PAPAKU SEORANG CYBORG
AKU menggeleng kepala kesal begitu Aiko menawarkan spaghetti bersaus bolognese dengan irisan keju di atasnya. "Aku nggak mau makan spageti! Aku maunya sushi!"
Aiko menarik kembali piring spaghetti yang tadinya disodorkan padaku. "Maaf, Tuan Muda. Tapi Tuan Dave telah membeli makanan ini. Ia ingin Tuan Muda segera memakannya." Suara menyebalkannya membuatku ingin melempar kepala besinya dengan kaleng susuku.
Aiko bukan manusia. Ia robot pekerja, bekerja sebagai pembantuku sejak usiaku 5 tahun. Aku membencinya ketika ia memaksaku memakan makanan yang tidak aku suka. Apa susahnya, sih, pergi membeli sushi? Uang Papa juga banyak. Tidak mungkin uang itu habis setelah membeli satu porsi sushi. Huh.
"Aku nggak mau!" Aku melipat tangan dan membuang wajah darinya. Saat kulirik, robot itu menunduk sedih.
"Tapi, Tuan—"
"Aku mau bicara sama Papa!"
Tiba-tiba saja Aiko mengangkat kepala, wajahnya terlihat sedikit senang saat aku mau memandangnya lagi. "Tuan Dave sedang bekerja, Tuan. Saya tidak enak bila harus mengganggunya."
Astaga. Lama-lama robot ini menyebalkan.
"Kau bisa meneleponnya!" Aku langsung berteriak kesal.
"Saya takut akan mengganggu pekerjaannya. Kelihatannya, Tuan Dave sedang meeting bersama klien-kliennya." Aiko meletakkan sepiring spaghetti di atas meja.
"Aku nggak peduli!" Aku bertambah kesal. Meeting adalah kata dalam Bahasa Inggris, yang artinya pertemuan. Begitu kata Miss Lia, guru Bahasa Inggris di sekolah. Ia bukan manusia sepenuhnya. Dia adalah cyborg. Bagian kakinya diganti dengan besi-besi berkabel. Saat kutanya kemana kakinya yang asli, ia menjawab telah diamputasi. Saat kutanya apa itu amputasi, ia berkata diambil sepenuhnya oleh dokter. Memangnya bisa? Entahlah. Sepertinya begitu.
Kalau itu benar, aku tidak mau dekat-dekat dengan dokter. Nanti kakiku bisa diambil. Aku tidak mau. Tapi, dokter sekarang kebanyakan adalah sebuah robot yang deprogram khusus. Bagaimana robot bisa mengambil tubuh manusia?
Pertemuan seharusnya menyenangkan. Mereka bisa tertawa bersama sambil memesan makanan, lalu bisa saling bercerita. Seperti saat aku bertemu dengan teman-teman di mall. Papa akan memesankan sepiring sushi untuk kita makan bersama.
Tapi pertemuan yang dilakukan Papa selalu membosankan. Aku pernah mengintip di ruang kerja Papa. Dalam satu ruangan kaca, orang-orang dengan jas hitam duduk. Wajah mereka menyeramkan. Tidak ada yang tersenyum, apalagi tertawa. Semua memasang tampang serius.
Oh, satu lagi. Kukira meeting atau pertemuan itu hanya terjadi ketika kita bisa bertatap secara langsung. Aku bisa menyentuh temanku, dan temanku bisa menyentuh aku. Tapi, di meeting Papa, ada sebuah layar LCD besar yang menampilkan wajah orang asing. Awalnya aku kaget. Apalagi saat Papa berkata bahwa dia adalah bagian dari peserta meeting. Memangnya itu pertemuan?
Saat kutanya guru Bahasa Indonesiaku, apa arti pertemuan sebenarnya, ia tertawa. Aku heran kenapa dia tertawa. Aku juga tidak suka melihatnya. Tapi kemudian ia meminta maaf dan menjawab, "Pertemuan yang dimaksud berbeda dengan arti pada umumnya. Nanti kalau kamu sudah bekerja, kamu akan mengerti."
