06# Pengagum Rahasia
_izinkan aku mendiskusikan namamu dengan Tuhanku_
🌼🌼🌼
Aku bukanlah Fatimah Azzahra yang bisa dengan diamnya mencintai Ali.
Aku adalah aku, yang tak mampu membendung rasa yang mulai menggerayangi hati untuk selalu mengingatmu.
Aku tetaplah aku, gadis muda yang mulai merasakan getaran hati bak dawai gitar yang dipetik dan menghasilkan resonansi jiwa.
Aku tetaplah aku, gadis dengan nama "Khumaira Zaffran"
.................................
"Baiklah, kalian akan bertugas untuk co ass di sini sampai dengan selesai." Dokter Bambang memberikan wejangan kepada para dokter muda yang menghadapnya hari ini.
"Untuk hari ini sampai dengan 6 minggu ke depan, kalian kami tugaskan di stase obgyn. Dokter Erlando yang nanti akan mendampingi kalian semua."
"Baik Dok. Kami akan belajar maksimal dengan beliau." Jawab Aira.
"Selain dokter Erlando, nanti juga akan dibantu oleh Bidan Miranti." Tambah dokter Bambang.
"Baik Dok." Jawab keempatnya serempak.
"Manfaatkan waktu kalian sebaik mungkin dengan dokter pendamping. Silakan menemui dokter Erlando dan selamat bertugas." Dokter Bambang mengakhiri pertemuan dengan 4 dokter muda tersebut.
"Terimakasih dokter Bambang, kami permisi." Jawab Aditya berdiri dan diikuti ketiga temannya.
Aira, Aditya, Satrio dan Devi adalah 4 dokter muda yang baru saja selesai menemui direktur rumah sakit umum tempat mereka melakukan co ass. Dengan nafas lega mereka berempat berjalan menuju ke stase obgyn menemui dokter Erlando.
"By the way, tadi itu dokter ya yang nemui dokter Bambang?" tanya Devi memulai percakapan karena sebelum mereka menghadap kepala rumah sakit itu ada seorang lelaki dengan pakaian dinas komplit menghadap dokter Bambang terlebih dulu padahal Aira dan teman-temannya telah datang mendahuluinya untuk menghadap dokter Bambang.
"Menurut lu, dokter Bambang aja manggilnya dengan dokter juga kok." Jawab Satrio.
"Seenak jidatnya aja, kita yang datang dulu eh dia yang dipanggil masuk duluan. Untung ganteng, kalau enggak__hmmmmm." Ucap Devi.
"Dasar lu Dev, nggak bisa lihat cowok cakep dikit mata langsung aja ngekorin kemana-mana." Timpal Aira.
"Ye__daripada lu Ra pura-pura ogah tapi demen juga." Flirting Devi seketika pada Aira.
"Apaan sih lu, itu mah om-om, ogah gue bukan selera. Sorry dorry morry yeee." Bantah Aira yang langsung menolak ejekan Devi.
"Ok, awas aja lu sampe suka ntar___"
'Aku nggak akan suka Dev dengan lelaki manapun karena sesungguhnya hatiku telah tertawan dengan lelaki pemilik mata hazel yang kutemui saat aku dengan mbak Qiyya mengikuti kajian di Panti Asuhan Al Ikhlas,' monolog Aira dalam hati.
"Ya iyalah Dev, lu ngemeng apa bicara. Selera Aira tentu guelah, cakep, baik hati dan nggak sombong. Ya nggak, Ra?" kata Aditya.
"Kalian ya__berisik aja, ruangan obgyn disini nih. Ngapain kalian jalan terus." Sungut Aira.
Dokter Erlando menyambut keempat dokter muda tersebut dengan senyuman mengembang di bibirnya. Menoleh sebentar memanggil Nurma asistennya untuk minta tolong dipanggilkan bidan Miranti.
"Stase Obgyn terbagi menjadi 3, OK alias Operatie Kamer, Verlos Kamer, dan Poli. Saya tunjuk 1 orang untuk ketua co ass ya, selanjutnya silakan manfaatkan waktu 6 minggu kedepan untuk memperdalam stase ini." Ucap dokter Erlando.
