🌴|| Serial Ibnu Qiyya #05
This is part of their story
-- happy reading --
"Sayang, dengarkan aku ____" kata Qiyya menyusul langkah Ibnu.
Perasaan Qiyya semakin tidak karuan manakala mengetahui Ibnu mendengar panggilannya namun mengabaikan semuanya.
Segera meminta anak-anaknya untuk kembali ke parkiran dan segera pulang ke Blitar.
Tidak ada perbincangan. Hanif juga sepertinya enggan untuk menceritakan kejanggalan yang dialami sewaktu ia berusaha untuk memberitahu Qiyya melalui gawai mantan suami dari bundanya tercinta. Bukan karena Hanif tidak ingin berbicara, hanya dia takut salah tempat dan waktu untuk berbicara yang menyebabkan kedua orang tuanya akan bertengkar dengan hebat. Karena Hanif tahu jika dia menceritakan yang sebenarnya, bisa dipastikan bahwa om Andrian yang ditemuinya itu tidak akan bisa tersenyum lagi di depan mereka.
Sekali lagi Ibnu hanya fokus dengan jalanan yang ada di depannya.
Dan Qiyya, malam ini benar benar perjalanan antar kota yang begitu mencekam untuknya.
'Allah, dosa apa yang telah aku perbuat hingga lelaki halalku mencemburuiku dengan begitu indahnya? Ataukah ini adalah teguranmu supaya kami lebih mendekatkan diri lagi kepadaMu' lirih muhasabah diri dalam hati Qiyya.
Kehidupan itu ibarat air sungai yang selalu mengalir dari hulu menuju hilir kemudian bermuara ke laut. Tidak akan pernah kembali.
Seperti kata Ali bin Abi Thalib dalam quotes indahnya. 'Betapa bodohnya manusia, dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depan, tetapi menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya.'
Qiyya menggeleng perlahan, belum siap rasanya melalui hari tanpa sikap hangat suami tercintanya.
"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah. Beri aku jalanMu ya Rabb." Lirih Qiyya beristighfar sebelum memejamkan matanya.
Hingga sebuah tangan mengguncang tubuhnya dan membuatnya kembali terjaga.
"Bunda ayo bangun, kita sudah sampai rumah." Suara Hawwaiz tiba-tiba terdengar nyaring di samping telinganya. Bocah kecil 5 tahun itu dengan tiba-tiba menciumi wajah Qiyya supaya segera bangun dan turun dari mobil.
"Hmmmmm, sudah sampe rumah ya Dek. Maaf bunda ketiduran. Loh daddy dimana?" tanya Qiyya.
"Sudah turun trus langsung masuk rumah, makanya bunda cepetan bangun nanti di mobil sendirian loh." Dilihat jok di sampingnya memang sudah tertutup dan belakang sudah tidak ada orang itu artinya Hafizh dan si kembar juga sudah turun.
Saat Qiyya memeriksa bagasi, sudah kosong melompong. Bi Marni pasti sudah memasukkannya ke dalam rumah. Itu artinya Qiyya terlalu lama tidur di dalam mobil dan kali ini bukan Ibnu yang membangunkannya. Biasanya meski anak mereka yang membangunkan, suaminya itu pasti masih disana. Setidaknya menunggu sampai Qiyya membuka mata baru meninggalkannya. Namun kali ini rasanya memang sangat janggal. 'Semua gara gara, Andrian' keluh Qiyya dalam hati.
Saat berada di dalam kamar pun Ibnu hanya sekilas memandang Qiyya kemudian berlalu keluar dan mengingatkan seluruh anak anaknya untuk segera menyiapkan buku buku sekolah mereka untuk besok. Kebiasaan yang biasa dilakukan oleh Qiyya.
Sepertinya memang benar benar marah. Padahal Qiyya juga tidak tahu menahu perihal Andrian yang menelponnya atau apalah itu namanya.
"Mas Ibnu ___?"
