🌴|| Serial Ibnu Qiyya #01
This is part of their story
-- happy reading --
Keluarga penuh dengan canda tawa, riang dan begitu mesra dengan celotehan anak-anak penghias kata sakinah, mawaddah, warrahmah. Tentram, cinta kasih dan penuh sayang. Qiyya menyempurnakan sujudnya malam ini dengan sholat witir 3 rakaat.
Melihat suaminya yang baru saja terlelap membuatnya menjadi ragu untuk membangunkan sang pujaan hati tercinta.
"Semoga Allah mengantikan peluhmu dengan ganjaran yang setimpal. Kedua tangan ini, kening ini, bibir ini dan semua yang ada padamu Mas." Kata Qiyya lirih sambil mengusap bagian tubuh Ibnu yang dia sebutkan satu persatu.
Dokter juga manusia, istilah itu mungkin bisa menggambarkan keadaan Ibnu saat ini. Dari semalam tubuh Ibnu demam, tak jua bisa memejamkan mata hingga menjelang waktu sepertiga malam Qiyya baru merasakan dengkuran halus suaminya begitu berirama lirih.
Seperti sebelum sebelumnya, dokter bedah yang sakit ini akan berubah menjadi seorang balita di samping Qiyyara.
Qiyya segera mengganti kompres air hangat yang ada di kening suaminya. Suhu tubuh Ibnu memang sudah tidak sepanas semalam yang mencapai 40°C. Namun juga masih belum sepenuhnya normal.
"Maafkan kami ya Mas. Ini semua pasti karena Mas Ibnu terlalu capek bekerja karena ingin membahagiakan kami dan memenuhi kebutuhan kami." Ucap Qiyya sambil meletakkan handuk kecil dengan air hangat di kening suaminya kembali.
Lenguhan kecil serta tubuh Ibnu yang menggeliat menerima rangsangan yang dilakukan Qiyya ketika mengganti kompresan di keningnya, membuat Qiyya semakin berhati-hati. Takut membuat Ibnu terbangun.
Tak pernah jenuh bagi Qiyya. Memandang Ibnu dari dekat adalah sebuah candu untuknya. Apalagi bercengkerama hangat bersama keluarga kecilnya.
Mengingat bagaimana dulu pertama kali pertemuannya dengan Ibnu membuat bibirnya kembali melengkung ke atas. Saat itu dia benar-benar bermimpi menginginkan keluarga yang bahagia di balik kisah hidupnya yang begitu tragis dengan Andrian terdahulu.
Sebenarnya keluarga Andrian yang memiliki darah keturunan arab mengharapkan Andrian berjodoh dengan wanita yang sekufu' dengan mereka. Namun ternyata Andrian memilih Qiyya sebagai jodohnya dan Allah mengabulkan.
Mengapa harus sekufu'? Menurut Merlina, ibunda Andrian. Menikah dengan orang yang sekufu' itu akan lebih mengamankan nasabnya.
Dari generasi sebelum sebelumnya memang di keluarga Andrian semua pernikahan dalam keluarganya dipilihkan dengan orang yang sekufu' dengan mereka, yaitu sama sama keturunan arab yang mengkaji quran dan hadist yang sama dengan mereka.
Tidak dapat disalahkan memang, itu aturan di keluarga Andrian. Namun apakah menjadi bisa dibenarkan jika perlakuan keluarganya kepada Qiyya yang notabene asli terlahir dari rahim seorang berkebangsaan Indonesia. Ayah dan ibunya juga asli orang Indonesia. Dipilih Andrian untuk melengkapi separuh agamanya?
Qiyya yang harus sabar mendengar protes dari sang mertua karena di tahun ke-9 pernikahannya dengan sang putra belum juga dikaruniai lahirnya seorang anak. Hingga akhirnya Andrian menjatuhkan talak satu dan akhirnya mereka benar-benar bercerai di depan pengadilan agama sedangkan Andrian telah mendapatkan pengganti Qiyya. Sedangkan Qiyya sendiri masih berjuang dengan tenaga yang dia miliki untuk menata kembali kepingan-kepingan hati yang telah diporak-porandakan Andrian bersama keluarganya.
Hingga akhirnya, Allah mengirimkan malaikat penjaga hatinya kembali. Zaqibnu Asy Syafiq. 'Kamu juga bukan seorang pribumi asli Mas. Meski bibirmu selalu mengatakan aku orang Indonesia. Tapi kami semua tahu, bahwa ayah Ammar-almarhum mertuaku adalah keturunan arab juga. Bukan, bukan beliau keturunan negeri dua benua. Namun telah mentaskhihkan diri menjadi seorang WNI dan lahirlah dirimu.'
