🍄|| Serial Erlando & Aira #02
This is part of their story
-- happy reading --
#Erlando Alamsyah
Aku begitu cemburu ketika melihat dengan kepala dan mataku sendiri gadis yang ingin aku dekati ternyata lebih dekat dengan rekan seprofesiku. Dokter baru pindahan dari Banten. Namun salahku juga, seharusnya aku memberanikan diri untuk mengenal dekat dengan keluarganya ketika ayahnya sedang dirawat di rumah sakit ini. Namun melihat mereka berdua sedang menikmati sarapan pagi bersama seperti ini sungguh membuat hatiku seperti ditikam sebuah sembilu. Enggan untuk bergerak namun tidak ingin berada di tempat.
Aira adalah calon dokter yang cerdas, sekali aku mengajari dan memberikan perintah maka dia pasti akan melakukan dengan tepat dan sempurna. Namun gara-gara perasaan yang nggak jelas itu akhirnya aku memutuskan untuk merubah jadwal co ass yang harus mendampingiku untuk melakukan SC.
Kalau kata orang mata adalah jendela hati. Hari ini aku baru menyadari bahwa pepatah itu benar. Aku melihat banyak pertanyaan dari mata Aira ketika menatapku waktu dia menyerahkan laporan untuk bayi yang bermasalah yang baru saja lahir kemarin.
Malas, mungkin itu satu kata yang membuatku bersikap tidak profesional seperti itu. Salah, sebagai dokter tentu saja aku salah bersikap seperti itu. Namun bagaimana, apa kabar dengan hatiku. Aku tidak mau pasienku yang menjadi akibat dari rasa cemburuku yang berlebihan. Oleh karena itu, lebih baik aku timpakan saja kepada seorang yang membuatku menjadi seperti sekarang ini.
Hingga beberapa minggu kemudian akhirnya pertanyaan pertanyaan unfaedah dalam hatiku itu terjawab. Jika saja ada yang tahu aku pasti sangat malu.
Eh tapi tunggu, bukan hanya Aira yang kujadikan sasaran cemburuku tetapi juga dokter Ibnu yang minggu nanti akan melaksanakan akad nikah dengan kakak dari Aira. Ya Allahu Rabb, mengapa aku tidak berpikir sejauh itu. Mengapa aku tidak berpikir jika kedekatan dokter Ibnu dengan Aira adalah kedekatan calon ipar? Betapa bodoh dan malunya aku jika mengingat itu.
Bagaimana mungkin aku berpikir jika Aira berani berkhalwat dengan ikhwan yang bahkan belum menjadi mahramnya sementara kini dia ingin memulai berhijrah?
'Dokter Erlando, sepertinya Anda juga harus banyak belajar untuk manajemen hati' kataku menyemangati jiwa untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Aku hadir di walimatul ursy pernikahan dokter Ibnu dengan kakak Aira. Sebagai seorang laki-laki aku harus berani mengakui kesalahanku. Awalnya aku bermaksud untuk meminta maaf langsung kepada dokter Ibnu namun belum sampai kata permintaan maafku sempurna, dokter Ibnu langsung memotong dengan tembakan yang tepat sekali. Andaikata bisa diibaratkan pasti pipiku sekarang sudah seperti tomat matang. Bagaimana mungkin seorang dokter sedingin beliau bisa sepeka ini.
"Selamat ddokter Ibnu, semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah warrahmah," ucapku ketika menyalaminya.
"Terima kasih dokter Erland semoga segera menyusul kami juga." Kata dokter Ibnu ketika menyambut ucapan selamat dariku.
"Eh__hmmm, sebelumnya saya mau minta maaf Dok, karena dulu saya pernah suudzon dengan dokter Ibnu." Akhirnya aku bisa mengucapkannya juga.
"Aira?" tanya dokter Ibnu to the point membuatku tersipu malu.
Sesaat kulirik juga kakak Aira yang kini telah sah menjadi istrinya tersenyum penuh arti padaku ketika nama adiknya diucapkan suaminya. Ah, maluku menjadi bertambah manakala banyak orang yang bisa membaca mata dan hatiku mengarah pada siapa. Aku harus segera memastikan semuanya sebelum Allah melebihkan aku terjerembab ke dalam kubangan dosa yang lebih besar dengan berzina mata dan hati.