"Hmmmm," jawab Ibnu masih fokus dengan gawai yang ada di tangan kanannya. Beberapa jam gawai itu mati membuat Ibnu menerima pesan menumpuk dan mengharuskan untuk menjawab satu persatu dengan cepat.
"Apa? Ada yang ingin kamu jelaskan kepadaku?" tanya Ibnu masih dengan nada datarnya.
"Mengenai telpon itu Qiyya benar-benar tidak tahu Mas, demi Allah." Kata Qiyya mengawali penjelasannya.
Tidak ada jawaban dari Ibnu dia justru kini mulai merebahkan tubuhnya di atas petiduran mereka.
"Kalau Mas Ibnu masih belum bisa percaya dengan Qiyya, kita bisa kok telpon balik dan menanyakan maksudnya apa?" kata Qiyya lebih hati hati dari sebelumnya
"Sini," Ibnu memanggil Qiyya dan menepuk sisi ranjang sebelahnya.
Qiyya mendekatkan diri kepada Ibnu. Setengah meragu karena tatapan Ibnu masih datar sedatar suaranya saat menyuruhnya mendekat.
"Jangan diemin Qiyya seperti ini Mas, demi Allah Qiyya nggak sanggup." Air mata Qiyya sudah menggenang di pelupuk matanya. Jika ia berkedip dapat dipastikan bahwa buliran itu pasti akan meluncur sempurna
Ibnu mengetahui itu, bersama Qiyya selama 8 tahun cukup baginya mengetahui mana yang benar dan mana yang Qiyya sembunyikan darinya. Saat tubuh mereka sudah saling berdekatan tangan kokohnya segera merengkuh tubuh Qiyya ke dalam pelukan, "Mas cemburu, kamu tahu? Mas sangat mencintaimu, Sayang."
Air mata Qiyya benar benar luruh dari bola matanya. Kalimat Ibnu begitu menyentuh semua sudut hatinya. Bahkan rongga dadanya kini semakin membuncah.
"Qiyya tidak seperti yang Mas sangka. Demi Allah, jangankan untuk menghubunginya. Bahkan Qiyya juga lupa jika nomer telponnya masih tersimpan di phonebook HP Qiyya." Kata Qiyya kemudian melepaskan pelukan Ibnu dan beranjak untuk mengambil gawainya. "Mas Ibnu hapus saja ya, Qiyya nggak mau terjadi salah paham lagi seperti ini."
Ibnu menggeleng kemudian tersenyum tipis. "Iya, karenanya kita harus paham yang salah, Mas minta maaf ya. Mendiamkanmu itu juga seperti hmmmmmm _____" kata Ibnu berpikir sesaat.
"Seperti _____?"
"Seekor gajah besar yang telinganya dimasuki seekor semut. Bisa bayangin nggak enaknya?" kata Ibnu masih memeluk Qiyya tapi kali ini dia menjauhkan sedikit tubuhnya supaya bisa memandang wajah Qiyya dari dekat.
"Mas Ibnu ___ gombalnya loh." Kata Qiyya kemudian menjatuhkan kepalanya kembali di dada suaminya.
Ibnu benar, melalui tatapannya Ibnu begitu memuja Qiyya. Paham benar bagaimana Ibnu setelahnya, Qiyya juga menatap Ibnu dengan pandangan penuh damba. Selebihnya bisa dipastikan bahwa Ibnu akan memujinya lewat rangkaian kata yang begitu manis dan romantis.
"Qiyya takut Mas," kata Qiyya sambil memainkan kancing piyama yang dikenakan Ibnu.
"Takut kenapa, hmmmmm?"
"Takut kena diabetes." Jawab Qiyya yang dibalas dengan kernyitan kening Ibnu. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan tanya, mengapa harus diabetes?
"Deket Mas Ibnu manis terus bawaannya. Nanti jadi pabrik gula, kenal deh sama yang namanya diabetes kan bisa gaswat." Kata Qiyya melanjutkan pernyataannya dengan tawa yang tertahan.
