26# Hmmm, Rasanya?

_kontak batin, kekuatan dahsyat yang ada di luar akal sehat_

🌼🌼🌼

Tiga minggu telah berlalu semenjak kedatangan Qiyya dan keluarga dari tanah suci. Suami dan kedua anaknya juga sudah beraktivitas seperti biasanya. Qiyya juga kembali membantu Kartika untuk mengurus konveksinya dan tetap aktif di panti asuhan Al Ikhlas milik ummi Fatimah.

"Review penjualan bulan kemarin bagaimana Qi?" tanya Kartika ketika Qiyya sedang memeriksa laporan keuangan.

"Bagus Bu, penjualan naik 20% dari bulan sebelumnya kemungkinan karena pengaruh bulan Desember tahun kemarin Bu." Jawab Qiyya.

Qiyya sudah menyiapkan beberapa strategi untuk semakin meningkatkan penjualan.

"Qiyya sudah putuskan untuk membuat semi butik di sini Bu, nanti coba Qiyya pasarkan melalui sosmed. Maksudnya kita buat eksklusif mode dan vintage. Biar orang yang membeli tidak merasa memakai pakaian seribu umat. Sepertinya akan menambah penjualan. Nanti kita cari penjahit untuk produk kita ini. Mengenai bahan, memang harus berbeda dengan kain yang biasa kita pake untuk konveksi kodian."

"Boleh, Ibu setuju itu. Kamu atur ya, soalnya ibu sudah tidak telaten jika harus main HP terus."

"Cuma Qiyya izin mas Ibnu dulu ya Bu, soalnya nanti bakalan akan on hand HP terus kalau sudah berjalan."

"Kamu atur saja bagaimana baiknya."

"Iya Bu, Qiyya hari ini izin pulang cepat ya, karena dhuhur harus ke panti sebelum jemput anak-anak dari sekolah."

"Iya."

Qiyya mengemudikan mobilnya menuju panti asuhan Al Ikhlas. Hari ini dia berjanji dengan ummi Fatimah untuk memberikan bimbingan konseling kepada anak-anak panti terkait dengan perkembangan pra remaja menuju akil baligh. Karena memang rata-rata mereka semua masih usia SD.

"Assalamu'alaikum Ummi." Sapa Qiyya.

"Waalaikumsalam Qiyya, kamu sudah datang?"

"Sudah Ummi baru saja, bagaimana Ummi sehat?"

"Alhamdulillah, kamu juga sehat kan. Anak-anak apa kabar, kemarin di sini seharian katanya kamu membantu ibumu di konveksi. Lagi rame memangnya ya?"

"Iya Ummi, alhamdulillah pesanan dari bulan ke bulan semakin banyak. Anak-anak semakin pintar Ummi, habis dari sini nanti Qiyya jemput mereka di sekolah"

"Alhamdulillah Ummi percaya padamu. Terimakasih ya Qi, sudah mengasuh dan mendidik mereka dengan baik."

Qiyya mulai bimbingannya kepada seluruh anak panti asuhan. Mengenai persiapan pra remaja wanita dan laki-laki. Sengaja memang dia memilah wanita sendiri dan laki-laki sendiri supaya tidak terjadi kerancuan. Karena mungkin mereka membutuhkan space untuk berbicara secara pribadi.

Seperti masalah menstruasi untuk wanita, kewajiban wanita setelah mengalami menstruasi dan hal-hal lain yang perlu diketahui oleh mereka. Sedangkan untuk laki-laki Qiyya hanya menjelaskan tentang apa tugas dan larangan mereka setelah akil baligh.

Selain itu juga masalah dengan pelajaran di sekolah mereka. Pembagian waktu antara bermain, belajar dan melakukan tugas di panti asuhan.

"Nanti untuk lebih jelasnya mengenai kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim dan muslimah akan dibahas oleh ustadzah Ikhlima ya. Jangan takut atau ragu, jika ada apa-apa yang belum jelas langsung memberi tahu bunda, ustadzah Ikhlima atau ummi Fatimah. Bisa ya anak-anak?" kata Qiyya mengakhiri bimbingan konselingnya.

"Bisa Bunda." Jawab mereka serempak.

Setelahnya Qiyya mengakhiri bimbingannya, dia segera bergegas ke sekolah Hanif dan Hafizh untuk menjemput mereka.

Menunggu beberapa saat di pos satpam sekolah kedua anaknya hingga keduanya terlihat berlari menghampiri dengan suka cita.

