14# Cerita Adz Qiyyara
_menikah itu : menyempurnakan separuh agama, melapangkan rezeki, menjauhi maksiat, menenangkan jiwa_
🌼🌼🌼
Bukan perkara yang mudah untuk mengambil keputusan yang besar dalam hidup kita. Tanggung jawab, hak dan kewajiban pastinya akan melekat beriringan atas keputusan apa yang akan kita ambil nantinya.
Bukan bermaksud untuk menunda, namun melibatkan Allahu Rabb adalah sesuatu hal yang mutlak untuk seorang Adz Qiyyara Zaffran. Ingatannya kembali kepada pesan singkat ustadzah Ikhlima yang menanyakan tentang ajakan ta'aruf ustad Wildan yang telah disampaikan tempo hari.
Ustadzah Ikhlima
Assalamualaikum Qiyya, bagaimana dengan CV kemarin ? Apa ada yang ingin anti sampaikan?
Ustadzah Ikhlima
Waalaikumsalam Ust, afwan ana belum bisa memberikan jawaban terlebih karena ayah harus opname dan operasi jantung
Namun keyakinannya hari ini untuk membicarakan hal itu dengan Kartika harus terwujud. Qiyya tidak ingin menunda, bukankah sesuatu yang baik itu dilarang untuk ditunda? Beberapa hari ini Qiyya memang sudah melakukan sholat istikhoroh meminta petunjuk pemilik hati. Namun sampai detik dia mengatakan akan menyampaikan sesuatu dengan ibunya, hatinya masih diliputi kebimbangan. Mungkin dengan berbicara dengan ibunya akan menemukan solusi.
"Masalah apa Nak yang ingin kamu sampaikan kepada Ibu?" tanya Kartika setelah keadaan memungkinkan untuk mereka bicara.
"Beberapa hari yang lalu, ustadzah Ikhlima membawakan CV seorang ikhwan untuk Qiyya, Bu. Beliau berkata jika ikhwan yang dimaksud berkehendak untuk mengajak ta'aruf Qiyya." Kata Qiyya memulai berbicara.
Qiyya menceritakan bagaimana mereka bertemu dan bagaimana pendapatnya tentang ustad Wildan. "Kamu sudah memberitahukan kepada ustadzah Ikhlima tentang alasan mengapa mantan suamimu menceraikanmu?" tanya Kartika hati-hati.
Anggukan kepala Qiyya telah mewakili jawaban atas pertanyaan Kartika. "Qiyya juga sudah menceritakan tentang beberapa hasil test dari lab dan beberapa dokter itu, Bu."
"Lantas sekarang, bagaimana dengan hatimu?"
Qiyya menggeleng kemudian mengangguk. Sebenarnya hati Qiyya masih gamang. Belum ada niatan di hatinya untuk membina rumah tangga lagi. Namun kejadian yang menimpa Zurra kemudian ayahnya yang mendapat serangan jantung, memaksanya untuk tidak egois. Berpikir dan melakukan semuanya karena Allah, demi ayahnya dan juga demi keluarganya.
"Berarti kamu masih ragu dengan ini?" tanya Kartika lagi.
"Qiyya sudah istikhoroh Bu."
"Kemudian?"
"Perasaan Qiyya masih sama dengan sebelumnya, belum mendapatkan petunjuk dari Allah. Entah itu mimpi atau keyakinan Qiyya. Malah justru semalam Qiyya mimpi Hafizh kecelakaan di jalan, kakinya terluka dan tidak bisa berjalan, hanya ada Qiyya seorang di sana sampai akhirnya Qiyya gendong dia dan membawanya ke rumah sakit sambil berlari." Cerita Qiyya.
Kartika tersenyum mendengarkan cerita Qiyya. Biar bagaimana pun juga meski anaknya pernah berumah tangga namun masih memerlukan bimbingannya.
"Maksud kamu Hafizh anaknya Ibnu?" tanya Kartika.
"Iya Bu."
Kartika beranjak dari tempat duduknya tanpa meninggalkan sepatah kata disambut tatapan bengong dari mata Qiyya melihat itu. Beberapa saat Qiyya hanya membisu di tempat duduknya. Tak lama setelahnya Kartika kembali bersama Abdullah. Duduk di samping Qiyya dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibir Abdullah.
"Ayah mengapa ke sini, ayah harus istirahat kan. Itu pesan dari mas Ibnu loh."
"Sebenarnya dokternya ayah itu dr. Sandrino atau nak Ibnu to Bu?" tanya Abdullah kepada Kartika dengan senyum lebarnya. Kartika hanya membalas pertanyaan suaminya dengan senyuman. Qiyya menatap kedua orang tuanya dengan penuh tanda tanya.
