33# Firasat

_bahagia itu terasa lebih sempurna ketika kita menjadi wanita seutuhnya, seorang ibu_

🌼🌼🌼

Tumpukan beberapa pakaian kerja Ibnu telah disiapkan oleh Qiyya. Begitu pun dengan peralatan mandi dan kebutuhan harian juga sudah siap untuk dimasukkan kedalam travel bag.

Selama 10 hari kedepan Ibnu diminta oleh IDI dan rumah sakit untuk mewakili seminar tentang kedokteran di Singapura. Berat untuk Ibnu karena seharusnya dia berada di samping istrinya di hari dimana dekat dengan HPL si kembar buah cintanya dengan Qiyya.

Namun apa kabar dengan sumpah jabatan? Sumpah dokternya telah memutuskan untuk memilih satu diantara 2 pilihan yang begitu sulit.

"Hanya 10 hari sayang, HPL nya kurang 15 hari kan. Mas pasti di sampingmu ketika berjuang bersama anak-anak kita." Kata Ibnu memastikan.

Qiyya enggan untuk menanggapi penyataan Ibnu. Sungguh dengan berat hati Qiyya menyetujui perjalanan dinas Ibnu kali ini. Bulan hanya ke luar kota namun keluar negeri di saat Qiyya begitu membutuhkan Ibnu berada di sampingnya saat ini yaitu mendekati hari perkiraan kelahiran sang buah hati.

"Mas sayang kamu." Kata Ibnu melihat Qiyya bergeming dalam diamnya. Mendekap istrinya adalah hal yang paling mungkin ia lakukan saat ini untuk menyalurkan kehangatan dan mengurangi sedikit kegalauan Qiyya. Mengingat Qiyya hanya diam dan membisu.

Ibnu merasakan pundak Qiyya bergetar dalam pelukannya. Bisa dipastikan bahwa istri tersayangnya kini terisak dalam diam.

"Jangan menangis Sayang, mas nggak akan tenang di sana nanti jika kamu seperti ini." Ibnu masih mendekap erat Qiyya sambil mencium pucuk kepala istrinya.

Masih sama diam dan membisu. Qiyya memilih tetap berada dalam dekapan hangat suaminya. Hingga akhirnya bibir mungilnya berbicara lirih.

"Qiyya nggak pernah minta apa pun sama mas Ibnu selama Qiyya mengandung. Nggak ngidam macam-macam kan Mas?"

"Iya Sayang."

"Kali ini saja Mas, tolong__anggap Qiyya sedang ngidam atau apa punlah itu namanya. Jangan tinggalin Qiyya, please."

"Sayang__"

"Tidak hanya Mas Ibnu dokter bedah di Indonesia. Why should be you take chosen? Why?"

"Itu berarti menandakan bahwa masmu ini adalah yang teristimewa. Apa kamu tidak bangga akan hal itu?"

"Tidak untuk saat seperti ini Mas. I need you, I do need you. Here, beside me. To take care our baby twin." Pinta Qiyya.

Ibnu semakin mengeratkan pelukannya. Seandainya ia bisa menolak pasti akan dia tolak. Selama mengandung memang Qiyya tidak pernah meminta sesuatu yang aneh, sekalinya dia meminta Ibnu hanya diam membisu tanpa sebuah jawaban.

Ibnu menuntun Qiyya untuk duduk di  sudut ranjang petiduran mereka. Berdiri untuk waktu yang lama dengan beban 2 orang calon bayi di rahim Qiyya membuat Ibnu memilih untuk menyuruh istrinya duduk.

Masih dengan kepala yang menyandar di bahu kanan Ibnu. Qiyya enggan untuk berjauhan dengan suaminya. Kini tangan kiri Ibnu yang bisa bergerak bebas bisa leluasa menghapus air mata yang jatuh membasahi pipi chubby istrinya.

Ibnu tidak kuasa menahan air matanya. Mendengar permintaan istrinya untuk tetap berada di sampingnya membuat hatinya menjadi sangat tersentuh. Namun ketika ingat akan sumpah jabatannya sebagai seorang dokter mau tidak mau harus melaksanakan tugas untuk kepentingan banyak orang.

