30. Ajakan

Saling memaafkan itu lebih menenangkan daripada saling mencari pembenaran satu sama lain.


🌼🌼🌼


"Nek?" ucap Yara sambil memegang tangan sang nenek. Sudut mata Yara masih sembab karena rasa takut yang berlebihan. Ia khawatir kalau terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti yang ia alami beberapa tahun silam sewaktu ia kehilangan neneknya.

"Eh, kok nangis? Nenek nggak apa-apa. Biasa ini, Cah Ayu, penyakit tua. Cuma kecapekan aja." Nenek berucap dengan nada lemah.

Pak Mantri yang tadi datang memeriksa nenek juga berkata seperti itu, bahwa nenek hanya kelelahan. Tidak perlu dirawat, hanya butuh banyak istirahat saja.

Yara lega, tetapi rasa khawatir tetap saja bertengger pada dirinya.

Kala panik melanda Yara tadi, Mbak Rahma ingin membawa nenek ke klinik yang tidak jauh dari rumah nenek. Namun, salah seorang saudara nenek mengusulkan untuk memanggil Pak Mantri langganan nenek saja. Selain jaraknya dekat, beliau bisa dipanggil ke rumah juga.

Yara dan Mbak Rahma pun setuju.

"Nanti Mbak ke sini lagi, Ra. Paling sekitar jam dua."

Itu yang dikatakan Mbak Rahma sebelum pergi dari rumah nenek. Kakak iparnya itu memang bertugas mengisi pengajian dan nenek merupakan salah satu jamaahnya. Mbak Rahma memang kerap mampir ke rumah nenek. Apalagi, jika dirasa sang nenek belum datang padahal waktunya sudah mepet zuhur. Setidaknya, itu yang ditangkap Yara dari penjelasan sang kakak ipar.

Yara harap-harap cemas, menunggu kedatangan Mbak Rahma. Semenjak pertemuan yang tak sengaja tadi, Yara memang tidak mengobrol banyak hal. Ia kelewat khawatir pada sang nenek, hingga terkesan mengabaikan Mbak Rahma.

Kini, Yara hanya berdua lagi dengan sang nenek. Saudara nenek yang tak lain adalah Bulek dari Viren tadi sudah izin pulang sejak tadi, karena harus mengirim makanan untuk suaminya yang sedang memetik kopi di ladang.

"Assalamualaikum." Seseorang tampak tergesa memasuki rumah sambil mengucapkan salam.

"Waalaikumussalam." Yara segera bangkit dan menuju ke depan setelah menjawab salam.

Sebenarnya, Yara sudah bisa menebak siapa yang datang. Namun, mau tidak mau ia harus menemuinya. Kali ini, mentalnya harus dikuatkan lagi.

"Loh?"  Sang ibu yang baru saja datang terkejut.

"Yara, Bu." Yara segera menyambut wanita tersebut. Ia menyalaminya dengan santun.

"Teman Vir, Buk. Sekaligus salah satu gurunya Izha," ucap Viren yang baru saja masuk ke rumah, menyusul sang ibu. Lelaki itu mencoba mengalihkan keheranan sang ibu.

"Teman, ya?" Yara membatin. Ia tidak menyangka kalau Viren masih menganggapnya sebagai teman. Padahal, Yara masih mengingat betapa luka yang ia torehkan lumayan dalam pada lelaki itu.

"Maaf, Ustazah. Ibu benar-benar nggak tahu." Ibunya Viren dan Virzha merasa bersalah.

"Panggil Yara saja, Bu. Jangan Ustazah." Yara menyela.

"Saya Rahmi. Panggil Bu Rahmi atau Ibuk saja kayak Vir ya boleh. Iya nggak, Le?" kata Bu Rahmi sambil menggoda Viren. Yara kurang paham maksudnya.

"Buk ... , udah sana temuin nenek dulu! Kok ngomongnya malah ngelantur," ucap Viren sambil menggiring sang ibu ke kamar neneknya.

Yara tidak ingin berpikir macam-macam. Lantas, ia segera beranjak ke dapur untuk menyajikan minuman dan camilan untuk Viren dan Bu Rahmi.

Setelah membuat secangkir kopi dan teh, Yara segera membawa ke kamar nenek. Tak lupa, ia menyertakan satu piring singkong rebus yang tadi sempat ia masak untuk sang nenek.

"Mbak Yara kok repot-repot. Duduk aja sini, dekat Ibuk," ujar Bu Rahmi dengan semangat.

"Yara mau ke kamar sebelah sebentar, Bu. Ada yang mau diurus."

Setelah mengucapkan itu, Yara ke luar kamar sang nenek. Ia berjalan agak tergesa. Ia sungguh tidak ingin terjebak dalam suasana canggung seperti tadi.

"Ah, mana ada teman yang ketika bertemu tidak ada saling sapa di dalamnya?" batin Yara berisik. Sembari berjalan dengan cepat, hatinya bergejolak. Ada perang batin yang mengisi.

Selain itu, Yara juga tidak siap jika ditanya menyoal keberadaannya di rumah ini.

"Ra!"

Tangan Yara yang hendak menyentuh gagang pintu seketika berhenti. Ia mendadak diam di tempat selepas dipanggil seperti itu.

Yara hendak menoleh. Namun, ada rasa enggan yang mengganjal.

"Boleh bicara sebentar?"

Yara masih bergeming. Ia kembali mengingat percakapan dengan Viren kala itu.

