29. Terbuka
Jika seseorang mau sedikit saja menyelami isi hatinya, titik terang itu akan terbuka dengan sendirinya.
🌼🌼🌼
Perang dingin belum juga reda setelah hampir dua minggu berlalu sedari masa pelarian itu. Meskipun, berulangkali Yara mencoba berdamai. Rasanya, gerbang perdamaian itu belum sepenuhnya terbuka.
"Mau ikut pengajian apa nggak, Cah Ayu?" tanya nenek pada Yara selepas sarapan bersama.
Yara masih menimbang apakah akan aman jikalau ia keluar dari tempat persembunyian. Namun, tidak ada salahnya Yara mengiyakan ajakan sang nenek. Selain menambah ilmu, Yara berharap kejelasan menyoal kemelut rumah tangganya akan terbuka dengan ia memulai membiasakan diri untuk kembali aktif berbaur dengan banyak orang.
"Jika seseorang mau sedikit saja menyelami isi hatinya, titik terang itu akan terbuka dengan sendirinya." Yara berpikir serius.
"Acara pengajiannya di mana, Nek?" Yara balik bertanya.
"Di Musala dekat gang masuk rumah ini. Letaknya pas di pojokan sana."
Yara menerawang penjelasan sang nenek. Ia mengingat kembali langkahnya dulu ketika menuju ke rumah ini. Dengan keadaan kalut, Yara tidak memerhatikan sekitar. Fokusnya hanya pada jalanan lurus dan kaki Virzha karena ia takut tertinggal. Sehingga, ia tidak sepenuhnya paham mengenai letak Musala yang disebutkan nenek tadi.
"Acaranya jam berapa, Nek?" Yara kembali bertanya.
"Nanti siang. Tapi berangkatnya menjelang zuhur. Salat jamaah dulu sebelum ngajinya dimulai," jelas nenek.
Yara pun mengangguk tanda paham. Tak lupa, ia juga mengiyakan ajakan sang nenek tadi.
"Nenek ke kamar dulu ya, Cah Ayu. Mau nyiapin bawaan pas ngaji nanti." Nenek berucap pelan sambil berjalan meninggalkan Yara.
"Memangnya bawa apa aja, Nek?" Yara penasaran. Setidaknya, ia tidak malu-maluin ketika kegiatan mengaji berlangsung.
"Cukup bawa diri saja. Palingan dengerin penjelasan Bu Nyai. Biasanya yang dibahas mengenai Fiqih dasar biar orang tua yang masih awam seperti nenek paham mengenai hukum dalam hal ibadah rutin harian."
Penuturan sang nenek yang lumayan panjang membuat Yara langsung paham.
Selepas nenek berada di kamar, Yara kebingungan. Sebab, tidak ada teman curhat untuk jangka sekitar lima jam mendatang.
Akhirnya, Yara memutuskan untuk pergi ke kamar. Sekadar merebahkan badan sejenak, agar nanti rasa kantuk tak menyerang tatkala agenda mengaji datang.
Namun, sesampainya di kamar, bukannya Yara bisa berisitirahat dengan tenang, ingatannya malah acak-acakan.
"Mas Rafif lagi ngapain, ya?" Pikiran Yara berselancar. Kalau dibilang rindu, tentu saja baris rindu itu tak bisa dihentikan. Yara tidak bisa berbohong akan hal itu. Namun, upaya memangkas rindu harus ia tahan sebentar, karena ia perlu persiapan yang matang untuk bertemu sang pujaan. Yara tidak ingin gegabah. Sehingga, keputusannya akan salah langkah.
Yara bergerak ke sembarang arah sambil memeluk guling. Rasa bersalahnya perlahan menyusup. Yara sadar bahwa ia begitu tak tahu diri karena sudah mangkir dari tanggung jawab sebagai seorang istri. Namun, keadaan memaksanya untuk berbuat begini.
"Maafkan aku, Ya Allah. Dosaku sudah menumpuk banget, ya?" Yara bermonolog. Ia tidak habis pikir dengan kenekatannya. Kalau Firda mengetahui, Yara pasti sudah dicaci maki.
Ngomong-ngomong soal Firda, Yara sudah lama sekali tidak menghubungi sahabatnya itu. Kalau ingatannya tidak salah, terakhir kali berkomunikasi sudah sejak lebaran. Setelah itu, Yara belum berkabar lagi dengan Firda.
"Apa kabar kamu, Firda?" Yara terisak lirih. Bulir-bulir air mata menetes di pipinya. Ia sedih. Biasanya, Firda adalah salah seorang pemberi solusi bagi setiap permasalahan Yara. Sungguh, Yara merindukan sahabatnya itu.
Tak ingin berlarut dalam kesedihan, Yara segera bangkit lalu bergerak ke arah meja kecil yang berada di sudut ruangan. Di sana, ia meletakkan ponsel yang dipinjamkan oleh Virzha dan sampai detik ini belum sempat ia pergunakan. Kemudian, Yara mengambil ponsel itu setelah memastikan bahwa baterainya masih ada. Namun, kenyataan tak sesuai rencana, daya pada ponsel itu nol persen alias mati total. Alhasil, dengan langkah gontai Yara meluncur ke ruang tengah yang terdapat colokan untuk mengisi daya.
Setelah itu, Yara segera ke kamar lagi sambil menunggu baterai ponsel terisi.
