19# Khitbah Qiyyara

_dan aku memilihmu secara sadar. Kamu sudah membantuku mengikhlaskan masa lalu, dan berani melihat masa depan. Terima kasih telah mengingatkanku caranya kembali tertawa dan telah menyambut tanganku untuk mencoba memulai sesuatu yang baru denganku_

🌼🌼🌼


Tidak ada yang berbeda pagi ini dengan pagi-pagi sebelumnya. Qiyya sedang berpuasa hari ini. Meski demikian Qiyya tetap membantu Kartika menyiapkan sarapan untuk keluarga.

Pagi ini Abdullah tidak kalah cerianya dengan Kartika. Setelah sholat subuh, Abdullah menyempatkan diri untuk berolah raga pagi. Jalan sehat keliling RT cukup membuat badannya terasa nyaman.

"Dik, kalau bisa nanti isya sudah di rumah ya." Pinta Kartika.

"Inshaallah Bu, memangnya ada apa to Bu?" tanya Aira.

"Mbakmu mau ada tamu." Kata Kartika.

Mendengar cerita Kartika selanjutnya membuat Aira malas. Tamu yang dimaksudkan Kartika pastilah orang yang membuat Aira sakit hati sekarang ini.

"Harus ya Bu?" tanya Aira.

"Wajib. Kamu harus ada nanti malam Dik, Mbak nggak mau salah paham antara kita semakin meruncing. Mbak minta maaf kalau secara tidak sengaja sudah menyakiti hatimu. Datanglah nanti malam, Mbak pastikan kamu tidak akan menyalahkan mbak setelahnya. Percayalah." Ucap Qiyya.

Aira hanya terdiam kemudian berlalu meninggalkan Qiyya dan Kartika.

"Mbak kamu nggak kasihan melihat adikmu uring-uringan seperti itu?" tanya Kartika.

"Aira itu sudah dewasa Bu. Biarkan dia belajar untuk bisa menerima, bahwa apa yang dia inginkan tidak selamanya bisa terpenuhi karena ada kepentingan orang lain di sana." Jawab Qiyya.

"Tapi berantem dengan saudara itu__" ucap khawatir Kartika.

"Ibu percaya Qiyya kan? Qiyya hanya butuh itu. Percayalah Bu, Inshaallah Qiyya tahu yang terbaik untuk Qiyya, untuk ayah ibu dan juga untuk keluarga kita." Kata Qiyya meyakinkan Kartika.

Kartika hanya mengambil nafas besar kemudian menghempaskan perlahan. Bukan tidak percaya dengan putri sulungnya itu, namun lebih dikarenakan Kartika menyayangi semua anak-anaknya dengan porsi yang sama. Dia tidak ingin terjadi perpecahan di keluarganya karena sebuah kesalahpahaman.

Qiyya hari ini beraktivitas seperti biasa, membantu Kartika di konveksinya. Mengepak dan mengirimkan beberapa pesanan yang memang hari ini harus segera diselesaikan.

Setelah memastikan jam berapa tamunya akan datang ke rumah, tepat pukul 15.00 Qiyya dan Kartika kembali ke rumahnya.

"Kita memasak apa Bu?" tanya Qiyya.

"Jadi untuk 6 orang tamunya?"

"Ehmmmm, 5 orang Bu." Jawab Qiyya.

"Kita buat daging lapis, gurame asam manis, sama ayam pattaya saja ya Qi."

"Banyak banget Bu. Ini makan malam biasa saja loh, Qiyya nggak mau israf. Karena sesungguhnya israf itu temannya syaiton." Jawab Qiyya panjang lebar.

"Ibu juga tidak suka israf, kebetulan untuk daging lapisnya sudah Ibu siapkan tadi pagi, tinggal diangetin saja. Jadi tinggal goreng gurame dan ayamnya sekalian kamu bikin bumbu asam manis dan pattayanya. Ibu siapkan acarnya. Ibu tahu, kali ini pasti tamu istimewa untukmu. Jadi tidak ada salahnya kita menyiapkan sedikit lebih dari biasanya." Ujar Kartika.

Aira sampai di rumah ketika semuanya hendak melaksanakan sholat maghrib. Abdullah mengisyaratkan untuk menunggu supaya Aira juga bisa ikut sholat berjamaah dengan mereka.

"Maaf ya harus menunggu Aira. Ayo Mas Zurra iqomah, Aira sudah siap." Kata Aira meminta Zurra untuk mengumandangkan iqomah.

