LOST STAR
London, menjelang petang.
Untuk Papa dan segala kebahagiaannya.
Kiranya sudah tiga jam lebih bocah berusia sepuluh tahun itu terduduk di kursi panjang yang terjajar rapi pada stasiun kereta listrik yang saat ini menjadi tempat singgahnya.
Sepatu putihnya yang kini tak seputih awalnya menghentak-hentak tak beraturan. Sementara mulutnya terkatup rapat sembari tenggelam dalam pemikirannya sendiri.
Ditatapnya langit senja yang sebentar lagi usai. Tak sampai sepuluh menit, sinar pekat jingga matahari telah menelan habis langit biru dalam sekejap. Burung-burung gereja pun ikut terbang dengan bebasnya mengikuti sang matahari yang menggelamkan diri di ujung barat.
Sudah ratusan bahkan hampir ribuan orang yang datang silih berganti melewati tempat bocah itu, tetapi ia tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.
Ini sudah lebih dari jam pulang sekolah, tetapi Jean tak bernapsu sedikit pun untuk segera menapaki lantai rumahnya. Bahkan jarak rumahnya terbilang cukup dekat jika ditempuh dengan kereta listrik yang kecepatannya melebihi mobil ayahnya yang sangat mewah.
Lalu untuk apa Jean kemari?
Bocah itu juga tak tahu jelas apa tujuannya kemari, yang jelas satu-satunya alasan adalah kedatangan Paman Jeim yang membawakannya sebungkus roti strawberry dengan taburan keju di atasnya dan satu cup es krim durian dengan taburan chocochips yang menggoda.
Membayangkannya saja Jean sudah menelan ludah.
Tak sampai dua menit berlalu pemuda berumur cukup matang dengan memakai seragam masinis itu datang dan duduk di samping Jean. Senyum dari pemuda itu sangat cerah bahkan mata sabit itu ikut tenggelam di dalamnya. Paman Jeim mengusap pelan puncak kepala Jean sembari menyodorkan pesanan Jean di tangannya.
"Kau menunggu lama, hm?"
Jean mengangguk antusias dan meraih makanannya itu. Ia memakan dengan cukup lahap roti di tangannya dan membiarkan es krim duriannya perlahan mencair. Itu kebiasannnya. Kadang Paman Jeim sampai menggelengkan kepala melihat tingkah keponakannya yang ajaib itu.
"Apa kau ingin Paman antar pulang? Atau ingin berjalan-jalan ke taman dulu? Kau mau?" ujar Paman Jeim saat Jean mencapai suapan terakhir rotinya.
Jean menangguk antusias sebelum akhirnya melahap habis roti di tangannya dan memberikan sisa bungkusannya pada Paman Jeim. Paman Jeim hanya tersenyum tipis dan segera mengajak Jean pergi.
Tak ada percakapan yang berarti di antara mereka, setiap Paman Jeim menanyakan beberapa hal, Jean hanya mengangguk atau menggeleng lemah. Selebihnya ia hanya diam---bahkan saat Paman Jeim menanyakan perihal sekolah dan kehidupannya di rumah.
Mobil mewah berwarna kuning yang mereka tumpangi melaju dengan cukup kencang dan membawa mereka menuju ke taman kota. Manik mata Jean tak lepas dari pohon-pohon dan juga rumah-rumah yang bergerak ke belakang menjauhinya.
Kadang saat rasa ingin tahunya sudah memuncak ia tak segan-segan menatap satu pohon dan bergerak mengikuti pohon itu berjalan hingga ke jok belakang. Tentu saja Paman Jeim sangat dibuat kewalahan olehnya.
Namun sayangnya sekarang Jean nampak lebih tenang dari biasanya.
"Are you okay, Je? Ada yang ingin kau ceritakan pada Paman?"
Jean segera menoleh ke arah Paman Jeim, raut wajahnya datar. Kemudian menggeleng lirih.
"I'm fine."
Paman Jeim melambatkan mobilnya dan menatap Jean lebih intens, Jean tahu apa maksudnya itu. Ia hanya menghela napas. Bagaimanapun bocah itu harus bercerita, Jean yakin Paman Jeim akan mengertinya.