Waktu berlalu, sayup suara azan menyusup dalam telinga dengan samar. Yara tidak sadar kalau ia terlelap cukup lama.
"Ah, ngaji!" Yara berseru dengan mata yang sudah terbuka sempurna.
"Aku bakal telat kalau nggak gerak cepat." Yara masih merutuki diri karena harus terlena dengan rayuan bantal di kamar tadi.
"Kok sepi." Yara bergumam ketika sudah berada di luar kamar.
"Apa nenek sudah berangkat duluan, ya?" tanya Yara tak yakin.
Untuk menghilangkan keraguan, Yara berniat mencari sang nenek di kamar yang berada di samping kamar yang ia tempati. Dengan langkah hati-hati, Yara membuka pintu kamar nenek yang sedikit terbuka.
"Nek?" Yara memanggil sang nenek tetapi tak ada sahutan. Dengkuran halus terdengar. Yara lega karena ternyata ia tidak ditinggal sendirian di rumah.
Yara bermaksud ingin membangunkan sang nenek, tetapi ia urungkan. Ia takut mengganggu tidur nyenyak beliau. Akan tetapi, jika tidak dibangunkan, Yara takut kalau sang nenek akan menyesal karena tertinggal pengajian rutin tersebut.
Perlahan, Yara memperpendek jarak. Yara menyentuh lembut lengan wanita lanjut usia itu. Namun, tidak ada sahutan.
"Nek?" Yara memanggil sang nenek berulang kali. Tetap saja, tak ada jawaban.
Yara terkesiap ketika tangannya tanpa sengaja menyentuh kening sang nenek. Terkesan tidak sopan. Namun, Yara tidak punya pilihan lain.
"Astaghfirullah."
Yara panik begitu menyadari bahwa suhu kulit yang sudah renta itu agak sedikit panas.
"Aku harus gimana?"
Debaran jantung Yara berantakan. Rasa takut begitu mendominasi.
"Hape!" seru Yara.
Yara berlari ke tempat di mana ia mengecas ponsel tadi. Baterainya sudah penuh. Yara mengambil ponsel tersebut dengan sedikit tergesa. Lalu, ia segera memencet tombol power untuk menyalakan ponsel yang sejak beberapa waktu yang lalu sudah kehabisan daya.
Tangan Yara menggulir menu kontak dengan lincah. Kali ini, ia sangat terpaksa berurusan dengan orang itu lagi.
"Ketemu!" Yara bersorak senang.
Nama 'Mas Vir' tertera pada deretan kontak di ponsel Virzha. Untung saja, nama lelaki itu tidak tersimpan di kartu sim. Sehingga, Yara bisa menemukan nama itu dengan mudah.
Dengan tangan gemetar, Yara segera menekan tanda telepon berwarna hijau pada ponsel yang ia genggam. Ia menunggu dengan cemas, sekaligus takut.
"Assalamualaikum. Siapa?" Suara di seberang sana menggema.
"Waalaikumussalam."
Panggilan itu langsung diputus sepihak. Yara menggeram kesal. Lalu, ia beranjak ke kamar nenek untuk mengecek keadaan wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu.
"Masih panas," ucap Yara panik.
Yara terburu-buru ke dapur untuk mengambil air hangat dan handuk kecil di kamarnya. Berniat untuk mengompres sang nenek. Selain itu, Yara juga tak henti menelepon Virendra, lelaki yang sebenarnya penuh perhatian tetapi selalu teguh pendirian, atau bisa dibilang keras kepala seperti dirinya.
"Angkat, please!" Yara bergumam pelan. Lagi dan lagi, panggilan dari Yara diabaikan.
Tak sabar, Yara akhirnya memilih mengirim pesan singkat.
[Tolong angkat! Penting. Nenek sakit.]
Berhasil.
Tak butuh waktu lama, lelaki itu menghubungi Yara duluan.
"Maksudnya apa?" tanya Viren.
"Nenek sakit. Aku bingung harus gimana. Nggak ada siapa-siapa di sini. Nggak mungkin aku nyuruh Virzha ke sini. Selain makan waktu, aku nggak tega ninggalin nenek sendirian dalam keadaan kayak gini." Yara menjelaskan dengan menggebu.
"Hah?" Viren terkejut.
"Simpan pertanyaan yang sudah berkeliaran di kepalamu itu nanti. Sekarang, solusi untuk nenek gimana?" Yara yang mengerti rasa bingung Viren langsung menyela.
"Tolong jagain nenek dulu, Ra! Aku akan segera ke sana. Ah iya, aku juga akan mengabari saudaraku yang rumahnya dekat dengan nenek. Makanya, kamu nggak perlu khawatir."
Setelah mengiyakan permintaan Viren, Yara menutup panggilan. Ia kembali fokus pada kondisi sang nenek. Tangannya terulur memijat kaki nenek dengan lembut sembari menunggu bala bantuan datang.
"Assalamualaikum."
Suara salam dari luar menyentak lamunan Yara. Wanita itu tergopoh-gopoh menuju ke depan untuk membuka pintu sambil menjawab salam.
Pandangan Yara tertuju pada sosok yang berdiri anggun di depan pintu. Keduanya tampak terkejut dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya itu.
"Mbak Rahma?"
________________
To be continued.
Hai, Guys ... ketemu lagi dengan Khala malam ini.
Selamat membaca, ya! 🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top