🌴|| Serial Ibnu Qiyya #02

This is part of their story
-- happy reading --

"I'm home. Assalamu'alaikum, Bunda." Suara Hanif terdengar sangat lelah.

Menjelang UN memang di sekolah Hanif dilaksanakan pendadaran materi yang luar biasa. Bisa jadi Hanif sampai di rumah menjelang maghrib. Seperti hari ini, jam dinding di rumah Qiyya telah menunjukkan angka lima belas menit lagi sempurna di angka 5.

"Waalaikumsalam." Jawab Hafizh yang sedang duduk santai di depan televisi.

"Bunda?" tanya Hanif singkat kepada adiknya.

"Biasa ngantar krucil ngaji caberawit di masjid." Jawab Hafizh masih fokus dengan benda kotak datar melengkung di depannya.

"Daddy?"

"At hospital, off course. Why? Need one of them to tell something." Jawab Hafizh.

"Excuse me?"

"You were talking seriously with a woman in the library's corridor of school. You know it's wrong why do you still doing that?" jawab Hafizh masih dengan muka datarnya.

"Ishhh, not me but her." Kata Hanif membela diri.

"It's the same meaning. Whatever your reason. Kalian berkhalwat, daddy dan bunda tidak pernah mengajarkan itu!" kata Hafizh kemudian mematikan televisi dan berlalu dari hadapan sang kakak.

Gigi Hanif gemeletuk lirih, itu tandanya dia sedang menahan emosinya. Tangan kanannya terkepal erat.

Beberapa saat kemudian bibirnya berkata lirih "Astaghfirullahaladziim. Allah sedahsyat inikah fitnah yang akan timbul ketika kita dengan atau tanpa sengaja berkhalwat dengan lawan jenis?"

Dia berjalan gontai menuju ke kamarnya. Hari ini sebenarnya Hanif memang berniat menemui seorang wanita. Sebenarnya dengan alasan dia tidak ingin terjebak dengan rasa hati yang mungkin bisa memalingkan hatinya untuk mendekati laranganNya.

Cantik, Hanif tidak menampik itu. Zia Airish, primadona di sekolahnya yang beberapa hari lalu mengirimkan sepucuk surat untuk Hanif.

Tidak ada yang cacat dimata Hanif. Gadis yang cerdas, saingan terberat Hanif di sekolah untuk menduduki kursi sebagai juara umum di sekolahnya. Irish-sapaannya, tetapi sayang dia tidak menutup auratnya dengan jilbab seperti yang bunda Qiyya dan kedua adiknya yang masih bersekolah di SD kelas 1 kenakan.

Dengan mudahnya dia menunjukkan rasa suka kepada Hanif yang memang sangat menjaga akan hal itu.

Hanif berharap dalam hidupnya. Itu adalah surat cinta untuk pertama dan terakhir kalinya dari seorang wanita yang diberikan kepadanya.

Dimana sikap al haya' yang seharusnya menjadi identitas setiap muslimah. Apakah karena sekarang jaman millenial sehingga mereka melupakan ajaran ajaran yang telah dicontohkan oleh para nabi, sahabat nabi, tabi'ut tabiin? Benar-benar dunia telah tua. Jelaskan tertulis dalam AlQur'anul kareem semakin mendekati kiamat moral anak Adam semakin rusak. Naudzubillahimindalik.

"Kok melamun Sayang?"

Hanif tergagap saat tiba-tiba Qiyya masuk kedalam kamarnya dan mendapatinya sedang menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. "Eh, Bunda. Iya? Ada yang bisa mas bantu Bun?"

"Sudah maghrib. Adzan baru saja berkumandang. Mengapa masih berdiri di sini, sedang ada masalah? Ayo segera ambil wudhu. Kita sholat berjamaah di masjid. Bunda siap mendengarkan ceritamu setelahnya." Qiyya merangkul anak sulungnya keluar dari kamar sambil mengelus pundaknya.

"Sepertinya harus kamu yang merangkul bunda Mas. Bunda kalah tinggi sama kamu. Daddy benar-benar menurunkan sifat dan fisiknya kepadamu." Kata Qiyya kemudian tersenyum kepada Hanif.

"Mas Hanif sayang Bunda." Kini gantian Hanif yang merangkul pundak Qiyya setelah dia mencium pipi Qiyya dan berjalan beriringan.

