11# Operasi Abdullah

_tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya_

[HR. Bukhari dan Muslim]

🌼🌼🌼

Qiyya menjejakkan langkah dengan cepat menuju ruang ICU dengan menggandeng tangan Hanif. Ibnu mengimbangi langkah Qiyya dengan Hafizh yang berada di gendongannya karena dia masih tertidur dan tidak mau dibangunkan.

Ruangan ICU itu tetap sama, bisu dan mencekam. Di depan ruang tunggu terlihat Zurra dan Kartika dengan raut muka cemas dan gelisah.

Melihat Qiyya datang, Zurra langsung memberitahu ibunya. Ibnu yang kini sudah berdiri di samping Qiyya tersenyum mengangguk kepada Kartika dan kemudian mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Zurra. Qiyya dan Hanif juga bersalaman dengan keduanya.

"Ayah kritis Mbak, dr. Sandrino mengatakan bahwa harus dilakukan tindakan operasi secepatnya. Kita sudah menyetujui. Hanya saja karena kemarin Mbak Qiyya yang menandatangani berkas pendaftaran dan lain-lainnya selaku wali pasien, maka untuk tindakan operasi ini juga membutuhkan tanda tangan Mbak." Jelas Zurra.

"Dik Aira sudah tahu?" tanya Qiyya.

"Justru Aira tadi yang memberitahu kami__"

"Dimana Mbak harus tanda tangan?" potong Qiyya.

Melihat kepanikan di mata Qiyya, Ibnu berinisiatif untuk mendatangi dr. Sandrino sekaligus mengambilkan form untuk ditandatangani Qiyya. Setelah mendapat izin dari Kartika, Ibnu memindahkan Hafizh yang masih tertidur di gendongannya ke pangkuan Qiyya kemudian berjalan menjauh menuju ruangan dr. Sandrino.

Kartika yang melihat kejadian itu menatap putri sulungnya dengan beberapa pertanyaan yang tersirat di matanya. Bukan Qiyya tidak menyadari akan hal itu, namun untuk saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada Kartika. Berbeda dengan Kartika, Zurra justru lebih frontal menanyakan kepada Qiyya. "Jadi, Mbak dengan dokter Ibnu__?"

"Kamu jangan mikir macam-macam, nanti Mbak Qi ceritakan. Sekarang yang penting adalah ayah." Potong Qiyya.

Zurra terdiam menatap Hanif yang sedang duduk di samping Qiyya dan Hafizh yang sedang tertidur pulas di pangkuan Qiyya. Duduknya yang menghadap Qiyya membuat kepala Hafizh menempel di dada Qiyya. Posisi seperti itu justru membuat Hafizh semakin nyaman tidur di pangkuannya.

"Semakin Zurra perhatiin nih Mbak ya, muka mereka berdua ada mirip-miripnya loh sama Mbak Qiyya." Ucap Zurra membuat bibir Kartika melengkung keatas sesaat.

"Kamu ini, kondisi seperti ini masih aja becandain mbakmu." Kata Qiyya.

"Tapi memang benar yang dikatakan adikmu Qiyyara. Mas Hanif kelas berapa sekarang?" tanya Kartika yang mulai mendekati Hanif.

"Kelas 1 MI, Tante." Jawab Hanif polos.

Semua orang terkekeh geli mendengar jawaban Hanif. Bagaimana tidak, seorang Kartika yang usianya memasuki 60an itu dipanggil tante oleh bocah berusia 7 tahun.

"Panggil uti saja ya, uti Kartika." Kata Kartika akhirnya di jawab anggukan oleh Hanif.

Kartika dan Hanif bercengkerama bersama. Kartika yang memang menginginkan seorang cucu merasa terlengkapi dengan bercanda bersama anak-anak seusia Hanif. Saking serunya percakapan mereka, sampai sampai Kartika tidak menyadari bahwa Aira telah berdiri diantaranya.

"Anak siapa Mbak?" tanya Aira.

"Anaknya mbak Qiyyalah__calon." Zurra menjawabnya dengan senyuman menggoda Qiyyara

"Zurra__!!" sewot Qiyya.