Dengan sekuat hatiku, aku berusaha untuk memantaskan diri bersanding dengan sang pujaan hati. Meminjam namanya untuk berdiskusi dengan sang pemilik hati di sepertiga malam terakhirku.
Hingga akhirnya, entah itu kesengajaan atau apalah namanya. Mungkin juga adalah skenario dari sang mahadaya cinta. Hippocratic oath adik dari sahabatku, aku berjanji untuk datang mewakili kakaknya yang kini sedang melanjutkan pendidikan spesialis di Aussie.
Mataku tidak bisa berkedip untuk memandang bahwa gadis yang kini diam-diam selalu aku sebut namanya dalam doa sepertiga malamku juga berdiri disana entah untuk siapa. Aku tidak akan menyiakan waktu untuk segera memintanya, apapun nanti jawabannya biarlah Allah yang memutuskan .
Erlinda, adik perempuanku. Segera aku minta untuk datang guna membawa kotak bludru warna merah yang kemarin baru kupersiapkan dengan ibu. Rencananya memang akan aku bawa kembali ke Blitar, namun karena aku telah bertemu dengannya disini aku pikir tidak ada salahnya.
Ketika dia menjawab untuk mempertimbangkannya. Hatiku mulai merancuh kembali. Lega tetapi juga ada ketakutan disana kemungkinan ditolak masih fifty-fifty. Namun kembali aku berserah, sejauh ini aku menunda bukan karena alasan yang tidak syar'i namun lebih pada untuk memantaskan diri bersanding dengannya.
Hingga akhirnya twin lahir dan mbak Qiyya menanyakan perihal aku mengantar Aira tadi pagi ke rumahnya. Sepertinya memang harus disegerakan untuk meminang kepada kedua orang tua Aira daripada nanti akan timbul fitnah.
Perjuanganku untuk mendapatkan istriku yang inshaallah sholeha ini lebih pada kesabaran dan manajemen hati. Hingga siang tadi aku berhadapan dengan ayah mertuaku, menyambut uluran tangannya dengan pasti untuk menerima tanggung jawab. Menjadi jalan surga Aira.
"Sayang."
Selepas acara memang Aira langsung masuk ke kamar. Tanpa melepas gaunya dia langsung merebahkan badannya di atas springbed.
"Sayang."
"Hmmmmm."
"Dilepas dulu itu bajunya, mana enak tidur masih komplit gitu."
"Lima menit saja Mas, pinggangku pegel banget. Kaki juga pegel banget Mas."
"Mashaallah, ini sepatu juga belum dilepas?"
Dan Aira sudah terlelap dengan mimpinya. Mungkin saking capeknya. Mana ada enaknya, badan masih terbebat dengan kain dan kebaya. Kepala masih komplit dengan hiasan kembang goyang dan melati berjuntai khas pengantin jawa, muka masih full dengan make up dengan paes hitam di kening.
Sengaja aku biarkan beberapa saat dan meninggalkan untuk mengguyur badanku dengan air hangat. Merilekskan kembali tubuhku yang nyaris hampir 4 jam berdiri menyambut undangan.
Dua puluh menit waktu yang kuperlukan untuk memanjakan tubuhku. Ketika aku telah merampungkan semuanya, aku berniat untuk segera kembali ke kamar. Membantu istriku untuk melepaskan kebaya dan kain serta semua aksesoris yang menempel di tubuhnya. Ah membayangkan saja aku sudah merasa bahagia. Iya cukup seperti itu dulu karena selama 7 hari kedepan dia masih belum bisa melaksanakan tugasnya untuk membuatku menjadi lelaki seutuhnya.
Mengapa harus sekarang ya Rabb, saat aku telah membayangkan dan bersiap-siap untuk menyudahi masa lajangku. Aku telah berdiri di samping bathup dan mencari pakaian gantiku, namun naas ketika kuraih hendak kupakai dia malah jatuh ke lantai dan membuatnya basah.