Senyum bahagia jelas terlihat di bibir Ibnu. Ibu dan anak di depannya begitu kompaknya. Sama halnya dirinya, Ibnu tahu benar bagaimana sifat anak sulungnya. Jika melihat bahasa tubuh Hanif kepada Qiyya, Ibnu yakin bahwa anak sulungnya itu berada dalam keadaan yang sedang tidak baik-baik saja. Mengapa? Karena Ibnu pasti juga akan bersikap seperti itu kepada Qiyya ketika ia memiliki masalah dan Haniflah satu-satunya anak dari kelima anaknya yang mewarisi sifatnya itu.

"Gara-gara Mas Hanif ini kita tidak bisa dapat onta." Protes Hawwaiz ketika kakak pertamanya dan sang bunda telah berada diantara mereka.

"Maafin mas ya Dek." Kata Hanif langsung menggendong adik kecilnya menuju masjid.

Ibnu menatap wajah istrinya sebentar, berbicara dengan hati. Mengerti dengan apa yang dimaksud Ibnu melalui tatapan matanya, Qiyya segera mengusap tangan kanan suaminya. Seolah mengatakan 'everything gonna be alright' kemudian tersenyum dan Ibnu langsung memegang pinggang istrinya untuk segera berangkat ke masjid bersama.

Dua puluh menit, waktu yang mereka siapkan untuk bertemu dengan sang Arsy. Merapalkan bibir untuk memunajahkan semua keluh kesah yang ada serta melangitkan suara yang mereka nyaringkan kepada bumi.

"Habis ini bantu bunda untuk menyiapkan makan malam ya Mas." Kata Qiyya ketika mereka berjalan dari masjid menuju rumah.

"Siap Bun." Jawab Hanif singkat.

Perjalanan pulang petang hari ini lebih di dominasi dengan cerita si kembar yang memiliki teman baru pindahan dari Australia. Menurut mereka si 'teman' baru itu senang bermain dengan si kembar karena hanya si kembar yang bisa diajaknya berbicara.

Kebiasaan Ibnu ternyata masih belum berubah. Dia lebih senang bercakap dengan keluarganya menggunakan bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa ibunya. Ya, karena sang ayah memang berasal dari negeri dua benua, sehingga dari kecil Ibnu memang begitu akrab dengan bahasa itu.

Mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya dia pun mewariskan kebiasaannya itu kepada keluarga kecilnya. Ditambah Qiyya juga tidak merasa keberatan dengan komunikasi itu.

"That's way the reason, why daddy always teach us for speak up fluently?" tanya si kembar kepada Ibnu yang dijawab anggukan olehnya.

"Other reason Dad?" tanya Hafizh.

"When all of you have a chance for study in other country you wouldn't be constrained because of that problem, That's all. Will you?" jawab Ibnu.

"Am I?" tanya Hafizh kemudian.

"Yes, you are. Of course dude."

"Is it an offer for us?" sambung Hanif kemudian.

"Inshaallah. Lets we pray to God, for answer all of your goal." Jawab Ibnu mengakhiri percakapan mereka karena kini mereka telah sampai di halaman rumah.

Qiyya cukup menyimak ketika anak-anaknya sedang bercengkerama dengan ayah mereka. Ya waktu mereka dengan sang daddy tidaklah sebanyak waktu mereka dengannya. Oleh karena itu ketika semuanya sedang berbicara serius dengan Ibnu, Qiyya lebih memilih untuk diam. Hanya ketika dia dimintai pertimbangan baru akan mengeluarkan suaranya.

"Mbak Qiyya, makanannya tak siapkan ya?" tanya bi Marni ketika Qiyya sudah berada di dapur.

"Nggak usah Bi, biar aku sama Hanif yang siapin. Bi Marni istirahat saja di kamar. 'Anak lanang' mau cerita-cerita, biasa." Kata Qiyya akhirnya membuat bi Marni segera melesat ke kamarnya sebelum Hanif berdiri di samping Qiyya sekarang.

"Mas, angetin dulu ayamnya. Adik kembarmu paling suka ayam goreng diberi kremesan." Perintah Qiyya membuat Hanif dengan cekatan menyalakan kompor dan menggoreng ayam yang sudah disiapkan Qiyya untuk digoreng.

"Kamu ada apa, boleh bunda tahu sesuatu?" sesi introgasi dimulai oleh Qiyya sambil melakukan pekerjaannya.

"Mas Hanif minta maaf Bun." Hanif mengawali ceritanya. Malu sebenarnya tetapi dia sangat takut untuk terus-terusan menyembunyikan itu. Hafizh saja telah berburuk sangka kepadanya apalagi orang lain, terlebih jika sampai orang tuanya tahu cerita itu dari orang lain.