Pertikaian absurd ketiga saudara itu pun kembali terjadi. Meskipun hanya dengan suara lirih. Hanif akhirnya hanya bisa terbengong melihat dan Hafizh mulai menggeliat dari tidurnya. Hingga akhirnya dr. Sandrino mendatangi mereka bersama dr. Ibnu.

Sekejap mata Hafizh mulai terbuka. Ketika pupil matanya sudah bisa fokus dan menyadari dimana dia berada sebuah pertanyaan meluncur dari bibir mungilnya. "Bunda, kok kita di rumah sakit. Daddy kan libur hari ini. Mengapa kita ke sini?"

"Isshhhh, makanya Dik jangan tidur terus. Jadi nggak tahu kan kalau akung lagi sakit." Jawab Hanif seketika.

Qiyya menatap Hafizh dengan pandangan yang meneduhkan. Sambil mengelus kepala Hafizh dengan lembut seraya Qiyya berkata, "Iya sayang, akung - ayahnya Bunda lagi sakit."

"So, mengapa Daddy tidak membantu menyembuhkan sakitnya, daddy is a doctor. Akung should recover, isn't Dad?" ucap Hafizh dan berjalan menuju ke Ibnu.

Aira sangat terkejut melihat semua itu. Mengetahui ternyata kedua bocah itu adalah anak dokter Ibnu, seorang dokter yang dipanggil sahabatnya dengan dokter ganteng itu begitu dekat dengan kakaknya. Meski Aira telah mengetahui kalau dokter Ibnu adalah kakak ipar dari sahabat kakaknya yang istrinya telah meninggal, namun melihat bahasa tubuh keduanya dan dua bocah laki-laki itu dengan Qiyya rasanya tidak mungkin jika keduanya tidak memiliki suatu hubungan.

"Hafizh will pray for the goodness of Akung health." Ucap Ibnu sambil mengacak rambut anaknya.

"Jadi, dokter Ibnu ini adalah menantu pasien Abdullah Zaffran. Maafkan saya Dok, tidak mengetahui akan hal itu__" kata dr. Sandrino.

"Tidak, eh maksud saya__" jawab Ibnu bingung menjelaskan kepada dr. Sandrino. Menatap Qiyya, Kartika, Zurra dan co ass Aira secara bergantian.

"Form persetujuan operasi sudah ditandatangani kan? Bagaimana dokter Ibnu? Ikut masuk dengan saya atau percaya dengan saya saja. Spesial ini untuk dokter Ibnu saya menawarkan." Ajak dr. Sandrino sambil tersenyum.

Ibnu sebenarnya mengetahui bahwa operasi ini tidak membutuhkan spesialisnya. Cukup dokter spesialis jantung pembuluh darah dan anaestesi. Namun melihat Qiyya dan keluarganya rasanya dia ingin ikut berada di ruangan operasi. Melihat Qiyya menganggukkan kepala tanda menyetujui, Ibnu segera menganggukkan kepala menerima tawaran dr. Sandrino.

"Biar anak-anak sama Qiyya, Mas. Nitip ayah," ucap Qiyya lirih.

"Berdoalah kepada Allah. Tim dokter pasti mengupayakan yang terbaik." Balas Ibnu kemudian menatap kedua anaknya. "Daddy will carry out the operation in a moment. When Mr. Ujang has come to take you home, you shall go home. Bunda is alone and may have problem looking after all of you."

Setelah ruangan operasi siap, Abdullah segera dipindahkan dari ICU menuju ke ruangan OK. Aira sudah kembali ke stase obgyn, biar bagaimanapun dia tidak bisa meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya terlalu lama. Ditambah lagi karena posisi dia di rumah sakit ini masih co ass meskipun sebenarnya dr. Erlando telah memberikan izin penuh.

"Bagaimana Ra?" tanya Devi.

"Ayah sudah dibawa ke OK untuk dilakukan tindakan sekarang setelah Mbak Qiyya datang dan menandatangani berkas persetujuan operasi oleh wali pasien." Jawab Aira.

"Semoga operasi Om Abdullah berjalan lancar, Aamiin. Terus disana siapa yang nunggu?"

"Aamiin. Makasih ya Dev, lu emang sahabat gue paling top. Saat gue lagi begini, lu masih mau bantuin gue untuk menghandle kerjaan yang seharusnya jadi tugas gue. Padahal gue tahu kerjaan lu juga sama numpuknya ma gue."

