BEBAS
Paris
Oktober 1915
Malam ini dingin, sangat dingin. Kata Madame Louvier, hujan tengah turun membasahi seluruh tempat yang bisa dilihat oleh mata, tapi aku tidak bisa melihatnya. Bukan, bukan karena aku buta, tapi lebih pada, aku tidak ingin bergerak dari posisi meringkukku ini. Aku tengah kedinginan dan kelaparan, membuat rasa dingin itu menembus tubuh kurus dan menusuk tulangku dengan begitu mudah, seolah tubuh ini hanya tulang berlapis kulit.
Aku tengah bermimpi tentang makanan. Bongkahan roti sebesar paha orang dewasa yang masih mengepul dari oven dengan keju di atasnya yang meluber hingga ke tepian piring. Baru saja aku hendak mengulurkan tangan untuk mengambil satu, kakak perempuanku mencegah. "Aku lapar," rengekku padanya. Tapi dia hanya menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti.
"Louisa, bangun."
Demi Tuhan aku sudah bisa mencecap rasa keju yang meluber itu. Aku hendak memotong roti itu dengan potongan besar-besar, mencocolkannya pada keju itu, lalu memasukkannya ke mulutku. Tetapi tangan kakakku menahan pergelangan tangan kurusku dengan kuat. Aku menatapnya garang, tapi dia menatapku lebih garang lagi sambil menggeleng keras.
"Louisa."
"Apa?!" teriakku tidak suka. Dia mengganggu acara makan malamku! Entah kapan lagi aku bisa merasakan makanan seenak itu, dan dia menghancurkan semuanya! Aku benar-benar kesal! Dia harusnya membantuku memotong roti itu dan memakannya bersamaku, sudah berbulan-bulan kami tidak merasakan makanan yang lazim dimakan manusia. Kami hanya bisa mendapatkan roti kering, tulang ikan dan susu dari sisa tentara yang sebentar lagi basi.
"Louisa, lari!"
Aku berbaring menyamping dan mengerjap-ngerjap. Kakak perempuanku dan Madame Louvier tengah berusaha menahan pintu kayu jati sambil berteriak-teriak, menyuruhku segera lari dari tempat itu. Aku baru sadar tidak ada siapapun disini selain aku, sahabatku Girard, kakak perempuanku Helene dan Madame Louvier. Padahal sebelumnya ada sekitar 20 orang yang bersembunyi dari tentara Jerman di lumbung ini. Mungkin mereka sudah kabur lebih dulu.
"Girard bangun."
Tiga kali kugoncangkan tubuh Girard tengah tangan mungilku hingga akhirnya dia mengerjap-ngerjapkan matanya. Mungkin sepertiku tadi, dia tengah bermimpi memakan makanan enak, atau mungkin bermain dengan bebas bersama teman-teman sebaya kami yang lain di luar sana, di belahan bumi yang lain mungkin, belahan bumi yang bebas dari perang.
"Ada apa?" dia bertanya dengan suara seraknya. Aku menunjuk ke arah pintu kayu jati dimana Helene dan Madame Louvier tengah berusaha mempertahankannya. Dia segera mengerti. Dia bahkan lebih sigap dariku. Dia langsung menarik tanganku dan membawaku berlari dengan kaki kecilnya, meninggalkan satu-satunya saudara perempuanku dan wanita yang sudah menjaga kami selama beberapa bulan ini.
Dorr! Dorr!
Aku membeku di tempat, menolak Girard yang tengah menarik tanganku. Aku ingin kembali, aku ingin bersama saudariku, aku tidak ingin meninggalkannya, dia akan kedinginan tanpa aku. Aku memang tidak mengatakan apapun tapi Girard ternyata sudah melepaskan tanganku sambil menatapku dengan mata besar dan cekungnya. Aku berbalik, berlari secepat yang kaki kecilku bisa dan lagi-lagi aku membeku di tempatku.
"Helene," bisikku pelan.
Airmataku mengalir membasahi wajah pucat dan lusuhku tanpa bisa aku tahan. Kakiku tiba-tiba bergetar, tidak bisa bergerak maju maupun kembali ke tempat Girard berada. Beberaa langkah dariku, tubuh saudariku tergeletak tak berdaya dengan darah menggenang di sekelilingnya. Tepat di sampingnya, Madame Louvier berbaring tengkurap sambil memeluk Helene, seolah tengah melindunginya. Aku ingin meneriakkan namanya, berlari kesana dan menggenggam tangannya. Tapi saat mata nyalang para tentara itu menangkapku, tubuhku sudah menghilang dari tempat itu.
