🍄|| Serial Erlando & Aira #10

This is part of their story
-- happy reading --

#Khumaira Zaffran

Berjuang demi cita-cita namun jauh dari keluarga, rasanya seperti makan buah simalakama. Tahu bagaimana rasanya? Yang kuketahui selama ini itu hanyalah buah perumpamaan saat kita tidak memiliki pilihan yang baik untuk sebuah keputusan dimana saat kita makan buah itu ibu meninggal tidak dimakan pun ayah yang akan meninggal.

Benar, kesungguhan dalam memperoleh kebahagiaan. Aku masih harus berjuang dan ketahuilah, ditengah-tengah aku berjuang Tuhan memberikanku amanah kembali saat Elramku sudah akan masuk ke sekolah taman kanak-kanak. Siklus bulananku berhenti dan setrip merah dua di testpack yang diberikan mas Erland pagi tadi membawakan berita menggembirakan. Namun mengapa aku justru tidak begitu antusias? Apa karena masih hidup berjauhan dengan mas Erland atau ada alasan lainnya, entahlah. Yang jelas di akhir blok spesialisku kegiatan belajar di kampus justru semakin padat-padatnya.

Namun lagi-lagi kekasih halalku membuka mata hingga membuat hatiku berkedut dan menumpahkan air mata yang ada.

"Aku masih harus menyelesaikan spesialisku, Mas. Tidak ingin molor supaya kita bisa hidup bareng-bareng lagi." Sungguh hidup berjauhan dari mereka itu sangat menyesakkan di dada.

"Dulu waktu internship kamu juga hamil Elram. Lalu apa masalahnya sekarang?"

"Beda, internship aku dekat dengan kamu, tidak masuk kelas. Nah sekarang kan sudah jauh dari kamu, dari Elram, masih harus di kelas." Bicara dengan Mas Erland membuat emosiku memuncak seketika. Mengapa dia tidak mengerti apa yang aku maksudkan. Toh sesungguhnya dia juga sama sebagai dokter spesialis yang tahu lebih dulu bagaimana repotnya kuliah di blok akhir. Apa karena dia laki-laki dan aku perempuan? Sehingga sama sekali tidak memberikan empatinya saat aku harus berjuang.

Ingin sekali menyalahkannya. Sudah lebih dari setahun terakhir ini dia susah sekali jika diminta untuk menggunakan pengaman dengan alasan A, B, C, D, E. Sudah persis anak TK yang belajar ngeja kan?

Hingga pada akhirnya membuatku hamil sebelum aku siap untuk menerimanya. Bukan karena aku tidak menginginkan, namun lebih karena keinginanku yang ingin segera berkumpul dengan mereka kembali.

Jika tidak mengingat agama mungkin aku bisa saja membuatnya menghilang dengan berbagai obat yang bisa aku dapatkan di apotek. Namun akalku masih melekat hingga pikiran buruk itu langsung hilang saat baru saja membayang.

"Alhamdulillah, akhirnya Elram nggak sendiri lagi nantinya." Ibu dan Mbak Qiyya yang sudah mengetahui apa yang terjadi padaku segera memberikan ucapan selamat dan seluruh keluarga Zaffran pun akhirnya ikut nimbrung dalam group keluarga.

"Dijaga baik-baik, meski Malang dan Blitar itu dekat tapi kamu juga harus tetap menjaga kesehatan dan juga jangan terlalu capek." Yang ini adalah voice note mbakku tercinta.

"Dik, semangat ya. Ah jadi pengen kan aku nambah lagi buat adiknya Fiza." Kalau ini jelas suara masku yang luar biasa absurd setelah menikah. Sepertinya penyakit mas Ibnu sudah menular kepadanya. Sok kulkas di luar, tapi sebenarnya microwave di dalam rumah.

Aku masih tergugu dalam diam. Sampai pundakku terasa bertambah beban manakala lelaki halalku meletakkan dagunya di sana. Ada damai tersendiri saat berdua seperti ini. Suamiku berdiri di belakangku dengan kedua tangannya yang kini mulai menyusup diantara lenganku untuk mengusap perutku yang masih rata.

"Kita sudah berapa tahun menikah sayang?"

Bola mataku berputar saat mendengar pertanyaannya. Kami telah melewati anniversary yang keenam, mengapa dia sudah melupakannya atau memang laki-laki itu akan melupakan hal-hal yang dianggapnya tidak terlalu penting seperti itu?

"Enam tahun kan Mas." Aku menjawab dengan kalimat yang begitu datar.

"Benar, baru enam tahun. Kamu ingat dulu berapa tahun mbak Qiyya dan pak Andrian menikah hingga mereka bercerai?" Mengapa mas Erland jadi membahas mbak Qiyya dan mas Andrian sih, bikin keki saja kalau mengingatnya.

"Nggak usah sebut nama laki-laki yang sudah membuat mbakku menjadi wanita yang tersakiti."

Mas Erland justru membalikkan badanku kemudian menatapku dengan kedalaman hatinya melalui tatapan mata yang bahkan aku sendiri tidak mampu untuk menatapnya lama, terlalu memabukkan.