"Jadi maunya dikerasin? Boleh ___" jawab Ibnu menoel hidung Qiyya kemudian menggelitik pinggangnya hingga mereka berdua bergumul dengan bedcover di bawah tubuh mereka.
"Mas ish, geli Qiyyanya." Qiyya meronta tetapi juga tidak ingin menjauh dari Ibnu hingga posisinya kini kepala Ibnu berada di atas wajah Qiyya.
Beberapa anak rambut yang berada di wajahnya segera dirapikan oleh Ibnu. Memandang Qiyya dari dekat memang tidak akan pernah ada bosannya.
'Allah, cukupkanlah semua syukurku kepadaMu. Izinkanlah hanya mas Ibnu dan selamanya menjadi imam untuk menyempurnakan ibadahku kepadaMu. Cukupkanlah bagiku' Qiyya memandang lekat lelaki yang kini ada di hadapannya.
Ibnu yang sedang memandang Qiyya sedang menggigit sedikit ujung bibir bawahnya membuat hasrat lelakinya tak terbendung lagi. Secepatnya dia meraup bibir Qiyya ke dalam sentuhan lembut yang selalu memabukkannya.
Cup
Tidak perlu waktu yang lama untuk Qiyya bermain bersamanya. Hingga keseimbangan diantaranya telah mencapai puncaknya dan Ibnu menuntut lebih, seketika Qiyya tersadar.
"Mas, maaf Qiyya ____" mengantung kata membuat Ibnu semakin menghujaninya dengan ciuman di seluruh mukanya.
"Sepertinya permintaan Hanif masih masuk akal, tidak memberatkan kita bukan?" kata Ibnu tetap menjelajahi muka dan sesekali cerukan leher jenjang Qiyyara.
"Tapi Mas, hari ini Qiyya ____"
"Kenapa Sayang, ayolah please?"
"Tidak bisa Mas, Qiyya tidak jadi makmum sholat Mas Ibnu sejak 3 hari yang lalu." Akhirnya kalimat penolakan itupun meluncur dari bibir Qiyyara.
"Aisshhh Qiyyara, mengapa tidak bilang dari tadi. Ah, kamu sungguh telah menyiksaku." Protes Ibnu sebelum akhirnya dia menenggelamkan diri kedalam selimut sampai di lehernya kemudian memunggungi Qiyyara.
"Maaf Mas ____" kata Qiyya yang merasa bersalah sambil mengguncang bahu Ibnu meminta Ibnu untuk membalikkan tubuh menghadapnya.
"Qiyyara, don't touch." Alarm merah. Ibnu sedang dalam kondisi untuk menenangkan diri.
❣❣
Keesokan paginya, Ibnu telah siap dengan pakaian dinasnya. Anak anak semua juga telah siap di meja makan.
Pagi ini memang Ibnu sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Ada beberapa mahasiswa co ass yang menjadi tanggung jawabnya dan harus segera dia evaluasi pagi ini untuk beberapa laporan dan prakteknya.
"Kalian berangkat diantar bunda ya, Daddy harus segera sampai rumah sakit." Pamitnya kepada keluarga sesaat setelah ia menyelesaikan sarapan.
"Yes Sir."
Qiyya berjalan membawakan peralatan perang untuk Ibnu dan juga sejenak merapikan dasi yang menggantung di leher suaminya.
"Sudah ganteng Bun, jangan dipandangin terus nanti meleleh daddynya." Teriak Hafizh menggoda kedua orang tuanya.
"Ish, memang daddymu ini coklat Bang?" kata Ibnu sambil menciumi semua anak-anaknya satu-persatu.
"Bukanlah Dad, maksudnya Bang Hafizh itu meleleh di hati bunda. Ya nggak Bun?" timpal Almira yang mulai usil ikut ikutan kakaknya menggoda daddy dan bunda mereka.