Jean menarik tasnya yang ada di bagasi depan. Bocah kecil itu mengeluarkan sebuah kertas ujian dengan sedikit titik-titik basah. Di sudut kanan atas terdapat sebuah tinta merah yang menulisakan sebuah huruf D yang cukup besar.
Paman Jeim menatap nanar bocah itu.
Perlahan ia mencari tempat untuk menepi. Tangan kekarnya meraih kertas itu dan membacanya dengan seksama. Hasilnya memang sangat mengejutkan tetapi Paman Jeim lebih terkejut dengan jawaban-jawaban aneh di sana.
"Bu Guru memarahiku," kata Jean takut-takut. Ia masih menunduk, memainkan jari-jari tangannya. "Dia mengatakan padaku bahwa aku harus belajar lebih dan lebih. Padahal menurutku semua itu sudah benar tapi semua orang malah menyalahkanku. Lalu semua orang menertawaiku, begitu juga dengan ... Justin."
"Kakakmu sendiri menertawaimu?"
Jean mengangguk dan kembali mengambil sebuah amplop dari tas depannya. Amplop itu sedikit lusuh dan terdapat beberapa tetes air di atasnya. Paman Jeim meraih lembaran kertas itu dan mulai membacanya.
"Dan kepala sekolah memberikan itu padaku," ujar Jean dengan suara yang semakin lirih, hampir habis. "Katanya, Papa harus datang ke sekolah kalau aku masih ingin sekolah di sana. Kepala sekolah sedikit lembut mengatakannya tapi matanya seperti seekor singa yang ingin memakanku. Aku ... takut."
Paman Jeim kehabisan akal untuk menjawabnya, ia hanya menatap kata demi kata yang kini seakan menari-nari di otaknya. Lalu matanya menatap Jean yang nampak ketakutan.
"Paman ...."
Satu tetes air mata berhasil membasahi pipi Jean. Sebelum menangis, matanya sudah membengkak dan mungkin ini adalah tangisan yang kedua atau ketiga kalinya.
"Aku ingin Papa bahagia dengan usahaku, tetapi aku malah mengecewakannya."
Seluruh tubuh Jean bergetar hebat.
Paman Jeim tahu ketakutan macam apa yang Jean rasakan. Jean terlahir di keluarga yang bisa dibilang keluarga dengan otak yang luar biasa terlebih ayahnya yang multitalent hingga sukses menjadi dokter terkenal di London serta kakaknya yang berkali-kali menyabet juara satu di sekolah.
Sementara Jean adalah jajaran anak-anak yang mempunyai keterbatasan, sedikit lambat dalam berpikir. Mirisnya, ia sering kali mendapat ketidak adilan.
"Tenanglah," kata Paman Jeim. "Paman akan membantumu untuk berbicara pada Papa, okay? Kau tak perlu khawatir. Kau akan baik-baik saja."
Paman Jeim melepas sabuk pengamannya dan memeluk Jean yang tengah terisak. Tangannya mengelus punggung bocah itu lirih. Jean hanya mengangguk bak anak polos dan sekarang ia mengusap pipinya sendiri dengan kasar.
"Paman berjanji membuat Papa tak marah, kan?"
Paman Jeim hanya mengangguk dan kembali menjalankan mobilnya membawa Jean pulang. Lupakan taman kota, karena itu bukan tempat Jean pulang.
****
Satu-satunya hal yang mereka lihat di depan rumah Jean adalah tatapan frustasi dari Dr. Jung---Papa Jean.
Pemuda yang sudah tidak muda lagi itu masih dengan jas putih juga kacamata bundarnya. Di tangannya ada sebuah ponsel yang ia gunakan untuk menelpon berkali-kali. Tampak sekali dari raut wajahnya ia merasa begitu kesal.
Seluruh tubuh Jean menegang melihat sikap Papa. Hampir saja bocah itu mencengkram erat pakaian milik Paman Jeim atau mungkin merobeknya kalau saja pemuda itu tak menenangkan Jean.