Rasa bersalah itu pasti akan terus bersarang di hatinya. Hanif tidak ingin menjadi seorang anak yang menghambat kedua orang tuanya masuk surga karena perilaku konyolnya di dunia.

Makan malam sudah siap tersaji di dapur, tinggal membawa ke meja makan. Bersamaan dengan itu pula cerita Hanif telah dirampungkan.

"Kita makan dulu ya, selesai makan bunda atau daddy nanti yang akan ke kamar kamu. Bantu bunda bawa makanannya ke meja makan." Ajak Qiyya yang telah berlalu dari samping Hanif.

Suasana makan malam sama seperti biasa. Masih juga diwarnai celoteh riang Hawwaiz yang tidak kalah dengan kakak-kakaknya bercerita tentang kegiatan selama di sekolah hari ini. Bahkan dia berlari menuju kamarnya untuk mengambil sesuatu dan diperlihatkan kepada Ibnu.

"Look at, this is my painting Dad." Kata Hawwaiz ketika memperlihatkan buku gambarnya.

"Wow, would you like to tell us what the meaning of it?" kata Ibnu ketika dia telah menyelesaikan makannya dan meraih Hawwaiz ke dalam pangkuan.

"Of course, Dad. As your instruction we have to help the old people. This paint describe that I help the old woman for cross the street. Am I called a kind person?" ucap Hawwaiz yang membuat saudaranya ingin melihat hasil gambaran adik kecilnya.

"Perfect." Ucap Ibnu kemudian mencium pucuk kepala putra bungsunya.

Qiyya yang melihat bahwa semuanya telah selesai menghabiskan makanan di piring masing-masing segera berdiri dan meminta pada semua putra putrinya untuk segera bersiap melaksanakan sholat isya' kemudian belajar untuk pelajaran di sekolah keesokan harinya.

"Daddy, would you like help for bring the dusty plate to the kitchen please." Pinta Qiyya yang langsung diiyakan oleh Ibnu.

Hingga akhirnya hanya tinggal mereka berdua yang ada di dapur.

"What's up dear?"

"Our son, Hanif is going to adult, Babe. There is a young woman in his school sent him some letter. Describe her feeling to him. Actually, he never accept it. And today, he has been finish his problem with said that Islam never have a policy to take some dating between the person who embraced that religion. But Hafizh was knowing when he had talked with her in some corridor of his school and ___" cerita Qiyya kepada Ibnu.

"Ok, I see. Trust me, I will finish it by a man." Jawab Ibnu.

Setelah selesai sholat isya', Ibnu segera bergegas ke kamar Hanif sedangkan Qiyya menuju ke kamar Hafizh. Ada sesuatu yang harus segera mereka luruskan bersama.

"May I enter your room, Mas?" tanya Ibnu kepada Hanif yang telah siap dengan beberapa buku pelajaran di depannya.

"Come Dad, that's free for you." Jawab Hanif sambil berkekeh kecil.

"Bunda was told me that you ___"

"Ya Dad, Hanif takut menjadi anak yang mengecewakan untuk kalian."

"Menurutmu, sudah benarkah apa yang kamu lakukan di sekolah tadi?" tanya Ibnu dengan pertanyaan yang cukup dingin untuk didengarkan.

"Kata bunda keliru." Jawab Hanif dengan menunduk.

"Daddy meminta pendapatmu. Bukan pendapat bunda."

"Keliru Dad."

"Mengapa?" cecar Ibnu.

"Seharusnya Hanif mengajak seseorang untuk mengatakan kepada teman perempuan Hanif itu. Sehingga tidak akan timbul fitnah."

"Itu yang benar. Mengapa kamu tidak melakukannya?"

"Maaf Dad, Hanif hanya berfikir itu aib jadi memang harus ditutup. Bukankah ketika kita berusaha untuk menutup sebuah aib kita, Allah akan menutupnya sampai hari kiamat nanti?" jawab Hanif kepada Ibnu masih dengan kepala tertunduk.

"Mas, look at me." Piinta Ibnu.

Hanif segera mengangkat pandangannya kepada Ibnu. Melihat dengan seksama raut muka serius sang daddy.

"Benar, Allah akan menutup aib kita sampai hari kiamat jika kita juga menutupnya dengan baik. Hanya saja, ketika kamu berusaha menutupnya dan menimbulkan fitnah untukmu? Dengarkan daddy, ada baiknya jika kamu menghindarinya Mas. Mengabaikan, itu adalah pilihan yang terbaik. Jika wanita itu telah mengenal siapa kamu, pasti dia akan mengerti tanpa kamu menjawabnya. Toh juga tidak ada keharusan untuk menjawabnya bukan? Itu bukan permintaan ta'aruf apalagi tentang khitbah."