Rahang kokoh Ibnu, pahatan wajah dengan hidung mancung mata yang memiliki lensa coklat keabu-abuan. Bulu mata yang lentik dan kulit putih nan halusnya tidak bisa menipu mata bahwa dia juga memiliki darah dari jazirah arab lebih tepatnya Turki, negara dengan julukan negri dua benua.
'You look so perfect always, dear.' Qiyya mengecup mesra kening Ibnu yang sedang berkerut. Ya, kini dia memang benar-benar harus membangunkannya karena adzan subuh telah berkumandang. Pasukan mereka pasti telah menantinya untuk menjadi imam sholat di musholla rumahnya.
Tok....tok....tok
"Bunda, daddy, are you there and are you awake? Adzan subuh was heard." Suara Hanif sayup sayup di depan kamar kedua orang tuanya.
"Ok Mas. We will prepare first. Please wake up your brother and your sister. Still stay at musholla, daddy will come after." Jawab Qiyya dari dalam masih dengan posisi membangunkan Ibnu.
Qiyya memandang suaminya yang masih menggeliat manja dibalik bedcover. Sudah beberapa kali Qiyya mencium muka Ibnu untuk membangunkan tetapi yang bersangkutan masih memejamkan mata.
"Sayang, please wake up. Allah telah memanggil kita, jangan sampai terlambat sholat subuhnya___" kata Qiyya terpotong.
"Malaikat akan menyampaikan laporannya kepada Allah pada waktu subuh dan ashar setiap harinya." Lanjut Ibnu yang sudah mengerti apa lanjutan kalimat yang akan diucapkan Qiyya.
"Jadi Mas Ibnu sudah bangun?"
"Daritadi." Jawabnya masih dengan mata terpejam.
"Ishhhh, ayo bangun!! buka mata Mas, masa iya pura-pura tidur ngerjain Qiyya banget. Anak-anak sudah menunggu di musholla." Ajak Qiyya tak mau anak-anak mereka menunggu lama di musholla.
"Kapan lagi aku diciumi seperti tadi?"
"Ish mas ihhh. Nanti Qiyya cium lagi. Sekarang ayo cepetan bangun. Cuci muka ambil wudhu terus ke musholla. Qiyya siapkan thoubnya." Qiyya bergerak menuju lemari pakaian menyiapkan sebuah thoub lengkap dengan sirwal untuk Ibnu.
"Beneran ya? Dicium lagi." Kata Ibnu sambil firlt kedua matanya.
"Subhanallah. Iya!! Bahkan lebih dari itu juga boleh, hurry up." Kata Qiyya sambil menepuk lembut bahu Ibnu.
"Bersiaplah, selesai sholat subuh lunaskan janjimu." Kata Ibnu yang sudah bangun dari tidurnya dan segera berjalan menuju kamar mandi.
"__dan anak anak kelaparan karena daddynya yang sedang sakit menggoda sang bunda. Sehingga sang bunda tidak bisa menyiapkan sarapan. Ah sudah, Qiyya tunggu di musholla dengan anak-anak, Mas." Kata Qiyya yang berbicara sendiri karena Ibnu telah berada di dalam kamar mandi.
Mendidik dan menanamkan pemahaman kepada seorang anak kecil tentang bagaimana kita sebagai seorang hamba yang membutuhkan kasih sayang dan belaian dari Allah, Rabb sang pemilik arsy itu bukan perkara yang gampang. Qiyya dan Ibnu harus kompak bekerja sama untuk memberikan contoh kepada mereka.
Harusnya memang setiap sholat wajib dilaksanakan di masjid. Namun karena semua tahu bahwa daddy mereka tidak dalam kondisi yang sehat, sehingga di sinilah mereka sekarang musholla keluarga Asy Syafiq. Sebuah ruangan yang disiapkan oleh Ibnu di dalam rumahnya untuk mereka semua melaksanakan sholat, melakukan halaqoh, atau sekedar bermurojaah dan memurotalkan AlQur'an bersama.
Ruangan yang bisa diisi 10 orang untuk sholat berjamaah itu telah penuh dengan 8 orang. Jika keluarga Ibnu melakukan sholat jamaah di rumah, bi Marni selalu ikut serta bersamanya.
"Allahuakbar." Suara Ibnu nyaring mengawali menjadi imam sholat subuh bersama keluarga kecilnya.
'Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?'
"Assalamu'alaikum warohmatullah." Ucapan salam pertama mengakhiri rangkaian sholat subuh mereka.