"Tak apa, Paman akan berbicara pada Papa."
Perlahan mereka turun dari mobil. Masih dengan takut-takut, Jean berjalan di belakang Paman Jeim. Mencengkram erat baju bagian bawah pemuda itu.
"Kemana saja kau, Jean? Astaga. Masuklah."
Itu suara Papa. Papa pasti akan marah besar.
Jean masih menunduk dan berlari masuk ke dalam rumah yang sangat mewah itu. Namun ia tak masuk begitu saja, melainkan berdiri di belakang jendela demi mendengarkan percakapan ayahnya juga pamannya. Melihat apakah akan terjadi perang karenanya.
"Kau tahu kan Jung, anakmu itu tak semua sama. Kau tidak bisa menyamakan yang beda dan membedakan yang sama." Paman Jeim tampak frustasi. Ia menyerahkan dua lembar kertas yang ia dapatkan dari Jean pada Papa.
Jean melihat Papa meraih kertas-kertas dengan cukup kasar. "Apa ini?"
Paman Jeim menghela napas dan kembali berujar, "Itu surat dari sekolah. Tapi tolong mengertilah keadaan anakmu. Berhentilah terlalu fokus pada pekerjaanmu dan urusi anak-anakmu."
Papa malah tertawa, padahal menurut Jean tidak ada yang lucu di sana. Mengapa Papa tertawa?
"Kau mau menasehatiku?" Tawa Papa semakin kencang bahkan terdengar sangat keras lalu menatap Paman Jeim dengan tajam. "Lihatlah dirimu, Hyung. Kau bahkan belum pernah berkeluarga. Jangan sok mengaturku."
Papa kini mengucapkan bahasa yang begitu asing di telinga Jean---bahasa Korea. Tatapan dari mata Papa semakin tajam, Jean pikir sifat monster Papa kembali lagi dan akan memakan Paman Jeim hidup-hidup.
"Kau tahu kan, Hyung. Bagaimana perjuanganku dari Busan hingga sampai ke London? Aku tak akan menyia-nyiakan pekerjaanku begitu saja. Tidak semudah itu."
Saat sedang asyik-asyiknya mendengar perdebatan kedua orang dewasa itu, tiba-tiba ada satu tepukan lumayan keras pada bahu Jean. Jean segera menatap ke arah belakang dan yang ia temukan adalah Justin---kakaknya.
"Tidak sopan menguping, bocah."
Jean langsung menunduk. Ketakutan keduanya setelah kemarahan Papa adalah semua ucapan dari Justin, kakaknya sendiri. Jari jemarinya bermain di bawah. Ia cemas dan gugup.
"Lagipula dari mana saja kau?" Justin menelitik adiknya itu dengan seksama. Dari kepala sampai kaki. "Kau tak tahu betapa frustasinya Papa? Papa mencarimu ke mana-mana dan kau ... malah bersenang-senang dengan Paman Jeim."
"A ... Aku ...."
Justin terkekeh dan menepuk kembali bahu Jean, lebih keras dari sebelumnya. "Kau tak tahu, ya? Mama meninggal gara-gara melahirkanmu. Kau itu menyusahkan. Dasar tidak tahu diri. Kenapa tak pergi saja, hm? Papa pasti bahagia kalau kau tak ada."
Benarkah ucapan Justin?
Haruskah Jean pergi saja? Sejauh-jauhnya demi kebahagiaan Papa?
****
Lagi.
Jean kembali ke stasiun kereta listrik tempat Paman Jeim. Namun alasannya bukan kedatangan pemuda itu dan juga roti yang dibawanya, alasannya adalah ia akan pergi.
Setelah perdebatan ayahnya dan pamannya itu, Jean bersalah setengah mati. Papa terlihat murung. Papa bahkan tak bertanya sama sekali padanya. Ia tak ingin membuat Papa menderita karenanya. Ia ingin Papa bahagia, mungkin ucapan Justin sangat benar. Jean harus pergi.
Bocah itu membawa beberapa kartu ATM miliknya dan uang dalam celengan berbentuk babi pink, sebuah ponsel, dan satu tas berisi baju-baju.