Akhirnya aku keluar dengan hanya melilitkan handuk di bagian bawah tubuhku. Aira juga masih tidur pikirku.
Dengan percaya diri aku keluar, dan oh my God. Ternyata Aira telah berdiri melepas kain yang membebat tubuhnya menghadapku yang hanya memakai handuk.
Sama-sama merah tentunya, kami akhirnya tertawa dalam kebisuan. Merutuki kebodohan kami masing-masing.
"Mas, bisa tunggu di kamar mandi dulu. Aira masih mau ganti baju"
"Ya ganti saja, memangnya mengapa kalau ada aku Dek?"
"Ma__sssh, please."
"Aku bahkan sudah boleh melihat lebih dari ini." Kataku sambil menunjuknya.
Aira seketika langsung menunduk mendengar ucapanku. Memang benarkan, sebagai suami aku sudah halal untuk melihatnya bahkan tanpa sehelai benang pun menutupinya.
"Sini aku bantu. Tapi setelahnya siapin piyama tidurku ya Dek. Celana boxerku jatuh, basah tadi di kamar mandi."
"I__iya," jawabnya gugup sambil menutup muka dengan kedua telapak tangannya.
Setelah kami berdua sama-sama telah mengenakan piyama tidur. Kini aku membantunya untuk melepas aksesoris yang ada di kepalanya.
"Emang nggak pegel ya, pake beginian dari jam 4 sore loh tadi?"
"Ya pegel sih ya, Mas Erland si mintanya pake pakaian adat."
"Kok jadi aku yang disalahin?"
"Ya, yang pake konde kan Aira bukan mas Erland. Tahu gitu mas Erland saja deh yang pake konde pandan ini tadi."
"Mana ada?"
"Ya ada, Aira yang minta."
Aku langsung tergelak dalam tawa namun kemudian aku segera berkata untuk Aira ketika aku mengingat mas Ibnu beberapa lalu. Ya, dokter Ibnu sekarang telah aku panggil dengan sebutan mas karena kami saudara ipar sekarang.
"Nanti saja kalau kamu hamil, aku ingin seperti mas Ibnu untuk mbak Qiyya."
"Maksudnya?"
"Ngidam, mual, morning sickness dan semuanya untukmu dan anak-anak kita kelak."
"Yakin?"
"Tagih janjiku apabila aku lupa. Aku cinta kamu Airaku, Sayang."
Semburat merah di pipi istriku ketika kata terakhir itu aku ucapkan. Beberapa kali memang sudah aku ucapkan untuk wanita yang kini bergelar menjadi istriku ini namun masih juga sama. Pipinya masih merah sama seperti arti dari namanya, Khumaira.
"Jadi ceritanya kita, malam pertama hanya sebatas ngobrol, membantu ganti pakaian, menghapus make up dan melepas konde saja?" ledekku pada Aira.
"Mas ishhhh," jawabnya sambil mencubit perutku yang masih rata.
"Jika sudah waktunya nanti semuanya juga bakalan jadi milik Mas sepenuhnya."
"Kapan?" tanyaku masih dalam mode on menggoda.
"Mas Erland__" jawabnya manja kemudian bergegas ke kamar mandi
Aku kemudian mengemasi semua benda yang tergeletak di atas meja rias. Menyatukan dengan pakaian yang telah dilipat oleh Aira supaya tidak tertinggal ketika besok diambil.
Sambil menunggunya aku membuka gawai yang sudah sedari pagi aku tinggal di kamar Aira. Banyak pesan yang masuk di benda ajaib persegi panjang itu.
Beberapa missed call dan beberapa unggahan photo di akun sosmed teman-teman yang sengaja mengetag namaku sehingga masuk kedalam unggahan di laman beberapa akun sosmedku.
Beberapa pesan telah aku balas, rata-rata mereka mengucapkan selamat atas pernikahanku dengan Aira. Bahkan ada beberapa dari mereka yang memberikan tips-tips untuk malam pertama kami dan semacamnya yang membuatku tertawa lirih.
Kulihat jam di dinding kamar, sudah setengah jam Aira berada di kamar mandi namun tidak segera keluar. Apa yang dilakukan di dalam, membersihkan badan saja sampai selama itu.
