26. Khalwat

"Sepi mengajarkan manusia perihal rasa cinta yang begitu dalam pada sang penguasa alam."


🌼🌼🌼


Yara merasa kedua matanya sangat berat. Kelelahan menangis membuat kepalanya pening. Mau bangun dari lelap pun seakan tidak kuat.

Sebenarnya, Yara ingin kembali ke pondok karena tidak ingin merepotkan sang nenek. Namun, mentalnya belum siap. Yara butuh mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang menyakitkan.

"Anggap saja di rumah sendiri, Cah Ayu."

Ucapan sang nenek pagi tadi begitu tulus. Entah apa saja yang sudah diceritakan oleh Virzha pada nenek, Yara tidak paham. Yara hanya menangkap penerimaan dirinya di rumah ini begitu luar biasa. Perlakuan nenek yang terkesan tidak mencampuri urusan pribadinya juga membuat Yara semakin nyaman.

"Assalamualaikum."

Setelah menjawab dalam hati, Yara segera berlari ke luar kamar.

"Siapa, Nek?" Yara bertanya pada nenek yang sedang duduk santai di tikar yang terletak di ruang tengah.

"Kayak suara Virzha." Nenek menimpali dengan santai.

Dugaan nenek ternyata benar. Virzha kembali ke kediaman nenek dengan membawa satu kresek penuh dan satu bingkisan besar yang Yara tidak mengetahui apa saja isi di dalamnya.

"Banyak banget yang dibawa?" tanya sang nenek begitu melihat kantong kresek dan bingkisan lumayan besar yang dibawa Virzha.

"Tadi Mas Vir ke pondok, Nek. Bawain banyak makanan. Sebagian tak bawa ke sini."

Penjelasan Virzha membuat degup jantung Yara bergemuruh. Perhatian Yara tak berpaling sedikit pun dari Virzha.

"Mbak Yara tenang saja! Aku nggak bilang sama Mas Vir kalau Mbak di rumah nenek kami." Virzha berbisik di dekat Yara.

"Nenek kami?" Yara memastikan.

"Lah? Mbak Yara belum tahu kalau nenek ini beneran nenekku asli? Wah, parah. Sedari tadi ngapain aja, Mbak?" Virzha berucap sambil menunjukkan raut sedih.

"Mas Vir tumben nggak mampir, Zha?" Nenek bertanya pada Virzha untuk mengalihkan pembicaraan.

"Ada urusan, Nek. Kapan-kapan lagi mampir."

Yara lega mendengar ucapan Virzha. Sungguh, ia tidak siap jika harus bertemu dengan Virendra dalam keadaan kacau semacam ini.

"Padahal, aku sengaja nyuruh Mas cepat pulang, biar nggak mampir ke rumah nenek. Untungnya, Mas Vir percaya aja sama alasanku." Virzha membatin.

Senyum Virzha merekah tatkala mengingat percakapan dengan sang kakak melintas dalam pikirannya.

"Biar aku aja yang ngantar jatah untuk nenek, Mas. Kasian ibu kalau ditinggal sendirian di rumah lebih lama."

Begitulah kira-kira alasan Virzha tadi.

"Kamu tadi ke sini jalan atau ...?"

Yara penasaran. Pasalnya, jaraknya sangat jauh kalau ditempuh dengan berjalan. Yara merasakan sendiri efeknya. Rasa pegal di sekujur tubuh baru terasa sore ini.

"Naik sepeda, Mbak. Pinjam punya pengurus." Virzha menjawab dengan enteng. Yara heran, bisa-bisanya pengurus percaya begitu saja.

"Nek, Virzha mau ke pondok sekarang. Sebentar lagi Magrib. Nenek sehat terus, ya! Nitip Mbak Yara."

Yara tercengang dengan pesan Virzha pada sang nenek. Lagi dan lagi, Yara diibaratkan seperti anak kecil yang dititipkan pada neneknya karena orangtuanya akan berangkat kerja.

"Mbak Yara baik-baik di sini. Kalau sudah lelah main petak umpet, kabari aku aja! Nanti aku jemput."

"Virzha!" seru Yara. Ia begitu kesal dengan sikap bocah remaja itu yang memperlakukannya seperti anak kecil.

Virzha hanya terbahak sambil melangkah ke luar rumah.

"Nggak usah dipikirkan ucapan Virzha! Anak itu memang suka jahil." Sang nenek menenangkan.

Yara termenung. Ia berpikir kalau tingkah lakunya sekarang memang seperti anak kecil.

"Orang dewasa mana yang ketika punya masalah harus kabur seperti ini?" pikir Yara.

Padahal, Yara juga paham, sudah sangat jelas hukumnya, ke luar rumah tanpa izin sang suami tidaklah dibenarkan. Namun, ia dengan sadar malah melanggar aturan.

"Tapi ..., hatiku butuh diselamatkan dulu, 'kan?" Yara terus menyangkal. Ia berusaha membela diri untuk ke sekian kali.

"Makan dulu yuk, Cah Ayu!" ajak sang nenek yang langsung dibalas anggukan oleh Yara.

Yara mengikuti sang nenek ke dapur. Ia membantu menata lauk pauk yang dibawa Virzha tadi ke meja makan.