Semalaman, Jean tak bisa tidur. Ia terus memikirkan perkataan Justin. Di sekolah pun ia berkali gagal fokus demi memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Dan sekarang, Jean benar-benar memantapkan hatinya untuk pergi.
"Papa pasti akan bahagia kan? Papa pasti sangat menderita karena kehadiranku selama ini."
Seperti déja vu, ia melihat kembali burung-burung gereja yang terbang mengikuti ke mana arah matahari tenggelam. Mereka terbang dengan bebas.
"Mereka pasti bahagia. Aku juga harus seperti itu."
Jean tersenyum, ia tak boleh menangis. Ia juga harus bahagia.
Sekitar satu menit lagi kereta akan berangkat. Jean masuk ke dalam kereta listrik itu dengan barang-barangnya dan berjalan mengikuti orang-orang di sana.
Tak ada yang curiga dia pergi sendiri. Karena semuanya serba otomatis. Hanya dengan menempelkan kartu kereta yang ia ambil di meja Papa, ia bisa masuk dengan bebas. Seperti menaiki bus sekolah.
Untuk tujuan ... Jean tak tahu ke arah mana kereta ini pergi, ia mengikuti saja feeling-nya. Yang jelas, ia ingin pergi jauh.
Ia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan menulis di sana.
7 Oktober. Pukul 7.10 PM.
Jean pergi. Papa pasti akan bahagia. Musim gugur tampak bagus. Di mana aku bisa mendapatkan es krim dan roti? Entahlah, mungkin sebentar lagi.Goodbye, London.
Setelah menulis semua itu. Jean merasa mengantuk berat. Ia kemudian memejamkan matanya.
****
Matanya perlahan terbuka dan menemukan dirinya dalam sebuah kereta yang cukup sederhana. Kereta itu berbunyi cukup nyaring dan seperti ada angin pekat di atasnya. Jean menatap takjub. Ia benar-benar pergi jauh.
Sebentar lagi kereta akan berhenti di suatu stasiun. Jean pun bersiap-siap untuk turun. Suasana di sini juga nampak asing. Sepi. Nyaman. Tenang. Di sekeliling Jean, ia menatap hamparan sawah membentang. Hijau. Sangat menyejukkan.
Sayangnya, ia sangat lapar. Ia butuh makan. Ia harus membeli roti strawberry dan juga es krim durian. Tak jauh dari sana, ada sebuah penjual roti dan es krim. Jean segera berlari dan menghampiri penjual itu.
"Satu es krim durian dan satu roti strawberry."
Ia meraih kartu ATM di sakunya, tetapi yang ia temukan adalah uang lembaran. Jean tak berpikir panjang, ia langsung saja membayarkan uang itu dan menerima es krim dan rotinya.
"Gomawo." (Terima kasih)
"Hm, kombawo?" tanya Jean polos.
Penjual itu terkekeh dan mengoreksi ucapannya. "Maksudku, terima kasih. Kau berasal dari jauh ya?"
Paman penjual itu sama lucunya dengan Paman Jeim. Rasanya Jean merindukan pamannya itu. Sayangnya ia sedang pergi jauh.
"Ah begitu, sama-sama. Iya, aku dari jauh. Sangat jauh."
Penjual itu tersenyum. "Hati-hati."
Saat tengah asyik menyantap rotinya di sebuah kursi panjang yang cukup tua di stasiun itu, tak jauh dari sana ada seorang anak yang menatapnya dingin. Anak itu memegang perutnya.
Jean menatapnya balik, ia mengerti sepertinya anak itu kelaparan juga sama sepertinya. Ia menghampiri anak itu dan berbagi es krim durian miliknya. Tanpa berpikir panjang.
"Untukmu."
"Ah? Aku? Gomawo." Anak itu terkejut tetapi sangat senang. Ia meraih es krim durian di tangan Jean.
"Gomawo too," celetuk Jean yang membuat anak itu terkekeh. Jean juga ikut terkekeh dan mereka terkekeh bersama.