"Woles ajalah, kita emang sohib kan. Lagian lu kaya ama siapa aje si. Selama gue bisa bantu pasti gue bantu dan itu bukan ama lu aje, berlaku ke semuanya." Jawab Devi sambil tersenyum.

"Oh iya Ra, gue lupa kira kira 5 menit yang lalu lu dicariin noh ma dr. Erlando. Beliau pesen kalu lunya sudah ke sini disuruh ke ruangannya." Tambah Devi.

Devi memang orang keturunan Jawa Betawi, ayahnya Jawa ibunya Betawi. Mulai SD sampai dengan SMA dia tinggal di Jakarta. Baru pada waktu kuliah dia mengambil Fakultas Kedokteran di Yogyakarta sama dengan Aira. Karena lama tinggal di Jakarta logat bicara Devi juga masih kental dengan bahasa Betawi yang kadang tidak dimengerti oleh Aira. Namun mereka telah bersahabat sejak mulai masuk menjadi MABA.

Menuruti pesan dari Devi untuk menemui dr. Erlando, Aira bergegas masuk ke ruangan nomer 1 di state obgyn setelah mengetuk ruangan dan mendapat izin dari empunya. Mengetahui kehadiran Aira, dr. Erlando berdiri dan menyampaikan perintah untuk Aira bahwa setengah jam lagi dia harus mengikuti tindakan operasi caesar di OK2 bersama dr. Erlando dan tim.

Aira kembali menemui Devi setelah keluar dari ruangan dr. Erlando. "Dev, gue ada SC di OK2 setengah jam lagi. Gue kagak tau kelar jam berapa. Nitip HP gue ya, sapa tau ntar kakak atau abang gue telpon atau WA lu buka aja. Atau kalu lu nggak keberatan dan kerjaan udah kelar, lu ke ruang tunggu OK ya. Tadi si pas gue tinggal di sana ada nyokap, kakak sama abang gue dan anak-anaknya dr. Ibnu."

"Whatttt__dokter ganteng maksud lu?"

"Iya."

"Lah emang apa hubungannya?"

"Gue juga kagak tau. Ah lu nanya aja kaya kasir minimarket sebelah, mana kagak ada kembalian ntar gue kasih permen deh." Kekeh Aira.

Di depan ruangan operasi, Qiyya, Zurra dan Kartika masih menunggu dengan penuh kecemasan dan lantunan doa dari bibir mereka. Hanif dan Hafizh telah di jemput oleh pak Ujang satu jam yang lalu, tepatnya seperempat jam setelah dr. Ibnu dan dr. Sandrino meninggalkan mereka di ruang tunggu ICU. Berarti operasi memang sudah berjalan kurang lebih satu jam dan lampu penunjuk masih berwarna merah.

Zurra adalah orang yang menunjukkan sikap paling panik diantara ketiganya. Sebentar duduk kemudian berdiri dan berjalan lalu duduk kembali dengan menelangkupkan kedua tangannya di muka. "Dik, tenanglah. Ayah pasti kuat di dalam." Kata Qiyya menenangkan.

Buliran air mata menetes di pipi Kartika. Mengetahui itu Qiyya langsung merengkuh ibunya ke dalam pelukan. Dalam diam Kartika terisak. Memori tentang Abdullah berdatangan silih berganti seperti slide memory yang diputar kembali. Perkenalannya dengan Abdullah lelaki yang kini telah menemani hidupnya selama 36 tahun itu adalah waktu Abdullah yang tiba-tiba datang ke rumah orang tuanya untuk mengkhitbah Kartika menjadi istrinya tanpa melalui proses ta'aruf. Satu bulan setelahnya mereka menikah kemudian satu tahun berikutnya lahirlah Qiyyara yang meramaikan keluarga mereka. Abdullah adalah sosok suami dan ayah yang paling baik, tidak pernah sekali pun Kartika mendengar keluhannya.

Pertama kali Kartika melihat Abdullah menangis adalah ketika perceraian Qiyya, setelah itu Kartika tidak pernah lagi melihat suaminya meneteskan air mata. Bahkan pada peristiwa kemarin, saat keluarga Azzam membatalkan khitbah Zurra atas Riani. Abdullah hanya diam dan membisu namun beberapa saat kemudian dia terkena serangan jantung yang membuatnya sekarang justru berjuang untuk bertahan hidup di meja operasi.