"Apa, ayo coba ceritakan pada ayah. Ibumu bilang katanya ada ikhwan yang mengajakmu ta'aruf." Kata Abdullah to the point.
Qiyya menatap ibunya sesaat, saat ibunya tersenyum dan mengangguk mulailah Qiyya bercerita kepada Abdullah sama seperti yang telah diceritakannya kepada Kartika. Amplop yang berisikan CV milik ustad Wildan pun kini telah berpindah tangan ke tangan ayahnya.
Abdullah membaca dengan seksama dan berucap "Inshaallah, ayah tidak meragukan ikhwan yang tertulis di sini. Pendidikannya bagus, sangat bagus malah. Lugas dan apa adanya kalau dilihat dari caranya bertutur kata lewat tulisan. Hanya yang perlu kamu lihat, usianya terlampau jauh denganmu Qiyya."
Qiyya menarik nafas panjang kemudian menghempaskannya perlahan. Dari awal Qiyya juga sudah berpikir tentang itu. Ustad Wildan itu lebih cocok menjadi adiknya dibandingkan menjadi suami. Namun sekali lagi dia berpikir, jika ini merupakan qodarullah yang harus dijalani apakah mungkin dia bisa mengelak dari yang namanya takdir? Tentu tidak bukan.
"Masih seusia adikmu, Zurra. Bukan masalah apa, kalau Allah sudah berkehendak memang kita bisa apa? Hanya saja, tolong ditimbang baik-baik. Wildan mungkin bisa menerimamu dengan semua keadaanmu sekarang, statusmu, usiamu, tapi bagaimana dengan keluarganya? Ayahnya, terlebih ibunya. Apa kamu sudah menanyakan kepadanya?" tanya Abdullah.
Qiyya hanya bisa menggelengkan kepala. Selama ini memang komunikasi intensnya hanya dengan ustadzah Ikhlima. Bahkan dengan ustad Wildan sendiri pun Qiyya belum pernah bertukar informasi.
"Kamu sudah beristikhoroh, meminta petunjukNya?" tanya Abdullah lagi.
Qiyya mengangguk dan memberikan jawaban sesuai jawabannya kepada Kartika sebelumnya.
"Baiklah kalau begitu. Sepertinya memang ayah harus menyampaikan ini segera kepadamu." Kata Abdullah dengan mimik muka serius.
Qiyya yang masih bingung dengan perasaannya semakin bingung dengan pernyataan ayahnya. Dengan perasaan was-was Qiyya menunggu apa yang akan dibicarakan oleh orang yang begitu dicintainya.
"Kemarin ketika di taman ayah berbincang banyak dengan nak Ibnu." Tangan Abdullah menggenggam tangan Qiyya.
Flashback on
"Nak Ibnu, maaf kalau ayah perhatikan nak Ibnu dengan Qiyya___?" tanya Abdullah menggantung.
"Ibnu dan Qiyya tidak ada hubungan apa-apa Ayah sekarang, hanya saja jika Ayah merestui Ibnu akan meminta Qiyya untuk bisa mendampingi Ibnu, menjadi istri dan ibu untuk kedua anak Ibnu dan adik-adiknya kelak." Jawab Ibnu sambil menyuapkan bubur ke mulut Abdullah.
Sambil mengunyah perlahan Abdullah menghabiskan bubur yang ada di mulutnya. "Apakah ini bisa dikatakan semacam khitbah atau lamaran?"
Ibnu mengangguk perlahan kemudian berkata, "Ibnu bukan ABG lagi Ayah, status Ibnu jelas duda dua anak, lima tahun membesarkan mereka sendiri sangatlah berat. Ibnu bisa menahan keinginan itu, tapi benar kata ummi bahwa anak-anak memerlukan figur seorang ibu. Dan Ibnu melihat Qiyya sangat tepat untuk pilihan itu. Meski baru mengenalnya tapi Ibnu yakin Qiyya adalah orangnya."
"Bagaimana dengan keluargamu, Nak?"
"Ayah dan ibu Ibnu sudah lama meninggal Ayah, jadi abi Umar dan ummi Fatimahlah sekarang yang menjadi orang tua Ibnu. Dari awal memang ummi ingin sekali menjodohkan Ibnu dengan Qiyya. Hanya saja Ibnu selalu menolak. Namun setelah melihat kedekatan anak-anak dan Qiyya, rasanya hati Ibnu juga ingin melakukannya kembali." Ungkap Ibnu. "Ditambah lagi setelah kemarin tanpa sengaja Ibnu melihat sebuah CV ta'aruf di meja toko ayah. Rasanya ada yang sakit di hati Ibnu, jika CV itu ditujukan untuk Qiyya. Namun jika untuk dik Aira, Ibnu pasti akan membantu untuk melancarkannya."