"Bunda sudah lama ya? langsung pulang ya Bun, Mas nggak enak badan."

"Loh iya, agak panas loh Sayang ya sudah ayo langsung pulang istirahat di rumah. Tadi jajan atau minum apa gitu di sekolah?" tanya Qiyya setelah meletakkan telapak tangannya di kening Hanif.

"Nggak Bun, tiba-tiba langsung panas terus pusing sekarang." Kata Hanif.

Qiyya mengambil gawainya kemudian menelpon suaminya untuk menanyakan obat yang harus diberikan kepada Hanif.

Sampai dengan panggilan keempat Ibnu tidak menerima panggilannya. Hingga akhirnya Qiyya memutuskan untuk menjalankan mobilnya menuju rumah mereka.

"Mungkin daddy ada operasi Sayang, kita pulang dulu ya."

Hanif segera berbaring di kamar tamu atas permintaan bundanya. Qiyya tidak mau naik turun tangga untuk menjaga anaknya. Dia segera mengkompres Hanif dengan air hangat dan memberinya penurun panas.

Hingga gawainya bergetar dan nama Ibnu tertera di sana.

"Ada apa Sayang. Maaf tadi sedang operasi."

"Mas jangan pulang terlambat ya."

"Ada apa?"

"Qiyya kangen. Ehhh pokoknya jangan pulang telat."

"Iya ini Mas langsung pulang."

Qiyya masih berkutat di dapur membuatkan bubur untuk Hanif saat Ibnu sampai di rumah.

Cup

Tiba-tiba Ibnu mencium leher belakang Qiyya dan membuatnya tersentak kaget.

"Seberapa banyak sih kangennya? Anak-anak mana kok sepi?"

"Eh Mas__baru datang? Itu Hanif lagi nggak enak badan makanya Qiyya minta mas cepet pulang. Tadi sudah Qiyya beri penurun panas."

Tanpa menjawab pertanyaan Qiyya, Ibnu bergegas menaiki tangga menuju kamar Hanif

"Mas, Hanifnya ada di kamar tamu. Tadi Qiyya suruh tidur di sana saja."

Ibnu berbalik menuju kamar tamu yang berada di lantai 1. Membuka pintu dan mendapatkan anak sulungnya meringkuk di bawah selimut.

Dirabanya kening Hanif dengan telapak tangan. Ibnu mencium kening anaknya kemudian berkata sama Qiyya, "kalau sampai nanti malam panasnya belum turun kamu kasih penurun panas dan antibiotik ya. Masih ada di kotak obat kan?"

"Iya Mas."

"Mas mandi dulu." Ibnu meninggalkan Qiyya kemudian masuk ke dalam kamar tidurnya untuk mandi di kamar mandi pribadinya.

Qiyya menyelesaikan pekerjaan di dapur. Kemudian dia merawat tanaman anggreknya. Sampai Ibnu menghampirinya.

"Tadi jadi ke panti, Sayang?"

"Jadi Mas kenapa?"

"Ummi sama abi apa kabarnya?"

"Alhamdulillah mereka baik. Oh iya Mas, dapat salam dari mereka."

"Alaika wa alaihissalam."

"Mas kenapa kok lesu gitu? Mas sakit juga?"

"Nggak tau, mas jadi males saja. Pengen tidur tapi sudah mau maghrib."

"Ya sudah masuk yuk."

Qiyya akhirnya tidur mendampingi Hanif di kamar tamu. Meninggalkan Ibnu yang kini tertidur di kamarnya bersama si kecil Hafizh.

Panas tubuh Hanif sudah berangsur turun, bahkan sampai adzan subuh berkumandang Hanif tidak terbangun karena suhunya sudah kembali normal.

"Mas Hanif nggak usah masuk sekolah dulu ya Sayang. Izin sehari nanti bunda sampaikan kepada wali kelasnya ya." Kata Qiyya.

Hanif hanya menganggukkan kepala untuk mengiyakan perintah bundanya sementara Hafizh kini telah selesai mandi pagi dan Qiyya segera memakaikan seragam sekolahnya.

"Mas Hanif nggak masuk sekolah ya Bunda? Berarti adik ke sekolahnya sendirian?" tanya Hafizh.

"Iya Sayang, mas biar istirahat di rumah. Adik di sini dulu ya temani mas, bunda menyiapkan pakaian daddy dulu sebentar." Kata Qiyya setelah selesai memakaikan baju seragam Hafizh.

