Impian Para Serdadu Kecil


Tahun 2020, perang saudara pecah di negeri ini. Perang antar ras, suku dan agama pecah akibat kesalahpahaman. Berita hoax dimana-mana, tidak ada lagi rasa saling percaya satu sama lain, bahkan orang tua dengan anaknya sekalipun.

Negeri ini sudah sampai di ujung tanduk!

Entah apakah aku bisa mewujudkan mimpiku ini, karena sepertinya orang-orang yang ada di kamp ini sudah membuang impiannya dengan membuang nyawa untuk impian para 'tikus' kotor di atas kami.

" I'm fight to my dream!"

02 Februari 2020 - Toni Sucipto

****

Di tutupnya buku catatan harian dengan sampul kulit buaya. Buku yang dibelikan orang tuanya beberapa tahun yang lalu saat berlibur ke Singapura. Di ambilnya sepatu lars berdebu di bawah kasur. Sepatu itu seperti sudah dipakai bertahun-tahun saja, padahal sepatu itu baru saja dia dapatkan sebulan lalu, saat pertama kali masuk kamp pelatihan.

Toni, itulah nama anak itu, merupakan salah satu anak yang dipilih memasuki kamp latihan perang. Ya! Latihan perang! Entah apa yang dipikirkan pemerintah hingga sampai hati membuat anak berumur 10-15 tahun untuk ikut serta berperang dengan sesama mereka, teman sebangsa dan negara mereka.

Daripada bermusyawarah, pemerintah lebih memilih jalan berperang hanya demi ego mereka yang tinggi. Tidak ada lagi Indonesia, tidak ada rasa persatuan dan kesatuan, semua itu hancur karena hoax.

****

Pukul enam pagi para serdadu sudah bersiap menerima makanan mereka sehari-hari. Latihan seperti push up, sit up dan lain-lain sudah merupakan hal yang biasa bagi anak-anak yang berada di kamp pelatihan ini. Kecuali Toni, tubuhnya terlalu lemah untuk menjadi seorang serdadu. Kesalahan demi kesalahan dalam latihan sering ia lakukan, tubuhnya dipenuhi luka-luka, hidungnya berdarah akibat dari sepakan salah satu ujung lars, ditambah dengan makian para pelatih membuat tenaga dan mental mereka benar-benar terkuras hingga tak tersisa.

Sehabis latihan yang menguras tenaga dan mental, mereka segera dikirim langsung menuju medan yang sebenarnya, medan perang yang sebenarnya! Ini merupakan yang kelima belas kalinya ia menuju medan pertempuran. Dalam pertempuran itu, tidak sekalipun ia menarik pelatuk senjata yang dipegangnya. Yang ia bisa lakukan hanyalah melihat teman-teman seperjuangannya tewas akibat mortir yang meledak atau terkena rentetan peluru menembus tubuh mereka. Ia hanya bisa berdo'a berharap dengan seluruh jiwanya agar semua ini berakhir, sampai suara desing peluru tidak terdengar lagi barulah dia berdiri seraya menunggu bala bantuan atau truk jemputan tiba.

****

Ya Tuhan ..., apa yang terjadi dengan dunia ini? Kenapa kami yang seharunya bermain, bercanda-tawa, belajar dengan tenang harus melakukan ini? Kenapa kami harus melayani kehendak orang dewasa yang kotor? Apa salah kami Ya Tuhan?

"Why?"

04 Februari 2020 - Toni Sucipto

****

Entah mengapa hari ini Toni memilih untuk ikut bergabung dengan anak-anak yang saling bercanda di barak usai menulis keluh-kesahnya di dalam catatan peninggalan orang tuanya tersebut. Toni merupakan anak yang suka menyendiri dan tidak pernah berkumpul dengan anak-anak di barak, ia lebih memilih menulis dan terus menulis, karena baginya menulis merupakan jalan paling mudah dalam mengutarakan sesuatu tanpa harus takut diketahui orang lain.

Toni keluar dari dalam tendanya, ia menatap anak-anak yang memgelilingi api unggun sembari membicarakan sesuatu yang sepertinya sangat serius. Wajah mereka memancarkan ekspresi ketakutan, keringat mereka terus mengalir dari pelipis. Melihat hal itu membuat Toni ingin mengurungkan niatnya bergabung dengan anak-anak tersebut. Sedetik sebelum dia berbalik menuju tenda tidurnya, ia di sapa salah seorang teman seperjuangan dari Infanteri hijau atau yang sering disebut di sana sebagai bala bantuan.

"Hai Toni? Ngapain kamu disitu? Yuk kita gabung sama mereka?" sapa orang itu.

"Eh? I..i..iya?" jawab Toni kikuk, "Kalau tidak salah na...na..nama kamu, ehnnn..." Toni mencoba mengingat nama lawan bicaranya tersebut.

