🍄|| Serial Erlando & Aira #06
This is part of their story
-- happy reading --
#Khumaira Zaffran
Seperti membuka kembali lembar demi lembar kehidupan yang telah kujalani. Menjadi seorang istri dan sekaligus menjadi seorang ibu dari baby Elramdan Fauzan Alamsyah.
Menerima pinangan mas Erland membuatku merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Bagaimana tidak, setiap hari dia selalu menghujaniku dengan limpahan kasih sayang. Meski kadang aku merasa kesal, marah, atau apalah yang membuat hubungan kami sedikit menegang. Tapi okelah, skip, itu bumbu romantika berumah tangga bukan?
Mulai hari ini 4 hari dalam seminggu aku akan berjauhan dengannya. Tidak akan lama sayang hanya sampai dengan perkuliahanku selesai, Residen? Tentu aku akan memilih di sampingmu jika akademika fakultas mengizinkannya.
Satu mata kuliah yang tidak pernah absen di dalam fakultas apapun adalah pendidikan agama. Seperti sekarang ini, mata kuliah MKDU pendidikan Agama Islam.
Jangan tanya teman seangkatanku seperti apa, pendidikan spesialis ini sama halnya dengan pendidikan pasca sarjana. Rata rata mahasiswanya telah berkeluarga dan lebih dari kata senior.
Aku duduk disamping seorang dokter wanita yang usianya mungkin seusia dengan mbak Qiyya.
"Asal dari mana Mbak Aira?" tanyanya kepadaku.
"Blitar Dok, kalau dokter Susi?" tanyaku balik kepadanya.
"Saya dari Pasuruan."
Percakapanku berhenti sampai di situ. Karena di depan telah berdiri seorang dosen yang akan membimbing kami selama satu semester kedepan. Belum sempat aku melihatnya, suaranya kini telah terdengar di ruangan.
"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh."
Dengan kompak kami menjawab salam yang dilontarkan sang dosen sebagai pembuka perkuliahan ini. Masih juga dengan posisi sama aku belum melihatnya karena kini aku sedang mencari bolpoin yang tadi sudah aku siapkan di kotak pencil, namun sepertinya aku lupa memasukkan ke dalam tas.
"Aira mencari apa?" dokter Susi bertanya kepadaku.
"Bolpoin Dok, sepertinya saya lupa tidak memasukkan kotak pencil yang telah saya siapkan ke dalam tas." Jawabku.
"Ini pake punya saya saja, saya membawa banyak."
Belum sempat aku mengucapkan terima kasih kepada dokter Susi, aku mendengar dengan jelas dari telinga kanan dan kiriku dosen yang berada di depan kami sedang memperkenalkan diri.
"Baik syukraan bapak ibu dokter semuanya. Di sini nantinya saya akan membantu perkuliahan Pendidikan Agama Islam bersama kelas ini untuk satu semester kedepan. Perkenalkan nama saya Wildan Syafaraz, bapak ibu silakan memanggil saya dengan panggilan Wildan." Perkenalan itu sungguh membuat hatiku seperti terlontar dari tempatnya.
Wildan Syafaraz, aku membenarkan letak kacamata kemudian mencoba untuk menatap sang dosen yang telah selesai memperkenalkan diri. Ya, sepasang mata hazel itu benar miliknya. Seseorang yang pernah aku sebut namanya dalam sujudku namun Allah ternyata mengabulkan doaku dengan menggantinya menjadi Erlando Alamsyah untuk menjadi seorang imamku.
Hatiku berdesir kembali mengingat kejadian 4 tahun yang lalu. Aku sangat mendambanya, namun dia telah memilih kakakku untuk diajak berta'aruf. Sayangnya, kakakku lebih memilih mas Ibnu dengan berbagai pertimbangan dan dia memilih untuk menikah dengan orang lain daripada melihatku.
Ya Allah, mengapa Kau pertemukan kembali aku dengannya disaat hidupku kini telah terisi dengan keluarga yang begitu sempurna?
Wildan Syafaraz, mahasiswa lulusan Al Azhar Cairo, seusia dengan mas Zurra yang selalu menundukkan pandangannya, namun justru membuatku ingin selalu menatapnya. Dan kini aku berkesempatan untuk bisa melihatnya selama satu semester kedepan.
"Khumaira Zaffran." Panggilnya mengoyak lamunanku. Dia sedang berkenalan dengan kami memang. Aku mengangkat tangan kananku. Menatapnya sekilas namun tatapan kita terkunci kemudian dia mematahkan dengan segera.
'Astaghfirullahaladziim'
Khilafku, rasanya masih sama di hatiku seperti saat berada di panti asuhan milik Ummi Fatimah dulu.
