05# Hurt
_diantara embun yang jatuh dan sinar mentari yang menembus pepohonan, kutemukan ada rindu yang meringkuk dalam kedinginan_
🌼🌼🌼
#Point of View Zaqibnu Asy Syafiq
Sorot mata itu begitu teduh memandang kedua matahari jiwaku, Hanif dan Hafizh. Bukan tanpa alasan aku memilih untuk mengajukan mutasi dan memulai dari awal kisah hidupku di kota kecil kelahiran dari almarhumah istriku, Ibu dari kedua anakku. Sebagai seorang dokter bedah memang waktuku banyak tersita di rumah sakit tempatku bekerja. Kadang aku hanya melihat kedua anakku di ranjang tidurnya karena pulangku telah larut malam. Aku tahu dan sesungguhnya aku sangat mengerti, bukan uangku yang mereka inginkan namun perhatian dan rengkuhan kasih sayangku kepada mereka.
Sepeninggal istriku, memang aku sangat gila kerja. Berangkat pagi dan pulang selalu diatas waktu isya. Bukan karena aku ingin menelantarkan anak-anakku, namun karena aku merasa jika berada di rumah semakin aku tidak bisa melupakan Amelia. Seseorang yang sangat aku cintai dengan sepenuh hatiku.
Pagi itu ketika aku sedang memandikan si kecil Hafizh yang masih berusia dua bulan, anak pertamaku bermain mobil-mobilan di ruang keluarga.
Flashback on
"Dad, mommy pengen buatin sayur sop buat kalian tapi ternyata kobisnya habis, mommy beli di ujung perumahan ya. Bi Iyem kayaknya lagi repot nyuci di belakang."
"Hati-hati Mom."
Amelia keluar dengan mengendarai sepeda motor maticnya. Hampir 20 menit berlalu namun Amelia juga belum kembali ke rumah. Hafizh yang sedang kehausan menangis histeris. Dan aku berusaha untuk menenangkannya.
Kriiinnggggggg
Telepon rumah berbunyi, dan Bi Iyem dengan tergopoh-gopoh mengangkat gagang telepon itu.
"Iya benar.. kediaman Ibu Amelia."
....................................................
"Ada di rumah, tapi masih menenangkan Hafizh."
...................................................
"Innalillahi wa inna illaihi rojiun__" gagang telepon terlempar dan bi Iyem menangis berlari ke arahku.
"Ibu__, Pak, Ibu kecelakaan dan sekarang di rumah sakit tempat Bapak bekerja." Kata bi Iyem membuat semua otot tubuhku meluruh.
Diana_baby sitter Hafizh_ hari ini memang sedang libur karena hari minggu dan aku tidak ada dinas di rumah sakit. Sehingga aku bisa mengasuh anak-anak bersama Amelia. Tapi kabar dari telepon pagi ini telah merenggut semua kebahagiaanku. Secepat kilat aku segera menelpon kembali Diana untuk datang mengasuh Hafizh dan aku segera berangkat ke rumah sakit untuk melihat keadaan Amelia.
Instalasi Gawat Darurat
"Dokter Sandra, bagaimana keadaan istri saya?"
"Kami tim dokter telah berusaha maksimal untuk istri Anda dokter Ibnu, namun ternyata Allah berkendak lain___"
Dan untuk selanjutnya aku sudah tidak mendengar lagi perkataan dokter Sandra, karena seketika itu duniaku serasa hancur. Matahariku mendadak tenggelam dan semua terasa gelap. Bagaimana mungkin semua ini terjadi sedangkan kami bahkan belum ada satu jam sempat bercengkerama di rumah kami. Sekarang separuh jiwaku telah pergi menghadap sang Arsy untuk selamanya.
Amelia mengalami kecelakaan pada waktu keluar dari perumahan tempat kami tinggal. Dia dinyatakan meninggal setelah lima menit berada di IGD. Sebagai seorang dokter, aku merasa sangat tidak berguna. Bagaimana bisa aku tidak ada di samping orang yang paling aku cintai saat dia sangat membutuhkan aku di sisinya.