Jean tak mengerti apa yang orang-orang di sini katakan, tapi ia tak merasa asing. Papa sering mengucapkan kata-kata sama seperti di sini walaupun Jean tak tahu artinya. Bocah itu berkata bahwa ia bisa berbahasa inggris karena ia sudah belajar dari kecil.
"Siapa namamu?" tanya Jean di sela mengunyahnya.
"Jung."
Tak asing. Itu seperti nama Papa.
"Kenapa? Oh iya, siapa namamu? Kau dari mana?" Jung mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Jean.
"Tidak. Namaku Jean. Aku dari London," kata Jean sembari membalas uluran tangan Jung.
"London?" Jung tampak kaget dengan ucapan Jean. "Apa kau menyebrangi laut?"
"Entahlah. Apa kereta bisa berjalan di laut?" ujar Jean polos. "Di mana aku sekarang?"
"Kau ada di Busan. Korea Selatan."
Jean tampak bermain dengan pikirannya. Ia seperti pernah mendengar nama tempat itu. Kalau tidak salah saat perdebatan Papa dan Paman Jeim.
Jean melirik ke arah jam tangannya. Masih tanggal 7 Oktober jam 7.10 PM.
Apa jam tangannya rusak?
"Mau menghabiskan waktu bersama, Je?" tawar Jung pada Jean. Jean tentu saja mengangguk antusias pada ajakan Jung.
Jean menghabiskan waktu menyenangkannya bersama Jung. Mereka tertawa bersama dan berbagi cerita. Mereka punya kesamaan, tak ada tempat untuk pulang dan mereka bahagia dengan itu semua.
Jean rasa, pergi tak selalu menyedihkan. Kadang pergi akan mengantarkan kebahagiaan yang lebih dan lebih. Kini malam sudah tiba. Bintang mengisi seisi langit gelap. Bintang-bintang itu menemani bulan yang dari dulu selalu sendiri.
Mereka sepertinya bahagia.
Jean dan Jung tidur di sebuah pandang rumput yang menghijau sembari menatap pemandangan apik itu.
"Kau punya harapan, Je?"
Jean mengalihkan pandangannya pada Jung. Sejenak ia menggali semua yang ada di otaknya. Mencoba mencari-cari apa yang ia harapkan.
"Aku ingin melihat Papa bahagia."
"Kau hebat." Jung tersenyum dan menatap Jean. "Kau peduli pada orang lain di tengah-tengah orang yang tak pernah memedulikanmu."
"Benarkah?"
Jung mengangguk dan kembali menatap langit. Ada bintang jatuh.
"Ayo buat harapan bersama."
Jean memejamkan matanya. Ia berharap apa yang ia inginkan terkabul. Semoga saja.
"Apa harapanmu, Jung?"
Jung tersenyum kembali. "Seorang dokter. Kehidupan yang bagus. Mungkin menikah dan punya anak ... mungkin kuberi dia nama yang spesial sepertimu. Kau orang hebat dan juga baik. Semoga kita bertemu di London."
Jean ikut menatap langit dan tersenyum lebar. Perlahan matanya terpejam bersama dengan Jung.
****
Saat membuka mata lagi. Jean sudah di tempat berbeda. Kini tempat itu berdominan putih. Dengan lampu-lampu yang sangat terang. Di sampingnya ia menemukan Justin, bukan Jung. Sepertinya juga bukan di Busan. Ini London.
"Kau bangun juga akhirnya." Justin tersenyum cerah. Ia memeluk Jean begitu erat dan melepaskannya dengan cepat. Jean tampak kebingungan.
"Di mana aku?"
"Di rumah sakit."
Mengapa di rumah sakit? Ada apa? Apa yang sakit? Apa rumahnya sakit? Apa rumahnya juga butuh obat?
Jean masih bergelut dengan pemikiran anehnya. Sebelum ia menanyakan hal-hal itu, lebih dulu Justin menceritakan beberapa hal.
"Kereta yang kau tumpangi, terguling. Waktu itu ada kabar bahwa kau menjadi korban, saat itu Papa mencarimu sekuat tenaga. Untungnya tim SAR menemukanmu."