"Hayo..., siapa nama aku? OK deh, aku kasih clue. Karung, petunjuknya adalah karung!" balasnya dengan ramah.

"Tu...tu..tuyul?" jawab Toni kikuk.

"Lah di dunia ini nggak ada manusia punya nama tuyul. Hayo..., coba ingat lagi!"

"Loli?"

"Eh? Kenapa malah Loli?"

"Soalnya dulu kalau nggak salah baca di internet, ada wibu yang kalau ada foto loli bawaannya pengen ngambil karung gitu." Jelasnya dengan polos, yang sontak membuat temannya itu tertawa terbahak-bahak. "Goni..., namaku Goni kawan." katanya sembari menahan tawanya.

Tawa dari Goni ternyata terdengar oleh anak-anak yang berkumpul tadi, salah seorang dari mereka pun berkata, "Oi Goni, apa yang elu lakuin disana? Sini gabung, seru nih." Goni yang mendengar itupun juga mengajak Toni untuk bergabung. Toni dan Goni pun berjalan menuju tempat di mana anak-anak lain berkumpul.

"Yo kawan-kawan," sapa Goni, "Kenalin nih, ada yang baru loh." Teman hanya bergeming, khidmat mendengarkan perkataan dari salah seorang yang juga duduk di sana.

"Keesokan harinya Hansel dan Gretel pun mencari anak kecil yang hilang diculik oleh penyihir tersebut," ujarnya, "Hansel dan Gretel pun menemukan sebuah petunjuk berupa tahi manusia, anehnya tahi itu memiliki jarak yang sama antar tahi selanjutnya, jaraknya antara 2-4 meter."

"Salah seorang saksi berkata bahwa anak itu diculik saat ia mau buang air besar. Mendengar hal itu, Hansel dan Gretel pun berjalan mengikuti 'jejak' tersebut. Dan Hansel dan Gretel kaget bukan main, karema yang mereka temua berdua bukanlah rumah penyihir ataupun gubuk tua, melainkan hanya toilet umum."

Mendengar ensing cerita yang tidak masuk akal tersebut, anak-anak lain yang mendengarkan langsung melontarkan protes terhadap pencerita tersebut.

"Hai kawan-kawan, kita punya kawan baru loh!" kata Goni memperkenalkan anak yang ada disebelahnya.

"Wah, kamu anak yang selalu selamat selama beberapa pertempuran sebelumnya?" tanya salah seorang anak setelah melihat Toni, "Kalau nggak salah namanya Toni, iyakan?" anak yang lainpun juga ikut menambahkan. "I...iya," jawab Toni, "Sebenarnya aku selamat karena aku selalu bersembunyi." sambungnya.

"Oh iya, Toni kamu mau bercerita?" tawar salah seorang anak. "Bercerita?" Toni bertanya balik.

"Iya bercerita, siapa tahu ada yang mengganjal selama ini atau pengen cerita kisah horor kayak tadi, yah walau malah mirip gaje daripada horor. Kami siap kok dengerin, asal jangan lama-lama aja hehe, besokkan kita harus bangun pagi-pagi." jawab salah seorang anak perempuan yang ada di sana.

"Bagaimana kalau perkenalan aja?" usul Goni yang langsung disetujui oleh mereka semua.

Goni pun mempersilahkan Toni duduk disampingnya, mereka semua duduk mengelilingi api unggun.

"Perkenalkan nama Toni Sucipto, panggilannya Toni. Aku merupakan anak angkatan ke-57 yang dibawa kesini."

"Wah angkatan ke-57, kakak kelas kita dong haha. Oh iya perkenalkan nama Dani, salam kenal kakak, hahahahahaha. Serasa jadi lebih muda yah, padahal umurku sudah 17 tahun."

"Hoek, elu yang paling tua disini nyet!" sanggahnya membuat Dani tersenyum kecut, "Oh iya perkenalkan namaku Sintya, yang disebelah kananku namanya Bram, yang sebelah kiri Tania."

"Lebih baik tua tapi ganteng, daripada muda tapi sok cantik." sindir Dani yang langsung dibalas dengan sebuah hantaman ke wajahnya. "Siapa yang elu bilang sok cantik hah nyet? Sini gue matiin lu njing!"

"Oh, iya, Toni, apa kamu punya impian?" tanya Tania lembut.

"Punya! Impianku pengen punya toko kue." ucap Toni dengan bangganya, "ahahaha cowok kok punya impian kayak gitu?" ucap Dani yang kembali dibalas dengan hantaman Sintya, "Elu enggak usah banyak bacot nyet! Mending dia kali! Daripada elu impian pengen jadi ilmuwan penemu alat mengubah waifu 2D menjadi nyata! Dasar ilmuwan pengurang laki-laki normal!"

"Impianku ingin membawa Indonesia menjadi juara piala dunia suatu saat nanti!" sahut Bram lantang.

"Impianku bisa punya anak dan banyak istri" ujar Goni, "Ternyata elu mesum juga Goni!" komentar Sintya.

