25. Menepi
"Menepi memang bukanlah solusi. Akan tetapi, hal itu juga boleh dilakukan sebagai upaya untuk muhasabah diri."
🌼🌼🌼
Yara sudah berjalan cukup jauh. Ia tidak lagi peduli dengan kakinya yang sudah pegal. Yara hanya ingin segera menepi. Menyiapkan diri untuk menghadapi hal buruk yang bakal terjadi.
Semenjak melihat situasi yang tidak mengenakkan di ruang tamu ndalem, Yara segera menarik kakinya untuk memasuki asrama. Tepatnya, di kamar Hasna.
Yara hanya mengambil salah satu dompet yang sengaja ia tinggal di kamar Hasna beberapa waktu yang lalu. Di dalam dompet itu, terdapat kartu ATM lamanya, yang biasa digunakan untuk menampung hasil bulanan dari kos-kosan peninggalan sang nenek. Biasanya, Hasna juga meminjamnya ketika keluarga gadis itu mengirim uang.
Yara sengaja tidak membawa ponsel atau kartu-kartu yang diberi Rafif. Yara harus membiasakan diri tanpa fasilitas dari sang suami mulai saat ini. Selain itu, niatnya menepi harus benar-benar mulus.
"Mbak Yara mau ke mana? Buru-buru sekali?" tanya Hasna tadi, ketika Yara mampir sebentar mengambil dompet.
Yara hanya tersenyum sekilas tanpa memberi penjelasan lebih. Hatinya yang kacau tidak bisa berpikir jernih. Yara hanya ingin berlari sejauh mungkin. Ia merasa dikhianati di sini. Tempat yang seharusnya menjadi ruang kedamaian, malah berubah menjadi ruang yang menyakitkan.
"Sepi," lirih Yara.
Yara semakin mempercepat langkah setelah merasa ada yang mengikuti. Sebenarnya, ia merinding. Pasalnya, ia tidak paham tempat ini. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Setelah melintasi persawahan yang kala itu pernah ia datangi, Yara kebingungan.
"Apa ada perkampungan setelah ini?" Yara bergumam.
Yara tetap pada tujuannya yang tak pasti. Meskipun, ia sesungguhnya tidak mengetahui ujung dari langkah kaki yang membawanya.
"Ada," jawab satu suara yang menyentak Yara.
Yara hendak menoleh pada sumber suara. Namun, ia takut. Badan Yara gemetar. Ia memang nekat, tetapi kalau dihadapkan dengan keadaan menakutkan seperti sekarang, Yara tidak mengerti harus berbuat apa.
"Mbak Yara sudah gila, ya?"
Yara akhirnya berbalik setelah yakin bahwa pendengarannya tidak salah mengenai pemilik suara itu.
"Apa-apaan sih sampai senekat ini? Mbak paham nggak betapa bahayanya lingkungan sini. Mbak kalau udah bosan hidup, nggak kayak gini caranya. Impulsif banget."
"Sok dewasa."
Itu yang ada dalam pikiran Yara ketika mendapatkan nasihat dari anak muda di depannya.
"Kamu ngapain ngikutin aku, Virzha? Aku nggak nyuruh kamu peduli sama aku. Kamu urus diri saja sendiri. Sekarang, jadwal kegiatan masih jalan. Kamu malah keluyuran."
Yara meluapkan kekesalannya.
"Mbak Yara mau ke mana?"
Bukannya membahas masalah kegiatannya, Virzha malah menanyakan tujuan Yara.
"Aku tanya sekali lagi, Mbak Yara mau ke mana? Apa Mbak paham daerah sini? Nggak, 'kan?"
Virzha mengerang frustasi.
"Apapun masalah yang Mbak hadapi saat ini, Mbak harusnya hadapi. Nggak malah kabur kayak gini." Virzha mengomel.
"Kamu sok tahu. Aku nggak kabur. Aku hanya mau menepi sejenak."
Virzha tertawa sumbang mendengar penuturan Yara.