Flashback off
Lima tahun telah berlalu. Namun buatku, rasanya baru kemarin peristiwa itu terjadi. Keputusanku untuk kembali ke kota kelahiran Amelia adalah untuk kedua buah hatiku. Hanif belum sepenuhnya paham dengan peristiwa waktu itu. Sedangkan Hafizh, dia bahkan belum mengerti apa-apa karena ketika mommynya meninggal saat usianya Hafizh baru dua bulan.
Seperti kesepakatan dari diskusi dengan abi dan ummi bulan lalu, Hanif dan Hafizh memang membutuhkan figur seorang ibu dan aku percaya ummi Fatimah adalah figur seorang ibu yang baik untuk mereka. Permohonan mutasi kerjaku telah disetujui oleh direktur RS seminggu yang lalu. Tentunya kabar gembira ini segera aku beritahukan kepada abi dan ummi. Selayaknya seorang nenek dan kakek, pastinya mereka sangat gembira mendengar kabar ini. Sampai ummi berjanji untuk menjemput kedatangan kami di Juanda.
Hingga akhirnya di sinilah aku berada, arrival gate, terminal satu Bandara International Juanda Surabaya bersama dua matahari jiwaku, Hanif dan Hafizh.
Aku berjalan mencari keberadaan ummi, hingga akhirnya "I'm sorry Aunty," kata Hafizh ketika menabrak seorang wanita berjilbab lebar hingga keduanya terjatuh.
"Oh never mind, are you OK?" ucap wanita tersebut sambil membantu Hafizh berdiri.
Hafizh hanya diam sambil tersenyum memperlihatkan gigi susunya, akhirnya aku mendatangi dan berkata padanya "Come on dude, take a careful action!" Dengan sekilas menatap wanita tersebut dan aku pun meminta maaf kepadanya.
Belum sampai tersambung teleponku untuk ummi karena kami belum menemukannya, kedua anakku berteriak memanggil dan berhamburan memeluk omanya. Hingga aku baru tersadar bahwa wanita yang terjatuh ditabrak oleh Hafizh masih berdiri tegak di tempatnya, memandang ummi dan kedua anakku dengan senyum di bibirnya.
Saat lamunanku bertanya kemana-mana, suara ummi mengoyaknya. "Ibnu, Mas Hanif dan Adik, ini adalah aunty Qiyya, Adz Qiyyara Zaffran, yang mengantarkan oma kesini tadi untuk menjemput kalian. Aunty Qiyya ini adalah sahabat aunty Aisha. Dan Qiyya, ini Ibnu, Zaqibnu Asy Syafiq, menantu ummi dan ayah dari mereka. Ini mas Hanif cucu ummi yang paling besar dan yang paling kecil ini adalah adik Hafizh."
Aku tersenyum mengangguk, ternyata wanita itu adalah sahabat adik iparku Aisha. Namun tiba-tiba hatiku berdesir ketika putra sulungku berkata "Beautiful Oma, as beautiful as mommy." Hanif memang telah mengenal dengan jelas bagaimana muka istriku namun dengan membandingkannya dengan wanita yang baru sekali dia lihat, rasanya tidak adil untuk Amelia.
Mengerti dengan perubahan tanggapanku, ummi pun mengalihkan pembicaraan untuk mengajak mereka makan. Ketika aku menanyakan tidak melihat mobil ummi di drop off way, ummi menjawab dengan tenangnya dan rasa terkejut kembali menyapaku. Tidak terpikir olehku bahwa wanita yang selalu menunduk itulah yang mengantarkan ummi ke sini dengan perjalanan kurang lebih empat jam.
Hingga akhirnya kuputuskan untuk mengemudikannya, walaupun sebenarnya aku ingin sekali istirahat tapi membiarkan seorang Qiyya untuk mengemudikan mobil empat jam kedepan atau bahkan lebih karena aku tahu bagaimana kelakuan kedua anakku jika sedang melakukan perjalanan luar kota dengan jalur darat, naluri lelakiku langsung menolaknya.