"Ibu tenanglah, ayah pasti baik-baik saja di dalam." Kata Qiyya kepada Kartika meski hatinya juga sedang dilanda keresahan.

"Ayahmu orang yang baik, Qi."

"Inshaallah, Allah juga tahu itu Bu dan inshaallah juga ini adalah caranya Allah untuk menghapus dosa-dosa ayah."

Zurra berdiri sambil bersandar di tembok melihat cinta pertamanya dan kakaknya tersayang berinteraksi saling menguatkan. Ya menurut Zurra, ibunya adalah cinta pertamanya.

Seorang perempuan dengan snelli putih datang menghampiri mereka. Melihat dengan seksama 3 orang yang berada di luar Operatie Kamer adalah yang disebutkan ciri-cirinya oleh Aira. Dengan langkah pasti perempuan itu mendekat dan menyapa mereka.

"Maaf, Keluarga Aira Zaffran?" Zurra menoleh cepat mengamati penampilan perempuan yang menyapa keluarganya. Perempuan berjilbab seperti Aira sebelum memutuskan untuk berhijrah, memakai jas putih seperti Aira. Zurra berpikir pasti perempuan ini adalah teman adiknya itu.

"Iya." jawab Kartika sambil menghapus sisa air mata di kedua pipinya.

"Perkenalkan saya Devi, teman Aira di kampus dan co ass di rumah sakit ini." Ucap Devi dengan menyalami Kartika dan Qiyya. Kemudian menelangkupkan kedua tangan di depan dada untuk Zurra.

'Ah ternyata ini, abang yang sering Aira ceritakan. Abang yang selalu mementingkan urusan keluarga dibanding urusannya sendiri. Abang yang selalu menjadi kebanggaan Aira. Abang yang ehhhm___kata Aira dibatalkan khitbahnya oleh keluarga calon istri karena status mbak Qiyya yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali. Abang yang___' batin Devi hingga akhirnya dia menyadari bahwa sudah terlalu lama menatap ikhwan di depannya sampai dia mungkin jengah dan lebih memilih menatap ubin tempat dia berdiri sekarang.

"Ouhhh iya Devi, saya Qiyya dan ini ibu-panggil ibu aja jangan tante, biasanya ibu nggak suka di panggil itu. Dan yang berdiri itu Zurra, masnya Aira. Aira sering cerita tentang kamu lo, ternyata aslinya lebih cantik daripada di foto ya Bu?" ucap Qiyya menerima perkenalan Devi.

Kartika mengangguk tanda setuju dengan ucapan Qiyya. "Ah Mbak Qiyya bisa saja. Ini tadi sebenarnya Aira mendapat tugas untuk SC dengan dr. Erlando. Karena tidak tahu kepastian selesai SC jam berapa, saya diminta untuk ke sini jika tugas saya sudah selesai untuk menanyakan kepada Mbak Qiyya atau ibu mungkin ada sesuatu yang dibutuhkan." Kata Devi menjelaskan maksud kedatangannya.

"Itu anak selalu deh Mbak Qi." Gumam Zurra lirih.

"Jadi merepotkan Devi ini ceritanya. Maaf ya Dev, Aira memang seperti itu kalau sedang khawatir akan sesuatu hal." Kata Qiyya melanjutkan gumaman Zurra.

"Tidak merepotkan sama sekali Mbak Qiyya. Justru malah saya yang seharusnya minta maaf karena saya belum sempat berkunjung ke rumah. Semua karena kondisi, seusai co ass saya harus mengerjakan tugas untuk keesokan harinya."

"Iya kita paham kok, Aira juga seperti itu jika di rumah." Kata Kartika.

Perbincangan itu akhirnya berlanjut dengan lebih intens. Sedikit candaan berhasil membuat suasana yang tegang menjadi sedikit cair. Devi yang memang notabene suka bercerita bisa membuat suasana menjadi hangat. Hingga tepat di menit 150, lampu merah di atas pintu OK itu berubah menjadi hijau.

Semua berdiri termasuk Devi menunggu berita dari dalam. Seseorang yang masih lengkap mengenakan scrub suite berwarna hijau, masker dan nurse cap membuka pintu dan berdiri di sana.