Jean tampak menyimak kata demi kata yang keluar dari mulut Justin. Mencoba memahami semua itu dengan kepolosannya.
"Kau mengalami pendarahan yang cukup parah. Kami semua. Papa, aku, dan Paman Jeim membawamu ke tempat ini. Kami semua menangis."
"Lalu di mana Papa?"
"Papa melakukan operasi untukmu hampir lima belas jam. Ia berusaha keras membuatmu tetap hidup." Justin menghela napas panjang dan susah payah menahan tangis. "Papa sangat-sangat bahagia karena kau selamat, tapi Papa kelelahan setelah itu dan ... meninggalkan kita. Selamanya. Ia pergi ke surga."
Justin menunduk dan menggigit bibirnya dalam. Ia tahu bahwa selama ini ia salah. "Aku kira Papa membencimu karena ia memperlakukanmu berbeda denganku. Nyatanya, Papa sangat menyayangimu. Sangat. Ia tak pernah membencimu sama sekali."
Justin menghela napas untuk kesekian kalinya. Sangat-sangat menyakitkan mengingat semua terlebih perlakuannya terhadap adiknya sendiri. "Papa pernah berkata, kau itu orang hebat seperti orang yang dulu Papa temui saat kecil. Kau orang baik. Kau lebih mementingkan kebahagiaan orang lain daripada dirimu sendiri. Seperti dulu saat kau membelaku karena aku mencuri kue pie di tempat Bibi Ema. Maafkan aku."
Hening.
Jean tampak berpikir sejenak. Otaknya seakan menari-nari. Ia butuh waktu untuk mengerti, sampai akhirnya ia mendapat satu kesimpulan.
"Apa Papa sekarang di surga bersama Mama, Kak?" tanya Jean polos.
Satu tetes air mata berhasil membasahi pipi Justin. Ia tak dapat menahannya lagi. Terlalu sakit.
"Eoh, mereka sudah bahagia. Mereka dapat bertemu kembali. Karenamu." Justin tersenyum dan mengusap gusar pipinya yang basah.
"Aku juga bahagia mendengar Papa bisa bahagia. Harapanku terkabul."
Jean tersenyum. Ia tidak menangis. Karena ia tahu Papa sudah bahagia. Ia juga harus bahagia karena Papa bahagia.
Ia juga harus bahagia kan?
****
Malam tiba.
Mereka sudah di rumah dan demi menyambut kepulang Jean dari rumah sakit, Paman Jeim membuat roti strawberry keju kesukaan Jean, tak lupa pula dengan es krim durian chocochips.. Setelah meninggalnya Papa, Paman Jeim kini yang mengurus Jean dan Justin. Segala hal Paman Jeim lakukan demi mereka berdua.
Tentu saja agar mereka bahagia.
"Justin, di mana Jean?"
Justin yang baru sampai di meja makan hanya menggeleng dan menatap ke arah kamar Jean. "Sepertinya di kamar."
"Baiklah, Paman akan memanggilnya."
Pemuda itu menarik celemeknya dan segera berjalan menuju kamar Jean. Kamar Jean tampak sangat gelap. Paman Jeim meraba-raba tembok demi mencari tombol untuk menyalakan lampu kamar Jean.
"Jean makan malam sudah---astaga."
Betapa terkejutnya Paman Jeim ketika menemukan Jean tergeletak di lantai. Mulutnya berbusa. Di tangannya ada sebuat pembasmi serangga dan sebuah buku catatan yang sepertinya baru saja ia tulis.
7 Oktober. 7.10 PM.
Jean pergi. Papa pasti akan bahagia. Musim gugur tampak bagus. Di mana aku bisa mendapatkan es krim dan roti itu? Entahlah, mungkin sebentar lagi.
Goodbye, London---yang kedua kalinya.
Untuk Papa dan segala kebahagiaannya.
—Jean.
Kadang kita terlalu terpaku pada bulan yang menyala begitu terang, padahal itu semu. Kita lupa tentang bintang yang susah payah menampakkan cahayanya sendiri hingga perlahan tapi pasti ia menghilang.
Jean adalah salah satu bintang yang menghilang itu.
-Selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top