Abdullah memimpin keluarganya memenuhi panggilan Rabbnya untuk maghrib hari ini. Seusai mengucapkan salam untuk mengakhiri sholatnya, Abdullah membalikkan badannya dan bertanya kepada Qiyya.

"Mbak, sudah mantap dengan pilihannya?" tanya Abdullah.

"Inshaallah Ayah." Jawab Qiyya.

Kartika, Zurra dan Aira menjadi saksi atas jawaban Qiyyara. Ada semburat pilu di hati Aira mendengar jawaban kakaknya. Malam ini dia harus menyiapkan hati untuk menerima kenyataan bahwa orang yang diam-diam disebut namanya dalam setiap sujud dan doa akan menjadi milik kakaknya.

"Qiyya siap-siap dulu, nanti kalau tamunya sudah datang tolong dipanggil ya Bu." Kata Qiyya setelah menyelesaikan dzikir dan doanya.

"Ibu, Zurra dan Aira sebaiknya juga siap-siap." Kata Abdullah yang dijawab anggukan oleh semuanya.

Meskipun dengan berat hati, Aira tetap patuh pada perintah ayahnya. Dia tidak mau menjadi obyek yang disalahkan jika penyakit ayahnya kambuh lagi.

Abdullah, Kartika, Zurra dan Aira telah siap dan berkumpul di ruang keluarga sambil menonton siaran televisi. Tepat pukul 19.00 pintu rumah Abdullah diketuk dari luar. Zurra dengan sigap berdiri kemudian membukakan pintu.

"Dokter Ibnu__?" kata Zurra terkejut.

Ibnu yang berada di depan pintu rumah Zurra bersama dua anaknya tersenyum menatap Zurra yang melihatnya dengan tatapan penuh keterkejutan.

"Siapa Mas?" tanya Abdullah.

"Dokter Ibnu dan anaknya, Yah." Jawab Zurra.

"Suruh masuk dong Mas, masa dibiarkan di luar." Pinta Abdullah.

Zurra yang masih bingung meminta Ibnu untuk masuk ke rumah dan mempersilakan duduk di ruang tamu.

Kartika yang juga dilanda kebingungan meminta penjelasan kepada Abdullah. "Yah, kok nak Ibnu datang ke sini. Bagaimana ini, waduh mana tamunya Qiyya belum juga datang. Makanannya nanti kurang Yah."

Dasar wanita batin Abdullah, kalau terjadi kejadian seperti ini selalu makanan yang jadi pikiran utamanya. "Bu, nak Ibnu itu bertamu ke rumah kita ya sudah sewajarnya toh kita terima dengan baik." Ucap Abdullah bijaksana.

"Dik__" kata Kartika kepada Aira.

Aira juga sama bingungnya dengan Zurra dan Kartika. Hanya Abdullah yang terlihat tenang seperti biasanya.

Hanif dan Hafizh yang memang sudah biasa berada di rumah Abdullah semenjak daddy mereka opname di rumah sakit membuat kedua bocah itu langsung ke ruang keluarga untuk menanyakan keberadaan Qiyya.

"Uti Kartika, Aunty Aira, bunda Qiyya dimana?" tanya dua bocah itu.

"Eh bun_bunda ada di kamarnya, di atas." Jawab Kartika gugup. "Dik, antar mereka ke kamar mbakmu."

Aira mengekor dua bocah itu menaiki tangga menuju kamar Qiyya. Sedangkan Kartika menyusul Abdullah menemui Ibnu di ruang tamu.

Mendengar pintu kamarnya diketuk dan suara berisik di luar, Qiyya bisa memastikan siapa yang berada di depan pintu kamarnya.

Setelah merapikan penampilannya di depan cermin, malam ini Qiyya memakai gamis biru laut lengkap dengan jilbab syar'i yang dibelikan Ibnu kemarin dan make up natural tipis di muka cantiknya, Qiyya menarik handle pintu dan memutar knopnya.

Aira berdesis lirih melihat penampilan kakaknya. Cantik, itu kata yang keluar dari hatinya. Baju yang dipakai Qiyya sangat pas dengan kulit putihnya dan juga bentuk badan kakaknya. Eits, kok sepertinya warnanya bisa samaan ya dengan baju yang dipakai oleh Hanif dan Hafizh.

"Bunda__kata daddy malam ini mas Hanif akan menerima hadiah menang lomba kemarin dari bunda. Mana hadiahnya Bunda?" pinta Hanif.

"Kita ke bawah dulu yuk, ayo Aunty Aira kenapa jadi bengong seperti itu?" ajak Qiyya dengan senyum mengembang.