Girard yang aku pikir meninggalkanku rupanya kembali. Dia kembali menarik tanganku tepat sebelum tentara bengis itu menembakkan pelurunya seperti dia menembaki Helene dan Madame Louvier. Di antara deru napas dan langkah kaki kecil milik kami, aku bisa mendengar suara langkah kaki berat khas sepatu tentara tengah berlarian di belakang kami. Aku mengeratkan tanganku pada jemari mungil Girard. Aku takut.
"Jangan berhenti Louisa!" teriaknya. Mungkin dia mulai merasakan langkah kakiku memelan. Bagaimana aku bisa berlari jika tubuhku sama sekali tidak bertenaga? Aku ingat terakhir kali makan dua hari yang lalu. Itupun hanya potongan roti hangus yang dibuang oleh tentara Jerman di kubangan air, hanya itu.
Entah seberapa jauh kami berlari, menembus hutan yang sudah tidak lagi lebat karena para tentara itu menebanginya untuk perapian mereka dan membiarkan kami kedinginan, menyelinap dari satu gang tikus ke satu gang tikus lain sambil berharap tidak bertemu tentara Jerman yang tengah berpatroli sambil sesekali menengok ke belakang sambil menerka-nerka dimana tentara tadi.
"Kesana!" tunjuk Girard pada jalur pembuangan air yang terlihat begitu kecil. Aku mengangguk setuju. Lubang itu mungkin terlihat sangat kecil bagi para tentara Jerman yang tengah mengerjar kami, tapi tidak bagi kami. Tubuh kami yang kecil dan kurus memberikan keuntungan tersendiri di pelarian ini. Kami masuk ke dalam lubang itu dengan begitu mudah, membiarkan tubuh kami yang sudah dicuci oleh hujan kembali kotor terkena air pembuangan itu, tapi kami tidak peduli. Dimana pun asal kami bisa hidup.
Saluran itu mirip seperti sungai kecil bagiku. Arusnya cukup deras, entah menuju kemana. Aku sampai harus berpegangan pada dinding-dinding saluran agar tidak terbawa arus. Girard sepertinya menemukan satu buah lubang yang sedikit lebih tinggi dari jalur itu. Aku tersenyum senang ketika mengetahui lubang itu tidak basah. Girard segera membantuku naik ke lubang itu.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku panik mendengar deru napas Girard yang tersengal. Dia hanya mengangguk sambil menutupi mulutnya dengan tangan sekuat tenaga, berusaha meredam suara batuknya yang mungkin akan memantul di dalam sini. Aku refleks membelai punggung Girard, entah untuk apa. Helene selalu melakukannya saat aku batuk dan itu membuatku nyaman jadi ku pikir itu juga akan membuat Girard nyaman.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku lagi saat batuknya sudah berhenti, tapi napas Girard justru semakin tersengal. Aku bahkan tanpa sadar mengikuti irama napasnya yang naik-turun tak beraturan.
Demi Tuhan aku ketakutan sekarang. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menolong Girard. Apa yang diketahui anak berusia 8 tahun sepertiku selain makan, tidur dan bertahan hidup? Bermain saja sudah jarang terlintas di benakku. Aku terlalu lelah kabur dari tentara itu untuk sekedar membayangkan diriku tengah bermain dengan Girard dan teman sebaya kami.
"Kau butuh minum?" aku bertanya untuk yang kesekian kalinya. Girard akhirnya menggeleng sambil menyandarkan tubuh kurus dan ringkihnya ke dinding lembab dan basah, mencoba mengatur napasnya. Aku ikut menyandarkan tubuhku ke dinding sambil menajamkan telinga. Dari sisi manapun, suara tempakan dan ledakan menggema, mungkin tentara itu akhirnya berniat melenyapkan semuanya hingga tak tersisa.
"Apa yang terjadi dengan yang lain?" tiba-tiba Girard bertanya padaku. Aku langsung menatapnya yang ternyata juga tengah menatapku, sepertinya menunggu jawabanku.
"Entah, mungkin bersembunyi di suatu tempat seperti kita, atau mati seperti Helene dan Madame Louvier," jawabku santai sambil memainkan rambut panjangku yang basah.
"Bukan, maksudku anak-anak di tempat yang lain."