Hanif hanya menggelengkan kepala. Orangtuanya itu benar-benar ajaib. Sebenarnya hanya hal hal kecil yang biasa dilakukan oleh semua orang. Tapi perhatian serta keep and touch diantara keduanya membuat anak anaknya semakin memahami jika keduanya itu adalah satu. Jika satu sakit pasti satunya akan merasakan begitu juga sebaliknya. Jika satu bahagia, influencenya bukan hanya untuk pasangan namun mereka tularkan kepada semua anggota keluarga.
"My order still same Dad." Kata Hanif yang masih mengunyah dengan sedikit penekanan.
"Apa itu Mas Hanif?" tanya Ayyana yang mulai kepo.
"Satu adek perempuan untuk kita semua." Jawab Hanif kemudian meninggalkan meja makan untuk membawa piring piring kotor yang ada di meja ke dapur.
Semuanya bersorak dan berkata "Setuju."
Bi Marni yang juga mendengar diskusi mereka hanya mengangkat 2 jempolnya sambil tersenyum lebar. Qiyya bahkan sudah merona sempurna. Sedangkan Ibnu, seperti biasa belum puas jika istrinya itu belum mencubit bagian tubuhnya karena malu dia godain.
"Tuh Bun, semua sudah setuju. Bagaimana? Direalisasikan? Daddy masih kuat kok." Kata Ibnu lirih namun bisa di dengar semua putranya. Untung saja bi Marni sudah berjalan ke depan untuk membersihkan taman dan kolam koi yang ada di depan rumahnya.
"Iya Dad, nanti adek bantuin pegang mixernya biar adeknya cepet jadi." Kata Hawwaiz tiba-tiba yang membuat Ibnu dan Qiyya tergelak dalam tawa bersama.
"Mixer?"
"Yes, like bunda when she prepare to make some cake." Jawabnya Hawwaiz dengan begitu polosnya
Memangnya membuat adek untuk kalian sama dengan membuat adonan kue. Sekalian beli tepung terigu dan telor di minimarket ujung jalan saja, Hawwaiz.
Squad Ibnu memang luar biasa. Luar biasa usilnya, luar biasa bawelnya, luar biasa uniknya, dan luar biasa kompaknya. Meski sekali sekali berantem karena saling berebut sesuatu tapi beberapa menit kemudian mereka sudah akur kembali. Lengket, kalau ada ramai saling mengolok. Kalau nggak ada saling mencari
"Hati-hati bawa mobilnya nanti. Titip anak-anak ya? Jangan terlalu sore di butiknya. Anak-anak butuh kamu, Mas juga sih lebih tepatnya." Pesan Ibnu sebelum masuk ke mobilnya.
"Iya Mas, jangan telat makan siangnya. Be careful."
Ibnu telah mengganti mobil sedannya dengan Honda SUV warna merah. Tidak lain karena alasan Qiyya yang merasa tidak nyaman jika harus mengemudikan sedan. Padahal Ibnu tahu, Qiyya lebih sering membawa Innovanya yang memiliki tempat yang luas untuk mengangkut semua anak-anak mereka jika ingin berjalan jalan tetapi daddynya tidak bisa mengantar. Mungkin karena Ibnu saja yang sudah mulai bosan dan ingin menggantinya dengan yang lain.
Satu hal yang hampir saja terlupakan oleh Ibnu jika saja asistennya tidak mengingatkan. Bahwa hari ini dia ditugaskan untuk menjadi penanggung jawab pelaksanaan donor darah kerjasama antara RSUD, PMI dan Pemkot Blitar.
"Sudah siap Dok? Hanya untuk mengunjungi dan mengevaluasi saja. Seluruh team sudah diterjunkan ke lapangan."
"Aduh, mengapa saya jadi pelupa ya. Hari ini, jam?"
"11.00 Dok, Graha Patria."
"Ok, noted. Thanks ya."
"You're welcome, Dok."