"Hanif mengatakan penolakan supaya dia tidak berharap lebih jauh Dad."

"Kamu mencintainya? The famous student at your school, right?" tanya Ibnu lebih dalam lagi.

"Never. Cinta itu bukan untuk diumbar seperti itu. Biarlah nanti Hanif mencintai wanita yang memang seharusnya Hanif cintai. Seperti cinta Yusuf dan Zulaikha, seperti cinta Muhammad dan Aisyah, serta seperti cinta daddy dan bunda." Jawab Hanif mantap.

Ibnu hanya tersenyum mendengar ungkapan putranya. Sebegitu indahkan kisah cintanya dengan Qiyya hingga sang anak memasukkan kedalam daftar orang orang yang patut untuk dijadikan contoh.

Sementara di kamar yang lain Qiyya sedang menasehati anak lelakinya untuk selalu berkhusnudzonbillah. Apalagi dengan saudara. Biasakan bertabayyun sebelum kita mengejudge seseorang menurut apa yang kita lihat, seperti apa yang kita dengar. Kadang apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar belum tentu sesuai dengan kenyataan yang ada.

"Suudzon itu bagian dari syaiton Bang. Bertabayyunlah dahulu. Apakah kamu belum mengenal masmu dengan baik?" kata Qiyya kepada Hafizh.

"Bunda aku hanya tidak ingin mas Hanif salah mengambil langkah. Hanya itu saja." Jawab Hafizh.

"Tapi kamu sudah suudzon kepada masmu, Bang. Biasakan bertabayyun dahulu. Daddy dan bunda selalu meminta kalian seperti itu kan? Jika salah, nasihatilah dengan cara yang baik." Kata Qiyya kemudian.

"Iya Bun, cara abang salah dalam menegur mas Hanif."

"Berani minta maaf?" tanya Qiyya yang kini sudah berdiri.

"Pasti." Hafizh mengangguk pasti kemudian berdiri dan berhambur ke pelukan Qiyyara.

"Baiklah, ayo sekarang kita ke kamarnya mas Hanif. Daddy pasti sudah selesai berbicara dengan masmu sekarang." Ajak Qiyya kepada Hafizh.

Dengan sekali ketukan pintu. Suara Ibnu menggelegar dari dalam kamarnya Hanif.

"Masuk Bunda."

Hafizh yang berdiri di samping Qiyya kini berjalan menghampiri sang kakak kemudian segera mengulurkan tangan kanannya.

"Maafkan abang, Mas. Tidak seharusnya abang menegur mas seperti tadi sebelum bertabbayun dulu kepada mas Hanif." Kata Hafizh ketika uluran tangannya disambut Hanif kemudian justru Hanif menariknya ke dalam pelukan.

"Mas juga minta maaf. Harusnya tadi mas mengajakmu Bang untuk menemuinya, atau seperti saran daddy yaitu dengan mengabaikannya saja karena memang tidak ada baiknya dari sisi mana pun juga." Jawab Hanif

"Jadi____" kata Qiyya menggantung.

"Jangan diulangi lagi ya guys. Daddy selalu berdoa keluarga kita bisa selalu rukun, kompak, tetap teguh dalam keimanan dan saling mengingatkan di jalan Allah." Lanjut Ibnu membuat semuanya tertawa lirih.

Ibnu akhirnya mengajak Qiyya untuk segera meninggalkan kedua anaknya karena ketiga anaknya yang lain butuh bimbingan ekstra mereka.

"Seperti katamu Mas sebagai contoh tadi. Daddy dan bunda izin untuk bercinta dengan halal." Kata Ibnu sambil memainkan mata kepada Hanif.

"Dad___ish, they are so young to know your meaning is." Jawab Qiyya.

"Bunda, bukan itu maksud daddy. Jangan mikir kemana-mana." Kekeh Hanif ketika Qiyya yang memasang wajah cemberutnya kepada Ibnu.

"Mas Hanif__tolong jangan ledek bunda. Atau nanti kamu bunda masukin lagi ke perut." Ancam Qiyya kemudian keluar dengan menarik lengan Ibnu.

"Sepertinya memang bundamu sekarang berpikir ke sana Mas." Kata Ibnu yang langsung mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Qiyya. Sedangkan Hafizh hanya terbengong melihat keabsurdan tingkah kedua orang tuanya.

'They are always feels young.'

Hanif dan Hafizh hanya menggelengkan kepala mereka.

❣❣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top