Bidan Miranti memasuki ruangan. "Aditya, bisa menjadi ketua ya?, untuk OK nanti belajar dengan saya dan anaestesi. Sedangkan untuk VK, POLI dan pasca persalinan dengan bidan Miranti dan juga dengan dokter anak yang ditunjuk, beliau ini adalah kepala bidan di rumah sakit ini." Dokter Erlando menambahkan keterangannya.
Bidan Miranti masih kelihatan muda meski mungkin usianya sudah kepala 3.
"Pasien Mirna Dok, pasien dengan kasus plasenta previa totalis harus dilakukan tindakan hari ini juga." Bidan Miranti mengawali percakapan.
"Jadwal sudah ada? Wali pasien sudah setuju?"
"Administrasi sudah beres. Jam 2 di OK, Dok."
"Dokter Irawan?"
"Anaestesi siap dok." Jelas Bidan Miranti.
"Plasenta previa totalis, 2 orang co ass ikut nanti ke OK. Namun sebelumnya saya minta untuk bisa dijelaskan tindakan apa yang harus segera kita lakukan untuk kasus ini?" tanya dokter Erlando.
"Plansenta Previa adalah kondisi ketika sebagian atau seluruh plasenta menutupi mulut rahim, kondisi dimana plasenta melekat pada bagian bawah rahim sedemikian rupa sehingga menutupi bukaan leher rahim." Terang Satrio.
"Plasenta previa sendiri terbagi menjadi 3 yaitu total, sebagian dan marjinal. Untuk total, operasi caesar tidak dapat dihindarkan lagi. Sedangkan untuk sebagian dan marjinal bisa dengan normal tergantung berapa persen penutupan leher rahimnya." Aira melengkapi keterangan yang disampaikan oleh Satrio.
"Baiklah, Aira, Satrio jam 2 kita ketemu di OK bersama Bidan Miranti dan anaestesi."
"Aditya dan Devi sementara kalian teliti dan laporkan perkembangan di NICU ya. Dokter Anita akan membantu kalian berdua." Tambah dokter Erlando.
"Siap Dok." Jawab co ass serempak.
Waktu istirahat, dimanfaatkan oleh Aira untuk segera melaksanakan kewajibanya sebagai seorang muslimah. Menuju musholla rumah sakit, di sampingnya berjalanlah bidan Miranti.
"Eh Aira, mau sholat dhuzur?" tanya bidan Miranti yang dijawab dengan anggukan oleh Aira. "Sendirian saja? yang lainnya nggak ikut juga?"
"Mereka masih makan siang di kantin." Jawab Aira kemudian keduanya mulai mengambil air untuk berwudhu.
Seperti yang selalu Abdullah ajarkan, diantara sholat yang baik adalah yang dikerjakan diawal waktu. Meskipun belum sebaik Ayah, Ibu dan kedua kakaknya, Aira berusaha melaksanakannya di awal waktu sholat.
Dalam sujudnya dhuhur ini, untaian doa telah ku rangkai. Berharap sang Arsy mengabulkan semua harapan dan asanya.
'Ya Allah, ketika aku mendamba seorang laki laki seperti Ali untuk Fatimah, jadikanlah Wildan Syafaraz sebagai imam penyempurna separuh agamaku. Aamiin', doa Aira dengan usapan kedua tangan di akhirnya.
"Khusyu' banget Ra, doanya." Miranti menggoda.
"Eh Bidan Miranti, ya iya dong biar Allah segera mengabulkan."
"Panggil Mbak aja kalu tidak sedang dinas, eh itu snelli co ass kamu ketinggalan tuh."
"Eh iya Mbak, nggak biasa pake snelli jadi rada gimana gitu." Aira pun mengambil snelli itu kemudian menyampirkannya di lengan kiri.
"Kamu nggak laper? Makan yuk di kantin."
"Ayo."
Bidan Miranti ini adalah salah satu Bidan terbaik di rumah sakit ini. Maka tidak salah jika dia diberikan mandat sebagai kepala bidan. Padahal usianya masih tergolong muda, penampilannya, tidak jauh berbeda dengan Qiyya. Gamis putih dimodel seperti dua piece atasan dan bawahan serta jilbab lebar menutup dada. Tidak lupa kaca mata berframe hitam bertengger manis di hidungnya yang mancung.