"Oh iya Tania, Apa impianmu?" tanya Sintya.

"Maaf itu privasi, nggak boleh diberitahukan sebelum tercapai." jawabnya dengan gaya sok keren. "Yeee Tania pelit! Masa cuma kita yang ngasih tahu impian kita."

"Bukannya elu belum?sahut Bram sambil memandang Sintya

"Oh impianku cuman pengen jadi cepet-cepet nikah doang kok, nggak lebih gak kurang." jawab Sintya nyeleneh.

"Boleh aku bertanya lagi?" kata Toni. Semuanya serempak menjawab "Silahkan.

"Kenapa kalian bisa tetap bahagia dengan keadaan seperti ini? Bukankah kalian setiap hari melihat teman-teman seperjuangan kita gugur dalam perang. Tetapi kenapa kalian bisa dengan mudahnya bercanda tawa tanpa rasa sedih sedikitpun?"

Suasana hening seketika, hanya suara daun-daun pohon yang terkena hembusan angin malam yang terdengar begitu jelas. Di balik salah satu tenda, komandan mencuri-curi dengar apa yang sedang dibicarakan oleh anak buahnya.

"Kami sedih kok! Kami juga menangis kok! Kami juga menangisi kematian teman-teman kami yang gugur di medan perang kok, hanya saja kamu tidak pernah melihatnya!" lanjut Tania, "Akan tetapi kalau kita hanya bersedih dan diam meratapi nasib kita, bagaimana kita bisa merubah negeri ini."

"Lagipula kita punya impian, dan impian itu harus kita raih dengan melewati perang ini. Walaupun tidak ada perang pun, kita masih harus berusaha kok mengejar mimpi! Jadi tunjukkan semangatmu! Mari kita kejar mimpi kita!" jelas Tania dengan lantang seperti pidato Bung Karno.

"Bahkan pengen cepet nikah pun harus melalui ujian yang berat seperti perang dan mengandung anak." desis Sintya yang disambut tawa mereka semua.

****

Seperti biasa, mereka melakukan latihan seperti hari-hari sebelumnya. Lengkap dengan makian dan siksaan dari para pelatih. Setelah latihan langsung dikirimkan ke medan perang kembali.

Namun kali ini ada yang berbeda, mereka berenam terdapat dalam satu kelompok infanteri. Entah apa yang membuat mereka dapat dalam satu kelompok, karena merupakan hal yang aneh seorang serdadu infanteri hijau tiba-tiba dipindah ke infanteri merah (kelompok garis depan).

Masing-masing dari mereka memegang senapan dan sebilah pisau untuk bertahan hidup menghadapi kerasnya medan pertempuran. Terlihat Toni dan Goni sudah memasang wajah pucat sebelum bertempur. Latihan sebelumnya membuat mereka mengeluarkan isi perut mereka sebelum bertempur. Tania, Bram dan Sintya sibuk berdo'a agar mendapatkan kemudahan dalam bertempuran. Sedangkan Dani sedari tadi hanya menyombongkan diri dan menertawakan teman-teman mereka yang ketakutan.

"Pasukan turun! Tugas kalian hari ini hanyalah berjaga di daerah perbatasan ini! Ada yang mencurigakan langsung tembak!" perintah Komandan melalui walkie-talking.

****

Tony mendesah. Ia merasa sendirian sepeninggal mereka.

Mereka semua tewas dalam pertempuran tersebut. Saat itu ia kembali tidak bisa berbuat apa-apa untuk teman-teman seperjuangannya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangisi kepergian teman-temannya.

Kalau tidak Tania, mungkin dia hanya akan menutup mata dan berdo'a kembali tanpa menangisi apa yang terjadi terhadap teman-temannya. Tidak ada peninggalan yang diberikan oleh kelima temannya itu kecuali kenangan pada malam itu dan kata-kata Tania pada malam iitu.

Lagipula kita punya impian, dan impian itu harus kita raih dengan melewati perang ini. Walaupun tidak ada perang pun, kita masih harus berusaha kok mengejar mimpi! Jadi tunjukkan semangatmu! Mari kita kejar mimpi kita!

Kata-kata itu terus tengiang di batin Toni, seakan-akan mereka masih terus bersama dengannya saat ini.

"Ini foto berlima, kuharap kau bisa kembali ke tendamu segera!" ucap Komandan kami dengan sinis.

Setidaknya dengan menyimpan foto mereka, aku akan terus berusaha mengejar impianku dan juga impian mereka.

****

"Aku ingin membawa Indonesia ke Piala Dunia."

"Aku ingin jadi ilmuwan."

"Aku ingin punya anak dan istri banyak."

"Aku ingin cepet-cepet nikah."

"Aku ingin kita semua bersama selamanya..."

05 Februari 2020 - Bram, Dani, Goni, Sintya, dan Tania.

-Selesai-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top