Qiyya menuju kamar tidurnya dia mendapati Ibnu belum memakai pakaiannya. Ibnu masih memakai celana boxer dan kaos dalam yang dipakainya tidur semalam.

"Loh Mas, belum mandi? Masa nunggu Qiyya mandiin seperti adik?" tanya Qiyya bercanda melihat Ibnu masih belum bersiap ke kantor.

Belum juga menanggapi gurauan Qiyya, Ibnu berjalan ke kamar mandi dengan cepat dan memuntahkan sesuatu di wastafel kamar mandinya.

Huwekkk___huwekkk.

Qiyya yang mendengar itu langsung bergegas masuk ke kamar mandi. Mendapati suaminya sedang muntah di depan wastafel. Perlahan Qiyya mendekati Ibnu berniat untuk memijit punggungnya namun Ibnu langsung menghentikan langkah Qiyya.

"Maaf Sayang, kamu bau bawang bikin aku mual pengen muntah. Bisa ganti baju dulu nggak?"

"Ya Allah Mas, masa sih? Tapi memang Qiyya habis masak tadi pagi dan belum mandi. Biasanya juga nggak apa-apa. Mengapa hari ini mas Ibnu sensi sekali?"

"Please Sayang, mas nggak kuat."

"Iya deh Qiyya mandi dulu ya. Mas mandi di sini Qiyya mandi di kamar mandi luar saja biar nggak kelamaan. Sudah jam 06.15 nanti terlambat ke kantornya."

Ibnu dan Qiyya sama-sama mandi pagi. Bedanya Ibnu mandi di kamar mandi pribadi yang ada di dalam kamar tidur utama sedangkan Qiyya mandi di kamar mandi luar.

Kini Qiyya sudah berganti pakaian di dalam kamarnya. Menunggu Ibnu keluar dari kamar mandi.

"Mas, Mas Ibnu nggak papa di dalam"

Tidak berapa lama Qiyya mendengar suara Ibnu muntah-muntah lagi di dalam kamar mandi.

"Mas, Qiyya masuk ke dalam ya?"

Qiyya akhirnya masuk ke kamar mandi dan mendekati suaminya. Memijit leher belakang Ibnu dan mengoleskan minyak kayu putih disana.

"Mas kenapa? Sakit? Pusing?" tanya Qiyya khawatir.

"Nggak papa cuma tadi tiba-tiba mual aja. Apalagi pas deket kamu yang bau bawang tadi." Jawab Ibnu.

Qiyya mengajak Ibnu keluar dari kamar mandi dan membantunya memakai kemeja, mengancingkan baju serta memasangkan dasinya. Setelah Ibnu siap mereka keluar kamar dan menuju ke meja makan untuk sarapan.

Hafizh dan Hanif telah duduk di kursinya masing-masing. Qiyya segera mengambilkan makan untuk mereka. Hanif masih disediakan bubur oleh Qiyya sedangkan untuk yang lainnya Qiyya membuat opor ayam sebagai lauk sarapannya.

Melihat makanan di depannya, rasa mual kembali menyerang Ibnu. Apalagi saat Qiyya membawakan milo hangat favoritnya untuk menemani sarapan pagi. Rasa mual itu semakin terasa hingga Qiyya semakin dekat dan memberikan segelas milo hangat di samping piringnya.

Ibnu bergegas ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya akibat rasa mual yang semakin besar. Namun sampai di kamar mandi tidak ada sesuatu yang dimuntahkan dari mulutnya. Hanya mual dan ingin muntah.

"Mas, Qiyya kok jadi khawatir ya mas Ibnu mual-mual seperti itu. Jangan-jangan penyakit mas waktu itu kambuh lagi. Periksa masa dokter Erik deh nanti. Atau Qiyya saja yang antar ya?"

"Nggak usah Sayang, Mas berangkat sendiri sekalian antar adik ke sekolah. Kamu di rumah saja sama Mas Hanif ya, nanti Mas ke Erik. Sebenarnya nggak papa cuma lemes saja, lagian suhu badan juga masih normal kok. Kamu nggak usah khawatir seperti itu." Kata Ibnu ketika berpamitan dengan Qiyya dan mengecup keningnya.

Qiyya mengantarkan Ibnu sampai di pintu gerbang rumahnya seperti biasa. Hari ini dia mengosongkan jadwalnya mengingat Hanif masih sakit meski sudah turun suhu badannya tetapi masih belum stabil. Jadi Qiyya tidak ingin kemana-mana, di rumah dan menemani putranya istirahat.

Bersama Hanif di rumah Qiyya menonton kartun favorit anaknya.