"Kok kamu bengong sih Ra, kenapa?"
"Nggak papa Mbak, kalu bareng Mbak Miranti serasa sama Mbak Qiyya."
"Qiyya?? Siapa itu?"
"Kakak perempuanku, penampilannya sama seperti Mbak Miranti. Pake Gamis dan jilbab lebar nutup dada."
"Perempuan memang harusnya seperti itu Aira. Kan sudah jelas hadistnya bahwa wanita dilarang berpakaian seperti laki-laki begitu juga sebaliknya."
"Mbak___"
"Apa?"
"Nggak jadi deh." Aira mengurungkan niat untuk bercerita.
"Kalau masih meragu ikut kajian Aira, jangan dipendem terus keraguannya. Ragu-ragu itu temennya syaiton loh."
"Hmmmmmm, Mbak Mir___"
"Apa?" jawab Miranti menatap Aira lekat.
"A_apakah se_se_orang laki-laki yang tahu lebih tentang agama dan hukum Islam akan menyukai kita dengan pakaian seperti it_itu?" tanya Aira terbata.
Miranti tersenyum memahami kemana arah pertanyaan Aira, "kamu tidak sedang jatuh cinta kan Aira?"
"Eng__enggak kok."
"Mata kamu jawab iya tuh." Goda Miranti sambil geleng kepala.
"Kok Mbak Mira bisa nyimpulin gitu, Aira cuma tanya__ishhh."
"Tentu laki-laki itu akan senang jika wanita yang dicintai memilih berpakaian tertutup." Jawab Miranti akhirnya.
"Salah nggak sih Mbak, kalau kita berusaha memberikan yang terbaik untuk orang yang kita cintai. Misalnya tentang penampilan."
"Ya enggaklah, asal orang itu halal untuk kita. Malah kita sangat dianjurkan untuk melakukan hal itu."
"Jadi suami Mbak Miranti mendukung?" tanya Aira hati-hati takut Miranti akan tersinggung dengan pertanyaannya.
"Suamiku itu luar biasa Aira, aku belajar banyak dari dia tentang agama. Jadi soal penampilanku jangan ditanya bagaimana dia mendukungku, bisa dibilang sangat mendukunglah tentunya." Jelas Miranti.
'Ah mungkin kalau Wildan menjadi suamiku, ceritaku pasti tidak jauh berbeda dengan Mbak Miranti. Apa suami? Wait, ini otakku yang rada konslet atau gimana ya. Dari pagi kok kepikiran Wildan terus' Aira berusaha mengosongkan pikirannya dari pesona seorang Wildan Syafaraz.
'Memang wanita sebaiknya begitu, pakaian itu menutup aurat bukan untuk membungkus aurat.' nasihat Qiyya yang selalu diingat Aira. Aira bukan Qiyyara, Aira gadis energik. Merubah penampilan demi seseorang, haruskah? 'Berhijrah itu untuk Allah, Aira. Kalau kita mencintai makhluk Allah berlebihan pasti Allah akan cemburu. Cintai Allah dulu maka Allah akan mencintai kita lebih. Cintai Allah lebih, inshaallah Dia akan menghadirkan cinta yang indah di waktu yang tepat.' kata-kata Qiyya kembali bergema di telinga Aira.
Waktu itu, setelah mengikuti Qiyya ke panti Aira memang sengaja bertanya apa hakikatnya hijrah dan tentang hati juga cinta. Mulanya Aira sangat takut bertanya hal yang sensitif seperti itu kepada Qiyya. Seperti yang telah diketahui, Qiyya sangat tertutup dengan hati dan rasa cinta kepada orang lain setelah perpisahannya dengan Andrian.
Ternyata pertanyaannya disambut hangat oleh kakak tertuanya itu. Bahkan Qiyya sempat mengira kalau Aira sedang jatuh cinta, namun Aira harus mengelak pertanyaannya meskipun tidak bisa dibohongi hatinya kini telah berdesir hebat dan terukir sebuah nama Wildan Syafaraz sejak pandangan pertama di Panti Asuhan al Ikhlas waktu itu.