"Mbak__" kata Aira menggantung tapi langsung dipotong oleh Qiyya.

"Sejak kapan mbakmu ini menjadi musuh adik-adiknya?" tanya Qiyya yang masih belum bisa dimengerti oleh Aira.

Abi Umar dan ummi Fatimah akhirnya sampai juga di rumah Abdullah. Setelah basa-basi sesaat, Aira menghampiri mereka di ruang tamu.

"Maaf mengganggu. Ayah, kata mbak Qiyya diminta untuk makan malam dulu semuanya." Kata Aira menginterupsi perbincangan antara mereka.

"Mari Pak Umar dan keluarga, kita ke belakang makan malam. Spesial Qiyya yang memasak loh hari ini." Ajak Abdullah.

"Percaya, kalau Qiyya yang memasak pasti ummi bakalan nambah ini, Bi." Canda Ummi Fatimah.

Hanif dan Hafizh sudah siap di kursinya masing-masing dengan piring terbuka di depannya.

Kartika memandang Qiyya, Ibnu, Hanif dan Hafizh secara bergantian. Ini kebetulan atau memang sudah direncanakan kok sepertinya mereka berempat memakai pakaian couple yang sangat serasi. Sambil memberikan kode ke Aira dan Zurra yang seolah dijawab ketidaktahuan oleh mereka.

"Ibu__kok bengong, ayo kita makan dulu. Mas Hanif mau lauk apa, Adik lauknya apa?" kata Qiyyara setelah semuanya duduk di kursi makan kecuali Kartika, Zurra dan Aira

"Mas Hanif mau sama ayam, Bun." Pinta Hanif.

"Adik juga mau sama gurame, Bunda." Pinta Hafizh tidak mau kalah.

Qiyya melayani dua anak itu dengan telaten dan penuh sayang. Ummi Fatimah sampai terharu dan hampir menangis melihatnya.

"Mas Ibnu?" tanya Qiyya setelah selesai mengambilkan makanan untuk Hanif dan Hafizh.

"Ayah nggak ditawari Mbak?" goda Abdullah yang disambung tawa oleh ummi Fatimah dan abi Umar.

Ibnu senyum tersipu kemudian menunjuk daging lapis yang berada jauh dari jangkauannya. Qiyya berjalan mengambilkan kemudian menyerahkan kepadanya baru setelahnya duduk di samping Hafizh.

Mereka memulai makan dengan diam, hanya sesekali Qiyya membantu makan Hafizh. Ibnu tersenyum bahagia melihatnya.

Setelah semuanya selesai, barulah Abdullah mengajak kembali berbincang di ruang tamu. Aira, Kartika dan Qiyya membereskan meja makan sebelum mengikuti Abdullah ke ruang tamu.

"Mbak Qi, bisa jelaskan ke Aira dan ibu tentang semua ini?" pinta Aira.

"Kita ke ruang tamu sekarang. Mbak akan menjelaskan semuanya di sana." Ajak Qiyya.

Kartika duduk di tengah di sebelah Abdullah dan Qiyyara. Aira duduk di ujung bersebelahan dengan Zurra. Abi Umar duduk di single sofa sebelah kanan Abdullah, sedangkan Ibnu, Hanif dan ummi Fatimah duduk dalam sofa yang berhadapan dengan sofa yang diduduki Abdullah. Hafizh, tentu saja berada di pangkuan Qiyyara.

"Jadi begini Pak Abdullah dan juga Bu Kartika. Maksud kami berkunjung kemari pertama adalah silaturahim." Kata abi Umar yang mulai masuk ke perbincangan utama.

"Alhamdulillah ya Ummi, langsung dapat makan malam yang luar biasa enak rasanya." Lanjut abi Umar disambut gelak tawa oleh semuanya.

"Dan tujuan kedua kami adalah sebagai wali untuk mengantarkan Ibnu. Bagaimana Ib, abi yang melanjutkan atau kamu mau ngomong sendiri?" abi Umar menawarkan kepada Ibnu.

"Biar Ibnu yang melanjutkan Abi." Jawab Ibnu mantap.

Aira masih juga belum mengerti dengan semua perbincangan yang ada di depannya. Dia masih merasa bahwa sepertinya memang Qiyya sedang mempermainkan hatinya.

"Selepas lomba memasak kemarin, Ibnu secara pribadi telah mengkhitbah Qiyya untuk menjadi istri sekaligus ibu dari anak-anak Ibnu." Cerita Ibnu berhenti beberapa saat.