Entahlah. Sampai sekarang, aku masih belum mengerti.
Suara Aiko yang menyebalkan kembali terdengar di telingaku. "Ayolah, Tuan Muda. Saya tidak bisa membiarkan Tuan Muda tidak makan selama hampir dua jam."
Aku mengambil tabletku, menyalakannya. Menekan aplikasi game lalu memainkannya tanpa menjawab perkataan Aiko.
"Tuan?"
"Kau berisik sekali! Kalau aku bilang tidak mau, ya tidak mau!"
Aku langsung berlari dan membanting pintu kamar keras. Game-ku jadi kalah. Ini semua gara-gara Aiko! Aku jadi malas main. Tiba-tiba perutku berbunyi lagi. Aku jadi ingat sama Papa yang 'katanya' sedang meeting. Aku harus menelepon Papa. Bisa saja Aiko bohong supaya aku tidak marah lagi.
Langsung kupencet logo telepon, mencari kontak Papa. Tersambung.
Wajah Papa terpampang pada dinding di depanku, tepat di depan kamera tabletku. Ini bukan telepon biasa. Ini telepon hologram yang bisa menampilkan wajah dua atau lebih orang yang sedang bertelepon. Sangat membantu untuk aku yang ingin protes pada Papa. Ternyata Papa sedang ada di kantor, memakai jas. Sepertinya, Aiko benar. Papa sedang meeting.
"Papa!!! Aku mau makan sushi! Aku nggak mau makan spaghetti. Aiko selalu memaksaku untuk makan, padahal aku nggak mau."
"Jangan cerewet, Ben!" Papa membentakku. Wajahnya terlihat garang. "Papa sedang meeting. Kamu nggak bisa seenaknya gitu sama Aiko. Dia sudah susah payah memasakkanmu spaghetti. Makanlah."
Aku makin kesal. Kenapa aku dimarahi? Memangnya salah kalau ingin makan sushi? Lagipula sudah lama aku tidak makan masakan Jepang.
"Aiko 'kan tidak bisa membuat sushi! Ya sudah! Kalau gitu aku pergi sendiri ke restoran Jepang! Aku makan sendiri." Beginilah tidak enaknya punya pembantu robot. Dia hanya bisa melakukan beberapa hal yang ada dalam programnya. Tidak semua hal. Tidak seperti manusia, yang kalau belajar, pasti bisa.
"Ben!" Lagi-lagi, Papa memelototiku. Aku tidak suka melihat Papa melotot. Terlihat jelek.
Baru saja aku ingin menyahut, Papa sudah terlebih dulu membuang napas, lalu berkata, "Ben, Papa lagi meeting sama banyak orang penting. Ben harus makan yang baik. nurut sama Aiko. Kalau tidak, Papa nggak mau beliin Ben sushi."
Papa mengancamku. Kalau begini, aku jadi merasa bersalah. "Oke. Ben mau makan spaghetti yang dibuat Aiko. Tapi, nanti, Papa harus bawain Ben sushi ya."
Papa tersenyum. "Siap, Ben!"
Aku tertawa. "Papa lucu."
"Ya sudah, Papa mau lanjut meeting dulu. Tadi Papa ijin ke toilet cuman buat jawab telfon kamu."
Aku mengangguk. Kemudian, bayangan hologram wajah Papa hilang. Aku langsung meloncat senang. Nanti Papa akan membelikanku sushi. Yey!
Kalau gini, baru aku mau ke luar kamar dan makan spaghetti. Ternyata di luar, Aiko sedang membersihkan lantai ruang tamu dengan alat penghisap debu. Melihatnya membuatku merasa bersalah karena tadi telah membentaknya.
"Aiko!" Aku berlari cepat ke arahnya.
Ia menghentikan pekerjaannya, menoleh padaku, memberi hormat. "Maafkan saya Tuan Muda. Saya hanya ingin Tuan Muda makan dan—"
"Sudahlah. Aku yang harusnya meminta maaf telah membentakmu. Sekarang aku mau makan spaghetti tadi."
Wajah besinya menunjukkan ekspresi senang. "Wah, syukurlah. Baiklah, saya akan mengambilkannya. Tuan Muda mau disuapi atau?"