"Mengapa si Mas suka banget dengan pak Ladusing?"

"Lucu Bunda."

"Seperti bunda ya lucunya?"

"Ah Bunda, ya enggaklah masa bunda disamain seperti Pak Ladusing."

"Bun__kayaknya kalau kita miara hewan lucu kali ya?"

"Hewan apa itu?"

"Kucing atau kelinci begitu?"

"Daddy pasti nggak akan izinin. Memangnya Mas bisa merawatnya? Salah-salah nanti justru malah tersiksa hewannya, Mas."

"Ya bunda bantuin dong ngomong sama daddy supaya diizinkan."

"Bunda geli ah, lihat bulunya kucing dimana-mana ntar. Enggak ah," kata Qiyya menolak.

"Yah Bunda nggak asyik deh."

Qiyya terkikik geli mendengar protes anaknya. Semakin dekat dengan keduanya, kini Qiyya semakin bisa menyelami dan memahami apa yang menjadi keinginan keduanya. Sifat Hanif sebelas dua belas dengan Ibnu. Anak itu memang benar-benar fotokopian daddynya, Ibnu versi imut. Sedangkan Hafizh sebenarnya justru lebih mandiri dibandingkan dengan kakaknya.

Sama seperti Ibnu, Hanif jika sedang sakit seolah memang hanya dia yang merasakan sakit. Sama persis dengan Ibnu. Tingkat kemanjaannya akan meningkat 100% dari biasanya.

Kondisi Hanif sudah stabil, tanpa mengkonsumsi penurun panas suhu badan Hanif tetap stabil. Hingga sore harinya dia dan Hafizh sedang memberikan makan kepada ikan koi di kolam depan saat Ibnu datang dengan menenteng sebuah kresek di tangan kanannya.

"Hei anak daddy sudah sembuh?" tanya Ibnu kepada Hanif kemudian secara bergantian mencium kedua anaknya.

"Sudah Dad." Jawab Hanif.

"Bunda dimana?"

"Di dalam rumah lagi setrika." Jawab Hafizh.

Ibnu kemudian masuk kedalam rumahnya. Mencari keberadaan Qiyya di sana.

"Assalamualaikum Sayang, dimana kamu?"

"Eh Mas, waalaikumsalam. Sudah pulang? Apa itu Mas?" tanya Qiyya ketika melihat Ibnu menenteng tas kresek hitam di tangan kanannya.

"Punya gula merah nggak Sayang?"

"Gula merah? Buat apa?"

"Ini tadi Mas beli kedondong, bengkuang sama nanas kupas. Bikinin sambal gula merah ya. Mas pengen rujak buah dari tadi siang nggak ada yang jual."

"Rujak? Bukannya Mas tadi pagi mual-mual. Kok malah makan rujak sih Mas, nanti tambah sakit loh perutnya. Enggak ah."

"Ayolah Sayang, Mas pengen rujak buah. Buatin dong."

"Mas sudah makan siang tadi?"

"Sudah dong."

"Makan apa?"

"Makan nasi, bakwan jagung, tempe sama sayur asem. Enak banget."

"Mas Ibnu kok jadi aneh sih hari ini. Ngerasa nggak Mas kalau aneh? Pagi mual-mual nggak mau sarapan dibawain bekal juga tidak mau, siang makan katanya enak banget, lah sekarang malah minta dibuatin rujak buah. Aneh." Kata Qiyya yang kemudian menerima kantong kresek dari tangan Ibnu kemudian segera menyiapkan rujak buah untuk suaminya.

Ibnu memakan rujak buahnya dengan begitu lahap. Qiyya, Hanif dan Hafizh memperhatikan bagaimana cara Ibnu makan buah-buahan masam itu sambil bergidik. Membayangkan rasanya masam saja sudah membuat gigi mereka bertiga ngilu.

"Enak loh Sayang, kamu nggak mau nyoba? Mas sisain taruh di lemari es ya."

"Apa nggak asem itu mas kedondongnya? Qiyya saja membayangkan rasanya sudah ngilu gigi ini. Hiiii."

"Enggak, enak kok. Eh besok masak sayur asem kaya di kantin tempat makan siang tadi ya Sayang, atau kalau bisa buat sayur asem betawi ya. Pasti enak."

"Iya besok Qiyya buatin."

--- 📌🍃____✂ ---

Tetap, jadikanlah Alqur'an sebagai bacaan utama

Happy Reading 👨‍💻👩‍💻

Sukron, jazakhumullah khair

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top