Pada perjalanan pulang aku dihadapkan dengan pemandangan yang sulit untuk aku ungkapan. Bagaimana mungkin seorang Hanif dan Hafizh yang biasanya sangat sulit menerima orang baru untuk mereka, bisa sedekat ini dengan Qiyya hanya dengan hitungan menit. Bahkan sekarang mereka tertidur dengan nyaman, Hanif tidur di bahu Qiyya dengan rengkuhan tangan kiri Qiyya ke tubuh Hanif sedangkan Hafizh sudah tidur dengan nyenyaknya di pangkuan Qiyyara. Bahagia, tentu saja aku sangat bahagia apabila melihat anak-anakku bahagia. Namun apa ini namanya, bahkan aku belum mengenal dengan wanita itu bisa berkata bahwa aku bahagia. Ah entahlah.
--- 📌🍃____✂ ---
Abi dan ummi memang mendirikan panti asuhan untuk anak-anak yatim piatu yang letaknya di samping rumah tinggal beliau. Di depan panti asuhan itu terdapat musala yang dipakai untuk umum oleh warga sekitar.
Kami berenam berjalan bersama menuju musala untuk melaksanakan salat maghrib, lagi-lagi Hafizh merajuk kepada Qiyya untuk tetap menemaninya. Bahkan dia minta nginep di rumah Qiyya, apabila Qiyya tidak mau menemaninya pulang ke rumah omanya. Anakku yang satu ini, sikapnya tambah membuatku semakin tidak enak dengan Qiyyara. Mungkin kami baru bertemu pertama kali ini, tetapi anak-anakku sudah meminta yang sangat berlebihan kepadanya.
"Bunda Qiyya __ " seorang gadis kecil berlari mendekati Qiyya dan dibalas pelukan oleh Qiyyara. Hafizh, dan oh dia memandang itu dengan tatapan tidak suka seperti orang yang sedang cemburu. Oh, God apa yang terjadi dengan putra bungsuku ini? Aku tidak tahu lagi cerita selanjutnya karena sibuk dengan lamunanku hingga kami semua berjalan kembali ke musala untuk melaksanakan sholat maghrib.
'........................Allahu Rabb, maghrib ini kembali kuserahkan hidup dan matiku atasmu. Kembali kupasrahkan hatiku untuk tetap lurus berada di jalanmu, dan berikanlah kemudahan untuk segala urusan dunia dan akhiratku. Kesehatan untukku dan kedua anakku.' Sapuan kedua telapak tangan di mukaku mengakhiri rangkaian doa yang aku minta kepada pemilik ruh dan jiwaku ini.
Tidak banyak perubahan di rumah ummi yang aku rasakan, aku memang sudah hampir lima tahun tidak berkunjung kemari. Biasanya ummi yang selalu berkunjung ke rumah kami di Banten sebelumnya. Bukan aku menjadi anak yang durhaka, namun karena alasan pekerjaan dan dua balitaku yang belum bisa aku bawa untuk perjalanan jauh, ummi akhirnya mengalah untuk mengunjungi kami.
Makan malam hari ini menurutku sangat istimewa, sepertinya ummi sengaja memanjakan lidahku. Ayam lodho dengan urap sedikit pedas, ah ya sangat menggugah selera makanku. Namun lagi-lagi hatiku menjerit, manakala aku melihat dengan telatennya Qiyya menyuapi putra bungsuku yang sedang asyiknya bermain mobil-mobilan.
"Dad__what's different between mommy and bunda ?" tanyanya membuatku tersedak.
Kuselesaikan kunyahan terakhirku dan kujawab pertanyaan anakku bahwa itu adalah sama yaitu orang yang melahirkan kita. Namun si sulung pun akhirnya menyambung dengan pertanyaan lain yang sama sekali tidak terprediksi olehku sebelumnya "So, what is aunty Qiyya who delivered of Fatia? Because the girl had called her bunda." Oh, jadi mereka masih memikirkan kejadian menjelang salat maghrib di halaman musala bahwa ada seorang gadis kecil yang memanggil Qiyya dengan sebutan bunda dan tunggu, berarti benar dugaanku tatapan Hafizh tadi adalah kecemburuannya dengan gadis kecil yang berlari dan memeluk Qiyya dengan eratnya?
