15# Pengakuan Aira

_ketika kita memilih bersama dengan seseorang walau apa pun yang terjadi, Itu adalah pilihan. Bahkan ketika kita menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih menarik, lebih pandai, lebih kaya daripada pasangan kita dan tetap memilih untuk mencintainya, itulah pilihan_

🌼🌼🌼

Hujan masih setia mengguyur kota patria. Masih deras dan juntaian petir masih setia menyertainya. Rezeki Allah yang harus disyukuri. Hasil kondensasi 97% air laut melalui hukum fisika yang telah ditentukan Allah berubah menjadi air tawar yang menyuburkan dan memberikan penghidupan baru.

Jika kita membuka kembali AlQur'an Surah Al Waki'ah ayat 70, adakah diantara kita yang masih tidak mau bersyukur? Sementara Allah menciptakan segala sesuatunya dengan begitu sempurna.

Aira masih terdiam di tempat beberapa bayi sedang tertidur di boxnya. Kejadian hari ini benar-benar sangat mengusik pikirannya. Sebenarnya malam ini dia ingin menyampaikan segala gundah hatinya kepada Qiyya, kakaknya. Namun tugas yang harus diselesaikannya hari ini harus menahannya untuk tetap stay di rumah sakit sampai pukul 22.00.

Aira
Mbak Qi, mau aku baru bisa pulang jam 10 malam, mobilnya nggak mau dipake kemana-mana kan? Jangan tidur dulu ya, ada sesuatu yang aku ceritakan. Penting. Jazakhillah khair

Tidak berapa lama dia menerima notifikasi balasan atas pesan yang telah dikirimnya

Aamiin, inshaallah. Kamu hati-hati setir mobilnya, Mbak tunggu di rumah

Aira meletakkan gawainya ke dalam saku snelli. Sambil menjaga bayi-bayi mungil itu dia mengerjakan beberapa laporan yang harus diselesaikan untuk keesokan harinya.

Tak terasa jam dinding telah menunjukkan pukul 22.00 tepat Aira segera berkemas untuk pulang. Diluar tinggal sisa gerimis yang berbalur dengan dinginnya malam. Aira memutar kunci, melepaskan pedal kopling dan menginjak pedal gas perlahan. Honda Jazz merah yang dikendarainya perlahan meninggalkan area parkir RSU.

Lampu sein telah dinyalakan dan pertanda mobil yang dikendarai Aira hendak berbelok ke rumahnya. Namun ketika sampai di pintu gerbang rumahnya, Aira dikejutkan dengan sebuah mobil New Honda Accord VTi-L ES warna hitam telah terparkir rapi di tempat biasa mobil kakaknya terparkir. Aira kembali melihat jam yang ada dipergelangan tangannya, 22.15 sudah terlalu malam untuk seseorang bertamu. Namun dia hafal benar pemilik sedan hitam itu. Atau mungkin terjadi sesuatu dengan ayahnya sampai selarut ini dokter Ibnu masih berada di rumahnya.

Setelah memarkir mobilnya di depan mobil dokter Ibnu, Aira segera masuk ke dalam rumah dan ke kamar ayahnya. Membuka sedikit pintu kamar ayahnya, dia melihat jika ayah dan ibunya sudah terlelap tidur.

"Dik, kamu kenapa kok kaya orang bingung gitu?" tanya Qiyya ketika akan mengambil minum di dapur.

"Mbak, ayah nggak kenapa-kenapa lagi kan?"

"Alhamdulillah enggak, tadi selesai minum obat langsung istirahat dengan ibu. Kenapa?"

"Itu di depan mobil dokter Ibnu__"

"Ouhhhh__eh iya, kamu tadi mau cerita apa? Mandi dulu gih, Mbak tunggu di meja makan."

"Mobil dokter Ibnu?"

"Mbak tadi yang bawa ke sini__"

"Mbak__?" kata Aira sambil menaikkan satu alisnya.

"Sudah sana mandi dulu." Kata Qiyya kemudian berlalu ke dapur.

Aira berlalu menjauhi Qiyya dan segera menyelesaikan ritual membersihkan badannya. Qiyya menunggu sambil membuka majalah islami yang telah diambilnya dari rak majalah dan novel yang ia punya.

Lima belas menit waktu yang cukup dibutuhkan Aira untuk menyelesaikan semuanya. Dengan berpakaian piyama lengkap, Aira berjalan mendekati Qiyya. Sesuai dengan janjinya tadi Aira akan menceritakan keresahan hatinya kepada kakak sulungnya itu.

"Mbak__, Aira boleh tanya."

"Boleh, tanya apa?" jawab Qiyya masih fokus dengan majalahnya.

"Mbak sama dokter Ibnu?"