"Sayang, mas pergi karena mas telah bersumpah sebelum menjadi dokter dahulu." Kata Ibnu berusaha untuk menjelaskan.

"Just for this time no more." Pinta Qiyya tak kalah menyayat hati.

Ibnu akhirnya mengambil gawai di atas nakas kemudian menghubungi seseorang. Meninggalkan Qiyya seorangan di kamar dalam keadaan masih terisak dengan tangis diamnya.

"Maafkan mas, Sayang. Mas sudah berusaha untuk meminta ganti tugas namun tidak bisa jadi mas harus tetap berangkat. Nggak akan lama, selama mas nggak ada nanti Dik Aira akan menginap di sini." Jelas Ibnu berjongkok di depan Qiyya.

Sebesar apa pun tangisan Qiyya tidak akan merubah keputusan Ibnu untuk tidak berangkat. Karena memang Ibnu adalah satu-satunya dokter yang telah ditunjuk oleh IDI untuk mewakili Indonesia.

Pasrah mungkin itu ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Qiyya. Hatinya masih diliputi keresahan padahal 2 jam lagi Ibnu harus berangkat ke Juanda karena pesawat yang membawanya menuju ke bandara Changi Singapura akan bertolak di flight pertama pukul 05.00 WIB.

Tepat jam 00.00 Ibnu keluar rumah dengan sebuah travel bag di tangan kanannya. Qiyya masih dengan ketidakrelaannya melepas suaminya pergi. Di depan rumahnya sudah ada Mas Andik-driver rumah sakit yang bertugas mengantarkan Ibnu ke bandara.

"Mas berangkat dulu, kamu hati-hati di rumah. Mas juga sudah meminta Erlando untuk sering ke sini. Hanya memastikan keadaanmu dan calon anak kita, nanti akan ditemani oleh Dik Aira." Pamit Ibnu.

"Mas hati-hati di jalan. Qiyya sebenarnya nggak ikhlas pake banget. Tapi mau bagaimana lagi? Mas dibutuhkan oleh banyak orang dan Qiyya tahu risiko menjadi istri seorang dokter akan seperti ini." Ucap Qiyya dengan menunduk dalam. Menunduk untuk menyembunyikan air matanya yang kini telah menggenang di pelupuk mata siap untuk menerobos keluar

Ibnu memegang dagu Qiyya dan meminta Qiyya mengangkat mukanya dengan lembut. Mengecup keningnya lama kemudian kedua pipi dan tak lupa bibir mungil Qiyya.

Seketika Qiyya langsung memeluk suaminya dengan sangat erat. Ibnu yang paham dengan kondisi emosional Qiyya membalas pelukan itu dengan penuh hangat. Seolah menyalurkan segala yang ia punya untuk membuat wanitanya kembali tenang.

Belum juga ditinggal pergi namun rasa kangen Qiyya dan keengganan untuk berpisah dengan suami membuatnya semakin susah untuk melepas kepergian suaminya.

Toyota innova warna hitam melesat memecah keheningan malam membawa Ibnu untuk mengantarkannya ke Juanda.

Qiyya masuk kembali ke dalam rumah dengan perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Khawatir, resah dan tidak rela tentunya. Padahal bukan kali pertama Qiyya ditinggal Ibnu bertugas jauh. Namun perasaan Qiyya kali ini sepertinya tidak seperti biasanya.

Matanya masih belum bisa terpejam meski sudah hampir satu jam berbaring di atas ranjang petidurannya. Aroma maskulin Ibnu masih tercium di sprei samping Qiyya berbaring. Kini yang ada hanya kangen pada Ibnu yang Qiyya rasakan dalam hatinya.

Tak sabar dengan rasa yang ada di hatinya, akhirnya Qiyya beringsut untuk bangun dan mengambil gawai yang diletakkan di atas meja riasnya. Mencari kontak Ibnu dan menekan tombol hijau untuk menghubunginya.

Lama dering telepon tidak tersambung hingga akhirnya terdengar suara parau di seberang menjawab panggilan Qiyya

"Assalamu'alaikum Sayang. Kok belum tidur?"

"Nggak bisa tidur Mas. Mas sudah sampai mana?"