"Menepi ya, Mbak? Sampai area pondok terlewat sangat jauh. Lumayan juga, ya?" Virzha bertutur santai sembari menatap bangunan pondok yang hanya terlihat segaris saja.
Yara terkejut. Ia tidak menyangka kalau area As-Syarif terasa sudah tak terjangkau.
"Apa keputusanku sudah tepat?" Yara bertanya pada diri.
Kali ini, Yara membenarkan ucapan Virzha tadi bahwa tindakannya memang sungguh impulsif.
"Mau pulang ke pondok, Mbak?" tanya Virzha.
Yara langsung menggeleng. Ada rasa kecewa yang masih bertengger di sudut hatinya.
Yara sempat berpikir jika percakapan Yara dengan Mbak Rahma tadi hanya upaya kakak iparnya itu untuk menunda agar dirinya tidak terlalu cepat mengetahui kebenaran yang berusaha disembunyikan.
"Kalau saya terserah Rafif. Meskipun hal tersebut tidak melanggar aturan agama, tetapi ada beberapa pertimbangan yang harus dipikirkan dengan matang. Menurutmu gimana, Fif?"
Kalimat panjang dari Mas Rafly begitu mengoyak hati Yara. Apalagi, lelaki yang duduk membelakanginya hanya diam saja. Meski Yara hanya melihat dari kaca jendela, Yara paham siapa dia.
Pemandangan yang terkesan membahagiakan bagi sang wanita di dalam ruangan itu juga mencubit dinding hati Yara. Meski terbilang samar, tetapi Yara bisa menangkap ekspresi penuh kebahagiaan itu dari senyum malu-malu sosok yang begitu enggan Yara sebutkan namanya.
"Biasanya kalau diam saja, tandanya setuju Mas Rafly." Ucapan seorang ibu dari gadis yang mengganggu pikiran Yara itu kian menambah lara.
Yara semakin sesak membayangkan selentingan percakapan itu. Mematung saja rasanya tidak cukup untuk mengobati nyeri. Pada akhirnya, Yara memilih pergi.
"Mbak?" tanya Virzha sedikit cemas.
Yara menyeka bulir bening yang menetes di kedua netra.
"Tiba juga ya yang aku takutkan. Aku cuma nggak nyangka aja waktunya akan secepat ini. Aku nggak siap, Tuhan."
Hati Yara bergejolak.
"Kasih tahu aku, kira-kira ada nggak tempat yang sepi tapi nggak horor di sekitar sini!"
Virzha tampak mencermati perkataan Yara.
"Mbak Yara beneran nggak mau balik ke pondok?" tanya Virzha sekali lagi.
Yara pun mempersembahkan gelengan dengan mantap.
"Menepi memang bukanlah solusi. Akan tetapi, hal itu juga boleh dilakukan sebagai upaya untuk muhasabah diri."
Virzha kembali pada mode sok bijak. Yara hanya diam menyimak.
"Ikuti aku, Mbak!"
Virzha mengajak Yara menuju ke arah utara, yang tujuannya berlawanan dengan arah pondok. Keduanya menyusuri area sawah dengan hening, dengan Virzha berjalan di bagian depan dan Yara mengikuti di belakang.
Setelah melewati jalanan becek di pematang sawah selama kurang lebih lima belas menit, Yara dan Virzha memasuki area perkampungan yang lumayan sepi. Rumah penduduk begitu jarang. Kalau Yara tidak salah taksir, hanya ada sekitar lima rumah saja. Itu pun jarak per rumah lumayan jauh.
"Kita mau ke mana?" tanya Yara dengan dada bergemuruh. Yara agak ketakutan. Namun, ia percaya lelaki muda yang berada di hadapannya.
"Vir!" seru Yara yang seketika membuat langkah Virzha terhenti.
"Apa sih, Mbak? Ikut aja. Nggak boleh rewel."
Yara menggerutu mendengar ocehan Virzha.
"Sampai, Mbak." Virzha berucap.
"Tapi, aku nggak bisa nemenin Mbak Yara lama-lama. Ini saja aku sudah pasti kena hukuman." Virzha melanjutkan.
