya. Aneh.
Langkah kami berhenti, Kak Maya membuka sebuah pintu yang bertuliskan Jenderal Dai Nippon. Aku menurut saat diajak masuk ke dalam oleh Kak Maya.
"Lihat yang saya bawa, Tuan?" Kak Maya tersenyum lebar sembari menunjukku dengan bahagia, orang yang diajaknya berbicara berbicara sembari membawa cerutunya.
"Memang hebat kamu, tidak pernah mengecewakan. Bagaimana jika nanti malam kau diberi hadiah, Maya?" Tentara Jepang yang memiliki banyak lencana di seragamnya mulai mencium bibir Kak Maya. Menjijikkan sekali. Aku menutup mataku tidak ingin melihat yang mereka lakukan. Kak Maya melepaskan genggamannya dariku. Aku melirik sedikit dan melihat Kak Maya digendong si tentara itu. Aku menutup erat kedua mata dengan tanganku.
Aku melirik lagi, tampaknya Kak Maya sedang membenarkan pakaiannya. Kubuka lagi mataku. Tentara itu menatapku dari atas ke bawah. Aku berlari ke arah Kak Maya dan merapatkan genggaman ke tangan Kak Maya, pandangan matanya membuat aku takut setengah mati. Dia persis seperti harimau yang akan memangsaku. Cerita yang pernah dikatakan Ayahku tentang siluman harimau, mengingatkanku pada tentara ini.
"Bagaimana jika nanti malam dia juga diundang ke acara makan malam, tampaknya tamu-tamuku akan menyukainya."
"Saya akan menyiapkannya." Kak Maya membungkukkan punggungnya, cara hormat orang Jepang.
****
Usai menemui tentara Jepang tadi --yang aku yakin pasti dia adalah Jenderal Jepang—Kak Maya mengajakku keluar. Kak Maya bercerita banyak hal yang ada di sini, namun aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Aku menurut saat disuruh mandi, Kak Maya membantuku membersihkan diri. Katanya, aku akan didandani cantik seperti Kak Maya. Memakai kimono dan dibuat cantik.
Kimono memang sangat cantik, aku suka melihat gadis-gadis Jepang yang memakai kimono. Mereka terlihat cantik sekali, aku juga ingin mengenakannya. Pasti akan sangat bagus.
Kak Maya mengajakku ke sebuah ruangan dan di sana sangat banyak sekali pakaian terutama kimono yang berwarna-warni. Mataku mengelilingi setiap sisi ruangan ini. Kak Maya memberikanku sebuah kimono berwarna kuning biru dan membantuku memakai. Kak Maya yang memilihkan warna ini karena katanya dia sangat suka.
"Warnanya sangat cocok, kamu terlihat sangat cantik. Oh ya, Kak Maya belum tahu namamu, siapa namamu?"
"Rita."
Jujur saja, aku sedikit takut dengan Kak Maya, tampaknya dia sangat dekat dengan orang-orang Jepang. Kak Maya mungkin orang jahat sama seperti orang Jepang. Namun aku tidak berani mengatakan apapun pada Kak Maya. Wajahnya terlihat sangat baik, namun aku tidak tahu harus menilai apa tentang Kak Maya. Kata Ayah, aku tidak boleh berburuk sangka.
Rambutku disanggul ke atas sehingga rasanya berat sekali di kepala. Aku mengaduh kesakitan, saat beberapa kali sanggulnya akan jatuh ke kiri dan kanan. Kak Maya menertawaiku. Lalu aku disuruhnya duduk diam, katanya aku akan dibuat lebih cantik. Aku menurut saja saat Kak Maya memoleskan sesuatu di wajahku. Jujur saja, ini tidak nyaman. Terakhir, Kak Maya memoleskan sesuatu berwarna merah di bibirku. Aku sempat menolak tapi Kak Maya memaksa.
"Tunggu sebentar ya, Rita. Kak Maya juga mau jadi cantik, tidak mau kalah sama kamu."
Aku mengangguk saja. Kak Maya masuk ke dalam sebuah ruangan kecil meninggalkan aku sendirian.
Tanganku mengambil koran yang tertumpuk di dekatku, kuambil yang berada di paling atas.
Asia Raya. 13 Agustus 1945. Indonesia Merdeka! Bom Atom didjatuhkan Hindia Hindia Belanda atas Nagasaki dan Hiroshima.