Ibnu segera bergeser dari tempat duduknya dan membalikkan badan kemudian segera berdzikir setelah sholat. Mengagungkan asma Allah dengan istighfar, tahmid, syukur hamdalah dan bertakbir. Masing-masing tiga puluh tiga kali sama artinya dengan seorang yang kaya raya yang memberikan sedekahnya untuk fakir miskin.
Tidak ingin kehilangan pahala amalan paling pol dengan mudahkan? Berdzikirlah setelah menyelesaikan sholatmu.
"Bunda, adik mau setor hafalan ya? Tapi belum semuanya masih hafal 20 ayat."
"Alhamdulillah, surrah apa itu Dik Hawwaiz?"
"Surrah al Mulk."
"Mashaallah, daddy juga ingin mendengarkan." Kata Ibnu sambil mengusap kepala putra bungsunya dengan penuh kasih sayang.
"Tabaarakalladzii biyadihil mulku wahuwa 'ala kulli syai'in qadiirun." Hawwaiz memulai murojaah surrah al Mulk setelah membaca taawudz dan basmallah.
Qiyya mendengarkan serta menyimak dengan mushaf AlQur'an yang ada di tangannya. Air matanya tak kuasa menetes ketika Hawwaiz berhasil menyelesaikan 20 ayat tanpa cacat mahraj dan panjang pendek murottalnya.
"Am man hadzaalladzii huwa jundun lakum yanshurukum min duuni-rahmani inil kaafiruuna ilaa fii ghuruurin." Hafalan terakhir yang keluar mulus dari bibir Hawwaiz.
Ibnu langsung merentangkan kedua tangannya. Bersiap memeluk sang putra. Hawwaiz yang menyadari itu pun segera beringsut untuk mendekat dan menyambut pelukan sang daddy.
"Mashaallah, anak bungsu daddy ternyata sudah besar. I'm proud of you, Dek." Kata Ibnu dengan butiran air mata kebahagiaan yang tidak ingin dia tutupi. Ya, Hawwaiz yang kini sudah mulai bersekolah di bangku pre school tingkat A sudah memiliki tanggung jawab untuk menghapalkan beberapa surrah dibantu Qiyya dan keempat saudaranya.
"Kami ingin mempersembahkan mahkota untuk daddy dan bunda nanti di akhirat. Itu alasan yang paling utama mengapa kami giat menghapalkan AlQur'an." Jawab Hafizh yang dibalas anggukan oleh si kembar.
"Dad, Daddy masih sakit. Istirahatlah, izinkan mas Hanif dan bunda yang mengambil alih tugas daddy sekarang. Adik-adik biarlah menyetorkan hafalan mereka kepada kami." Kini suara putra sulung Ibnu menggema. Hanif kini telah duduk di bangku SMP kelas 3.
"Daddy percaya kepadamu Mas. Cepat ataupun lambat kamu pasti akan mengambil alih tugas daddy untuk menjaga adik-adikmu serta bunda kalian. Inshaallah, daddy akan semakin sehat dengan mendengar hafalan-hafalan AlQur'an kalian. Percayalah." Jawab Ibnu yang tidak ingin meninggalkan keluarganya.
Semua telah menyetorkan hafalan mereka. Hanif juga telah menyempurnakan dengan menghafal lebih dari setengah mushaf AlQur'an.
"Mas Hanif total semua sudah berapa juz Nak?" tanya Qiyya.
"Masih 17 Bun."
"Bang Hafizh?" tanya Ibnu kemudian.
"Baru 14 Dad."
"Kak Al?" sambung Qiyya.
"Kakak Al sama mbak Ayya masih 4, Bun." Jawab si kembar bersamaan.
Qiyya tersenyum memandang kesemua anaknya. Hingga Ibnu bersuara kembali sambil memandang Hawwaiz yang masih betah berada di pangkuan sang daddy.
"Adek sudah berapa juz sayang hafalannya?"
"30 dong Dad."
Dahi Ibnu mengernyit menatap dalam anak bungsunya. Seolah meminta kejelasan dari ucapannya. Hawwaiz hanya senyum nyengir melihat kerutan di dahi daddynya.
"Maksudnya adek, hafalnya juz 30 Dad, sama beberapa surrah yang dipilihin sama bunda." Kekeh Hawwaiz sontak membuat semuanya tertawa.
"Kamu ini, sukses ya bikin daddy terkejut." Ibnu mencubit kedua pipi Hawwaiz kemudian menciumnya. "Adek, tahu nggak mengapa bunda memilihkan surrah Al Mulk untuk dihafalkan terlebih dulu?"