"Bukankah dulu bilangnya harus pura-pura nggak kenal kalau tanpa sengaja ketemu." Hati Yara masih berperang. Ia bisa saja menolak. Namun, ia takut Bu Rahmi akan curiga, ada yang tidak beres antara dirinya dan Viren. Sebab, jelas-jelas seorang Virendra yang katanya tidak ingin kenal lagi dengan Yara malah mengenalkan ia sebagai seorang teman.

"Sebentar saja, Ra! Aku butuh sedikit penjelasan."

Akhirnya, Yara melunak. Ia tidak ingin Viren menerka semaunya sendiri.

"Di depan saja!" putus Yara. Kemudian, Ia mendahului Yara menuju ke ruang tamu untuk memenuhi permintaan Viren. Yara duduk di kursi yang berada di dekat pintu yang terbuka lebar.

Viren pun mengekor Yara. Ia mendaratkan diri di kursi yang terhitung jauh dari tempat duduk Yara, agar tidak ada yang salah paham jika ada yang tidak sengaja melihat keduanya sedang terlibat obrolan.

"Mau cerita?" tanya Viren setelah beberapa menit tanpa suara.

Yara masih menunduk. Ia tidak ingin masalah rumah tangganya diumbar. Sebisa mungkin, ia harus menyimpan rapat problematika yang menimpa diri dan pasangannya.

"Maksudku, bagaimana bisa kamu ada di sini? Terus, kenapa hape Izha ada sama kamu? Bisa dijelaskan?" Tak ada nada penekanan dari ucapan Viren. Namun, dari tatapan tajam lelaki itu sungguh menyiratkan intimidasi. Sehingga, Yara semakin mengatupkan bibirnya.

Suasana kembali hening. Yara masih terdiam dengan pikiran semrawutnya. Sedangkan, Viren yang masih menunggu jawaban Yara mendadak gusar.

"Aku nggak berniat mencampuri urusanmu, Ra. Akan tetapi, kalau kamu sudah melibatkan adikku dan juga nenek, aku berhak tahu. Setidaknya, kasih clue sedikit saja."

"Besok, aku akan pergi dari sini. Maaf kalau merepotkan nenek." Tak ada yang mampu Yara ucapkan selain itu. Pikiran Yara seolah kosong. Seharusnya, ia bisa memprediksi kehadiran Viren jika ia masih tertahan di rumah ini.

"Bukan begitu ... ," ucap Viren kalut. Lelaki itu merasa serba salah.

Viren sepertinya kehabisan akal. Ia segera meninggalkan Yara. Ia sungguh butuh angin segar untuk meredam isi kepalanya yang hampir meledak. Apalagi, jika itu menyangkut seseorang yang namanya pernah merekah di hatinya. Bahkan, mungkin saja nama itu masih belum sepenuhnya sirna. Ia tidak bisa diam saja.

Yara merasakan sesak. Ia mematung sendirian. Pikirannya menerawang.

"Allah, maafkan aku, jika sikapku yang tak terarah meresahkan banyak orang," lirih Yara sembari mengusap air bening di matanya.

Yara berdiam diri di ruang tamu cukup lama. Ia melirik jam tangan di lengan kirinya, Ternyata, sudah jam dua.

Lamunan Yara terganggu dengan kedatangan Mbak Rahma yang memang sudah berjanji akan datang lagi seusai mengaji.

Yara menghela napas. Hatinya harus dipersiapkan secara maksimal. Terutama, ketika nantinya harus mendengar penuturan dari Mbak Rahma.

"Mbak mau ketemu nenek dulu."

Mbak Rahma pamit sebentar untuk menemui sang nenek. Selang lima belas menit, wanita itu tampak berjalan ke arah Yara. Lalu, duduk manis di samping Yara.

"Apa kabar?" tanya Mbak Rahma.

Setelah basa-basi sejenak. Mbak Rahma meminta maaf atas yang terjadi sebelum Yara pergi. Wanita itu juga sudah menjelaskan kronologinya. Namun, hati Yara belum juga terketuk.

"Suamimu kacau, Ra. Ia sudah berusaha mencari kamu, tapi nggak ketemu."

Mbak Rahma menjeda sejenak ucapannya.

"Nafsu makan Rafif berkurang. Pekerjaan katanya juga berantakan. Entah menguap ke mana jiwa profesionalnya lelakimu itu."

Ucapan Mbak Rahma menyentak Yara. Matanya yang sudah berair bertambah basah. Yara menangis tanpa suara.

"Kamu mau maafin Mbak dan keluarga, 'kan?" Mbak Rahma memohon dengan tulus.

"Kalian nggak salah, Mbak. Jadi, nggak perlu minta maaf. Mungkin, aku aja yang terlalu berlebihan menyikapinya." Yara menimpali permohonan maaf dari Mbak Rahma dengan berlagak santai.

"Saling memaafkan itu lebih menenangkan daripada saling mencari pembenaran diri satu sama lain." Yara masih merekam dengan jelas nasihat lama dari sahabatnya, Firda.

"Kalau gitu, pulang bareng Mbak, yuk! Kita luruskan salah paham itu di rumah."

Ajakan dari Mbak Rahma membuat Yara bimbang. Ia bingung bagaimana harus bersikap. Ia ingin pulang, tetapi ada sisi hatinya yang masih enggan.


_________________

To be continued.

Tak terasa, Khala tinggal 5 part lagi.

Jangan lupa terus pantengin IG SWP, ya! Bakalan ada GA setelah ceritanya berakhir.

Eh iya, selamat membaca. 🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top