"Mana ya ini, oh baru mau masuk Kediri. Kamu tidur gih, kasian loh Ibnu Juniornya di dalam kalau bundanya nggak istirahat. Besok sebelum naik pesawat Mas telpon lagi ya?"

"Mas cerita apa kek, biar Qiyya bisa tidur."

Mau tidak mau akhirnya Ibnu bercerita tentang apa saja yang akan dia lakukan nanti di Singapura tanpa istrinya. Menyiapkan semuanya sendiri, memakai dasi sendiri, sarapan sendiri dan belum juga lima menit Ibnu bercerita. Suara nafas teratur Qiyya terdengar sangat halus. Sesekali terdengar lenguhan kecil dari ujung telponnya.

"Sayang__? Qiyya, Sayang__?" panggil Ibnu namun tidak ada respon dari istrinya.

Ibnu akhirnya mematikan sambungan teleponnya. Mengetahui Qiyya telah tertidur setelah mendengar suaranya rasanya dia pun enggan untuk berangkat menunaikan tugas untuk menghadiri seminar mewakili Indonesia.

Qiyya baru terbangun saat suara adzan subuh bertalu terdengar dari speaker masjid di ujung jalan rumahnya.

"Astagfirullahaladziim, kok bisa aku bangun kesiangan seperti ini. Yah terlewat deh sholat malamku pagi ini. Ya Allah, ampuni semua dosaku." Lirih Qiyya bergumam dengan dirinya sendiri.

Berdiri dan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, tak lupa setelahnya membangunkan kedua anak lelakinya untuk melaksanakan sholat subuh bersama. Karena Ibnu tidak ada di rumah, Qiyya memilih untuk melaksanakan sholat di rumah.

Masih dengan mukena yang melekat di tubuhnya, Qiyya menghubungi gawai suaminya. Namun tidak tersambung, lagi-lagi perasaan khawatir Qiyya membuncah. 'Telepon yang anda hubungi berada di luar sevice area' jawab operator ketika Qiyya mendial nomor HP Ibnu.

'Mungkin mas Ibnu telah berada di pesawat karena ini telah waktunya check in' ucap hati Qiyya kemudian segera merapikan mukenanya dan keluar dari kamarnya.

Hingga sampai akhirnya Qiyya berada di dapur bersama bi Marni untuk menyiapkan sarapan kedua putranya.

Ketukan pintu rumah Qiyya terdengar nyaring dari arah dapur. Bi Marni kemudian berjalan ke depan untuk melihat siapakah gerangan yang datang di hari pagi buta seperti ini.

Tidak beberapa lama, bi Marni kembali ke dapur bersama wajah kuyu Aira yang kelelahan kurang tidur.

"Ya Allah Dek, kamu habis jaga malam kok sampai kuyu seperti itu?" tanya Qiyya ketika melihat muka adik perempuannya. Tangan kanannya kini berusaha meraih cangkir dan berniat membuatkan teh hangat untuk Aira.

"Iya Mbak, capek banget, hoaamm." Jawab Aira setengah menguap.

"Tadi pulang ke sini sama siapa?" tanya Qiyya.

"Mas Erland." Jawab Aira singkat.

"Mas Erland? Eh, kok Mas? Kalian__" tanya Qiyya menangkap sesuatu yang ganjil.

"Aira ngantuk Mbak, boleh tidur sebentar. Nanti saja introgasinya."

"Minum teh hangatnya, mandi kemudian istirahatlah."

Aira menuruti kata kakaknya. Setelah meminum teh hangat yang dibuatkan oleh Qiyya, Aira segera masuk ke dalam kamar mandi untuk menyegarkan badannya.

Sampai di ruang tengah Aira menghidupkan televisi bermaksud melihat berita pagi. Namun ketika melihat berita tentang sebuah kecelakaan pesawat yang menempuh perjalanan dari Juanda ke Singapura nyali Aira menjadi ciut.

Sebelum kakaknya mendengar berita tersebut, lebih baik Aira mematikan televisi dengan memastikan nomor penerbangan pesawat yang mengalami celaka tersebut sebelumnya.

