03# Tatapan Hazel
_Sekilat sambaran petir telah mengoyak jantung hati dari tatapan ikhwan bermata hazel itu_
🌼🌼🌼
Butiran embun menyapa di pucuk dedaunan. Merangkum pergantian hari dengan proses kondensasi alam yang sempurna. Menyambut bergulirnya fajar hingga tercipta siluet putih kemerahan di ufuk timur. Pancaran megah mentari pagi menyeruak keluar dari singgasana abadi. Ribuan bahkan jutaan burung pun bersenandung menyambut hadirnya sang raja siang untuk kembali menerangi bumi.
Kembali, kericuhan terjadi di dapur keluarga Abdullah Zaffran. Siapa lagi pembuat onar selain si bungsu Aira yang dengan sengaja menggoda ibu dan kakak tersayangnya memasak pagi ini.
"Dik, kalau diganggu terus nanti kamu nggak mbak beri jatah sarapan loh." Qiyya berkata sambil mengerucutkan bibirnya.
"Ya Allah, mbakku yang satu ini makin cantik kalau sedang merajuk." Goda Aira semakin menjadi.
Kartika hanya tersenyum melihat tingkah polah kedua anaknya tersebut, Qiyya telah berusia 35 tahun, Aira berusia 22 tahun. Namun kalau sudah bertemu rasanya mereka masih seperti anak-anak yang yang baru lulus SMP. Adiknya merajuk kakaknya menggoda, ataupun sebaliknya. Bahkan sampai terjadi drama kejar-kejaran di dalam rumah.
Namun Qiyya tetaplah Qiyya, Qiyyara yang selalu lembut dan mengalah dengan adik-adiknya meskipun kadangkala suka menggoda adik-adiknya tapi di ujung cerita pasti akan mengalah untuk mereka. Mungkin karena perbedaan usia di antara ketiganya, Qiyya terlahir 8 tahun lebih dahulu dibandingkan Zurra yang disusul 5 tahun kemudian baru lahirlah Aira.
Abdullah dan Kartika memang hanya lulusan SMA namun mereka berdua bertekad untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang tertinggi yang diinginkan oleh anak-anaknya. Qiyya telah menyelesaikan pendidikan sarjana Psikologi di universitas terbaik di Surabaya, Zurra juga telah menyelesaikan sarjana ekonomi di universitas yang sama dengan Qiyya, sedangkan Aira akan menempuh co ass untuk menjadikannya seorang dokter muda di rumah sakit umum kotanya.
"Yuu huu, sarapan sudah siap." Sapa Aira sambil memukulkan sendok ke piring memecah lamunan Kartika.
Sontak seketika Kartika menjawab, "Adik! Kalau piring ibu semua pecah siapa yang mau mengganti?"
"Ya ayahlah Bu, masa Aira kan belum punya duit buat ganti." Cengiran khas Aira mulai diperlihatkan kepada ibunya saat melihat mata ibunya melotot ke arahnya.
"Sudah, sudah ayo makan. Ibu, biarkan sajalah Aira, rumah jadi ramai kalau ada 'nonik' cerewet itu." Kata Qiyya sambil tersenyum.
"Ya sudah ayo, panggil ayah dan masmu, Dik. Kita sarapan pagi bersama." Kartika meminta Aira untuk memanggil saudara dan ayahnya. "Ibu ya nggak habis pikir loh Mbak, ada aja yang diperbuat adikmu satu itu, cuma membayangkan saja, apa iya nanti dia bersikap seperti itu kepada pasien pasiennya? Cerewetnya, dan tingkahnya masih seperti anak SMP."
"Nggak apa-apa Bu, biar Aira awet muda. Ibu dan ayah juga awet muda terus lihatin dia."
"Ah kamu," jawab Kartika.
Hening sesaat di meja makan itu, hanya dentingan sendok dan garpu yang menari-nari di atas piring. Memang kebiasaan keluarga Zaffran, apabila makan tidak pernah ada cerita. Mereka menikmati dahulu makanan baru setelahnya cerita pun mengalir seperti air di sungai yang berebut menuju ke pantai.
"Aira, hari ini langsung ke rumah sakit? Apa perlu ayah temani?" kata Abdullah memulai percakapan.
"Jazakallah Ayah, tapi Aira hari ini nggak ke rumah sakit. Direkturnya masih keluar kota, Aira dan teman-teman co ass telah membuat janji dengan beliau lusa baru ke rumah sakit untuk berkenalan secara langsung dan beliau akan memperkenalkan dokter pendamping kami masing-masing." Jawab Aira.
"Terus acaramu apa hari ini?"
"Belum ada Yah, mungkin membantu kalian, atau di rumah saja nonton drama korea."
"Mbak Qiyya bantu ibu hari ini, ada 25 kodi pesanan pakaian yang harus dikirim," perintah Kartika.
"Nggih Bu, sudah jadi kan tinggal ngepak dan ngirim ekspedisi? Kemarin Qiyya lihat sudah dilipat sama mbak Jum, tapi habis zuhur nggih Bu, Qiyya harus ke panti pagi ini. Ustadzah Ikhlima whatsapp Qiyya tadi ada kajian pagi ini."