"Hmmmm. Masalah mobil? Iya tadi memang mbak yang bawa pulang. Karena mbak tadi siang jemput anaknya terus mereka mengajak makan siang di restoran fastfood Jl Sudanco Supriyadi sana. Pulangnya mendung banget mau hujan akhirnya sepeda motor mbak dibawa sama mas Ibnu."

Aira hanya diam mendengar penuturan kakaknya.

"Tidak ada istilah pacaran Dik dalam Islam, kamu juga tahu itu kan. Jadi percayalah, mbakmu ini masih paham mana yang benar mana yang salah."

"Kalau jatuh cinta?" tanya Aira pelan.

Sedikitnya Qiyya mulai paham ke arah mana adiknya akan mengajaknya berbicara. Qiyya menebak jika adiknya sedang galau masalah asmara.

"Pacaran memang tidak diperbolehkan menurut ajaran agama kita. Tapi dengan jatuh cinta? Cintailah pemiliknya dulu Aira, setelahnya pasti Dia akan mendatangkannya padamu." Kata Qiyya.

"Dan itu sangat menyiksaku Mbak."

"Hmmmmmm, ternyata memang benar dugaan mbak, kamu sekarang sedang jatuh cinta." Kata Qiyya sambil tersenyum. "Ceritakanlah, siapa laki-laki beruntung itu."

Aira mulai menceritakan masalah hatinya. Menceritakan yang ia ketahui tentang seorang Wildan Syafaraz. Laki-laki yang selalu sopan, menjaga pandangan, bertutur kata halus dan memiliki pengetahuan agama yang sangat mumpuni.

"Apakah Aira salah Mbak, jika hati Aira terpaut dengan semua kharismanya?"

"Mbak harus jawab apa? Jujur atau enggak?" tanya Qiyya ingin mencairkan suasana.

"Mbak Qiyya, aku nggak dalam kapasitas bercanda sekarang. Jadi tolong__"

"Salah, kamu tetap saja salah. Karena Allah pasti akan cemburu dengan sikapmu itu." Kata Qiyya tegas.

"Dik, yakinlah bahwa Allah akan memilihkan seorang yang tepat untuk kita kelak."

"Tapi bagaimana dengan Mbak sekarang?" tanya Aira.

"Itu juga qodarullah yang harus mbak jalani dan mbak telah mengikhlaskan itu semua. Mintalah Allah untuk menyertai cintamu itu, jangan melebihkan cintamu kepadanya dibandingkan padaNya." Jawab Qiyya.

Sedikit demi sedikit Aira memahami maksud kakaknya. Maksud Qiyya adalah salah jika kita mencintanya melebihi cinta kita padaNya.

"Maaf, kalau mbak boleh tahu__siapakah nama dari ikhwan yang kamu maksud itu?" tanya Qiyya.

"Wildan Syafaraz." Jawab Aira mantap.

Qiyya hanya diam mendengar nama seseorang yang disebutkan oleh adiknya itu. Baru tadi pagi dia menceritakan perihal ajakan ta'aruf orang yang dimaksudkan adiknya kepada ayah dan ibunya dan sekarang dia baru saja mengetahui curahan hati adiknya tentang laki-laki yang telah mengajaknya ta'aruf. 'Ataukah sebenarnya Allah telah memberikan jawaban kepadaku, namun aku belum menyadarinya. Allahu Rabb, gambarkan secara jelas kepada hambaMu yang tidak sempurna ini,' doa Qiyya dalam hati.

"Rutinkan sholat malammu. Mbak tidur dulu ya, sudah larut. Besok pagi harus ngantar krucil ke sekolahnya." Pamit Qiyya.

"Sebentar Mbak, masih ada satu cerita lagi__"

"Jadi__?" pancing Qiyya supaya Aira segera bercerita.

Aira menceritakan kejadian tadi pagi. Saat Ibnu mengajaknya sarapan di taman karena dibawakan bekal oleh Kartika. Hingga perubahan sikap dokter Erlando yang dirasakan oleh Aira. Hingga pendapat teman-temannya bahwa dokter Erlando cemburu kepadanya.

"Memang kamunya yang nggak peka. Wong mbak aja yang nggak pernah ketemu sampe ngerti." Ledek Qiyya sambil tertawa tipis.

"Bukan Aira, tapi mbak Qiyya yang nggak peka." Sungut Aira.

"Maksudmu?" tanya Qiyya. Bukannya menjawab tetapi Aira nyengir kemudian beranjak menuju kamar tidurnya.

