33. Damai
Rasa damai itu tercipta bukan semata karena dikaruniai harta yang melimpah. Namun, hati yang tenang karena dekat dengan Allah dapat mendatangkan kehidupan yang penuh berkah.
🌼🌼🌼
Dalam perjalanan hidup, ada hal-hal yang tidak selalu sejalan dengan harapan. Adakalanya, manusia terjebak dengan segenap ekspektasi yang terlampau tinggi. Sehingga, tanpa disadari, seseorang itu melewatkan perkara baik yang seharusnya ia terima sepenuh hati.
Yara merasakannya sekarang. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia selalu berpikir jikalau sisi egoisme dalam diri tak dijunjung tinggi, Yara tidak akan membuang waktu berharganya dengan percuma. Ia menyesal telah berlaku egois karena selalu mendewakan jalan pikirannya yang tak pasti. Seharusnya, sejak awal ia lebih baik perihal mengelola komunikasi dengan sang suami. Dengan begitu, tak ada acara menepi hanya untuk memenangkan pemikirannya sendiri.
"Mas nggak nyesel?" tanya Yara ketika sedang duduk santai dengan sang suami di ruang keluarga.
Rafif mendongak. Ia menatap manik mata sang isteri dengan lekat. Lalu, ia merespons pertanyaan yang menurutnya tidak perlu disuarakan itu seadanya.
"Nggak ada kalimat lain gitu?" Rafif sedikit kesal ditanya seperti itu berulang kali.
Yara terdiam sambil mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Ia mengerti kalau sang suami tidak menyukai pertanyaan Yara. Namun, ia tetap saja memaksa untuk mendapatkan jawaban yang bisa membuat hatinya lebih lega.
"Kenapa harus menyesal sih. Mas sudah bilang berkali-kali 'kan, Sayang? Memilikimu adalah sebuah anugerah. Mas harus banyak bersyukur. Dengan adanya kamu di sisi Mas, bikin rasa nyaman itu meningkat. Mas jadi semakin banyak belajar." Sambil berkata seperti itu, Rafif belum juga mengalihkan perhatiannya pada sang isteri. Ia masih menyelami pahatan indah dari Allah yang duduk manis di depannya itu.
Kini, Rafif menerawang pada momen beberapa tahun silam, saat ia baru saja merintis karirnya. Banyak batu sandungan, tetapi sang isteri selalu menguatkan. Tak pernah lelah memberi dukungan.
"Lalu, kenapa aku harus menyesal saat ada wanita hebat yang tak henti mendampingi ketika rintangan datang silih berganti?" bisik Rafif dalam hati.
Kala itu, ketika Rafif sedang berada pada masa jatuh bangun dan taraf ekonomi juga belum stabil, Yara tetap bertahan. Wanita itu yang selalu menyelipkan kata penenang.
"Rasa damai itu tercipta bukan semata karena dikaruniai harta yang melimpah. Namun, hati yang tenang karena dekat dengan Allah dapat mendatangkan kehidupan yang penuh berkah."
Itulah kata-kata Yara yang masih menancap kuat pada diri Rafif.
"Hidup itu yang penting berkahnya, bukan wah-nya, Mas."
Sesederhana itu kalimat Yara, tetapi bagi Rafif itu sudah lebih dari cukup untuk menenangkan. Rafif paham bahwa sejatinya sang isteri adalah pribadi yang bijak. Namun, kadangkala keadaan memaksanya untuk bersikap hampir di ambang batas. Maka dari itu, Rafif tak pernah marah atau sampai lepas kendali jika Yara melakukan sesuatu yang tak semestinya. Ia sadar bahwa sesuatu itu tak akan mungkin terbakar kalau tak ada pemantiknya. Rafif sadar, sikapnya bisa menjadi api yang tanpa sengaja mampu membakar pertahanan diri sang isteri. Maka dari itu, ia harus pandai menekan diri untuk tidak dengan mudah tersulut emosi.
"Termasuk, belajar melatih kesabaran menghadapi wanita sepertiku ya, Mas?" tanya Yara yang membuat Rafif menghela napas.
"Tuh 'kan ... selalu kayak gitu. Mas nggak suka ih kalau merasa rendah diri seperti itu. Mulai belajar mencintai diri sendiri, Sayang. Tanamkan dalam diri bahwa kamu wanita hebat dan kamu pantas dicintai."
Yara langsung diam. Tak ingin melanjutkan perdebatan. Yara mengerti betapa rapuhnya ia kala merasa dirinya tak berharga. Padahal, Rafif kerap meyakinkan bahwa dirinya adalah wanita yang luar biasa.
***
"Ciye ... yang sudah baikan." Suara itu menyentak Yara. Wujudnya tak terlihat, tetapi nada bicaranya lantang terdengar.
