31. Pulang

Bahagia itu ketika kita menjadi sebuah alasan kepulangan yang paling nyaman bagi seseorang yang amat istimewa dalam hidup.


🌼🌼🌼


Pulang dalam keadaan kurang stabil adalah keputusan yang sangat berat. Bahkan, tidak pernah dipikirkan sebelumnya oleh Yara. Namun, jika dibiarkan berlarut, masalah yang ada tidak akan pernah surut. Begitulah yang Yara pikirkan. Sehingga, ia memutuskan untuk menerima ajakan sang kakak ipar.

Awalnya, ada rasa cemas menyelimuti. Namun, ungkapan menenangkan dari Mbak Rahma cukup membuat Yara lebih berani.

"Gimana kalau Mas Rafif nggak bisa menerimaku lagi setelah keputusan gegabah yang kuambil beberapa waktu yang lalu?"

Pertanyaan demi pertanyaan berkelebat di kepala. Yara pusing sendiri memikirkannya.

"Gimana kalau Mas Rafly juga malah membenciku, lalu ...," lirih Yara dalam hati.

"Ah, tidak. Mas Rafly bukan tipe orang semacam itu."

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Yara tidak karuan. Mengetahui hal itu, Mbak Rahma tak henti menghibur, memberi penguatan.

Sesampainya di kediaman Mas Rafly, Yara kembali ragu. Untuk sekadar menatap bangunan kokoh itu pun, Yara tidak sanggup. Rasa tidak percaya diri pun tak bisa dihindari.

"Ayo, Ra!"

Sentuhan lembut dari Mbak Rahma menyadarkan lamunan Yara.

"Apa aku masih pantas di sini?" Bermacam kata tanya serupa terlintas, hingga Yara masih belum kuat untuk beranjak.

"Bismillah," gumam Yara.

Akhirnya, Yara mengikuti Mbak Rahma di belakang. Ia berjalan dengan terus menunduk. Sejujurnya, ia malu. Namun, waktu tak bisa kembali ke masa lalu. Kini, hanya kesiapan hati yang dibutuhkan untuk memulai langkah baru.

Selepas memasuki bangunan kokoh di hadapannya, Yara bisa bernapas lega. Ternyata, tidak ada siapa-siapa di rumah. Mbak Rahma bilang bahwa Mas Rafly sedang ada kegiatan rutin di asrama putra sedangkan suaminya masih di luar. Selain itu, Mbak Rahma juga belum mengabari tentang kepulangan Yara.

"Aku ke kamar dulu ya, Mbak?" Yara meminta izin. Setelah Mbak Rahma mengiyakan, Yara segera melipir ke kamar yang sudah lama ia tinggalkan.

Keadaan kamar terbilang berantakan. Yara terkejut mengetahui fakta itu. Padahal, sang suami biasanya tergolong pribadi yang rapi. Entah mengapa hal itu berbanding terbalik dengan gambaran yang tampak di kamar ini.

Rencana istirahat pun Yara tunda sejenak. Ia lebih memilih merapikan kamar agar lebih enak dipandang. Setelah itu, Yara segera membersihkan badan.

Selepas urusan kamar beres, Yara ke luar menuju ke dapur. Ia bermaksud membantu Mbak Rahma yang biasanya pada sore hari seperti ini sedang memasak untuk makan malam.

Tebakan Yara benar, Mbak Rahma sedang menyiapkan aneka olahan masakan di dapur.

"Mau masak apa, Mbak?" tanya Yara.

"Mbak bingung juga sebenarnya, Ra. Menurutmu, enaknya masak apa?" Mbak Rahma balik bertanya. Giliran Yara yang kebingungan.

"Bahan yang di rumah, adanya apa aja, Mbak?" Yara memastikan.

"Ada udang, ayam, tempe, tahu, terus ada juga kangkung, dan bahan untuk sayur asem. Tinggal itu aja kayaknya," jelas Mbak Rahma.

"Mau ayam semur atau udang saus padang, Mbak?"

Mbak Rahma masih berpikir.

"Udang saus padang buatanmu enak. Rafif biasanya suka juga."

Yara segera menoleh ke sumber suara. Begitu pula Mbak Rahma. Yara kaget sekaligus panik.

"Mas Rafly?" Yara berucap pelan.

"Ya sudah, lanjutin masaknya! Keburu magrib," timpal Mas Rafly dengan senyum lebar. Lalu, lelaki itu berlalu ke arah kamar.

Senyum itu menular juga pada Mbak Rahma. Wanita itu menepuk pundak Yara seraya mengisyaratkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Kemudian, Yara segera berfokus pada bumbu dapur di hadapannya. Ia bekerjasama dengan Mbak Rahma untuk meracik sajian istimewa untuk makan malam nanti. Meskipun, Yara tidak yakin kalau suaminya akan datang malam ini. Setidaknya, tak ada sambutan negatif yang ia terima untuk saat ini.

"Selesai." Mbak Rahma berseru riang seusai merampungkan mengolah makanan.

Yara pun turut senang melihat hasil karyanya sudah tersaji di meja makan. Ada udang saus padang, sayur asem, tempe dan tahu goreng, serta sambal terasi dan tak ketinggalan pula aneka lalapan seperti daun selada, terong lalap, dan mentimun.

"Aku bersih-bersih badan dulu ya, Mbak." Yara lantas segera beranjak ke kamar selepas mendapat anggukan dari Mbak Rahma.

Setelah memasuki kamar, Yara malah tidak langsung mandi. Ia duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong.

"Apa sudah benar?"

Entah sudah berapa kali pertanyaan itu mampir pada diri Yara, ia sampai tidak bisa lagi menghitungnya. Saking seringnya ungkapan tanya serupa tak sengaja terlontar dalam hatinya.