"Virzha sering ke sini ya, Nek?" tanya Yara sembari mengambil peralatan makan di rak yang terletak di samping kulkas.

"Nggak mesti. Anak itu nggak bisa ditebak. Paling seminggu sekali ke sini. Kadang ya tiba-tiba sudah ada di depan kayak tadi."

Yara pun mengangguk.

Setelah itu, Yara dan nenek makan dengan hening.

Yara menyantap makanan begitu lahap. Entah rasa ikan bakar dan sambal terasi yang terlalu nikmat, atau karena perutnya sejak pagi belum terisi.

"Nambah, Cah Ayu!"

Yara hanya membalas perkataan nenek dengan senyum. Ia malu. Ia takut kalau terpergok terlalu rakus ketika makan.

Akhirnya, setelah sekitar setengah jam, acara makan pun usai. Saat itu pula, bertepatan dengan suara azan Magrib berkumandang.

Setelah membersihkan alat makan yang kotor, Yara mengambil air wudu lalu ia pamit ke kamar untuk menunaikan kewajiban. Sang nenek pun mengiyakan.

Di dalam kamar, Yara terdiam cukup lama.

"Cah Ayu!" Nenek berseru dari luar kamar.

Yara pun lantas bangkit. Ia membuka pintu kamar perlahan.

"Kenapa, Nek?" tanya Yara begitu menatap sang nenek yang sudah memakai mukena berdiri di depannya.

Yara terkejut ketika sang nenek menyodorkan satu bingkisan besar pada Yara.

"Apa ini, Nek?" Yara masih terheran.

"Kata Virzha tadi, buat ganti Mbak Yara. Nenek lupa mau bilang." Nenek menimpali.

Setelah berterimakasih dan sang nenek pergi dari kamar yang ia tempati, Yara lantas beranjak ke sisi ranjang.

Yara berlanjut membuka bingkisan yang ia terima tadi. Yara kaget melihat isinya. Ada beberapa pasang baju di dalamnya, termasuk untuk perlengkapan pakaian dalam pun ada. Ia sebenarnya malu saat melihat tadi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ia begitu bahagia mendapat perhatian kecil seperti ini.

Di bagian paling bawah, ada satu kotak kecil yang membuat Yara semakin terharu. Tanpa dibuka pun, Yara paham isinya.

Hai, Mbak Cantik. Kalau Mbak baca tulisan ini, pasti bingkisan dariku sudah dibuka. Diterima, ya! Kalau kurang pas, Mbak bisa cari sendiri di Market Place. Maklum, aku masih kecil, jadi kurang berpengalaman bagaimana caranya memperlakukan wanita.

Nggak nyambung ya, Mbak? Haha.

Dari,
Lelaki tertampan di As-Syarif.

Note:
Ponsel ini cuma boleh dipinjam aja, Mbak. Sorry. Eh iya, ada kartu perdana juga di dalam kotaknya.

Yara menangis haru setelah membaca isi surat dari Virzha. Ia tidak menyangka kalau remaja yang terlihat urakan itu memiliki sikap manis juga.

Yara beralih pada tujuan awalnya ke kamar. Waktu terus berjalan, ia harus segera melaksanakan kewajiban jika tidak ingin kebablasan.

Setelah merapikan kamar dan berganti pakaian, Yara segera salat. Ia berusaha untuk bisa beribadah dengan khusyuk. Meskipun, isi kepalanya sedang berkecamuk.

"Allah."

Yara memegangi dadanya yang terasa sesak setelah rangkaian salat yang ia lakukan berakhir. Ia tidak bisa lagi menahan kucuran deras pada kedua netra yang sudah sekuat tenaga ia redam.

Kali ini, Yara merasa kesepian lagi. Setelah berbulan-bulan berdamai, rasa sepi itu kembali merajai. Namun, Yara terus berupaya untuk tidak terpaku pada derita yang ia rasa. Ia bertekad untuk mengendalikan diri sekuatnya.

"Bismillah. Aku bisa." Yara berbisik.

Saat ini, Yara ingin memanfaatkan kesepian ini untuk lebih dekat pada Allah.

"Waktu yang tepat untuk berkhalwat." Yara menghujam dalam hati.

Pada umumnya, istilah khalwat digunakan untuk menggambarkan dua insan yang berduaan dengan lawan jenis tanpa ikatan. Namun, dalam konteks tasawuf, makna khalwat berbeda. Asal kata khalwat adalah khala, yang bermakna sepi. Sehingga, khalwat dalam ranah sufi memiliki makna berdua dengan Tuhan, bukan dengan sesama insan.

Sehingga, Yara menyimpulkan bahwa sepi mengajarkan manusia perihal rasa cinta yang begitu dalam pada sang penguasa alam.

Itulah sebabnya, sewaktu dihadapkan dengan kondisi kesepian begini, Yara ingin lebih banyak melakukan diskusi dengan Allah. Ia harus bisa meluangkan waktu sebaik-baiknya untuk bermunajat pada Allah dengan melafalkan serangkaian kalimat baik sebanyak yang ia bisa.

"Kamu kuat, Yara!"

_________________

To be continued.

Hai, hai ... Ada yang nungguin Yara?

Selamat membaca, ya! 🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top