Aku terdiam cukup lama berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menjelaskan kepada mereka supaya tidak ada salah pengertian.
"Sayang, Fatia itu memiliki ayah dan ibu. Sama seperti Mas dan Adik. Hanya saja ayah dan ibu Fatia lebih dahulu ke surga seperti mommy. Fatia memanggil bunda kepada aunty karena Fatia menganggap aunty Qiyya seperti layaknya ibunya. Jadi bukan aunty Qiyya yang melahirkan Fatia." Suara Qiyya terdengar sangat jelas di telingaku. Aku melihat dia mengusap kepala Hafizh dan menatap Hanif dengan lembut.
Kedua anakku hanya mengangguk dan diam sepertiku menerima penjelasan itu. Mungkin mereka masih mencerna arti dari kalimat panjang yang disampaikan Qiyya, tetapi aku, diamku cukup mengisyaratkan bahwa aku tidak mempunyai kata-kata untuk sekedar memberikan tambahan atau penegasan dari penjelasan Qiyyara.
"Kalau kalian mau, kalian boleh kok panggil aunty Qiyya dengan panggilan bunda seperti Fatia." Kalimat pernyataan selanjutnya dari Qiyya membuatku terpaksa menatapnya lama. Apa maksud wanita di depanku ini?
Aku berdiri kemudian meninggalkan meja makan dengan diam. Membersihkan badan dan beristirahat adalah izinku kepada abi dan ummi.
Hanif dan Hafizh, sepertinya juga sudah menuju ke kamarnya setelah aku selesai mandi karena ketika aku kembali ke ruang keluarga sudah tidak mendapati mereka disana. Sedangkan abi dan ummi sedang menonton televisi.
"Ummi, tidak istirahat? seharian di jalan pasti sangatlah capek. Sebaiknya Ummi istirahat." Ucapku kepada ibu mertuaku ini.
"Qiyyara itu seorang psikolog Ib, ummi rasa dia sangat mengerti bagaimana psikis anak-anakmu. Makanya tadi dia berani berkata seperti itu kepada mereka. Lagian memang di panti asuhan Qiyya dipanggil bunda oleh semua anak-anak panti, jadi bukan Fatia saja. Kamu jangan tersinggung karenanya," jelas ummi tiba-tiba.
"I__iya, Ummi. Ibnu hanya kaget saja. Jadi Qiyya adalah seorang psikolog Um?"
"Iya, dia sahabatnya Aisha sejak SMP. Jadi ummi kenal betul bagaimana karakter dan sifatnya. Lihatlah anak-anakmu di kamar, tadi Qiyya mengajak mereka ke kamar untuk menidurkan Hafizh. Kalau anak-anakmu telah tidur sebaiknya kamu antarkan Qiyya pulang, kasihan seharian menemani kita, bahkan dia belum istirahat sedikit pun."
"Iya Ummi." Jawabku kemudian berjalan menuju kamar Hanif dan Hafizh.
Ketika tanganku berada di handle pintu dan hendak akan membukanya, terdengar suara Qiyya sedang membacakan buku dongeng pangeran berkuda putih untuk Hafizh sesuai dijanjikannya.
..............akhirnya pangeran berkuda putih itu pulang dengan membawa seorang putri yang sangat cantik untuk dijadikan istrinya. Mereka berdua menikah di istana yang sangat megah, memiliki anak-anak yang lucu-lucu dan berdua hidup bahagia sampai akhir hayatnya.
Ku intip dari celah pintu kamar itu dan kulihat di sana Qiyya sedang mengakhiri cerita untuk Hafizh, sedangkan Hafizh dan Hanif telah tidur dengan lelapnya. Qiyya mengusap kepala mereka, mencium kening mereka bergantian kemudian merapikan selimut dan mengatur suhu ruangan. Tidak terasa buliran bening menetes di kedua pipiku. Hatiku terasa nyeri melihat itu, aku merindukan Amelia. Sangat merindukannya.
Kuurungkan niatku untuk masuk ke kamar anak-anakku dengan berbalik badan untuk meninggalkan. Namun baru beberapa langkah ada suara yang membuat langkahku terhenti.