"Rumah ini, tempat bolosku. Mbak Yara diam-diam aja. Jangan kasih tahu pengurus. Awas kalau sampai bocor!"
Yara terbahak merespons nada ancaman Virzha.
Yara terkesima melihat penampakan rumah yang ada dalam radar matanya. Bangunannya sederhana, tetapi kesan sejuk dan damai begitu kentara. Ada banyak bunga yang tertata rapi di sekeliling rumah. Bunga mawar dengan aneka warna dan anggrek dengan beragam jenis juga tak luput mengitarinya.
Yara tak henti menunjukkan kekaguman.
"Anak ganteng kok ke sini?" tanya seorang nenek yang kisaran usianya sudah menyentuh angka tujuh puluh itu.
Nenek itu kebetulan baru saja keluar rumah. Entah hendak ke mana, Yara pun tidak paham.
"Memang nggak boleh ya, Nek? Nggak kangen sama aku?" Virzha mengucapkan itu sambil mengerling.
Sang nenek lantas memukul lengan Virzha dengan agak keras.
"Aduh! Sakit, Nek. Aku nangis, ah."
Virzha pura-pura sedih.
Yara hanya geleng-geleng melihat tingkah Virzha. Yara mengerti sekarang, dengan kelakuan sok manis remaja itu, makanya tidak heran kalau beberapa santri putri banyak yang mengelukan.
"Si Cantik itu siapa?" Sang nenek bertanya pada Virzha.
Yara tersenyum lebar ketika pandangannya bertubrukan dengan sang nenek. Tatapan teduh nenek itu mengingatkan Yara pada neneknya. Yara sedih sekaligus bahagia karena rindunya sedikit terobati.
"Namaku Yara, Nek." Yara mengenalkan diri sembari mencium tangan sang nenek.
"Ayo masuk, Cah Ayu! Sepertinya capek," ujar sang nenek dengan lembut.
Yara pun mengikuti sang nenek. Sedangkan Virzha, lelaki muda itu sudah terlebih dahulu menyelonong masuk.
"Makan dulu, Nang!" perintah sang nenek pada Virzha.
"Nggak usah, Nek. Langsung balik pondok saja."
Yara kaget. Ia mengira kalau Virzha akan berada di sini lebih lama. Ternyata, ia akan ditinggalkan di rumah asing ini seorang diri secepat ini.
"Virzha nitip Mbak Yara ya, Nek. Kalau nakal, dijewer saja!"
Mata Yara membola. Bisa-bisanya Virzha berbicara seperti itu.
Setelah berpamitan dengan sang nenek, Virzha berpesan pada Yara untuk benar-benar merenung di sini, bukan malah larut dalam tangis terus. Lelaki itu menyuruh Yara untuk memanfaatkan waktu menepi dengan baik.
"Jangan lama-lama menepi, Mbak. Kalau Mbak pergi kayak gini, masalah yang ada nggak bakal ikut lari." Virzha melanjutkan sesi ceramahnya.
"Ingat ya, Mbak! Aku membawa Mbak ke sini bukan berarti aku sepakat dengan tindakan Mbak. Ini hanya sebatas simpati saja."
Virzha menghela napas.
"Tetap menjadi Mbak Yara yang selama ini kukenal ya, Mbak!"
Virzha mengakhiri pesan-pesannya.
Yara merasa seolah ia adalah seorang adik kecil yang sedang diceramahi kakaknya ketika ditinggal di pondok. Anehnya, Yara menurut. Padahal, kalau dilihat dari segi usia, keduanya terpaut jauh.
Kini, Yara tidak lagi membantah seperti sewaktu di sawah tadi.
"Kamu jangan bilang siapa-siapa kalau aku di sini!" ancam Yara.
Virzha hanya mengacungkan jempol tanda setuju.
Setelah itu, Yara ditinggal sendirian.
"Apa proses menepi yang aku lakuin ini sudah benar?"
_________________
To be continued.
Selamat membaca. 🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top