"Disuapi. Seperti biasa."
"Baik."
****
"Kok Papa nggak bawain, sih?! Aku udah makan spaghettinya sampai habis, lho!" Aku memprotes begitu Papa masuk ke rumah dengan tangan kosong. Tidak ada seporsi sushi di tangannya seperti yang kuinginkan.
"Maaf, Ben. Papa lupa. Tadi habis meeting Papa ada kerja tambahan lagi."
Aku tidak bisa menerima alasan Papa yang menurutku konyol. "Papa gimana, sih. Papa sudah janji!"
"Sudahlah, Ben. Tidak makan sushi hari ini tidak akan membuatmu mati 'kan?"
Aku cemberut kesal. Papa sudah melanggar janjinya.
"Tidak! Pokoknya aku mau makan sushi sekarang. Kalau Papa tidak mau pesankan, aku yang akan pergi ke sana!"
"Ben! Jangan bersikap kekanak-kanakan begitu!"
"Aku cuman mau makan sushi!" Aku berjalan ke luar. Pintu utama terbuka cepat begitu tubuhku mendekat. Pintu itu memang otomatis terbuka bila ada sensor yang identitasnya ia kenali. Sedikit susah dijelaskan, karena aku sendiri tidak begitu paham. Yang jelas, pintu itu akan terbuka bila melihat sensor wajahku, wajah ayah, dan wajah besi Aiko. Jangan tanya ke mana ibuku. Ia meninggal karena kecelakaan hover.
Papa mengejarku cepat, menggenggam keras lenganku. Aku tambah kesal.
"Kamu ini keras kepala banget! Papa bilang enggak, ya enggak! Masuk!"
Aku menatap Papa dengan pelototan sebelum kemudian menaiki air skuterku ke luar rumah, mengabaikan teriakan Papa.
****
Aku menyantap sasimi-ku dengan lahap. Ah, enak. Restoran sushi favoritku ini selalu menyediakan pelayanan yang memuaskan, dengan sushi-sushi yang nikmat. Ruangannya penuh dengn AC, tempat duduknya nyaman. Pelayannya tentu menggunakan robot. Robotnya cantik-cantik, baik, ramah, tidak seperti Aiko yang hanya bisa memaksaku terus.
Restoran langgananku ini menjual harga sushi dengan murah! Karena aku bagian dari member mereka. Aku punya kartunya kalau kau tidak percaya. Dengan memberikan kartu pada mesin kasir, dengan otomatis semua makanan yang kupesan akan didiskon. Menarik, bukan? Tidak perlu menunggu orang-orang kasir menghitung pembelanjaan kita seperti di rumah makan kecil lainnya.
Di sini, semua teknologi telah berkembang.
Restoran ini juga tidak terlalu jauh dari rumahku. Lima belas menit kalau menaiki air skuterku. Air skuter adalah skuter jaman modern. Tidak menggunakan roda dan tenaga kaki seperti skuter dulu—yang diceritakan Papa. Sistemnya seperti hover, atau yang sering disebut Papa 'mobil terbang'.
Aku tidak tahu apa sistem hover. Jadi aku juga tidak tahu sistem mekanik skuter. Perbedaannya, hanya pada sistem hover yang canggih dan lebih rumit. Ada dua sayap di bagian samping, yang bila dikembangkan, akan membantu hover-hover itu untuk terbang.
Jangan heran kalau melihat begitu banyak hover terbang di langit. Kecepatan mereka tak diragukan. Aku pernah ke luar kota menaiki hover. Keren, bukan?
Kenapa malah membahas hover? Seharusnya aku membahas tentang sushi ini. Ini enak sekali! Aku suka dengan saus mayonnaise-nya. Enak.
Baru aku memakan tiga suapan, tabletku berdering. Ada telepon hologram dari Aiko. Dasar, menganggu orang makan saja!
Aku mengangkatnya dengan kesal, menampilkan wajah marahku segarang mungkin. "Kenapa, sih?! Aku lagi makan tahu! Kenapa kamu ganggu?!"