Aku membaca berita yang tertulis di koran, hatiku rasanya perih.
Mendadak aku teringat Ayah, Ibu, dan Abang. Bagaimana nasib mereka? Apakah Ibu dan Abang baik-baik saja? Ayah ada di mana?
Aku berharap Indonesia benar-benar merdeka. Tidak ada Jepang ataupun Hindia Belanda, mereka memuakkan. Hancurkan saja Jepang, hancurkan saja Hindia Belanda, jangan membawa-bawa Indonesia. Air mataku menetes begitu saja.
"Rita menangis? Ada apa?" Kak Maya tahu-tahu sudah ada di hadapanku, kali ini kakak memakai kimono berwarna merah terang dengan wajah yang sudah dirias. Wajahnya semakin cantik saja. Kak Maya mengambil koran yang ada di tanganku. "Kamu baca koran? Kak Maya juga berharap hal yang sama dengan yang kamu baca." Kak Maya memelukku erat.
"Bohong! Kak Maya temannya Jepang, mana mungkin Kak Maya berharap sama seperti Rita!" sergahku.
"Rita tidak tahu apa-apa. Kak Maya berharap Rita tidak pernah tahu dan tidak pernah mengalami, tapi Kak Maya tahu jika harapan kakak tidak mungkin terjadi."
"Rita tidak paham Kak Maya bicara apa."
"Tidak perlu dipahami, Rit. Kak Maya, kamu, dan yang lainnya hanya akan menjadi bagian sejarah yang tak tersentuh."
****
Langit sudah gelap, aku melihat bulan dan bintang mulai menerangi malam. Langkah pelanku mengikuti Kak Maya dan beberapa wanita lainnya. Mereka semua tampak jauh lebih tua dariku, beberapa terlihat seumuran dengan Kak Maya. Kami masuk ke sebuah rumah kecil dekat perkemahan jugun ianfu—kata Kak Maya. Di sana sangat banyak tentara Jepang, mereka berjalan sempoyongan. Ada juga beberapa wanita yang mengenakan kimono yang sudah terbuka menampilkan tubuh mereka. Kudekatkan tubuh pada Kak Maya dan menggenggam tangannya. "Jangan takut," kata Kak Maya pelan. Aku melihatnya tersenyum namun aku takut.
"Tolong! Jangan! Lepaskan aku!"
Aku terpaku melihat wanita berlari keluar dari sebuah ruangan dengan kimono yang telah terbuka dan menampilkan tubuh depannya tanpa tertutup busana. Di belakangnya ada lelaki Jepang yang sudah bertelanjang dada dan membawa botol kaca. Dia mengejar wanita itu dan memukul kepalanya dengan botol kaca hingga pecah. Wanita itu berteriak semakin keras.
"Rita, ayo!" Aku terlalu fokus melihat kejadian itu sehingga tidak sadar jika Kak Maya dan yang lainnya sudah jauh di depan, dengan sedikit berlari aku menyusul mereka. Kami berjalan hingga suara bising tadi mulai terdengar samar-samar.
Kami berhenti di depan sebuah pintu yang dijaga oleh seorang tentara Jepang. Wanita yang berada di samping Kak Maya berbicara dengan tentara itu dengan bahasa Jepang yang tidak kumengerti artinya. Tentara itu membukakan pintu dan menyuruh kami masuk.
Kugandeng tangan Kak Maya.
Di ruangan ini banyak sekali bau asap cerutu, ada beberapa lelaki sekitar tujuh hingga delapan duduk berkeliling di meja bundar. Mereka sedang menikmati makanan yang ada di meja, sampai kami masuk dan pandangan mereka terarah pada kami.
Kak Maya menggandengku dan mengajakku duduk di dekat Jenderal yang tadi siang kami temui, yang lain juga duduk mengelilingi orang-orang Jepang. Pandangan mereka tampak seperti ingin melahap kami. Kurapatkan tubuhku pada Kak Maya.
Orang-orang Jepang itu memaksa para wanita untuk memakan dan meminum yang mereka berikan, bahkan Kak Maya juga diberikan minuman dari cawan putih. Lelaki tua berkumis di sampingku tiba-tiba menyentuh pahaku, kontan aku berteriak ketakutan.