Yara menghela napas agar sedikit lebih rileks. Lalu, ia masuk ke kamar mandi untuk sekadar membersihkan diri.

***

Menjelang malam, Yara masih betah berdiam diri di kamar. Selepas mandi tadi, ia hanya merebahkan badan sambil sesekali menggulir menu di ponsel yang sudah lama ia abaikan.

Banyak pesan dan panggilan tak terjawab. Ia  sudah membacanya sekilas. Tak ada yang begitu penting, selain nada khawatir dari sang suami yang dicurahkan melalui kata demi kata.

"Ra?" Mbak Rahma memanggil. Yara segera bangkit untuk menghampiri kakak iparnya itu.

"Iya, Mbak. Gimana?" tanya Yara selepas membuka pintu.

"Kalau sudah lapar, makan duluan aja. Mbak mau ke Musala. Mas Rafly juga udah berangkat ke Masjid." Mbak Rahma menjelaskan.

"Masih kenyang Mbak." Yara menjawab disertai dengan cengiran.

"Beneran?" tanya Mbak Rahma dengan raut tidak yakin.

"Serius, Mbak. Nanti kalau lapar, aku pasti makan," sahut Yara.

Mbak Rahma pun pasrah.

"Ya sudah. Mbak ke Musala dulu kalau gitu," putus Mbak Rahma.

Yara pun mengangguk dan langsung menutup pintu kamar setelah Mbak Rahma tidak lagi terlihat.

Gema azan sudah berkumandang, Yara segera menuntaskan kewajiban sembari menunggu Mbak Rahma pulang.

"Rasanya sudah lama nggak merasakan suasana seperti ini." Yara bergumam sewaktu mendengar lantunan salawat yang begitu merdu dari berbagai penjuru.

Tak terasa, air mata Yara menetes. Ia berpikir bahwa selama ini sisi egois pada dirinya terlalu mendominasi, sehingga ia kerap merasa sepi. Padahal, semakin dihayati, tempat ini bisa menjadi penghibur kala sunyi. Hanya saja, Yara kurang mensyukuri.

Yara tidak ikut salat jamaah di Musala malam ini. Ia memutuskan untuk memulai kegiatan rutinnya mulai besok saja. Selain jiwa, raganya juga masih tampak lelah. Maka dari itu, ia masih ingin menikmati kesendiriannya ini.

Kini, Yara semakin intens menangis di sela menghamba pada Allah. Permohonan ampun terucap tanpa henti. Sehingga, mata Yara terasa lelah dan berat karena sedari tadi dipaksa untuk memproduksi air mata.

***

Malam semakin larut, selepas menunaikan ibadah wajib tadi, Yara tak kuasa menahan kantuk. Hingga pada akhirnya, Yara memilih terpejam daripada mengisi perut yang sebenarnya sudah keroncongan.

Tidur Yara terusik karena ada pergerakan asing di sampingnya. Yara ingin membuka mata, tetapi ia enggan. Sebab, rasa kantuknya belum juga hilang. Namun, rasa lapar yang tadi ia tahan tak bisa dikendalikan.

"Tidurnya terganggu, ya? Maaf, Sayang."

Yara terkejut mendengar suara yang amat ia rindukan berada di dekatnya. Rasa kantuknya seketika menghilang tak tersisa.

"Mas Rafif?" Yara berucap lirih. Kemudian, ia terisak mendapati lelaki dengan raut sendu yang sekarang ada di hadapannya. Mata lelaki itu berkaca-kaca. Hati Yara semakin teriris melihat sorot kesedihan di mata pujaan hatinya itu.

"Liburannya sudah, ya! Jangan pergi tanpa pamit lagi. Boleh kalau mau jalan-jalan tapi jangan sendiri. Ajak Mas juga." Rafif berbicara tanpa mengalihkan pandangannya sekali pun pada Yara. Ia seolah takut sang isteri akan menghilang lagi kalau ia berkedip.

"Maaf." Yara meminta maaf dengan tulus. Rafif pun bergumam kata maaf berkali-kali juga. Lalu, keduanya larut dalam tangis. Rasa rindu yang selama ini dipendam tumpah.

Sungguh, Yara bahagia. Ternyata, pulangnya tidak sambut dengan berita duka yang selama ini mengganggu logikanya.

Ada yang bilang bahwa 'bahagia itu ketika kita menjadi sebuah alasan kepulangan yang paling nyaman bagi seseorang yang amat istimewa dalam hidup'.

"Apa aku juga menjadi tempat pulang yang nyaman bagi Mas Rafif?" hati Yara berbisik.

Yara sadar bahwa selama ini ia hanya terlalu over thinking. Ia terlalu berharap orang lain bisa mengerti dirinya tanpa memikirkan bagaimana sesungguhnya kemauan pasangannya. Kini, Yara berupaya untuk mengurangi sifat buruknya itu setelah ini. Setiap ada masalah, ia akan bertanya langsung pada Rafif akar masalahnya. Ia tidak ingin menyimpulkan sendiri seperti kejadian beberapa saat itu.

"Makan dulu, yuk! Ada hal penting yang mau Mas bicarakan." Rafif berkata dengan hati-hati. Ia tidak ingin Yara salah paham kali ini.

"Apa itu?" batin Yara. Ia berharap bukan kabar tak sedap yang bakal ia dapatkan dari penjelasan suaminya.

________________
To be continued.

Hai ... apa kabar temans? Ada yang rindu Khala? Eh. 🤭

Maaf ya ... hari Kamis lalu nggak bisa update. Ada sedikit kendala soalnya.

Malam ini rencananya mau dobel update tapi nggak jadi. Sedih. 🥺

Eh iya, selamat membaca episode terbaru Khala. 🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top