"Loh kamu nggak tidur? Katanya capek? Pengen istirahat kok malah ke dapur." Kata Qiyya masih repot dengan sayuran yang dibuatnya di atas panci.

"Mas Ibnu tadi pagi terbang jam berapa Mbak Qi."

"Jam 5, kenapa. Coba deh kamu lihat di HP Mbak dari tadi pagi Mbak telpon nggak bisa nyambung. Siapa tahu Mas Ibnu mengirimkan pesan whatsapp dan belum sempat mbak baca."

Aira segera melesat ke kamar Qiyya untuk mengambil gawai kakaknya. Secepatnya membuka dan memastikan ada informasi tentang penerbangan kakak iparnya atau tidak.

Betapa terkejutnya ketika Aira melihat pesan whatsapp yang dikirim Ibnu. Nomor penerbangan yang yang tertera di sana sama dengan nomor penerbangan pesawat yang mendapat celaka yang telah disiarkan oleh televisi.

Buliran bening mengalir membasahi kedua pipi Aira. Bagaimana dia menjelaskan kepada kakaknya yang kini tengah mengandung dan kurang beberapa hari lagi akan melahirkan.

"Dek, temani Mbak nemui mas Andri dan mamanya di depan. Mbak ganti pakaian dulu."

Setengah tersadar Aira mendengar kakaknya berbicara setelah pintu kamar terbuka. Aira masih memegang gawai kakaknya dengan air mata di pipi. Tidak ingin kakaknya mengetahui ia segera berbalik dan mengusap air mata dan menjawab Qiyya.

"Buat apa mereka datang sepagi ini ke rumah Mbak Qiyya?"

"Kemarin ketika di notaris Mbak bilang mau menyerahkan mobil hari ini lengkap beserta BPKBnya. Mungkin mereka mau mengambil itu."

"Serakah."

Meski mendidih dalam hati Aira mengetahui permintaan Andrian namun ia tetap menghormati kakaknya. Diam, hanya itu yang dia bisa untuk menghindari mulutnya mengumpat kepada orang yang dulu pernah dia hormati.

"Ini Mas Andri dan Bu Merlin sesuai janji Qiyya kemarin. BPKB beserta kunci dan duplikatnya. Mobilnya sudah disiapkan di carport." Kata Qiyya sambil menyerahkan barang seperti yang dia sebutkan.

"Ya sudah kalau sudah selesai kita pulang." Ajak Merlin pada Andrian.

"Mama pulang dulu dengan sopir saja, Andrian yang akan mengemudikan Honda Jazz Qiyya."

"Bukan milik Qiyya, milikmu itu."

Andrian memandang orang yang telah melahirkan itu dengan tatapan nanar. Sebegitu bencinyakah mamanya dengan wanita yang sekarang menyandang status mantan istrinya. Apa yang telah diperbuat Qiyya hingga mama bersikap seperti itu.

Tanpa menunggu jawaban dari Andrian, bu Merlin berdiri dan segera keluar dari rumah Qiyya.

"Maafkan mamaku Qiyya, aku juga nggak mengerti mengapa beliau bersikap seperti itu kepadamu." Kata Andrian.

Qiyya hendak menjawab Andrian namun tiba-tiba bi Marni masuk ke rumah dengan tergopoh-gopoh membawa belanjaan sambil berkata dengan penuh rasa khawatir.

"Mbak Qiyya, ada kecelakaan pesawat pagi ini. Penerbangan dari Juanda menuju Singapura. Takutnya nanti pesawat yang ditumpangi dokter Ibnu." Kata bi Marni dengan nafas ngos-ngosan karena berlari.

Aira terbelalak tidak percaya mendengar rentetan kalimat bi Marni. Tadi dia masih diam ingin menyembunyikan dan berpikir bagaimana caranya untuk memberitahu kakaknya mengenai berita tersebut. Namun kali ini semua sudah terlambat.

"Suamimu ke Singapura pagi ini?" tanya Andrian.

Tidak menjawab pertanyaan Andrian Qiyya malah langsung berjalan ke ruang keluarga untuk menyalakan televisi. Dan seperti yang diceritakan bi Marni seluruh saluran televisi kini sedang menyiarkan liputan khusus mengenai kabar pesawat kecelakaan.

