🍄|| Serial Erlando & Aira #07
This is part of their story
-- happy reading --
#Khumaira Zaffran
Lengkungan senyum terindah dari bibir mungilnya yang selalu membuatku semakin merindunya. Tangisan manja dan sentuhan lembut dari tangan mungilnya selalu membawa air mataku menetes.
Rindu, ya sedalam inikah aku merasakannya. Ingin rasanya merengkuh dan membawanya selalu dalam dekapan. Apa daya tangan tak tersampai memeluknya.
Suamiku tercinta memilih untuk membuainya seorangan. Membiarkanku di sini bergelut dengan tumpukan silabus dan buku yang setiap hari harus aku lahap, kadang sampai ingin muntah.
Ibu dan mbak Qiyya juga memprovokasinya. Ah iya, tenangku kembali menyapa saat aku tahu bahwa jagoanku berada di tangan yang tepat. Ibu yang selalu memperhatikannya dan tentu kakakku tercinta, budhenya Elram yang dengan suka cita merawat bersama dengan Hawwaiz.
Aku tidak bisa membayangkan, terbuat dari apa hati kakakku itu. Tak cukup sepertinya hanya ucapan terimakasih atas semua yang telah dia lakukan untuk kami.
Dan yang sekarang menjadi PRku adalah, sang jagoan lebih menurut pada budhenya ketimbang padaku yang dia panggil manda.
"Sebentar ya Manda, adik tanya budhe dulu boleh apa tidak?" hatiku cemburu waktu dia berkata seperti itu. Apa karena waktu manda yang tidak sepenuhnya untukmu Nak, sehingga engkau menduakan mandamu ini.
Ingin rasanya aku mengajaknya serta. Rasa seorang ibu. Hidup adalah pilihan bukan? Ternyata memang hidup jauh dari keluarga seperti ayam kehilangan induk. Tidak enak sama sekali, sepi dan jauh dari kata bahagia.
"Aira, katanya kemarin kakinya terkilir ya?" tanya dokter Susi.
"Iya Dok, tapi sudah lumayan. Kemarin sempat dipijit."
"Sama?"
"Alhamdulillah kemarin diantar ustad Wil__"
"Aira? Pak Wildan Syafaraz maksudmu? Dosen agama itu, kalian benar sudah saling mengenal sebelum ini?" selidik dokter Susi.
Aku merutuk mulutku sendiri yang nyablak menyebutkan nama ustad Wildan di hadapan dokter Susi. Tidak ingin menambah asumsi di pikiran teman baruku ini.
"Eh, iya. Dulu pernah mengajar di panti asuhan dekat rumah. Kebetulan kakak saya juga sebagai pengajar di sana Dok sehingga kami pernah mengenal sebelumnya." Jawabku mengatakan dengan kewajaran tanpa dikurang dan ditambahi.
"Kasihan sebenarnya pak Wildan itu."
Aku sedikit terkejut dengan pernyataan dokter Susi. Bukan ingin tahu dan termakan untuk mengghibah tapi rasanya entah mulutku tidak bisa direm untuk bertanya selanjutnya.
"Memangnya mengapa harus dikasihani Dok?"
"Kamu tidak mengetahuinya?" tanya dokter Susi seperti tidak percaya.
"Maksudnya?"
"Istrinya meninggal setelah melahirkan putranya. Dan sekarang putranya sakit terkena pneumonia. Ini bukan ghibah Aira, tapi sebagai seorang dokter rasanya tidak adil jika kita diam saja." kata dokter Susi.
"Innalillahi, dokter Susi tau dari mana informasi ini?"
"Saat itu kalau nggak salah dari akademik. Aku mencuri dengar beberapa dosen membicarakan putranya bermaksud untuk membesuk si kecil yang pada waktu itu sedang opname." Sambung dokter Susi.
"Astaghfirullah, saya malah tidak tahu menahu perihal ini." Ucapku benar-benar terkejut haru.
Allah memang memiliki berbagai cara menunjukkan rasa sayangnya. Cerita anak ustad Wildan mengingatkanku kepada Hafizh Abbiyu Asy Syafiq. Seorang bayi yang tidak mengenal sosok seorang ibu.