Anehnya, mereka semua menertawaiku. Iya, orang-orang Jepang itu menatapku dan tertawa. Air mataku jatuh.
"Bukankah Tuan suka jeritannya, sangat polos dan lugu. Bagaimana jika nanti malam Tuan mencoba?" Kudengar Kak Maya sedang berbicara dengan Jenderal.
"Pintar sekali, Maya. Kau memang tahu kesukaanku. Inilah alasan aku belajar bahasa Indonesia demi dirimu, karena kau sangat pintar dan tahu kesukaanku. Kalian lihatlah Maya, dia mampu menyenangkanku dengan baik. Kapan kalian belajar seperti Maya? Lihat kau gadis di ujung sana, mengapa kau terus menghindar dari sentuhan Tuan Hiro?"
Jenderal Jepang itu mengelus paha Kak maya, tangannya yang lain masuk ke dalam kimono Kak Maya. Kulirik Kak Maya hanya tersenyum, dia bahkan tidak berusaha menghindari tangan Jenderal yang menyentuh tubuhnya.
"Kalian bebas dari tempat ini pun tidak akan ada yang mau menerima kalian, terima saja apa yang kami lakukan selama kami memilih kalian," lanjut Jenderal. Lalu Jenderal berbicara pada orang-orang Jepang itu dalam bahasa Jepang yang artinya silahkan dinikmati Tuan-Tuan.
Selama makan malam, aku terus menangis. Beberapa lelaki Jepang terus menggangguku, ada yang mencoba melepas kimonoku, ada juga yang memaksaku minum dari cawan putih yang rasanya sangat tidak enak. Kepalaku sangat pusing.
Mereka terus tertawa.
Jenderal menggendongku dan membawaku keluar. Aku tidak memberontak. Tubuhku diletakkan diatas kasur dan seluruh kimonoku dilepas, aku berusaha menahan kimonoku agar tidak dilepas namun aku seperti orang yang tidak memiliki tenaga. Aku hanya menagis dan memohon.
Bukannya mendengarkanku, Jenderal justru tertawa dan menyentuh seluruh tubuhku.
Malam itu, aku tahu maksud perkataan Kak Maya. Aku sedikit memahami tentang jugun ianfu. Dan tangisku tidak berhenti sama sekali.
****
P R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
Hari ini, aku mencuri dengar radio yang ada di perumahan jugun ianfu. Lima hari aku terkurung di sini. Aku dipaksa menemani Jenderal dan sampai hari ini tangisku masih tidak bisa berhenti. Kak Maya berada di sampingku, tangisnya pecah mendengarkan proklamasi yang dibacakan Pak Soekarno.
"Maafkan Kak Maya ya, Rit. Kak Maya memilihmu karena kakak takut, jika kamu berada di sana, penderitaanmu jauh lebih menyeramkan. Tentara-tentara Jepang jauh lebih gila dari Jenderal. Mereka tidak puas dan menyiksamu sampai air matamu kering. Kak Maya masih kecil sewaktu di sini, kakak merasakan semua penderitaan hingga bisa kakak bisa belajar untuk bertahan hidup," ucapnya parau.
Kak Maya mengajakku keluar dari ruangan saat ada suara teriakan tentara Jepang. Kami melihat banyak tentara Jepang menyeret wanita-wanita yang dikurung dan dikumpulkan di luar perumahan jugun ianfu.
Aku dan Kak Maya juga, kami dipaksa keluar dari tempat ini sejauh-jauhnya.
****
17 Agustus 2018. Jakarta.
Air mata jatuh, kenangan yang selalu muncul setiap tahun. Benar kata Kak Maya, kami adalah bagian sejarah yang tak tersentuh. Hanya seperti kekelaman dan aib. Tahun-tahun dilalui untuk mendengar permintaan maaf Jepang yang masih belum terucap.
Suamiku memelukku dengan erat. Katanya, "Semua baik-baik saja, Rita. Tidak ada yang perlu ditangisi lagi. Kamu adalah bagian sejarah yang terhebat. Kamu, Kak Maya, dan semuanya adalah wanita kuat. Aku bangga denganmu." Suaranya yang sudah tidak jelas karena usia, selalu saja menyemangatiku dengan kalimat yang sama selama bertahun-tahun.
Di depan makam Kak Maya, aku berdoa untuk dirinya.
-Selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top