"Iya."
"Mbak Qi, Aira ikut kajian ya, boleh?"
"Boleh cah ayu, tapi ada syaratnya___" ucap Qiyya.
"Pake rok Dik syaratnya, seperti mbak Qiyya." Seloroh Zurra menyambung asal ucapan Qiyya yang menggantung.
Semua tersenyum kecuali Aira yang manyun sendiri. Sedari kecil Aira memang paling aktif di antara kedua kakaknya, dia lincah dan tentu saja lebih cerewet dibanding Qiyya. Peringai sedikit tomboi adalah alasan mengapa Aira tidak pernah memakai rok, kecuali rok pada zaman masih sekolahnya dulu dan untuk ke kampus karena memang ketentuannya seperti itu.
"Aira mau pake gamis, wlekk." Aira menjawab godaan Zurra dengan cemberut. "Ehmmm, tapi Aira pinjam punya Mbak Qiyya ya, Aira kan nggak pu___"
"Pilih sesukamu Dik, nggak usah pinjam. Kamu pakai selamanya juga boleh kok, asal istiqomah," jawab Qiyya mengakhiri perdebatan mereka dengan senyuman yang berbeda dari biasanya. Ya senyuman yang rasanya sudah sangat lama tidak pernah dilihat lagi oleh anggota keluarga Abdullah.
Aira yang sudah berada di kamar Qiyya mencoba untuk memilih pakaian mana yang pas dan bisa dipakai untuk acara pengajian. Dari sorot matanya menyapu tumpukan gamis milik kakaknya, rasanya dia memang tidak kesulitan karena selain ukuran badan mereka hampir sama, kakak perempuannya itu memiliki selera warna yang sama dengan Aira sehingga dengan mudah dia mengambil gamis bunga warna merah yang dipadukan dengan jilbab syar'i warna abu-abu milik kakaknya.
"Cantik," kata Qiyya berbinar melihat adik perempuannya.
"Mbak lebih cantik dari aku."
Berdua, mereka mengendarai sepeda motor matic milik Qiyya berangkat menuju panti asuhan Al Ikhlas pagi ini. Ustadzah Ikhlima memang mengirimkan pesan whatsapp bahwa pagi ini jam 08.00 akan diadakan kajian untuk anak-anak panti asuhan oleh Wildan keponakannya.
Sesampainya di panti asuhan, Qiyya memarkirkan sepeda motornya kemudian berjalan ke rumah ummi Fatimah terlebih dahulu sebelum ke Aula panti.
"Assalamu'alaikum."
Hening beberapa saat hingga akhirnya melihat seseorang dengan senyum khasnya keluar rumah dan menyambut Qiyya juga Aira yang setia mengekor di belakang kakaknya. "Waalaikumsalam," senyum ummi Fatimah tetaplah sama dengan sebelumnya selalu lembut dan keibuan. Namun Qiyya mengetahui bahwa dibalik senyuman itu ada sesuatu hal yang membuat nenek empat cucu itu sangatlah bahagia.
"Ummi___" Qiyya mengambil jeda sesaat untuk menebak apa yang terjadi dengan ibu sahabatnya itu "Sepertinya Ummi bahagia sekali, maaf kalau Qiyya menebaknya keliru." Ucap Qiyya setelah mencium tangan kanan ummi Fatimah.
"Kamu memang pantas menjadi psikolog terbaik Qiyya, iya ummi sangat bahagia hari ini. Ini siapa di belakangmu, manis sekali." Sapa ummi Fatimah.
"Saya Aira, Bu. Adik bungsunya mbak Qiyya." Aira memperkenalkan diri kemudian mencium tangan kanan ummi Fatimah sama seperti yang Qiyya lakukan sebelumnya.
"Ummi, panggil saya ummi seperti mbakmu cah ayu. Ayo masuk dulu ummi mau cerita sesuatu," ajak ummi Fatimah menyilakan keduanya masuk ke rumah.
Qiyya menatap ummi Fatimah dengan penuh tanda tanya. Seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh Qiyya, ummi Fatimah menambah kadar tersenyumnya, sampai terdengar suara renyah dari bibirnya.
"Besok kamu ada acara, bisa menemani ummi ke Juanda?"
Juanda? Ada apakah gerangan ummi Fatimah mengajak Qiyya ke sana. Abi Umar, suami ummi Fatimah memang sudah tidak pernah mau lagi bepergian jauh setelah kematian kak Amelia, kakak Aisha. Selain faktor usia seolah ada trauma tersendiri untuk abi Umar, karena kak Amelia meninggal dunia setelah mengalami sebuah kecelakaan. Meninggal adalah sebuah kepastian dari Allah atas semua makhluk hidup di bumi ini, entah dengan cara apa pun. Abi Umar pastilah sangat mengerti tentang itu, namun menurut beliau ketika berada di jalan selalu saja merasa tidak bisa tenang, ingatannya masih mengingat kecelakaan yang menimpa kak Amel.