Sebelum menikah dengan Qiyya, Aira sangat memahami bagaimana kakak iparnya membesarkan Hanif dan Hafizh seorang diri. Menjadi ayah sekaligus menjadi seorang ibu. Itu bukan pekerjaan yang mudah
Kini serasa hatinya terpelintir saat mendengar cerita tentang Wildan yang mirip dengan kisah kakak iparnya. Hanya saja Ibnu lebih beruntung dari Wildan karena Hafizh tumbuh menjadi anak yang sehat tidak kurang suatu apapun. Sedangkan Wildan, sepertinya memang Allah memberikan perhatian lebih untuk memintanya bersabar.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku menyempatkan diri untuk segera menengok putra ustad Wildan yang kini telah terbaring lemah di hospital bed Rumah Sakit Umum Daerah Malang.
"Aira? Darimana anti tahu__"
"Tidak penting darimana ana tahu Ustad. Mengapa ustad tidak pernah menceritakan semuanya kepada kami? Mungkin kami bisa membantu."
Sekilas nampak senyum tipis mengembang dari bibir ustad Wildan. Samar sekali sehingga jika tidak memperhatikan dengan seksama mungkin tidak akan tahu bahwa senyum itu sangatlah manis.
"Ana mendengar dari dokter Susi, sebenarnya beliau tadi juga ingin ikut kemari hanya saja karena ada telepon mendadak dari keluarganya sehingga mengharuskan beliau kembali ke Pasuruan secepatnya. Salam dari beliau, Ustad." Kataku ketika aku mengetahui bahwa ustad Wildan menunggui putri cantiknya seorang diri.
"Alaiki waalaihissalam."
Aku mulai memberanikan diri untuk menatap bola mata si kecil. Mungkin seusia si kembar. Dia tergolek lemah dengan masker oksigen berada di muka tirusnya. Matanya mengerjap lucu seolah ingin mengatakan sesuatu. Tak kuasa butiran bening dari kedua mataku menetes hingga bibirku akhirnya terbuka setelah terkatup beberapa saat.
"Sayang, semua sayang sama anti__" aku memandang ustad Wildan meminta dia menyebutkan nama putri kecilnya "Aira, namanya Belizia Khumaira Syafaraz."
Aku menyipitkan mata terhentak seketika ketika ustad Wildan menyebutkan nama putri kecilnya. Mengapa harus sama? Bukan karena ketidaksengajaan.
"Semua sayang Aira, Aira pasti kuat dan cepat sembuh ya. Nanti kalau Aira sembuh, aunty janji bacain cerita yang bagus sekali. Sekarang Aira istirahat ya." Kataku sambil membelai kepalanya. Matanya bergerak lucu sebelum akhirnya dia mengangguk dan menutup matanya sesuai apa yang aku instruksikan.
Entahlah kepergian ustad Wildan yang meninggalkan kami setelah dia menyebutkan nama panjang putrinya membuatku semakin nyaman untuk membuai gadis kecil yang tergolek di ranjang pesakitan ini. Mungkin aku sedang kangen Elramku, jadi wajar jika aku bisa menjadi sedekat ini dengan anak-anak seusianya.
Membacakan beberapa surat surat pendek yang aku hafal sebagai pengiring tidur gadis kecil nan lemah di sampingku ini.
Hingga entah berapa lama mataku terpejam disamping Aira dengan tangan kananku masih berada diatas kepalanya.
Sedikit guncangan dan suara dari seseorang yang asing di telingaku membangunkanku dari tidurku.
"Maaf Bu, kami akan mengganti infus sebentar untuk dik Aira."
"Oh silakan Suster."
Dengan cekatan paramedis itu menggantikan kantong infus Aira dengan yang baru.
Kulihat jam yang melingkar di tangan kiriku. Sudah hampir satu jam aku berada di kamar rawat Aira namun ustad Wildan masih juga belum terlihat. Tidak mungkin aku meninggalkan Aira seorangan di dalam kamar inapnya.
Hingga akhirnya aku mencoba untuk mencari ustad Wildan. Pelan tanganku membuka pintu supaya tidak terdengar dan membuat Aira terbangun dari tidurnya.