"Sa__saya Pak." Jawabku setelah aku menundukkan pandanganku.
Entah berikutnya dia berbicara apa, aku sungguh tidak tertarik. Yang penting buatku saat ini adalah memulihkan suasana hatiku kembali untuk tetap seperti sebelum ikhwan itu tiba-tiba kembali menjadi bagian dalam perjalanan kisahku.
Satu setengah jam terasa begitu lama. Tidak, aku telah memiliki mas Erland dan Elramdan. Aku adalah seorang istri yang juga seorang ibu. Tujuanku kesini sekolah, menyelesaikan pendidikan spesialisku dengan sempurna. Bukan untuk menekuri masa lalu yang memang sudah Allah jelaskan dengan pilihanku.
"Aira, benar ya panggilannya itu?" tanya Wildan setelah perkuliahan selesai. Mahasiswa telah berhambur keluar ruangan hanya tinggal aku dan dokter Susi yang masih berkemas memasukkan perlengkapan ke dalam tas.
"Iya Pak, saya?"
"Tunggu sebentar, ada yang ingin saya sampaikan." Dokter Susi memandangku kemudian meminta izin untuk segera meninggalkan kami.
"Kita ke taman di depan, bisa?" tanya Wildan kepadaku yang kujawab dengan anggukan.
Masih dalam suasana hening, karena memang aku tidak tahu apa yang ingin dia sampaikan kepadaku. Dia tidak mengenalku. Aku yang mengenalnya lebih dulu.
"Maaf, kamu adiknya Qiyyara kan? Adz Qiyyara Zaffran?" tanyanya memulai percakapan kami.
"Iya Pak," jawabku masih dengan menunduk. Bahkan sudah 4 tahun berlalu yang diingatannya hanyalah mbak Qiyya.
"Maaf jika ana pernah membuat anti sakit dulu." Katanya membuatku tertegun. Membuatku sakit?
"Afwan ustad Wildan, maksud anta?" panggilanku berubah seperti 4 tahun yang lalu aku memanggilnya.
Ustad Wildan hanya tersenyum kemudian memohon izin untuk meninggalkanku karena masih ada kelas yang harus dia ajar sekarang. Tidak akan ada yang berubah Aira, yakini itu. Kamu dengan keluargamu dan biarlah Wildan Syafaraz menjadi masa lalu dalam doamu.
Perpustakaan akhirnya menjadi tujuanku. Menenggelamkan dalam buku bisa mengobati salah fokusku. Setelah aku membelokkan kakiku menuju masjid kampus untuk melaksanakan sholat dhuha disana akhirnya di sinilah aku, tenggelam diantara literatur literatur kedokteran yang aku butuhkan untuk referensi perkuliahanku.
Tenang dan sepi itu sudah menjadi icon setiap perpustakaan. Melahap puluhan halaman membuatku semakin kecanduan untuk tidak menghentikannya. Semakin aku membacanya semakin aku tidak akan peduli terhadap lingkunganku.
Bahkan sampai ada seseorang di depanku aku tidak mengetahuinya. Hingga akhirnya petugas perpustakaan mengantarkan buku pesanannya baru kepalaku mendongakkan ke arah suara.
"Ustad Wildan." Ucapku lirih.
"Aira."
Tidak ada kata yang lain yang terucap dari bibirku. Kami hanya terdiam kemudian kembali menekuri lembar demi lembar halaman buku yang ada di hadapan kami.
'ancik-ancik pucuking eri'
Rasanya sekarang langkahku seperti peribahasa jawa itu. Ah, mengapa hatiku justru menjadi berdebar seperti ini.
"Ustad, saya permisi duluan. Masih ada jadwal kuliah berikutnya." Berada di dekatnya malah membuat aku tidak bisa fokus. Sekilas dia melihatku kemudian mengangguk dan melanjutkan kembali membacanya.
Masih teringat dia minta maaf telah membuatku sakit. Aku tidak benar-benar tidak tahu apa maksudnya. Membuatku sakit? Ada ada saja.
🌷 🌷
Kamar 3 × 3 meter persegi ini yang sekarang aku tinggali. Tidak seperti kamar kosku yang di jogja dulu, disini bersih nyaris tanpa perabot apapun. Hanya ada dipan, lemari dan meja. Mungkin nanti hanya akan aku tambahi dispenser saja untuk kebutuhan minumku.
Kurebahkan tubuhku diatas dipan yang telah memanggilku sedari tadi. Perkuliahan semester pertama yang sangat berat, karena aku harus menyesuaikan kembali berada di kelas. Tiga tahun meninggalkan bangku kuliah membuatku kembali membuka memori yang tersimpan hipotalamusku. Setidaknya metode belajar yang dulu pernah aku terapkan, saat ini harus aku bawa lagi untuk menumbuhkan suasana romantisme bersama beberapa mata kuliah yang harus aku tempuh.