Qiyya pun akhirnya beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menaiki tangga menuju peraduan indahnya. Sebenarnya di dalam kamar Qiyya masih merenungkan curhatan adiknya, menimbang semua baik dan buruknya. Menerima atau melepasnya, hingga akhirnya doa sebelum tidur pun tak luput dibacanya. Qiyya tidak ingin kehilangan 1/3 malam terakhirnya untuk bermunajah di hadapan Illahi Rabb nya hanya karena terlambat beristirahat.

'Bunda, adik takut, hug me Bunda, accompany me Bunda, don't leave me alone__' suara Hafizh menangis meraung memanggil Qiyya.

"Astaghfirullahaladziim." Qiyya terbangun dan beristighfar. 'Alhamdulillah ternyata hanya mimpi.'

Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 03.00. Qiyya beringsut meninggalkan petiduran untuk mengambil wudhu dan berdiri menegakkan 2 rokaat untuk bermunajah kepadaNya.

Dua salam mengakhiri qiyyamul lailnya. Kedua tangannya terangkat meminta sesuatu yang selalu menjadi doa dan harapannya. Hingga dilanjutkan dengan murojaah AlQur'an untuk menunggu adzan subuh berkumandang.

Gawai putih bergetar di atas nakas. Semalam dia memang menuliskan note untuk mengirimkan pesan kepada ustadzah Ikhlima berkaitan dengan jawaban atas CV Ta'aruf yang dikirimkan ustad Wildan untuknya.

"Bismillahirrohmanirohiim, semoga aku tidak salah mengambil keputusan kali ini." Ucap Qiyya sesaat sebelum mengirimkan sebuah pesan kepada ustadzah Ikhlima.

Kartika telah berada di dapur untuk bergulat dengan rutinitas paginya. Aira dan Qiyya terlihat juga berada di samping sang ibunda untuk membantu mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Semua pekerjaan akan terasa ringan jika kita selalu bersyukur dan ikhlas untuk mengerjakannya.

Qiyya sudah siap dengan gamis polos warna toska dan hijab bunga warna senada. Sebelum meninggalkan meja makan, dia meninggalkan pesan kepada ibunya untuk segera berangkat mengantarkan Hanif dan Hafizh ke sekolah sesuai janjinya kemarin kepada 2 bocah kecil itu. Tak lupa di tangan kanannya telah tersusun rapi 2 rantang berisi bekal makan siang untuk mereka.

Dengan mobil sedan accord warna hitam milik Ibnu, Qiyya meluncur menjemput Hanif dan Hafizh. Sampai di rumah ummi Fatimah, Qiyya segera mengucapkan salam dan masuk berniat untuk melihat kedua anak yang pastinya sudah menunggu kehadirannya.

Namun setelah bertemu dengan ummi Fatimah alangkah terkejutnya Qiyya ketika mengetahui bahwa Hanif dan Hafizh belum ada yang bersiap memakai seragam.

Loh, kok belum pakai seragam. Atau jangan-jangan kalian belum mandi?" tanya Qiyya.

"Kita sudah mandi Bunda, cuma memang belum pakai baju seragam."

"Kenapa Sayang?"

"Daddy belum bangun juga dari tadi pagi, jadi ya kita nggak mau pake seragam."

Qiyya terdiam kemudian segera membantu mereka untuk berganti seragam. Tak lama setelahnya, mereka sudah berada di meja makan untuk sarapan pagi. Tapi lagi-lagi, Qiyya tidak melihat Ibnu berada diantara mereka.

"Ibnu sepertinya lagi tidak enak badan Qi, tadi barusan ummi lihat ke kamarnya. Mungkin dia ke rumah sakit agak siangan."

Terdiam Qiyya segera menyelesaikan suapannya untuk Hanif dan Hafizh. Kemudian berkata kepada ummi Fatimah, "Setelah mengantarkan mereka, Qiyya segera kembali kemari Ummi. Mas Ibnu pasti membutuhkan mobilnya untuk dipakai ke rumah sakit nanti." Ummi Fatimah mengangguk mengiyakan. Setelah mendapatkan izin darinya, Qiyya dan kedua cucunya segera berangkat ke sekolah.

Tidak ada kata yang bisa diucapkan untuk menggambarkan rasa bahagia Hanif dan Hafizh ketika Qiyya mengantarkan mereka sampai di pintu gerbang sekolah. Setelah mencium tangan kanannya, Qiyya segera mengelus kepala dan mencium mereka bergantian. Sambil tersenyum ceria Hanif dan Hafizh melambaikan tangan sambil mengucapkan salam dan membawa bekal makan siang yang telah Qiyya siapkan dari rumah di tangan kirinya.

Di sisi lain, Aira segera memeriksa keadaan sang ayah sebelum dia berangkat ke rumah sakit pagi ini. Menyiapkan beberapa obat yang harus diminum oleh ayahnya setelah sarapan. Ketika hendak membereskan nakas dan mengganti air minum ayahnya, Aira melihat amplop coklat yang di depannya terdapat tulisan CV Ta'aruf.