Wajah Aiko terlihat panik. Walau dia robot besi yang menyebalkan, dia punya perasaan. Entahlah itu perasaan atau tidak, karena dia bisa merasakan senang, sedih, panik, bahkan takut. Mungkinkah itu bagian dari programnya?
Ah, aku tidak peduli. Ia telah mengganggu acara makanku.
"Tuan Dave ... Tuan Dave kecelakaan!"
Sushi di genggaman sumpitku langsung terlepas begitu saja. Aku benar-benar bingung. "Kamu nggak bohong, kan?!"
Aiko menggeleng. Wajahnya masih panik. "Sekarang Tuan Muda ada di mana? Biar saya jemput Tuan Muda."
"Restoran We Love Sushi."
"Baiklah. Tunggu saya, jangan kemana-mana."
Panggilan terputus. Tak ada lagi hologram wajah Aiko.
Dan nafsu makanku hilang.
Aku mau ketemu Papa!
****
Dulu aku kira, aku anak paling kuat di seluruh dunia. Aku jarang menangis. Walaupun saat aku jatuh dan teman-teman menertawakanku, aku tidak menangis. Aku anak yang kuat.
Tapi, hari ini aku menangis. Aku tidak tahu, apa aku masih kuat atau tidak. Tapi aku benar-benar sedih. Papa ada di kamar, sedang aku tidak boleh masuk ke dalam. Aiko duduk di sebelahku, memelukku yang menangis.
"Kenapa Papa bisa kecelakaan?"
"Tuan Dave hendak mengejar Tuan Muda saat Tuan Muda lari. Begitu ia ke luar rumah, tepatnya di jalan raya, sebuah hover menabraknya. Sialnya, pengemudi itu tidak mau tanggung jawab."
"Apa Papa masih bisa selamat? Aku tidak mau Papa meninggal. Ah, ini semua salahku!"
"Tenanglah, Tuan Muda. Tuan Dave pasti akan selamat. Tuan Muda harus yakin itu."
Aku mengangguk. Tiba-tiba, pintu kamar Papa terbuka, menampilkan seorang dokter. Aku merasa lega, ia manusia. Di sampingnya, robot dengan pakaian suster menemani. Ternyata dokter tua ini memiliki asisten robot.
"Papa tidak meninggal, 'kan?"
"Pasien tidak meninggal. Kau tenang saja anak muda." Ia tersenyum hangat. "Tapi, ia mengalami cedera parah pada tangan kirinya. Tangan kirinya harus diamputasi. Ini memerlukan biaya besar untuk operasinya."
"Diamputasi? Diambil paksa?"
Dokter itu mengangguk sedih.
"Apa kau akan menggantinya dengan cyborg?" Aiko bertanya. "Ia seorang manager, tak mungkin bekerja dengan satu tangan. Aku mohon, dokter, berapa pun biayanya, tolong kembalikan tangan Tuan Dave."
Aku tak pernah tahu sepeduli itu Aiko dengan Papa.
"Kami akan melakukan yang terbaik."
****
Punya Papa cyborg?
Itu kisahku beberapa bulan lalu. Aku menyesalinya. Benar kata Papa, aku bocah sebelas tahun yang keras kepala. Sampai keras kepalaku membawa Papa pada sebuah kecelakaan.
Akhirnya, tangan kiri Papa benar-benar diamputasi, digantikan dengan aluminium bercampur kabel. Itu yang disebut cyborg.
Papaku seorang cyborg. Banyak yang mengatakan, cyborg berarti cacat. Cyborg berarti masuk dalam golongan robot. Tapi, aku tidak percaya!
Hidup pada zaman robot akan membuat posisimu tergantikan dengan robot. Seperti tangan Papa, tergantikan dengan sebuah cyborg yang memiliki program khusus yang disambungkan pada saraf-saraf Papa.
Itu kata Miss Jenni, guru IPA-ku. Aku tak begitu mengerti. Yang jelas, aku tidak malu punya Papa cyborg.
Papaku tetap menjadi yang terbaik, walau ia seorang cyborg.
-Selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top