Jam dinding di kamarku baru saja merangkak di angka 18.30, namun mataku tidak bisa lagi diajak kompromi. Selain karena aku harus menyesuaikan diri, hari ini aku juga harus menenangkan hati yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Ah, kalau seperti ini terus harusnya aku tidak mengambil spesialis anak. Harusnya aku ambil spesialis jantung supaya aku bisa mengobati sendiri apabila tiba-tiba terjadi infark miokardial.
Saat mataku mulai terpejam, rasanya seperti bermimpi ketika gawaiku menangis dan bergetar.
my Dear is calling
"Assalamu'alaikum."
Kujawab salam dari mas Erland dengan suara khas orang mengantuk. Tentu saja pertama kali aku menanyakan keadaan Elram.
"Ya namanya juga anak anak, pagi bilang iya, sore pasti nanyain manda kok belum pulang kerjanya." Jawab suamiku sambil tertawa kecil.
"Kamu disana bagaimana sayang? First experience masuk kelas lagi seperti apa? Jangan capek-capek loh ya," pesan suamiku kemudian.
"Ya semua memang harus menyesuaikan diri, Mas." Jawabku.
Dan akhirnya aku benar-benar tidak bisa menahan kantukku. Entah kekasih halalku itu berbicara apa lagi. Sayup sayup terdengar ditelingaku seperti orang yang sedang meninabobokanku.
Fix, aku tertidur saat di telepon suamiku pada hari pertama aku kembali ke kampus.
Mataku terbuka sempurna manakala alarm HPku berbunyi. Pukul 02.30. Subhanallah, bahkan aku belum melaksanakan sholat isya.
Menyempurnakan berdiriku kemudian berlanjut untuk mengakhiri dengan 3 rakaat sunnah witir.
Setelah subuh aku mulai menggerakkan badanku, mengenakan pakaian joggingku lengkap dengan sepatu kets kini aku mulai mendaratkan kaki untuk menikmati udara pagi kota Malang. Berputar ke komplek kost yang aku tinggali hingga akhirnya sampailah aku di Jl Soekarno Hatta.
Beberapa ada mobil melintas di sampingku. Matahari masih menguap dari tidurnya. Suasana kota juga masih gelap namun udara pagi ini benar benar membuat rongga dadaku kembali fresh.
Sudut kota ini begitu bersih.
Baru saja anganku berpikir seperti itu tiba tiba kaki yang mengantarkanku jogging pagi ini menginjak sesuatu dan___
Bugggggghhhh
Tubuhku, terpelanting dengan kaki kiri lurus kedepan dan kaki kanan tertekuk dan tertimpa badanku sendiri.
"Awwww, innalillahi." Ringisku ketika tangan kananku sedikit berdarah karena terbentur dengan aspal.
"Maaf, anti bisa berdiri?" suara itu aku sepertinya mengenal, tunggu!!! Kepalaku refleks menoleh kepada suara bariton yang lekat di telingaku.
"Ustad Wildan??" bibirku otomatis menyebutkan namanya ketika aku mulai mengenali siapa yang menyapaku. Dengan sekuat tenaga aku mencoba berdiri, namun baru saja berdiri ternyata kaki kananku sepertinya terkilir.
"Awwwww." Ringisku kembali.
"Kaki anti sepertinya terkilir Aira. Tunggu di sini ana ambil mobil."
"Ustad ngapain ada di sini?" pertanyaan bodoh yang aku ucapkan. Jelaslah dia sedang jogging sama sepertiku karena ustad Wildan juga memakai training lengkap dengan sepatu jogging. Hmmmmm.
Inginnya aku berjalan sendiri. Ah, baru saja anganku beranggapan kota ini begitu bersih. Namun kulit pisang yang dibuang sembarangan ini benar benar membuat urat kakiku bergeser, sakittt.
Sebuah mobil Honda HRV berwarna merah berhenti tepat di sampingku yang berusaha untuk berjalan tanpa bantuan. Kaca jendela mobil itu sedikit terbuka. Masih dengan muka melongo tidak percaya siapa yang berada di belakang kemudinya.
"Aira, ayo masuk. Ana antar sampai kosan anti."
Menolak
Terima
Menolak
Terima
"Awwwww." Ringisku ketika aku berusaha menolak dan kembali berjalan.
"Tafadhol, duduk di belakang saja. Inshaallah ana antar selamat sampai di kostan anti."
🌷🌷🌷
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top