"Allah memberikan kepercayaannya kepada orang-orang yang memang pantas untuk diberikan amanah. Kamu ingat bagaimana perjuangan mbak Qiyya dulu? Bahkan sampai harus melewati jalan yang menyedihkan seperti itu sampai akhirnya Allah pertemukan dengan mas Ibnu dan juga akhirnya mereka diberikan amanah untuk bisa menimang kembar dan juga Hawwaiz." Tidak ingin memutus ucapannya hingga aku masih bergeming dalam diamku.

"Kamu masih ingat? Enam bulan setelah menikah, Allah nyatanya langsung memberikan amanah itu kepada kita. Tidak perlu melalui jalan seperti mbak Qiyya dan mas Ibnu untuk memperjuangkannya."

"Mas__" aku mulai tidak nyaman dengan bahasan ini.

"Dengarkan masmu dulu, jadi tingkatan bersyukur itu__"

"Mas, ini bukan masalah tidak bersyukur hanya saja aku merasa belum siap menghadirkan adik untuk Elramdan. Waktuku bersamanya masih sangat kurang karena aku kuliah spesialisku ini."

"Jangan karena dunia lalu kamu melupakan kodratmu sebagai wanita, Dik."

"Aku tahu, tapi ini sudah hampir selesai. Dan aku nggak ingin molor untuk itu supaya bisa berdekatan dengan kalian."

"Kami tidak pernah menjauh."

"Tapi aku nggak bisa pelukin kamu setiap saat, Mas."

"Sini aku peluk." Mas Erland langsung mendekapku. Aku tahu maksudnya seperti apa tapi jujur, aku masih tidak bisa membohongi hatiku bukan?

"Sayang, apa yang menurut kita baik belum tentu menurut Allah baik. Tapi apa yang telah Allah tentukan untuk kita itu adalah hal baik yang wajib kita syukuri, termasuk kehamilanmu. Coba kamu lihat di luar sana. Berapa banyak wanita yang ingin hamil sepertimu namun Allah masih saja mengujinya untuk bersabar. Apa kamu masih ingin kufur atas nikmat itu?"

Kalimat yang disampaikan suamiku begitu halus hingga menembus relung hatiku terdalam. Tangannya masih bergerak sambil menyurai rambutku dengan lembut. Ini bukan hanya tentang mbak Qiyya, tapi juga dengan wanita-wanita di seluruh dunia yang begitu mengharapkan hadirnya buah hati diantara kehidupan mereka.

Sebagai manusia kita bisa membuatnya, bahkan mengecap nikmat dalam setiap prosesnya. Tapi jadi ataupun tidaknya hanya Allah yang paling berkuasa untuk menentukannya.

"Kamu masih ingat kisah ibunda Maryam dengan nabi Isa?" tanya mas Erland yang langsung kujawab dengan anggukan pasti di dalam pelukannya.

Kisah wanita suci yang dipilih Allah untuk mengandung dan melahirkan tanpa seorang suami. Akal manusia yang paling jenius pun tidak bisa mencernanya. Bagaimana mungkin sebuah zygote terbentuk tanpa ada pertemuan antara sel sperma dengan ovum ketika mengalami ovulasi? Tanpa sebuah proses namun nyata dan itu tertulis begitu indahnya dalam khalam Allah. Percaya bahwa Allah adalah penguasa dari sesuatu yang paling berkuasa di dunia ini.

"Apakah ibunda Maryam menolaknya? Ketika seluruh warga menghardik bahkan mengasingkannya sampai pada akhirnya nabi Isa lahir dan beliau sendiri yang menjawab seluruh pertanyaan seluruh umat atas siapakah ayahnya."

"Mas__"

"Hei, aku mengingatkan cerita itu bukan untuk membuatmu menangis seperti ini."

"Tapi mas Erland tahu dimana titik lemahku. Aku jelas tidak mungkin mengelak lagi jika sudah seperti ini." Jawabku.

"Tidak perlu mengelak, masih ingat nggak apa yang dulu disampaikan mbak Qiyya saat Hawwaiz baru lahir?" aku menatap lelakiku dengan cepat. Apa yang dikatakan mbak Qiyya?

"Suami istri itu tidak untuk mencari siapa yang kuat siapa yang lemah, siapa yang benar siapa yang salah, suami istri itu memang dua individu yang berbeda namun mereka bisa berjalan beriringan menjalankan tugas dan perannya masing-masing dalam perbedaan itu seperti layaknya sepasang sepatu. Ada kurangnya aku bisa kamu tutupi, demikian juga sebaliknya."

"Mas, tapi kuliahku?"

"Apa kamu lupa kalau suamimu ini juga seorang dokter?" aku seketika terkesima mendengar penuturan kekasih halalku ini.

"Aku dokter kandungan Sayang, pasti aku akan ikut mengawasi kandungan kamu. Membantu pekerjaan rumahmu dan yang jelas selalu mendukungmu."

"Tapi kita masih berjauhan, Mas."

"Selama hati kita selalu dekat, itu tidak akan menjadi masalah." Satu ciuman manis mendarat di keningku.

Mas Erland kemudian menggendongku masuk ke kamar kami. Ah sepertinya memang aku masih harus banyak belajar tentang rasa bersyukur kepada Allah. Meminimalisir semua rasa kurang dan memperbaiki diri menjadi pelengkap yang sempurna untuk imam hidup dan akhiratku ini.

Bagaimana mungkin aku tidak berkata, bahwa semakin hari aku semakin mencintai lelaki yang telah menghalalkanku ini.

"Aku mencintaimu, suamiku."

🌷🌷🌷

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top