"Jika mereka tidak tinggal di tengah perang mungkin mereka sedang bermain dengan teman-temannya, makan makanan enak, tidur dengan tempat tidur yang nyaman. Tapi jika mereka tinggal di tempat seperti kita, mungkin mereka sedang bersembunyi di suatu tempat seperti kita atau mati seperti Helene dan Madame Louvier."
"Setidaknya kita berdua tidak menghadapinya sendiri."
"Girard," panggilku pelan. Dia menoleh ke arahku dengan sebelah alisnya terangkat. Dia menunggu kelanjutan kata-kataku sepertinya.
"Kapan kita bisa bebas, aku ingin bebas."
"Nanti."
"Kapan?"
"Nanti."
"Kapan? Besok? Dua hari lagi?"
"Entah, tapi kita pasti akan bebas nanti. Kita hanya harus menunggu dan bertahan sampai saat itu datang."
"Berdua?"
"Berdua," kata Girard dan mengakhirinya dengan desahan panjang.
Kami berdua lelah terus begini. Kami ingin bermain seperti anak-anak yang lain, kami ingin tidur di tempat yang nyaman seperti anak-anak yang lain, kami ingin makan makanan layak seperti anak-anak yang lain, kami ingin kehidupan masa kecil kami kembali, sebelum tentara jahat itu datang dan menghancurkan segalanya.
Sepertinya kami tertidur di dalam sana. Ketika mataku terbuka, tidak ada lagi suara hujan, tidak ada lagi air yang menggenangi saluran di bawah kami dan tidak ada lagi suara tembakan dan ledakan di sekeliling kami. Entah apa yang harus aku rasakan. Senang karena masih hidup, atau sedih karena Helene dan yang lainnya telah pergi meninggalkan kami.
"Girard!"
Aku menggoyangkan tubuhnya pelan, tapi Girard tidak juga bangun. Aku mencoba berbagai cara, tapi dia bahkan tidak bersuara sedikitpun hingga tanganku menyentuh tangannya. Panas! Aku memang tidak tahu banyak tentang dunia ini, tapi setidaknya aku tahu tubuh yang panas ini berarti dia tidak baik-baik saja. Girard sakit!
"Girard, hei, kau bisa mendengar suaraku?" aku yakin airmataku sebentar lagi menetes melihat Girard seperti ini. Dia tidak meresponku sama sekali. Tapi dari bahunya yang naik-turun dengan sangat cepat, aku tahu dia masih bersamaku.
"Girard ayo bangun," bisikku sambil menggoyangkan tubuhnya lagi. Pipiku sudah basah sekarang. Jemari mungil dan kurusku gemetar, takut. Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya lagi sedikit lebih kencang sambil memanggil namanya, berkali-kali hingga akhirnya dia meresponku dengan rintihan pelan.
"Girard. Kau bisa mendengar suaraku?" Girard mengangguk meskipun sangat lemah. Dia terbatuk pelan dan langsung menutupinya dengan kedua tangan, takut tentara itu akan mendengarnya. Ketika dia melepaskan tangan itu dari mulutnya, wajahnya terlihat kelelahan. Satu hal yang aku mengerti, dia butuh makanan dan minuman, segera.
"Girard, aku akan mencari makan untuk kita berdua. Tunggu disini ya?" Girard meraih tanganku pelan. Dia mencengkeramnya, seolah melarangku pergi, tapi tekadku bulat, aku harus mencari makan atau kami berdua akan mati.
"Aku janji akan berhati-hati. Aku pintar mencuri, kau tahu kan?"
Tanpa menunggu jawaban Girard aku melepaskan tangannya yang begitu lemah dan berjalan perlahan melewati saluran pembuangan dengan pelan, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara meskipun aku yakin tentara itu hanya berpikir aku seekor kucing liar.
Aku memandang ke kanan dan kiri, memeriksa situasi. Saat tidak menemukan satupun tentara Jerman disana, aku perlahan keluar dari tempat persembunyianku dan menyelinap ke belakang pohon. Sepertinya hari masih cukup pagi karena matahari masih belum menyinari bukit di belakangku. Mungkin para tentara itu juga masih tidur. Ini kesempatan besar!
Tenda tentara terlihat tidak jauh dari tempatku berdiri. Tenda-tenda itu dibangun mengelilingi sebuah bangunan besar. Orang-orang menyebutnya rumah sakit dan kesanalah tujuanku sekarang. Seluruh bahan makanan berasal dari sana, jadi pasti banyak tempat sampah yang berisi makanan enak, tidak seperti tempat sampah di jalanan yang hanya berisi makanan hampir basi.