"Apakah kamu sudah membicarakan semua ini dengan Qiyya?" tanya Abdullah lagi.
"Memang Ibnu berencana untuk meminta restu Ayah dan ibu dahulu, jika Ayah dan ibu merestui Ibnu pasti akan segera menyampaikan maksud Ibnu ini untuk mengkhitbah Qiyyara menjadi pendamping hidup Ibnu, menyempurnakan separuh agama dan beribadah bersama menuju jannahNya." Jawab Ibnu mantap.
"Ayah sangat puas dengan jawabanmu, Nak Ibnu. Semoga Allah memberikan yang terbaik." Kata Abdullah.
"Aamiin. Tapi Ayah juga harus semangat dan jangan berpikir macam-macam dulu. Kesehatan ayah lebih penting dari apapun juga." Pesan Ibnu.
Flashback off
Abdullah diam beberapa saat melihat reaksi Qiyya. Semua telah dia ceritakan tanpa dikurangi maupun ditambahi.
"Mas Ib_nu__, Ay_ah__?" Qiyya yang sangat terkejut mendengar penuturan ayahnya berbicara terbata.
"Ayah belum memberikan jawaban untuk merestuinya. Itu mungkin sebabnya Ibnu belum cerita kepadamu." Kata Abdullah.
Qiyya kembali diam mematung. Qiyya memang sangat menyayangi kedua anak Ibnu. Namun untuk memiliki perasaan yang lebih dengan Ibnu masih belum terpikir oleh Qiyya.
"Tidak perlu tergesa, tapi timbanglah baik buruknya." Kata Abdullah.
Jika memilih Wildan, sesuai dengan pendidikan formalnya pasti dia memiliki nilai lebih di mata Qiyya. Agamanya tidak perlu diragukan lagi, Namun usia Ustad Wildan terpaut 7 tahun di bawah Qiyya, dan untuk status Qiyya yang pernah gagal menikah belum bisa dipastikan apakah keluarga Ustad Wildan menerima atau tidak.
Jika Qiyya memilih Ibnu, Abdullah meyakini bahwa dulu abi Umar memilih Ibnu sebagai menantunya bukan tanpa pertimbangan, pasti sudah dipertimbangkan yang terbaik untuk anak sulungnya. Lebih ditekankan oleh Abdullah, bahwa jika memilih Ibnu sudah dipastikan bahwa keluarga abi Umar selaku walinya sudah merestui terlebih kedua anaknya pasti akan menyambut gembira, karena semua tahu kedua anak Ibnu begitu dekat dengan Qiyya meskipun baru mengenalnya.
Qiyya bukannya mendapatkan jawaban justru semakin pusing dengan pernyataan Abdullah. Antara Ibnu dan Wildan, hati Qiyya masih belum memihak salah satu diantaranya. "Lanjutkan istikhorohmu, inshaallah pasti diberikan jalan yang terbaik. Ayah sudah menyampaikan sesuai yang ayah lihat dan rasakan. Kehidupan itu milikmu Nak, kamu yang harus menentukan. Bukan Ayah atau Ibu." Ucap Abdullah
"Benar kata Ayahmu Qiyya, ibu pasti mendoakan ini yang terbaik dan terakhir untukmu." Sambung Kartika.
Qiyya akhirnya pamit kepada ayah dan ibunya untuk kembali memikirkan pendapat kedua orang tuanya tersebut. Kilasan-kilasan memori kembali memenuhi ruang angan Qiyya, bagaimana pertemuannya dengan Wildan dan Ibnu.
Tidak ada yang begitu istimewa diantara keduanya dari pertemuan pertemuan itu. Hanya saja ketika Qiyya mengingat tentang Hanif dan Hafizh, hatinya mulai menghangat bahkan sampai tersenyum sendiri mengingat polah lucu kedua anak itu. Hingga gawainya bergetar dan...
Bu Zulaikha's calling
"Assalamu'alaikum." Salam Qiyya
......................................
"Oh begitu, sekarang ya Bu? Baik kalau begitu 30 menit lagi saya sampai disana." Jawab Qiyya.
Qiyya yang baru teringat bahwa mobilnya dipakai Aira ke rumah sakit akhirnya memutuskan membawa sepeda motornya menuju sekolah Hanif.
"Mau kemana Nak?" tanya Kartika.