Gelengan Hawwaiz disambut dengan pertanyaan lanjutan untuk keempat putranya kembali. "Kalian? Tahu mengapa bunda meminta kita untuk bisa menghapalkan alMulk?"
"Supaya kita selalu dijaga oleh malaikat dari godaan syaiton, Dad." Jawab Hafizh segera.
"Jika__?" pancing Ibnu kemudian.
"Jika kita mengamalkan untuk memurottalkannya setiap pagi dan petang." Jawab Ayyana.
Benar-benar surganya dunia. Qiyya merasakan kesempurnaan keluarganya begitu lengkap. Allah memberkahinya, mengujinya dengan memberikan 5 amanah untuk diluruskan jalannya menuju surga yang mereka rindukan bersama.
"Mengapa?" tanya Ibnu menyambung jawaban Ayyana.
"Karena malaikat akan menjaga kita dari pagi sampai petang jika kita membaca al Mulk di pagi hari." Jawab Almira.
"__dan?"
"Tentu juga malaikat akan menjaga kita dari petang sampai pagi lagi jika kita membaca alMulk di waktu sore hari. Selain itu juga nantinya kita akan mendapatkan penjagaan malaikat di alam barzakh." Jawab Hanif menyempurnakan jawaban adik-adiknya.
"Perfect. Adik Hawwaiz sudah paham? Jadi bukan hanya dihafal tapi juga harus diamalkan. Ada keutamaan dari surrah alMulk yaitu menjaga kita dari godaan syaiton. Mengamalkan bacaannya sebaiknya?" kata Ibnu kepada Hawwaiz.
"Pagi dan sore. Jadi setelah sholat subuh dan setelah sholat ashar ya Dad?"
"Pinter," puji Ibnu.
"Iya dong. Anaknya daddy Ibnu harus pinter." Kata Hawwaiz sambil menepuk dadanya.
"Bunda nggak dapat Dek?" tanya Qiyya kepada Hawwaiz sambil tersenyum.
"I__iya, anaknya bunda Qiyya juga." Jawab Hawwaiz kemudian berhambur ke pelukan sang bunda.
"Kita-kita juga pengen dipeluk seperti adek lah Dad, Bun." Rengek Almira.
Ibnu langsung terkekeh mendengar rengekan manja putrinya. "Come," Ibnu merentangkan tangannya dengan lebar Almira dan Ayyana langsung berlari memeluk sang daddy. Sedangkan Hanif dan Hafizh justru mendekat Qiyya kemudian memeluk dan mencium pipi sang bunda secara bergantian.
Begitulah Ibnu, selalu saja menyelipkan tausiyah singkat ba'da subuh kepada keluarganya. Ilmu dan pengamalan itu akan lebih sempurna jika dibagi dan dikerjakan bersama keluarga.
"Kalian siap-siap ya, harus sekolah semua kan? Adek siap untuk mandi? Bunda akan siapkan keperluan kalian. Daddy istirahat lagi ya di kamar." Kata Qiyya kemudian dijawab anggukan semuanya kecuali dengan Ibnu.
Kelima anak-anak mereka kini berjalan menuju kamar mereka masing-masing. Qiyya menuntun Hawwaiz menuju kamarnya.
"Setelah urusan Hawwaiz selesai. Segera tunaikan kewajibanmu. Mas tunggu di kamar." Bisik Ibnu lirih di samping telinga Qiyya.
Qiyya masih melongo mendengar ucapan suaminya. Ah, masih juga Ibnu mengingat janji Qiyya ketika membujuk Ibnu untuk segera bangun dan mengambil wudhu sebelum sholat subuh tadi.
Ibnu yang akan masuk ke dalam kamarnya tiba-tiba berhenti ketika Almira berteriak meminta izin untuk bisa mandi di kamar daddynya karena kamar mandi di belakang sudah dipakai oleh Ayyana.
Suasana pagi yang selalu mengharu biru masalah kamar mandi. Membuat Qiyya akhirnya terkikik geli ditambah melihat raut muka suaminya.
"Untung daddy sedang off tugas Kak. Hmmmm," elusan lembut Ibnu di kepala Almira membuat Almira meminta Ibnu untuk menundukkan badannya kemudian dengan cepat kilat dia mendaratkan kecupan di pipi sang daddy, "thanks Dad."
Ketika semua sudah selesai mandi. Qiyya masih berada di dapur untuk membantu bi Marni menyiapkan sarapan sekaligus membawakan bekal makanan untuk kelima anaknya.
Saat Qiyya telah meletakkan 5 buah kotak bekal di meja makan suara Ibnu kembali nyaring di telinga Qiyya.