Ketika aku telah berhasil membuka pintu aku melihat ustad Wildan sedang duduk seorang diri di kursi panjang sebelah pintu rawat putrinya. Tangannya bersedekap di depan dada dengan kepala menyender di dinding dan kedua matanya terpejam. Aku baru mengingat sesuatu, tidak mungkin dia mau berada di dalam ruangan yang hanya ada aku dan dia meski ada Aira kecil diantara kami. Namun seolah memang dia tidak ingin menimbulkan fitnah untukku. Perlakuannya sungguh sangat manis.
"Maaf Ustad Wil__"
"Anti sudah bangun Ra? Maaf tadi ana tinggal karena ti__"
"Ana faham ustad, tidak mungkin kita berduaan di dalam ruangan." Jawabku memotong ucapannya.
Hening, tanpa kata. Aku segera berbalik ke dalam kamar untuk mengambil tas dan berniat untuk pamit pulang karena waktu telah beranjak menelan hari. Malam mencubitku untuk segera pulang ke peraduan.
"Lain kali, kemarilah dengan seorang teman Aira. Jangan biarkan anti menemui ana seorang diri."
Tubuhku bergetar mematung, kaku tidak bergerak menunggu kalimat lanjutannya. Namun tak kunjung jua terucap, hingga akhirnya aku mengangguk dan mengucapkan kata "iya".
"Maaf jika ana terlambat memperoleh kabar itu, hingga akhirnya justru ana yang harus menyakiti banyak hati. Hati yang seharusnya ana jaga, hati yang seharusnya berhak atas ana." Ucap ustad Wildan yang sama sekali tidak aku pahami.
Tidak ingin terlarut dalam kungkungan masa lalu yang menurutku sudah harus aku hempaskan. Meskipun, iya hati tidak bisa dibohongi. Hatiku terlalu munafik untuk menampiknya.
"Bibi Ikhlima menjelaskan kepada ana sehari sebelum ana menikah. Sekali lagi maaf."
"Ustadzah Ikhlima? Menjelaskan? Maksudnya?"
"Perihal penolakan Qiyya atas permintaan taaruf ana dan anti yang__"
"Sudahlah Ustad, itu sudah berlalu. Bukankah Allah telah memastikan semuanya bahkan sebelum kita dilahirkan di dunia ini? Ana juga sudah berkeluarga sekarang, alhamdulillah. Dulu memang sempat salah paham dengan mbak Qiyya beberapa minggu namun setelah ternyata mbak Qiyya lebih memilih mas Ibnu ana sudah tidak berselisih lagi dengannya." Jawabku mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu.
"Tapi maaf Ustad kalau ana boleh tahu. Mengapa ustad memberikan nama__" mataku beralih kepada tubuh kecil yang masih tertidur diatas hospital bed.
Ustad Wildan tersenyum mendengar pertanyaanku, "Itu panggilan kesayangan nabi untuk Aisyah radhiallahuanha. Bukan begitu? Tapi yang terpenting adalah untuk mengingatkan ana pada anti__"
"Kalau begitu ana permisi dulu Ustad," rasanya semakin lama aku disini akan semakin berbahaya untuk hatiku. Hatiku seolah memberontak dan aku tidak ingin menumpahkan semuanya. Dulu, itu dulu aku pernah berharap bisa bersanding dengannya. Dan kini aku telah memiliki mas Erlando dan Elramdan buah cinta kami.
Namun ketika aku menoleh kembali kepada Aira kecil, hatiku mencelos. Naluri keibuanku muncul. Bukan, bukan karena dia anak seorang Wildan Syafaraz, seorang yang pernah kusebut namanya dalam doa sepertiga malamku. Dia membutuhkan pertolongan, dia membutuhkan figur seorang ibu untuk menguatkannya.
Dan aku? Mungkin sedikit bisa membantunya. Bukan karena Wildan Syafaraz, namun karena naluri seorang ibu, atas nama kemanusiaan dan karena aku adalah seorang dokter yang kini sedang belajar untuk mengambil spesialis anak.
🌷🌷🌷
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top