Suasanya masih hening, kemudian Ibnu melanjutkan kalimatnya. "Qiyya belum menjawab waktu itu, bersedia atau menolak. Ibnu juga memberikan waktu untuknya berpikir dan juga berdiskusi dengan Allahu Rabb. Sampai pada saat kami mengantarkan Hanif ke Malang untuk mengikuti lomba pidato kemarin."

Ibnu memandang Qiyya sesaat dan berhenti di jari manis Qiyya yang kini telah melingkar sebuah cincin bertahtakan permata biru yang diberikannya pada waktu melamar Qiyya di Blitar Square.

"Hingga kemarin Ibnu melihat Qiyya memakai cincin pemberian Ibnu yang menandakan bahwa inshaallah dia menerima pinangan Ibnu."

Kartika dan Aira memandang Qiyya dengan air mata menggenang. Mungkin mereka merasa salah mengartikan sikap Qiyya selama ini.

"Sesuai janji Ibnu, jika Ibnu sudah melihat itu keesokan harinya Ibnu akan mengkhitbah Qiyya secara resmi kepada kedua orang tua dan keluarga besar Qiyya, dan hari ini adalah sehari setelahnya Ibnu mengetahui cincin itu melingkar di jari manis Qiyya. Jadi__" Ibnu menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan.

"Bismillahirohmannirrohiim. Adz Qiyyara Zaffran, bersediakah engkau menerima khitbah dari bapak dua anak ini? Menjadi istri sekaligus langsung menjadi ibu untuk Hanif dan Hafizh karena Allah?" pinta Ibnu yang disambut deraian air mata oleh ummi Fatimah, Kartika, Aira dan tentu juga Qiyyara sendiri.

Abdullah berusaha mencairkan suasanya yang sepertinya menegang dengan beberapa senggukan.

"Benar kata nak Ibnu, Nduk?" tanya Abdullah perlahan. Qiyya menganggukan kepala tanda membenarkan ucapan Ibnu.

"Lantas sekarang, Ayah ingin mendengar langsung jawaban dari pertanyaan nak Ibnu barusan untukmu. Bagaimana jawabanmu?" tanya Abdullah.

Qiyya terdiam, mengangkat kepalanya sebentar melihat kepada Ibnu, Abdullah, dan Kartika bergantian kemudian menunduk kembali.

"Inshaallah, atas izin Allah Qiyya menerima khitbah Mas Ibnu untuk menjadi istri sekaligus menjadi ibu untuk Hanif dan Hafizh." Jawab Qiyya lancar.

Aira langsung berhambur ke pelukan kakaknya. Hafizh yang berada di pangkuan Qiyya merasa tidak nyaman dengan situasi itu. Kartika yang paham akan perasaan Aira segera mengambil alih Hafizh untuk pindah ke pangkuannya.

Qiyya berdiri membalas pelukan dari adiknya. "Maafkan Aira telah suudzon pada mbak Qiyya." Kata Aira sambil menangis.

Qiyya tersenyum, memeluk sambil menepuk pelan punggung adiknya. "Mbak nggak bisa menjelaskan jika kamu masih diliputi amarah, ucapan mas Ibnu sudah cukup menjelaskan semuanya kan?" tanya Qiyya lirih tepat di dekat telinga Aira.

Aira mengangguk sambil mengusap air matanya. Ibnu akhirnya berdiri dan mengkode Qiyya ada apa dengan Aira.

"Jadi, ceritanya__" ucap Qiyya yang langsung dipotong Aira.

"Mbak jangan, Aira malu." Kata Aira kemudian berjalan ke dalam.

Qiyya dan semuanya tersenyum. Kartika lega akhirnya kesalahpahaman diantara kedua anaknya bisa terselesaikan dengan baik. Meski sebenarnya dia juga sangat kaget mengetahui bahwa Ibnulah yang dimaksud Qiyya 'tamu istimewa' itu. Padahal dari kemarin Kartika sudah menduga bahwa yang akan datang adalah Wildan beserta keluarganya.

"Jadi Ayah sudah tahu kalau sebenarnya yang akan datang itu adalah Nak Ibnu beserta keluarganya?" tanya Kartika kepada Abdullah.

"Loh piye to Bu, ayah pikir Ibu sudah diberitahu sama Qiyya. Makanya ayah diam saja. Kemarin nak Ibnu sudah memberitahu ayah lewat telpon." Jawab Abdullah.

"Mashaallah, ternyata ini tadi Ibu, Zurra dan Aira nggak paham dengan maksud Qiyya. Kamu ini Mbak, bikin ibu spot jantung saja." Protes Kartika kepada Qiyya.