"Aira, jam istirahat telah selesai. Malah bengong disini. Prepare OK jam 2 loh, ayo cepat." Usik Miranti.
"Ah, ayo Mbak." Aira segera berdiri dan bersiap ke obgyn untuk mempersiapkan operasi pertamanya dengan dokter kandungan dan anaestesi.
--- 📌🍃____✂ ---
Cinta itu tak pernah meminta untuk menanti
Dia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau justru mempersilakan
Dengan sesungguhnya pengorbanan
Ali bin Abi Thalib yang menyimpan rasa cintanya dalam diam kepada Fatimah Azzahra
Ataukah Nabi akhirul zaman Muhammad SAW dengan Siti Khadijah ra, dengan kisah cinta terindah sepanjang masa
Namun aku adalah aku, ikhwan yang berusaha menguatkan hati untuk belajar. Belajar selalu menetapi khalamNya. Berjuang di jalanNya. Menundukkan pandangan manakala hati bergemuruh memuntahkan rasa. Menyeimbangkan logika dan nurani menjadi naluri.
Aku adalah aku, ikhwan dengan nama "Wildan Syafaraz"
...................................
Pesawat yang Wildan tumpangi dari Cairo memang harus transit dulu di Jeddah untuk satu hari. Selanjutnya akan dilanjutkan perjalanan 10 jam lagi dari Jeddah menuju Bandara Juanda Surabaya.
Indonesia, tanah tumpah darah yang sudah ditinggalkan oleh Wildan tidak kurang dari 10 tahunan. Selain melanjutkan study sarjana dan pasca sarjana, sebenarnya di sana Wildan juga bekerja. Membantu kedutaan Indonesia dan bekerja sebagai pengajar di SIC-Sekolah Indonesia Cairo. Sekolah ini milik Indonesia yang kurikulumnya mengikuti Depdikbud.
Cukup 2 hari Wildan berada di rumah setiba dari Cairo, yang menurutnya semua sudah tersedia. Makanan yang sebenarnya cukup untuk makan satu hari telah disediakan oleh Bi Tun di meja makan.
Wildan terlahir dengan 2 bersaudara, kakak pertamanya Alfiza Syafaraz telah menikah dengan Hafa Reskia dan memiliki 3 orang anak. Mereka menetap di Semarang. Aldi Syafaraz, Abi Wildan memiliki perusahaan textile di Surabaya dan beliau berharap kepulangannya kali ini adalah untuk dapat membantu pekerjaan dan menjadi penerus perusahaan itu. Rasanya sangat melenceng dari ilmu yang dia peroleh dari Cairo.
"Assalamu'alaikum Wildan, kaifa haluka?" suara Ikhlima mengawali perbincangan ketika telpon mereka tersambung.
"Waalaikumsalam Bi. Alhamdulillah bi khoir. Bibi dan Paman Hasan apa kabar?"
"Alhamdulillah, kapan kamu maen ke rumah Bibi, Dan? Nggak kangen sama keponakan-keponakanmu, 10 tahun bukan waktu yang sebentar loh."
"Inshaallah, besok Wildan ke Blitar."
"Alhamdulillah, tapi kalau sore Bibi ngajar iqro di panti asuhan loh Dan. Kamu datangnya jangan sore-sore ya. Bibi tunggu lo."
"Iya Bi, ba'da subuh Wildan berangkat."
Telepon akhirnya terputus setelah Wildan mengucapkan salam. Kedua sepupunya itu pasti sudah besar sekarang. Waktu Wildan tinggal dulu si sulung masih usia 2 tahun sedangkan si bungsu masih dalam kandungan.
Perjalanan ke Blitar memakan waktu yang cukup lama. Selain Wildan mengemudikan mobil sendiri, Wildan yang notabene sudah 10 tahun meninggalkan Indonesia ini sangat takjub dengan pembangunan infrastruktur. Melewati jalan Tol Simo Wildan mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang.