"Kepala sekolah Hanif menelpon Qiyya untuk datang ke sekolahannya sekarang Bu, Qiyya pamit dulu ya." Jawab Qiyya sambil mencium tangan kanan Kartika.
"Memang seperti itulah tugas seorang Ibu. Jika ayahnya tidak bisa harus sigap menggantikan posisinya." Kata Kartika sambil menyirami bunga anggrek kesayangannya.
"Ibu__" kata Qiyya merajuk.
Kartika hanya tersenyum melihat putri sulungnya mengerucutkan bibir mungilnya. Tidak bermaksud untuk melanjutkan menggoda anaknya.
Sekolah Hanif masih sepi, jam tangan Qiyya menunjukkan pukul 14.00. Semua siswa pasti masih di dalam kelas. Qiyya bergegas menuju ke ruangan Zulaikha.
"Jadi begini Bunda, sekolah akan mengadakan lomba memasak antara siswa dan bundanya untuk memperingati hari ibu." Kata Zulaikha.
"Iya Bu."
Cerita bu Zulaikha mengalir. Hanif yang biasanya selalu antusias dalam kegiatan belajar mengajar karena masalah ini dia jadi tidak bersemangat. Padahal seminggu setelahnya pihak sekolah menunjuk dia untuk mewakili sekolah mengikuti lomba pidato berbahasa Inggris tingkat kabupaten/kota dengan tema Ibu.
Meskipun baru kelas satu pihak sekolah yakin jika Hanif mampu, disamping itu Hanif cukup fasih berbahasa inggris. Zulaikha sendiri memanggil Qiyya karena pihak sekolah yang telah mengetahui keadaan Hanif dan berharap kepada Qiyya untuk bisa membantu memulihkan psikis Hanif sehingga bisa kembali bersemangat.
"Maaf Bunda, saya pribadi sungguh sangat berharap. Saya tahu jika Hanif sangat dekat dengan Bunda Qiyya-nya. Oleh karena itu, saya berinisiatif untuk memanggil Bunda datang ke sekolah." Harap Zulaikha.
"Saya bisa mengerti dan memahami. Secepatnya akan saya diskusikan dengan daddynya Hanif terkait masalah ini, Bu."
"Terima kasih."
Setelah pamit dengan Zulaikha, Qiyya segera menelpon ummi Fatimah. Memberitahukan bahwa sekarang dia sedang berada di sekolah Hanif, sekaligus meminta izin untuk menjemput mereka berdua.
Bersama Qiyya, Hanif dan Hafizh berada dalam boncengan sepeda motor.
"Bunda kita makan fastfood dulu ya?"
"Kok fastfood, yang lain ya Sayang. Gurame bakar mau?"
"Sekali saja ya Bunda ya." Rengek Hanif.
Akhirnya mereka bertiga menuju ke counter fastfood dari Amerika yang cukup terkenal di Indonesia itu.
"Bunda, adik pinjam HP boleh? just wanna Dad come here." Pinta Hafizh.
Qiyya menyerahkan gawainya kepada Hafizh setelah menekan tombol telpon untuk Ibnu.
Sambil menunggu pesanan selesai, Qiyya membuka obrolan dengan Hanif. Sebagai seorang psikolog pasti sangatlah mudah menyentuh hati Hanif.
"Mas, tau nggak kenapa bunda tadi ke sekolah Mas Hanif?" tanya Qiyya.
Hanif menggeleng kemudian malas untuk mendengarkan omongan Qiyya selanjutnya. Mengetahui perubahan raut muka Hanif Qiyya langsung mengeluarkan rayuan mautnya.
"Kata uti Kartika, masakan bunda itu paling enak loh di rumah. Akung juga bilang seperti itu. Mas Hanif mau nggak kalau nanti pas lomba di sekolah, bunda yang temani mas Hanif masak. Kita pasti menang." Ajak Qiyya dengan penuh semangat.
Seperti menemukan oase di tengah gurun yang tandus. Sinar mata yang sempat meredup kini kembali bersinar.
"Seriously?" tanya Hanif.
"Of course Dear, dan bunda juga yang akan mengantar Mas Hanif untuk ikut lomba pidato bahasa Inggris di Malang. Bagaimana?" kata Qiyya.
Pintu restoran cepat saji itu terbuka dan senyum mengembang hadir untuk menyapa ketiga orang yang sedang menikmati makan siang.
"Daddy__" Hafizh langsung berlari menghampiri Ibnu. Qiyya dan Hanif tertawa bersama melihat Hafizh merajuk minta di gendong oleh Ibnu.