Qiyya dan Ibnu hanya tersenyum mendengar protes dari ibunya. "Surprise," kata Qiyya kemudian mencium kedua pipi ibu tercintanya. Ummi Fatimah dan abi Umar hanya menggelengkan kepala melihat keakraban keluarga Abdullah.

"Dad, jadi hadiah mas Hanif dari bunda apa. Dari tadi kok kalian bicara-bicara, mas Hanif nggak paham." Pinta Hanif kepada Ibnu.

Ibnu memandang Qiyya dan kemudian tersenyum bersama. "Coba tanya sama bunda." Pinta Ibnu kepada Hanif.

"Sudah tadi, tapi nggak dijawab sama bunda." Sungut Hanif.

"Coba sekarang tanya lagi." Kata Ibnu lagi.

"Bunda, mana hadiahnya buat mas Hanif?" tanya Hanif mendekat kepada Qiyya.

"Sini duduk dekat bunda. Mas Hanif kemarin tanya bunda kan? Maukah bunda menjadi ibu yang sesungguhnya untuk mas dan adik?" tanya Qiyya dengan bahasa Hanif. Hanif menganggukkan kepala mengingat pernyataannya kemarin.

"Dan jawaban Bunda sesuai dengan keinginan Mas Hanif sebagai hadiah menang lomba pidato kemarin." Kata Qiyya sambil memegang muka Hanif dengan kedua telapak tangannya.

"Bunda mau jadi ibunya mas Hanif?"

"Iya."

"Kita akan tinggal serumah terus, sama adik dan daddy?"

"Iya Sayang." Jawab Ibnu yang sudah berlutut di samping Hanif.

Semua orang bahagia melihat sorot bahagia di mata Hanif. Hafizh sudah tertidur di pangkuan Kartika.

"Dik Zurra, tolong bawa Hafizh ke kamar mbak ya." Pinta Qiyya. Zurra mengikuti perintah kakaknya mengambil alih Hafizh dari pangkuan Kartika untuk menidurkannya di kamar Qiyya.

"Ekhmmmm, jadi selanjutnya bagaimana ini Pak Umar?" tanya Abdullah.

"Ibnu, Qiyya?" tanya abi Umar.

"Sebaiknya sesuatu yang baik itu disegerakan." Kata Abdullah.

"Ibnu dan Qiyya tidak masalah mau kapan saja Abi, tapi kalau bisa pas Ibnu libur kerja. Nggak enak kemarin baru sakit kemudian izin untuk mengantarkan Hanif masa sekarang mau izin lagi." Kata Ibnu.

"Iya Abi, sebaiknya memang pas mas Ibnu libur saja." Jawab Qiyya.

"Lah kamu liburnya kapan Ib?" tanya Ummi Fatimah.

"Ya kalau yang paling dekat sih besok minggu__" jawab Ibnu.

"Kalau begitu ya hari minggu saja to, 4 hari lagi berarti. Mengurus administrasi cukup kan?" tanya Abi Umar.

"Inshaallah bisa Bi. Ini bukan yang pertama untuk Ibnu dan Qiyya, jadi acaranya dibuat sederhana saja. Yang penting sah, tetangga sebelah diberitahu. Mungkin nanti teman dokter Ibnu di rumah sakit yang akan diundang. Qiyya bagaimana?" kata Ibnu.

"Qiyya setuju sama Mas Ibnu, acaranya dibuat sederhana saja." Jawab Qiyya.

Akhirnya disepakati untuk akad nikah Ibnu dan Qiyya akan dilaksanakan hari Minggu jam 10.00 pagi. Selanjutnya diadakan acara walimatul ursy mengundang tetangga sebelah rumah Qiyya, teman-teman dokter Ibnu dan tentunya guru-guru sekolah Hanif dan Hafizh.

Jam dinding menunjukkan pukul 22.00, Abi Umar pamit untuk pulang karena dirasa pembicaraan sudah lebih dari cukup. Ibnu juga harus segera beristirahat karena besok ada operasi pagi.

Hanif dan Hafizh sudah tertidur pulas di kamar Qiyya. Ibnu menitipkan kedua anaknya kepada Qiyya, besok pagi dia berjanji untuk kembali ke rumah Qiyya dan mengantarkan pakaian seragam untuk kedua anaknya.

--- 📌🍃____✂ ---


Tetap, jadikanlah Alqur'an sebagai bacaan utama

Happy Reading 👨‍💻👩‍💻

Sukron, jazakhumullah khair

to be continued


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top