Kegiatan rutin tahunan yang selalu diadakan memang. Donor darah yang melibatkan peserta seluruh lapisan masyarakat.
Sebenarnya tanpa Ibnu pun semua juga sudah bisa berjalan dengan baik. Hanya saja karena sebuah tanggung jawab dan tentunya panitia pasti membutuhkan fotonya berada di tempat diselenggarakan acara untuk sebuah laporan. Yang lebih dahsyat lagi di photo itu juga mengharuskan ada lokasi dan jam berapa diambilnya. Semacam google cameralah. Semakin canggih teknologi sepertinya semakin banyak kecurangan hingga akhirnya laporan pun dibuat sedemikian rupa untuk meminimalisir segala macam tindakan fraud yang mengakibatkan kerugian dalam bentuk apapun.
Satu jam, waktu yang Ibnu butuhkan berada di Graha Patria. Bercengkerama dengan panitia dan beberapa peserta. Bahkan dia juga beberapa kali melakukan tindakan yang sama dengan yang dilakukan oleh petugas PMI.
Hingga nyanyian yang ada di perutnya membuat dia untuk bisa memanjakannya segera dengan makanan. Kalau tidak, bisa bisa dokter yang ada dirumah dan biasa merawatnya akan mengomeli panjang kali lebar kali tinggi karena dia terlambat makan.
'Aku mau makan, ingat kamu. Aku mau ____' Ah, mengapa jadi teringat lagu era 90an itu.
Mata Ibnu menyipit manakala akan memasuki sebuah depot. Menangkap bayangan manusia yang tidak asing lagi baginya.
"Dokter Ibnu?" sepertinya memang Andrian telah selesai menyantap makan siangnya dan akan keluar bersama Istri di sampingnya
"Iya. Pak Andrian?"
"Mau makan Dok? Silakan, kami sudah selesai."
Ibnu segera menuju ke meja sebelah kasir untuk memesan menu makan siangnya. Dia tidak ingin ribet dan terlalu lama jika harus duduk terlebih dulu. Namun baru saja berjalan kemudian dia membalikkan tubuhnya kembali. "Maaf Pak Andri, bisa berbicara sebentar?"
Andrian yang juga sudah beranjak pergi pun akhirnya diam di tempat dan mengikuti di belakang Ibnu.
"Maaf sebelumnya, namun saya harus menyampaikan. Kemarin saya mengetahui anda menelpon Qiyyara. Masih ada urusan yang belum kami selesaikan? Sepertinya sudah semua ya, rumah, mobil, gono gini semua sudah menjadi hak Anda kan? Setahu saya Qiyya tidak mengambil sesen pun dari itu? Lantas apalagi?" tanya Ibnu yang langsung to the point kepada lawan bicaranya. Andrian bukan lawan Ibnu untuk berbasa basi, atau lebih tepatnya Ibnu membenci untuk melakukannya.
"Kemarin? Ouh itu sebenarnya ___ maaf jika dokter Ibnu tidak berkenan tapi saya memang ti ____"
"Kami tidak pernah mengganggu kehidupan Pak Andrian dan juga keluarga Bapak. Jadi saya peringatkan, jangan sampai itu terulang atau fatal akibatnya untuk semua." Ancam Ibnu.
Andrian yang mulai mengerti kemana arah Ibnu berbicara hanya diam. Tidak juga ingin membuat keributan, karena dia menyadari dari awal mula dulu memang dialah yang bersalah meninggalkan dan menyakiti Qiyyara yang kini telah berbahagia dengan laki-laki di depannya.
"Maaf Dok__" belum sempat Andrian mengucapkan permintaan maafnya tetapi Tiara telah menggelandang tangan Andrian untuk menjauhi Ibnu dan menuju ke mobil mereka.
Dengan tatapan penuh intimidasi, Ibnu menatapnya sampai mobil Andrian benar-benar berlalu dari hadapannya.
❣❣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top