"Mas Ibnu, maafkan atas kelancangannya tadi. Qiyya tidak bermaksud apa-apa. Hanya melihat psikis me_"
Secepat kilat aku memotong ucapannya, "Saya mengerti maksud kamu Qiyya. No worried. Saya malah yang harusnya mengucapkan terima kasih kepadamu. Sepertinya mereka akan kerasan tinggal di sini. Makasih ya Qiyya, dan mohon maaf telah menahanmu sampai semalam ini."
Akhirnya dia pun berpamitan untuk pulang setelah adik laki-lakinya menjemput dan aku kembali berada di kamarku setelah memastikan keadaan Hanif dan Hafizh.
Lelah tubuhku yang seharusnya membutuhkan istirahat namun tidak demikian dengan mataku. Mataku belum bisa terpejam sedikit pun, anganku masih menerawang jauh ke belakang. Di sini, di kamar ini aku memulai kisahku dengan Amelia 14 tahun yang lalu. Menyatukan hati, menyatukan cinta, dan menyatukan cita-cita untuk kebersamaan kami. Masih kuingat janjiku padanya untuk selalu menemaninya di saat suka dan duka, sedih dan bahagia sampai maut yang memisahkan.
Betapa bahagianya aku waktu itu, bisa mempersunting wanita pujaan hatiku untuk menjadi istri dan ibu dari anak-anakku kelak. hingga usia perkawinan kami yang ke-7, kami baru diberikan amanah untuk menerima seorang putra. Putra itu kami berikan nama Hanif Maliki Asy Syafiq dan dua tahun kemudian lahirkan putra kedua kami Hafizh Abbiyu Asy Syafiq. Namun belum sempat kami membesarkan mereka qodarullah telah memisahkan aku dengan pasangan jiwaku. Pagi itu, kecelakaan hari minggu yang suram itu telah merenggut nyawa istriku tercinta, Amelia Azzahra.
Hanif dan Hafizh adalah masa depanku, alasanku untuk tetap tegar dan berjuang. Hari ini, aku sejujurnya sangat bahagia melihat senyum mereka. Tertawa lepas sambil bercerita, makan dengan lahapnya bahkan tidur dengan nyenyak tanpa sebuah drama seperti sebelum-sebelumnya ketika mereka merajuk. Mungkin itu adalah bentuk protes mereka kepadaku, Diana bahkan hampir setiap malam menelponku untuk berbicara kepada anak-anakku supaya mereka bisa tertidur.
Hari ini, bahkan mereka seolah menganggapku tidak ada. Tidak lagi merajuk minta ditidurkan, tidak lagi merajuk menolak makanan. Qiyyara seolah menyihir mereka untuk bersikap seperti layaknya seorang anak yang sangat manis.
'Sudah waktunya kamu membina hubungan lagi, Ib. Lihatlah mereka sekarang.' Kata-kata ummi tadi siang kembali menggema di telingaku.
'Mau sampai kapan hatimu membeku seperti ini. Coba lihat kedua anakmu, setidaknya berpikirlah untuk mereka. Mereka masih anak-anak, butuh sosok seorang ibu.' Mungkin benar kata ummi, mereka butuh sosok seorang ibu. Tapi bagaimana denganku? Aku belum bisa membuka hati untuk wanita siapa pun.
Kulihat jam dinding di kamarku, memang sudah sangat larut dan aku harus istirahat karena besok adalah hari pertama aku dinas di kantor baruku, rumah sakit umum kota ini.
Ku baca doa sebelum tidur dan tidak lupa kupasang alarm untuk membangunkanku esok hari. Selamat datang mimpi.
--- 📌🍃____✂ ---
Rumah Sakit Umum
Pagi ini ruangan IGD dipenuhi oleh pasien-pasien yang belum mendapatkan ruangan untuk perawatan maupun untuk pasien yang masih dalam tahap observasi dokter.
Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit untuk bisa menghadap dan berkenalan dengan direktur rumah sakit umum ini. Di depan pintu direktur aku bertemu dengan 4 orang dengan snellinya masing-masing dan nametag di dada kirinya sedang duduk di kursi tunggu. Pasti ini dokter muda yang akan melakukan co ass di RSU ini. Jadi teringat pada waktu co ass dan residen dulu, aku mungkin semuda ini ya pada waktu itu.