Yara menoleh ke sekeliling. Ternyata, sang tersangka berada tidak jauh darinya.
Saat ini, Yara memang sedang berjalan dengan sang suami. Hanya berdua saja. Setelah beberapa menit yang lalu, mereka ke mini market yang terletak di depan pondok untuk membeli beberapa camilan. Yara sungguh tidak menyangka kalau ada manusia usil di tempat ini.
Sang makhluk paling jahil itu adalah Virzha. Bisa-bisanya lelaki muda itu tanpa tahu malu menggoda Yara dan Rafif. Kalau orang lain, pasti tidak ada yang berani bertingkah menyebalkan seperti itu.
"Pak Rafif ... kok betah sih dekat dengan wanita galak gitu?" Virzha berucap tanpa rasa sesal. Sejak dulu, ia memang senang berlaku iseng pada isteri gurunya itu.
Yara melotot tajam. Namun, bukannya takut, Virzha malah tertawa meledak. Di sampingnya, Rafif hanya tertawa singkat tanpa berniat menanggapi lebih dalam. Semenjak agenda menepi sang isteri, Rafif paham dengan karakter Virzha, yang tak akan begitu saja berhenti mengusili Yara jika sengaja diladeni.
"Zha ... kegiatannya sudah mau mulai. Mau pilih hukuman apa jika ketahuan bolos lagi?" Rafif berucap dengan lembut. Namun, tatapannya seolah penuh tekanan.
"Jangan ngancam gitu dong, Pak. Untung loo gara-gara bolos waktu itu, aku bisa menyelamatkan Mbak Yara. Kalau tidak, bisa-bisa kesayangannya Pak Rafif itu sudah digondol sama makhluk astral." Virzha berkata disertai dengan cengiran.
"Hei!" Yara berseru agak keras. Rasa kesalnya pada Virzha menggunung. Selain itu, Yara lantas teringat tindakan impulsif yang ia lakukan kala itu. Ia tidak habis pikir betapa nekatnya ia menyusuri tempat sepi itu. Kini, Yara merinding kala bayangan itu terlintas di benaknya.
"Pilih hafalan sepuluh hadits di depan asrama atau mau menguras bak mandi, Zha?" Rafif kembali bersuara.
Mendengar itu, Virzha langsung pamit pulang ke asrama tanpa bantahan lagi.
"Ada-ada saja anak itu." Rafif berkata lirih.
Rafif sudah mengetahui kebenarannya bahwa Virzha adalah seseorang yang membantu persembunyian Yara. Ia sebenarnya kesal karena berhasil dikelabui anak kecil semacam Virzha. Akan tetapi, satu sisinya lagi, ia begitu berterima kasih karena campur tangan Virzha, Yara berada di tempat yang tepat.
"Pulang, yuk!" Rafif mengajak sang isteri kembali ke rumah. Ia menarik tangan sang isteri dengan lembut.
"Eh, ada yang mau dicari lagi, nggak?" tanya Rafif sebelum sampai di rumah.
"Nggak ada, Mas. Cuma butuh alat tempur ini saja," ujar Yara sambil menunjukkan satu kresek penuh berisi beberapa jenis camilan.
Berhubung tidak ada lagi yang hendak dicari, Yara dan Rafif berjalan dengan santai menuju ke kediaman mereka.
Sesampainya di halaman rumah, Yara mengernyitkan keningnya kala mendapati seorang gadis cantik yang sekarang duduk di kursi teras dengan tangan yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Ning Malva?" Yara bergumam pelan.
Rafif pun terkejut melihat kedatangan Ning Malva. Padahal, ia merasa kalau urusan dengannya sudah selesai. Sebab, beberapa saat lalu, ia sudah menjelaskan dengan gamblang bahwa Rafif tidak berminat untuk mempererat ikatan seperti yang diusulkan oleh ibu dari gadis itu.
Rafif melirik sejenak ke arah sang isteri. Dari pengamatannya, raut wajah Yara masih terlihat santai meski langkah wanitanya itu tampak gontai.
"Nggak apa-apa, Mas," ungkap Yara begitu mengamati kekhawatiran sang suami. Meski dalam hati penuh tanya, Yara berusaha lebih tenang.
Yara ingat satu pesan dari Ning Malva. Ia tidak menyangka kalau gadis itu benar-benar seberani itu mendatangi rumahnya.
"Kira-kira apa yang akan dibicarakan?" kata tanya meluncur di hati Yara.
"Akankah rasa damai yang baru saja dirasakan harus terusik lagi?"
_________________
To be continued.
Khala tinggal dua part lagi. Hari kamis nanti bakal dobel update.
Setelah itu, siap untuk mengikuti Give Away? 🤭
Eh, rajin baca dan komen aja biar lebih mudah. Hehe..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top