"Kemarin kakakmu menyerahkan itu kepada ayah. Ada seorang ikhwan yang mengajaknya ta'aruf." Kata Kartika ketika melihat Aira membolak balikkan amplop coklat itu.

Aira segera membuka amplop itu dan melihat beberapa kertas di dalamnya. Entah perasaan apa yang Aira rasakan ketika melihat nama orang yang selama ini ia sebut dalam doanya tertera di sana. Orang yang di cintainya dalam diam mengajak ta'aruf kakaknya sesuai dengan cerita ibunya.

Sakit tentunya, tapi mengapa Qiyya tidak mengatakan kepada Aira semalam bahwa Wildan telah mengajaknya ta'aruf. Apakah kakaknya tidak ingin Aira bersama Wildan makanya semalam langsung memberikan pendapat salah kepada Aira ketika dia meminta pendapat Qiyya. Aira segera berlalu dari hadapan ibunya tanpa mengucap sepatah kata pun. Bahkan dia melupakan untuk berpamitan kepada orang yang telah melahirkannya itu ketika hendak berangkat ke RS.

Qiyya bergegas kembali ke rumah ummi Fatimah. Bermaksud hendak menanyakan kontak sepeda motor yang kemarin dibawa oleh Ibnu. Ummi Fatimah menahan Qiyya dan berkata, "Tinggallah di sini untuk beberapa saat Qi, suhu badan Ibnu sampai 40°C. Ummi khawatir sekali, dari tadi pagi Ibnu belum beranjak dari tempat tidurnya."

"Tapi Ummi, Qiyya sama mas Ibnu kan__"

"Ummi yang akan menemani kalian, hanya ummi bingung kalau sendirian. Abi Umar sedang ke kebun memeriksa kondisi keprasan tebu yang habis dipanen kemarin."

Ummi Fatimah masuk ke kamar Ibnu diikuti Qiyya di belakangnya. Ummi menggoyangkan tubuh Ibnu pelan, setelah Ibnu membuka matanya kemudian ummi Fatimah meminta Ibnu untuk memakan bubur yang telah ia buatkan. Qiyya menyerahkan mangkuk berisi bubur kepada ummi Fatimah, namun belum sampai sendok makan menuju mulut Ibnu, perut Ibnu langsung bergolak. Rasa mual membuat dia ingin memuntahkan yang ada di perutnya.

Perlahan Ibnu bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi namun pusing yang bersarang di kepalanya membuatnya terhuyung dan hampir terjatuh. Ummi Fatimah langsung menangkis tubuh besar Ibnu agar tidak terjatuh sementara Qiyya bingung harus berbuat apa.

Qiyya akhirnya berlari keluar mengambil dua buah baskom. Satu baskom berisi pasir dan satu lagi baskom berisi air hangat lengkap dengan washlapnya.

"Mas Ibnu sebaiknya kita ke rumah sakit deh. Qiyya sama ummi takut mas Ibnu kenapa-kenapa." Kata Qiyya akhirnya.

"Iya Ib, benar kata Qiyya. Sebelum terlambat sebaiknya kita ke rumah sakit."

"Ibnu nggak papa ummi, istirahat sebentar pasti juga sembuh." Jawab Ibnu.

"Tapi Mas__" ucap Qiyya menggantung.

"Bisa minta tolong ambilkan demacolin dan harvest di lemari obat itu. Sepertinya aku mau flu dan batuk." Kata Ibnu.

Qiyya segera mengambilkan obat yang diminta oleh Ibnu tersebut. Setelah memberikannya kepada Ibnu, Qiyya memberanikan diri bertanya "Semalam Mas Ibnu kehujanan ya pulang dari rumah sakit karena membawa motor Qiyya?"

Ibnu hanya memejamkan mata sebentar kemudian menjawab, "Biarkan aku istirahat sebentar."

"Kalau sampai nanti malam panas badannya tidak turun, besok pagi Qiyya antar ke rumah sakit." Kata Qiyya.

"Aku ini dokter Qi, kamu ya aneh."

"Dokter juga manusia Mas, kalau sakit ya harus berobat." Kata Qiyya tidak mau kalah.

Dalam bingung dan resahnya ummi Fatimah tersenyum melihat perhatian Qiyya kepada Ibnu. Doanya tetaplah sama dari awal. Bukankah kebersamaan itu menjadi lebih indah jika sudah tidak ada pembatas diantaranya?

--- 📌🍃____✂ ---

Tetap, jadikanlah Alqur'an sebagai bacaan utama

Happy Reading 👨‍💻👩‍💻

Sukron, jazakhumullah khair

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top