"Selamat pagi, apakah dokter Bambang Prawirjohardjo ada?" sapaku mengawali.
"Dokter Bambang masih ada di ruang radiologi, mungkin 15 menit lagi akan kemari." Jawab salah satu diantaranya dan hap, mataku menangkap sesosok wanita yang sepertinya aku mengenalinya namun siapa aku berusaha untuk mengingatnya.
Qiyyara, ah mengapa nama itu menari-nari di otakku. Gadis berjilbab biru di depanku ini memang mirip dengan Qiyya. Kupandang sekali lagi dengan jelas dan sekali lagi kupastikan, iya dia sangat mirip dengan Qiyya. Hingga tatapan kami berserobok dan aishhh aku langsung mengalihkan pandanganku ke tempat lain. Malu karena tertangkap basah telah memandangnya begitu intens, ah tidak mungkin karena aku ingat dengan Qiyya saja. Hey__hellow, ingat dengan Qiyya? Untuk apa aku mengingat dia sepagi ini di awal aktivitasku. Aku menggeleng lemah mengusir bayangannya dari dalam otakku.
Seseorang dengan penuh wibawa berjalan mendekati kami dan ketika melihatnya kami segera berdiri menyambut kedatangannya.
"Dokter Ibnu?" sapanya menyapaku lebih dulu.
"Iya Dok, saya Ibnu. Dengan Dokter Bambang?" tanyaku.
"Iya, dan kalian pasti dokter muda yang membuat janji dengan saya kemarin ya?" jawab dokter Bambang kemudian bertanya kepada para dokter muda di depanku ini.
"Mari masuk ke ruangan saya dulu Dokter Ibnu." Lanjutnya mengajakku untuk memasuki ruang kerjanya.
"Silakan duduk, Dok. Bagaimana perjalanannya? Apakah menyenangkan? Semoga kerasan nanti tinggal di kota kecil ini. Rumah sakit ini pasti sangat beruntung sekali menerima seorang dokter bedah yang luar biasa seperti Anda."
"Hari ini saya belum memberikan jadwal khusus kepada Anda, mungkin bisa Anda pergunakan untuk mengenal partner kerja di sini atau membantu di unit IGD."
"Baik Dok, Alhamdulillah perjalanan yang cukup menyenangkan. Inshaallah, saya akan berusaha maksimal atas semua tanggung jawab yang akan dibebankan kepada saya sesuai dengan kemampuan dan sumpah saya sebagai seorang dokter," jawabku sambil tersenyum.
"Selamat bergabung dan selamat bekerja." Ucap dokter Bambang menyalamiku setelah kami berdua selesai ngobrol dan aku pamit untuk ke melihat ruanganku.
Keluar dari ruangan dokter Bambang aku melihat keempat dokter muda masih setia menunggu duduk di ruang tunggu. Merasa tidak enak aku menyapa mereka sekali lagi untuk pamit, karena aku datang terakhir tapi didahulukan oleh dokter Bambang dan dibalas dengan senyuman ramah mereka.
Di sinilah aku sekarang berada, di sebuah ruangan berukuran 4 x 5 meter persegi bertemu dengan rekan kerja seprofesiku. Ada satu orang dokter bedah di sini, dokter Ismail namanya. Satu orang dokter anaestesi, dokter Irawan dan beberapa dokter yang sedang piket pada hari ini dan sedang bertugas di poli.
Tidak ada jadwal pekerjaan bukan berarti aku bisa bertopang dagu melihat teman seprofesiku berusaha menyambung nyawa pasien-pasien yang datang silih berganti. Dan IGD adalah tujuan utamaku hari ini, meski sudah lama aku tidak bertugas sebagai dokter on call namun hari ini aku berusaha memberikan yang terbaik.
--- 📌🍃____✂ ---
Jadikanlah Alqur'an sebagai bacaan utama
Happy Reading 👨💻👩💻
Sukron, jazakhumullah khair
to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top