"Fix ini namanya daddy ditinggal makan sama kesayangan daddy." Kata Ibnu memberengut.
"Mas Ibnu belum makan? Qiyya pesenin ya, mau makan apa?" tawar Qiyya.
"Mas sudah makan Qi. Demi kalian saja ini tadi disempatin ke sini." Kata Ibnu.
'Mas sudah makan. Sejak kapan Mas Ibnu membahasakan dirinya seperti itu, dan demi kalian? Maksudnya demi aku juga? Hellow, Qiyya sadar mungkin Ibnu salah ngomong.' kata hati Qiyya berbicara.
Karena Qiyya hanya diam menanggapi pernyataannya, dan seolah Ibnu tersadar dengan apa yang diucapkannya barusan maka dia mengulang dan membenarkan ucapannya, "Aku sudah makan Qi, tadi Hafizh menelponku menggunakan HPmu meminta aku datang kemari, jadi untuk mereka apa salahnya disempatin."
Qiyya tersenyum samar. Hatinya berdesir entah karena apa. Dia masih menyuapi makanan kepada Hanif dan Hafizh. Ibnu memperhatikan ketiganya dengan begitu intens.
"Mas Hanif seneng nggak kalau seperti ini terus?" tanya Ibnu tiba-tiba.
"Senanglah Dad."
"Adik juga senang Dad, dijemput bunda terus kita makan bareng." Hafizh yang sibuk memainkan lego pun menimpali.
"Maafkan daddy ya, daddy jarang bisa makan siang bareng kalian." Kata Ibnu dengan muka sedih.
Makanan yang ada di meja telah dilahap habis oleh Hanif dan Hafizh. Ketika hendak bersiap-siap untuk pulang sepertinya mendung hitam berarak mendekat di lazuardi kota Blitar. Bisa diprediksikan bahwa tidak berapa lama hujan pasti akan segera menyapa. Ditambah kilatan petir dan gemuruh guntur yang mulai meraung.
"Kalian tadi naik apa? Aku lihat mobilmu tadi dipake Aira ke rumah sakit Qi." Tanya Ibnu.
"Naik sepeda motor dong Dad, kan bunda expert nyetirnya." Jawab Hanif.
Ibnu memandang Qiyya sebentar kemudian berkata, "Kunci sepeda motor sama kartu parkirnya mana Qi?"
"Untuk apa Mas?"
"Kamu pulang sama anak-anak bawa mobil saja, sepertinya sebentar lagi hujan. Aku harus segera kembali ke rumah sakit."
"Tapi Mas__"
"Kenapa? Kamu pikir seorang dokter tidak bisa naik sepeda motor?"
Qiyya mengalah, menyerahkan kontak sepeda motor dan kartu parkirnya. Ibnu mengikuti ketiganya ke mobil sedan hitam miliknya, dia bermaksud untuk mengambil jaket yang ada disana.
"Dad, Mas pengen naik sepeda motor dengan Bunda." Kata Hanif.
"Mau hujan Sayang, ini juga bunda kok yang antar Mas pulang. Daddy yang bawa motornya bunda langsung ke rumah sakit." Jawab Qiyya khawatir.
"Tapi Bunda__" rajuk Hanif.
"Mas__" kata Ibnu dengan gelengan tegas.
"Iya tapi Bunda janji ya__"
"Janji? Janji untuk apa?" tanya Qiyya.
"Janji ya Bun__" rengek Hanif.
"Iya Bunda janji, Sayang." Kata Qiyya akhirnya supaya Hanif mau segera masuk kedalam mobil.
"Bunda harus janji beneran menjadi bundanya mas Hanif__" kata Hanif.
Ibnu dan Qiyya seketika saling berpandangan. Saling mengukur kedalaman hati masing-masing. Yang pasti desiran hati yang dirasakan Qiyya semakin terasa. Hanif tentunya berharap bahwa Bunda Qiyyanya mau berjanji untuk menjadi Bunda pada waktu lomba memasak yang akan diadakan sekolahnya pekan depan. Namun untuk Ibnu dan Qiyyara permohonan Hanif ini bisa menjadi sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang hanya dimengerti oleh orang dewasa.
"Bunda__kok malah diam?" teriakan Hanif memecah lamunan Ibnu dan Qiyya.
Sambil menatap lembut Hanif Qiyya mengelus kepalanya. Ibnu segera mengambil jaket dan berlalu setelah mengucapkan salam.
--- 📌🍃____✂ ---
Tetap, jadikanlah Alqur'an sebagai bacaan utama
Happy Reading 👨💻👩💻
Sukron, jazakhumullah khair
to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top