"Ummi akan menjemput Hanif dan Hafizh, mereka akan tinggal bersama ummi di sini mungkin untuk jangka waktu yang panjang." Rona bahagia tidak dapat tersembunyikan dari raut muka ummi Fatimah.
"Hanif dan Hafizh?" ulang Qiyya lirih. "Mereka hanya berdua saja Ummi?"
"Mereka bersama daddynya. Ibnu pindah tugas di rumah sakit umum kota ini sehingga Hanif dan Hafizh juga akan ikut pindah sekolah di sini."
"Alhamdulillah___" ucap Qiyya menyambut penjelasan ummi Fatimah, diam sejenak kemudian memandang kepada Aira adiknya kemudian bersuara kembali. "Menantu ummi Fatimah ini seorang dokter Dik, kalau beliau bertugas di RSU sini berarti nanti kamu bisa belajar banyak dengan beliau."
"Aira calon dokter juga kan ya Qi, ummi sampai lupa. Pasti Ibnu mau sekali membantu. Kalau begitu ummi akan menelpon untuk meminta izin kepada ibumu. Besok ba'da subuh ummi jemput di rumah."
Setelah berpamitan dengan ummi Fatimah, Qiyya dan Aira berjalan menuju ke Aula panti asuhan sebagai tempat akan dilaksanakannya kajian pagi. Karena waktu dimulainya kajian masih kurang sepuluh menit lagi, Qiyya berbelok ke salah satu ruangan yang ramai oleh suara anak-anak.
"Assalamu'alaikum," sapa Qiyya membuka pintu.
"Waalaikumsalam, Bunda Qiyya." Serempak mereka menjawab dengan memalingkan muka kepada Qiyya.
"Ramai sekali terdengar dari luar, bukannya hari ini ada kajian di Aula. Mengapa kalian masih di sini semuanya?"
"Ustad Wildan belum sampai Bunda, jadi kami bermain pancasila lima dasar di sini," jawab Fatia menuju Qiyya dengan merentangkan kedua tangannya siap untuk dipeluk Qiyya. Fatia adalah gadis kecil berusia 5 tahun yang sangat dekat dengan Qiyya.
"Ya sudah, semuanya kumpul di Aula yuk bersama Bunda. Kita menunggu ustad Wildan dan ustadzah Ikhlima"
Qiyya, Aira dan seluruh anak-anak panti yang berada di ruangan itu bergegas keluar menuju Aula untuk bersiap-siap mendengarkan kajian. Semua anak-anak telah duduk rapi, Aira mengedarkan pandangan sampai dimana dia menatap seorang ikhwan yang berjalan tergesa menuju tempatnya berdiri saat ini.
Sesaat Aira memandang detail ikhwan tersebut. Apakah ini yang dimaksud ustad Wildan oleh anak-anak tadi? monolog Aira dalam hati. Pahatan Allah paling sempurna, bibir merah, hidung mancung, alis tebal, dan mata__yah, mata yang selalu terjaga pandangannya seperti Qiyya.
Desiran halus menyapa hati Aira ketika ikhwan tersebut berjarak tidak lebih dari lima langkah kaki. Terkoyak lamunan Aira manakala ikhwan tersebut mengucapkan salam dengan menatapnya sekilas, dan ketika mereka berserobok pandang rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan dari perut ke dadanya. Sekilas, hanya sekilas tidak lebih dari satu menit mereka saling bertatap karena ikhwan tersebut seketika menundukkan pandangan ke arah yang lain. 'Ah, tatapan mata hazel itu sungguh telah membuatku terbang ke awan,' pekik Aira dalam hati.
"Loh, Ustad Wildan kok masih di luar? Ustadzah Ikhlima? Anak-anak sudah siap semua untuk menerima materi pagi ini." Suara Qiyya memecah keheningan di antara keduanya. "Perkenalkan ini Aira, adik bungsu ana." Aira tersenyum singkat kepada ustad Wildan.
"Ustadzah Ikhlima berhalangan hadir, Ukh. Sehingga meminta Ukhti Qiyya untuk mendampingi anak-anak. Afwan, tadi sepeda motor ana bocor sehingga terlambat sampai di sini."
"Oughhh, tidak jadi apa. Anak-anak juga baru saja siap, silakan Ustad Wildan memulai kajiannya. Nanti kalau perlu apa-apa ana dan adik ana ada di belakang mereka."
Ustad Wildan pun akhirnya memasuki Aula, mengucapkan salam dan memulai kajian pagi bersama anak-anak panti. Anak-anak menyambut antusias tema yang dibawakan ustad Wildan. Selain itu karena ustad Wildan membawakan dengan bahasa yang memang sesuai dengan bahasa mereka sehingga mereka bisa dengan mudah memahami apa yang dimaksudkannya dan jangan bertanya bagaimana cara Aira mengikuti kajian tersebut, yang jelas pipi bakpao gadis itu selalu merona setiap kali melihat ustad Wildan tertawa bersama anak-anak.
--- 📌🍃____✂ ---
Jadikanlah Alqur'an sebagai bacaan utama
Sukron, Jazakhumullah khair
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top