"Alhamdulillah, operasi ayah berjalan lancar. Sebentar lagi beliau akan dipindahkan ke ruang ICU." Ucap Ibnu setelah membuka masker dan nurse capnya.

"Alhamdulillah ya Rabb," ucap semuanya. "Terima kasih, Dokter Ibnu." Tambah Qiyya.

Ibnu menyarankan kepada semuanya untuk beristirahat di rumah, baru keesokan harinya kembali ke rumah sakit. Kondisi Abdullah sudah sangat stabil. Setelah menimbang dengan tepat penjelasan dari Ibnu, Kartika memutuskan untuk menuruti saran Ibnu. Setelah berpamitan mereka kemudian berkemas untuk pulang dan Devi akan kembali ke stase obgyn. Namun baru saja mereka melangkah suara Ibnu menghentikan langkah mereka.

"Qi__" semua orang menoleh kembali kepada Ibnu.

"Boleh minta tolong__?" pintanya.

"Ya, apa?"

"Maaf, bisa menemaniku makan___dan tolong jangan memanggilku dengan sebutan dokter, aku lebih menyukai panggilanmu sebelumnya. Ehmmmm__semuanya, maksud saya bisa menemani saya makan?"

Devi cengo mendengar ucapan dokter Ibnu barusan kepada kakak sahabatnya itu. Dokter ganteng yang terkenal sangat dingin kepada wanita bisa bersikap sehangat itu dengan kakak sahabatnya, atau jangan-jangan pikirannya--sejak cerita Aira tentang anak-anak dokter Ibnu bersama keluarganya--bahwa dokter Ibnu dan mbak Qiyya memiliki hubungan adalah benar.

"Emmmmm, maaf dokter Ibnu. Bukan saya menolak ajakannya untuk makan malam bersama dokter. Namun kasihan ibu, beliau sudah sedari siang berada di rumah sakit dan belum beristirahat sama sekali. Sebaiknya dengan mbak Qiyya dan Devi saja ya?" kata Zurra menolak halus tawaran dokter Ibnu karena melihat kondisi Kartika yang memang butuh istirahat.

"Iya Qiyya, temanilah nak Ibnu." Tambah Kartika.

Qiyya menatap Devi, kuatir akan mengganggu kegiatannya. Namun Qiyya pasti tidak akan mau menemani Ibnu makan malam jika Devi tidak bisa menemani juga.

"Devi bisa kan?" tanya Qiyya.

"Devi ke stase obgyn dulu ya Mbak Qiyya, belum tahu harus menjawab apa."

"Kalau begitu tunggu aku di depan ruangan Obgyn, Qi. Aku ganti baju dulu." kata dr. Ibnu kemudian menutup pintu ruangan OK.

Setelah bersalaman dengan Kartika dan Zurra, Qiyya berjalan bersampingan dengan Devi. Seolah tahu akan pikiran Devi, Qiyya akhirnya sedikit cerita bagaimana dia bisa dekat dengan dokter bedah itu.

"Oh, ternyata Mbak Qiyya mengajar di panti asuhan?"

"Bukan hanya mengajar Dev, tetapi Mbak juga sudah seperti ibu buat mereka. Makanya mereka semua memanggil Mbak dengan panggilan bunda, termasuk kedua anak dokter Ibnu."

--- 📌🍃____✂ ---

Tetap, jadikanlah Alqur'an sebagai bacaan utama

Happy Reading 👨‍💻👩‍💻

Sukron, jazakhumullah khair

to be continued

--------------------------

Noted :

OK : Operatie Kamer (Bahasa Belanda) -- Ruang Bedah

VK : Verlos Kamer (Bahasa Belanda) -- Ruang Bersalin

SC : Sectio Caesar -- operasi caesar

Scrub Suite : seragam ruang operasi

nurse cap : penutup kepala

operasi pemasangan ring jantung dilakukan oleh 1 tim yang terdiri dari dokter jantung dan pembuluh darah, dokter anaestesi, perawat penata anaestesi, perawat asisten dan perawat on loop

jadi kalau dokter Ibnu yang notabene adalah seorang surgeon, seharusnya memang tidak termasuk dalam tim itu. Author hanya menyambungkan cerita saja 😍😍 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top