"Sayang, are you ok?"
"Hmmmm."
"What are you doing there? Its pass 30 minute you take a bath. What is need a more time to do it clear?"
"Hmmmm."
"You say hmmmm, please dear. You aren't Nissa Sabyan so you can say hmmmm as dean assalam."
"Iya Mas Erland sayang." Jawab Aira ketika sudah keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian dengan handuk membungkus kepalanya.
"Kamu keramas? Ngapain keramas malam-malam, kok nggak besok pagi saja."
"Mana enak tidur rambut kaya sarang burung gitu."
"Ya sudah sini, mana hair dryernya ? Aku bantuin ngeringin."
"Di laci."
Aku segera membantu istri tercintaku ini untuk mengeringkan rambutnya yang masih basah karena keramas malam-malam. Rambut Aira hitam lebat sebahu, menambah manis wanitaku ini dengan lesung pipit di salah satu pipinya ketika tersenyum.
"Kedepan kamu ingin kita seperti apa, Sayang?" tanyaku kepada Aira ketika kami telah berbaring di atas ranjang petiduran dan tangan kananku telah berada di atas pinggangnya.
"Maksudnya Mas?"
"Ya, kita. Kamu mau ambil spesialis apa? Mau tinggal dimana? Mau punya anak berapa? Mau__mau__mau__"
"Hmmmmmmm," jawab Aira sekali lagi dengan gumaman.
"Hei, kamu bukan Nissa Sabyan. Jangan jawab pertanyaanku dengan hmmmm terus menerus." Protesku.
"Lagian mas Erland ya, kita ini masih capek. Sudah tidur dulu saja, besok habis sarapan kita merancang masa depan keluarga kita ya. Aira sudah ngantuk ini."
"Baiklah, malam ini dan 6 malam berikutnya aku beri kamu kesempatan untuk istirahat cukup. Selanjutnya jangan harap akan tidur senyenyak ini di sampingku." Godaku.
"Kita lihat saja nanti. Mas Erland atau Aira yang minta ampun." Tantangnya.
Bukannya menuruti perintahnya untuk segera tidur namun aku segera mengeratkan pelukanku dan mencium wajah wanita yang pagi tadi telah halal menjadi istriku.
"Itu memang tidak boleh. Namun bukan berarti aku tidak boleh meminta hakku untuk yang lainnya." Kataku ketika bibirku menyentuh telinga kirinya.
"Memangnya mas Erland nggak capek?"
"Aku nggak bisa istirahat sepertinya Dek."
"Terus?"
"Boleh aku minta hakku selain itu supaya aku cepat tidur?"
Aira tidak mengerti maksud ucapanku namun ketika mataku bergerak untuk mengkodenya dan dia bisa mengartikan bahasa tubuhku. Tawa lirih tergelak dari bibir merahnya.
Tidak juga beranjak untuk segera memenuhi permintaanku akhirnya aku menggelitiki pinggangnya sampai dia tertawa sedikit kencang.
Entahlah, hanya begitu saja hatiku sudah merasa seperti berada di atas angin mengudara bersamanya. Bahagia yang tidak bisa terwakili dengan kata-kata.
Aku tidak bisa menjanjikan pernikahan yang sempurna. Tidak pula bisa menjanjikan pernikahan tanpa masalah. Namun aku selalu berjanji dalam hatiku untuk selalu bisa menjadi pemimpin yang baik untuk istri dan keluargaku kelak. Apa pun nantinya aku akan berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk mereka.
Ibarat seperti berlayar, aku adalah nahkoda. Tidak selamanya kapal yang akan membawa kami mengarungi bahtera kehidupan ini nantinya tidak diterjang gelombang. Namun aku akan berusaha untuk memberikan yang terbaik, terbaik untukku, untuk Aira dan juga untuk keluarga kami nantinya.
"Apa pun yang akan terjadi nanti cukup percaya dan genggamlah selalu tanganku untuk keluarga kita, Sayang." Ucapku setelah mengecup lama keningnya ketika aku menyadari Aira telah terlelap di dalam dekap hangatku.
🌷🌷🌷
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top