Mendengar suara ribut di bawah tak elak, kedua anak Qiyya turun dan bertanya kepada sang bunda yang kini kedua matanya telah basah dengan air mata.

"Bunda ada apa?"

Tidak menjawab pertanyaan putranya Qiyya justru langsung merengkuh kedua putranya ke dalam pelukan.

"Aww," ringis Qiyya pelan disela tangis dalam diamnya.

Terasa ada air yang keluar dan merembes diantara kedua kakinya.

"Dek, sepertinya ketuban mbak pecah."

"Ya Allah Mbak Qiyya."

Aira panik menghubungi orang-orang yang bisa dihubunginya. Ayah dan ibunya, dokter Erlando dan juga Devi yang sekarang lagi di RS. Andrian sama paniknya dengan Aira namun dia bingung mau berbuat apa. Akhirnya dia meminta Aira untuk segera membawa kakaknya ke RS.

"Dek, biar aku yang mengantar mbakmu ke RS kalau nunggu yang lain akan lama." Pinta Andrian kepada Aira.

"Pakaian bersalin sudah disiapkan mas Ibnu di koper merah yang ada di samping lemari mbak, Dek. Tolong," kata Qiyya kepada Aira.

Qiyya menikmati rasa yang luar biasa, dia harus berjuang untuk kedua buah hatinya bersama Ibnu, memperjuangkan kehidupannya, kehidupan kedua anak kembarnya.

'Ya Allah, izinkan aku untuk memberinya kehidupan. Aku akan berusaha ikhlas apa pun nanti hasil akhirnya' doa Qiyya ketika ia dibimbing Aira menuju ke mobil

Kali ini Aira mengajak masuk ke mobil Honda Jazz yang telah siap di luar pagar karena memang akan dibawa Andrian. Ketika Qiyya sudah masuk, mobil Abdullah dan mobil dokter Erland bersamaan datang di depan rumah Qiyya

"Sebaiknya kita ke rumah sakit beriringan saja, Ayah. Kasihan Qiyya sepertinya sudah mau melahirkan." Kata Andrian.

Semua mengangguk setuju untuk mempersingkat waktu. Dokter Erland segera melesat dahulu ke rumah sakit bermaksud untuk menyiapkan segala sesuatunya. Sedangkan mobil Abdullah berada di belakang Honda Jazz yang dikemudikan Andrian.

Sesampai di IGD, Qiyya disambut oleh brangkar yang dibawa segera ke VK. Dokter Erlando sendiri yang mendorong brangkar tersebut bersama 2 perawat laki-laki

"Tolong cari kabar tentang mas Ibnu, Dek Zurra." Pinta Qiyya sesaat sebelum masuk ke ruang VK.

"Pasti Mbak, setelah ini Zurra akan ke bandara memastikan semuanya. Mbak berjuang ya untuk anak-anak Mbak." Zurra memberikan semangat kepada kakaknya.

Qiyya mengedipkan matanya menjawab perkataan Zurra. Kini dia meringis kembali menahan rasa sakit. Seperti inikah perjuangan seorang ibu. 'Ya Allah aku ingin menikmati setiap detik rasa sakit ini. Berikanlah kesempatan kepadaku dan kepada anak anakku untuk tetap melihat daddynya'

Semua resah di balik pintu ruang VK. Satu sisi keadaan Qiyya yang berjuang untuk kedua buah hatinya di sisi lain adalah kabar Ibnu yang belum bisa di pastikan.

Kartika masih tersedu dalam diamnya demikian juga Abdullah. Meskipun Abdullah tidak menangis dia juga tidak kalah hancur dengan hati Qiyya.

Masih teringat semalam Ibnu menelponnya, mengatakan bahwa Qiyya benar-benar tidak ingin ditinggal. Mungkinkah itu suatu firasat?

'Ya Allahu Rabb lindungilah semua dalam naungan kasihMu.'

--- 📌🍃____✂ ---

Tetap, jadikanlah Alqur'an sebagai bacaan utama

Happy Reading 👨‍💻👩‍💻

Sukron, jazakhumullah khair

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top