Langkah kakiku sangat bersemangat karena lapar, meskipun dalam hati aku ketakutan. Aku mungkin akan ketahuan dan tentara itu akan menembakku seperti mereka menembak Helene. Tapi tidak ada salahnya mencoba atau aku dan Girard akan mati karena alasan yang lain, kelaparan.
Aku berlarian kesana-kemari, berusaha menghindari matahari yang bisa menggambarkan bayanganku. Aku pikir mereka akan menemukanku jika menemukan bayanganku jadi sebisa mungkin aku menyembunyikannya. Aku melompat seperti kelinci liar, sangat lincah hingga aku sampai di bagian belakang rumah sakit.
"Ada!" teriakku hampir tak bersuara. Aku menemukan sebuah tempat sampah dengan banyak potongan makanan yang jelas layak untuk dimakan. Aku juga menemukan tempat yang mungkin bisa digunakan untuk membawa air. Aku menyembunyikan semua makanan yang bisa kubawa di balik bajuku kemudian mengikat bagian bawahnya agar makanan itu tidak jatuh.
Aku kembali berlarian dan melompat kesana-kemari seperti kelinci, kali ini lebih cepat karena aku sudah tahu jalan kembali. Senyuman di wajahku tergambar jelas. Aku bahkan hampir melupakan kepergian Helene dan Madame Louvier. Akhirnya aku dan Girard bisa makan. Nanti setelah makan dan minum, panas di tubuh Girard akan pergi dan kami bisa mencari tempat sembunyi yang lebih baik.
Dorr!! Dorr!!
Aku menghentikan langkah kakiku seketika. Girard menatapku dengan mata sayunya. Airmatanya perlahan mengalir saat tubuhnya mulai meluruh ke bawah. Aku seketika ikut menangis, tapi tubuhku tidak bergerak sama sekali. Aku terlalu takut pada dua laki-laki bertubuh besar di samping Girard, laki-laki yang kini berjalan ke arahku dengan senjata di tangannya. Tubuhku bergetar ketakutan, mungkin mereka akan membunuhku seperti mereka membunuh Helene, Madame Louvier dan Girard.
"Sie ist auch hübsch!" (Dia cukup cantik juga)
Aku bergidik mendengar suara berat mereka mengatakan kalimat yang tidak aku mengerti. Mereka bergerak semakin dekat padaku dengan seringaian di wajah mereka. Tangan kasar mereka perlahan menyentuh wajahku, merobek baju yang ku kenakan dan mencubit-cubit kulitku seperti mereka mencubit daging babi. Tiba-tiba rasa takutku hilang. Mungkin mati lebih baik daripada hidup, aku bisa bermain dengan Girard dan yang lain, bisa makan enak tanpa harus mencuri, bisa tidur di tempat tidur yang empuk tanpa merasakan kedinginan lagi.
"Vielleicht kann er uns heir befriedigen!" (Dia mungkin bisa memuaskan kita selama disini!)
"Bringen wir es Heimlich zum Bahnhof?" (Apa kita bawa ke markas diam-diam?)
"Wasm wenn der Kommandant das wüsste?" (Bagaimana jika Komandan tahu?)
"Er ist so klein, dass wir ihn im Schrank verstecken kӧnnen." (Dia sangat kecil, kita bisa menyembunyikannya di dalam lemari.)
Aku tidak tahan lagi mendengarkan suara berat mereka di telingaku, apalagi tangan-tangan kasar mereka yang terus menyentuh kulitku sambil merobek kain yang menutupinya. Aku mencoba berteriak, memberontak bahkan memukuli mereka dengan tangan kecilku, tapi sepertinya itu tidak berlaku apa-apa karena mereka terus melakukannya hingga aku menarik senjata yang mereka pegang.
Dorr!
Seketika aku merasakan panas di area perutku. Tanganku sangat ingin memegangnya, tapi tubuhku tidak mau bergerak sama sekali. Mataku justru menatap dua orang yang tengah berdiri di hadapanku. Andai mereka berdua Helene dan Madame Louvier, aku mungkin akan tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kaget dan mata yang melotot itu, tapi mereka bukan Helene dan Madame Louvier. Bahkan hingga mereka menghilang dari pandanganku, aku tidak tertawa sama sekali. Justru aku merasa, bebas.
-Selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top