"Qiyyara."
Hanif yang kini telah duduk di ruang makan melirik Qiyya kemudian dengan matanya meminta Qiyya untuk segera memenuhi panggilan Ibnu. "Bunda, dipanggil daddy tuh. Biar mas Hanif yang menemani adik makan, mungkin daddy butuh bunda segera."
"Syukraan ya Mas. Jaga adik-adikmu, kamu tahu kan kalau daddy sakit sepertinya bunda seperti memiliki anak lagi, adiknya Hawwaiz."
Hanif tersenyum sambil membuka buku pelajaran di depannya. "Gitu juga bunda cinta."
Qiyya semakin melengos mendengar ledekan dari putra sulungnya. Ya, Hanif memang sudah remaja. Jadi anak itu mulai paham beberapa kebiasaan sang daddy yang harus segera dipenuhi bundanya. Karena dari awal memang Qiyya sendiri yang selalu menyediakan semua kebutuhan Ibnu. Dan Hanif mengetahui itu ketika dia bertanya 'mengapa bunda yang nyiapin? Daddy kan bisa menyiapkan sendiri seperti kami yang selalu melakukannya dengan mandiri', Qiyya selalu menjawab surganya bunda ada di kaki daddymu kalau semua dilakukan sendiri oleh daddy maka bunda akan jauh dari surga.
Ketika Qiyya berkata seperti itu dalam hati Hanif pun berkata. Apa pun untuk bunda pasti akan Hanif lakukan karena surganya Hanif selamanya ada di kaki bunda.
'Bunda memang bukan ibu kandung Hanif. Tetapi bagi Hanif bunda lebih dari itu, tidak pernah bunda membedakan kasih sayang bunda kepada kami anak-anak kalian. Semua sama pada porsinya. Kalau sekarang bunda lebih perhatian kepada Hawwaiz itu sangatlah wajar. Karena dia paling kecil diantara kami. Dulu bunda juga memperlakukan seperti itu ketika kami masih kecil. Siapa yang bilang ibu tiri itu kejam? Kalian salah, bundaku-bunda Qiyya bukan termasuk golongan orang seperti itu' monolog dalam hati Hanif sebelum suara daddy memanggil bundanya kembali.
"Qiyyara."
"Bun, kasihan itu daddy." Suara Hanif kembali mengingatkan Qiyya atas panggilan suaminya.
Qiyya bergegas menghampiri Ibnu di kamar sementara kelima anaknya mulai siap di meja makan untuk sarapan pagi bersama.
"Lama sekali kamu Sayang, lunaskan janjimu. Sebelum mereka berangkat. Mas akan ikut mengantar mereka ke sekolah."
"Mas Ibnu masih sakit."
"Mas sudah sembuh." Ibnu mengambil tangan kanan Qiyya dan segera meletakkannya di atas keningnya.
Qiyya hanya tersenyum ketika kemudian Ibnu membacakan doa dan akhirnya mereka menyempurnakan ibadah ba'da subuh mereka dengan singkat. Mandi pun akhirnya mereka lakukan bersama untuk menghemat waktu. Tidak lebih dari 10 menit, karena squad telah menanti untuk sarapan dan bersiap berangkat ke sekolah.
"Daddy dan bunda lama sekali di dalam. Kami sudah lapar." Kata Hafizh meringis.
Ibnu tersenyum mendengar pernyataan Hafizh. Kemudian Qiyya berkata kepada anak-anaknya "I'm sorry dear. Daddy membutuhkan bantuan bunda. Ayo tutup buku kalian kita segera sarapan, karena pagi ini daddy dan bunda yang akan mengantar kalian sekolah."
"Yeeaaayyyyyy." Sorak semuanya dengan gembira.
"Daddy tidak bekerja hari ini?" tanya Hanif.
"No. Daddy needs some rest. Ok, lets take our breakfast first. Mas Hanif lead to pray before it." Jawab Ibnu kemudian segera disambut Hanif untuk segera memimpin doa sebelum makan.
Sarapan yang selalu sama, hangat dengan berbagai cerita dari pengalaman kelima anaknya di sekolah dan sesuatu yang akan mereka lakukan hari ini. Membuat Ibnu dan Qiyya saling berpandangan dan tidak henti-hentinya mereka mengucapkan rasa syukur ke hadirat Illahi Rabb.
'Alhamdulillah.'
Mobil Toyota Innova kini meluncur dari garasi rumah Ibnu. Qiyya yang berada di balik kemudi segera membawa anak-anaknya untuk sampai di sekolah masing-masing dengan selamat.
❣❣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top