Sesampai di rumah Hasan, Wildan disambut antusias oleh keluarga mereka. Sulung dan bungsu pun tak luput dari acara penyambutan itu.
Mereka berdua hanya mendengarkan saja waktu abi dan uminya bercerita tentang Wildan. Dan di suatu ketika Wildan membuka album foto untuk ilustrasi cerita yang mereka perbincangkan.
Lembar demi lembar, photo demi photo hingga di halaman paling akhir Wildan melihat sang bibi berphoto dengan seorang akhwat yang memiliki senyum sangat manis. Astaghfirullohaladziim, Wildan beristighfar karena berdosa telah berzina mata.
"Itu Qiyya, Dan. Teman Bibi yang mengasuh panti asuhan Al Ikhlas juga."
"Mashaallah cantik." Gumam Wildan lirih.
Ustadzah Ikhlima tidak menanggapi lebih lanjut, malah menawari Wildan untuk ikut ke panti nanti sore mengajar anak-anak mengaji.
Sore itu, Wildan mengikuti bibinya dan tiba disana bertepatan dengan sholat ashar. Berdiri menjadi Imam adalah pilihan terakhirnya, karena kebetulan pada hari itu hanya anak-anak panti yang rata-rata usianya baru 8 tahunan ditambah satu orang remaja yang menyilakannya menjadi imam. Dengan ucapan Bismillah Wildan segera mengawali takbiratulbikhrom setelah iqomah selesai didengungkan.
Setelah sholat paripurna, Wildan bergegas menuju Aula yang telah ditunjukkan oleh bibinya, namun di serambi musholla dia melihat bibinya sedang bercakap dengan seorang akhwat yang berdiri membelakanginya. Ketika dia menoleh, seketika itu ritme jantung Wildan seperti roller coaster yang naik turun dengan kecepatan maksimum.
"Bi, ana tunggu di aula bersama anak-anak." Ucap Widan untuk meredakan debaran jantung yang sudah dag dig dug der.
Wildan dengan segera menundukkan kepala dan berlalu dari tempat itu. Namun baru selangkah dia berjalan akhwat itu berbicara, "Bukankah itu ikhwan yang mengimami sholat ashar tadi Ustadzah?"
"Na'am Qiyya, dia adalah Wildan Syafaraz, keponakan ana yang baru lulus S-2 di Al Azhar Cairo. Dia ingin membantu ana untuk mengajar AlQur'an disini sementara waktu sambil menunggu panggilan kerja." Jelas Ikhlima
Tidak ingin terjebak dengan perasaan yang semakin tidak karuan rasanya. Wildan segera melangkahkan kaki menuju Aula.
"Qiyya itu usianya 35 tahun, dia 'sendiri' sudah 2 tahunan ini, Dan." kata Ikhlima ketika mereka sedang makan malam di rumah.
"Sendiri, maksudnya apa Bi?" tanya Wildan mengurangi rasa kaget.
"Dia seorang janda, bercerai dengan mantan suaminya 2 tahun yang lalu. Untuk masalahnya apa, Bibi hanya mendengar bahwa di usia pernikahan mereka yang hampir 10 tahun belum juga dikaruniai anak. Tapi wallahu alam bisawab."
"Allah lebih tahu daripada kita, Bi."
"Itu sedikit yang Bibi tahu tentang Qiyya. Selama Bibi berkhalwat dengan dia, inshaallah dia amanah, jujur, dan tidak pernah neko-neko."
"Bukankah jodoh, mati, rizki itu sudah ditulis di lauhul mahfudz untuk kita? Anak juga termasuk rizki kan?"
"Kamu menyukainya?"
Tentu saja pertanyaan ustadzah Ikhlima menggelitik hati Wildan. Secepat itukah dia menyukainya. Dia hanya tidak ingin mendahului iradhahNya. Namun apabila diizinkan, Wildan ingin menyebut nama Qiyya dalam setiap sujudnya. MemintaNya untuk mempertemukan hati bersama dalam naungan khalam yang Dia ridhoi.
--- 📌🍃____✂ ---
Tetap, jadikanlah Alqur'an sebagai bacaan utama
Happy Reading 👨💻👩💻
Sukron, jazakhumullah khair
to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top