24. Negatif
"Hanya karena pandangan orang lain terhadap kita negatif, jalan pikiran kita tidak seharusnya ikutan negatif. Sebab, dunia akan terasa lebih damai jika kita terus berpikir positif."
🌼🌼🌼
"Mas berangkat kerja dulu ya, Sayang." Rafif menatap wajah sendu Yara. Sebenarnya, ia tidak tega meninggalkan sang isteri yang sedang berduka. Namun, tanggung jawab yang sudah menumpuk tidak bisa ditunda.
"Sudah ah, nggak boleh sedih lagi. Nanti ikhtiar lagi, ya?" Rafif masih mencoba menenangkan.
Mendengar itu, tangis Yara malah semakin menjadi. Yara masih bersedih sewaktu mengingat kejadian pagi tadi. Sekitar pukul tiga, Yara terbangun. Saat ia ke kamar mandi, ia dikejutkan dengan kedatangan tamu yang tak diundang. Ada rasa kecewa yang tersirat. Sebab, harapan yang sudah dibangun begitu kuat ternyata hanya berupa kebahagiaan sesaat.
Yara sudah berpikir kalau ia memang benar-benar ngidam tadi malam. Pasalnya, ia sudah telat satu bulan. Namun, yang terjadi hanyalah siklus bulanan Yara saja yang acak-acakan.
"Jangan nangis terus. Mas nggak tenang nanti," ungkap Rafif sedih.
Lelaki itu memilih duduk kembali, di tepi ranjang tepat di samping Yara yang sedang memeluk selimut dengan erat.
Yara hanya diam saja hingga membuat Rafif gelisah sendiri.
Rafif lantas melirik arloji yang melingkar di lengan kirinya. Ternyata, jadwal meeting dengan klien tinggal beberapa jam lagi. Akan tetapi, melihat kesedihan Yara, Rafif sungguh berat hati beranjak dari tempat ini.
"Mas nanti pulang ke sini?" tanya Yara sambil menurunkan selimut yang tadi membungkusnya.
"Belum pasti, Sayang. Lihat nanti ya," jawab Rafif yang langsung mencipta raut kecewa di hati Yara.
"Nggak apa-apa 'kan, Sayang?" Rafif bertanya dengan tidak enak. Rasanya, ia enggan bangkit.
"Iya, nggak apa-apa," sahut Yara datar.
Yara tidak ingin egois. Ia harus ikhlas melepas suaminya bekerja. Sebab, Yara percaya bahwa kerelaan itu dapat mempermudah urusan suaminya.
"Beneran?" tanya Rafif bimbang. Setelah mendapat anggukan dari Yara, Rafif pun tersenyum lega. Ia lantas berpamitan untuk berangkat kerja.
***
Selepas kepergian sang suami, Yara segera keluar kamar. Ia lantas menuju ke dapur asrama untuk membantu memasak di sana.
"Mau ke mana, Ra?" tanya Mbak Rahma begitu melihat Yara.
"Mau ke dapur belakang, Mbak. Lama nggak bantu-bantu." Yara menimpali pertanyaan Mbak Rahma dengan santai.
"Sedih ditinggal pergi?"
Yara berhenti sejenak. Ia kaget mendengar ucapan Mbak Rahma yang tiba-tiba. Seketika, Yara meneliti penampilannya dari kaca jendela yang berada di samping rumah. Yara lantas tertawa singkat. Ternyata, kedua bola matanya memang masih sembab.
"Nggak, Mbak. Aku bukan anak kecil lagi," sahut Yara kesal.
Mbak Rahma tersenyum meledek.
"Biasanya gitu kalau berada jauh dari pasangan. Bawaannya sedih tanpa sebab," kata Mbak Rahma sambil memainkan cangkir yang ia pegang.
Lalu, Yara mengurungkan niatnya untuk ke dapur. Ia malah beralih ke kursi yang terletak di sisi tempat duduk Mbak Rahma.
"Apa iya, Mbak?" tanya Yara basa-basi. Padahal, ia juga paham bahwa setiap pasangan itu memilih alur cerita yang beragam. Apa yang dirasakan pasangan lain, belum tentu terjadi pada Yara. Namun, Yara selalu suka mendengar Mbak Rahma bercerita, selalu banyak ilmu di dalamnya.
"Iya, mungkin," ucap Mbak Rahma cuek.
Yara melongo. Yara mendesah, antusiasme yang ia bangun untuk menjadi pendengar baik pupus. Dengan entengnya, Mbak Rahma menjawab 'mungkin'.
"Wah, gitu saja?" pikir Yara.
"Tapi, kalau pas berada jauh gini malah seru. Bisa terus memupuk rindu. Nanti, giliran ketemu, bisa jadi tambah syahdu," ucap Mbak Rahma sambil menerawang.
Yara pun mengikuti arah pandang Mbak Rahma.
"Tidak ada yang istimewa." Yara membatin.
Yara dan Mbak Rahma saling diam. Yara pun bingung.
"Mau cerita sesuatu nggak, Ra? Kali aja ada yang mengganjal. Biasanya, sehabis cerita hatinya bisa lebih adem." Mbak Rahma menawarkan diri untuk menampung keluh kesah Yara.
"Mbak Rahma nggak sibuk?" Yara memastikan.
"Lagi santai. Anak-anak sudah ada yang pegang," jawab Mbak Rahma.
Yara senang. Akhirnya ada kesempatan untuk berbagi kisah dengan Mbak Rahma.
"Masalah anak, Mbak." Yara bersuara.
Mbak Rahma manggut-manggut, menunggu Yara melanjutkan cerita.
"Terkadang, aku suka cemas. Takut kalau nggak sengaja bikin kecewa Mas Rafif karena belum bisa ngasih keturunan." Yara berucap pelan.
"Aku juga nggak enak dengan pikiran buruk orang-orang tentangku, Mbak. Terutama, perihal keturunan yang berkualitas. Apa mungkin aku memang nggak pantas dipercaya ya, Mbak? Biar garis keturunan Mas Rafif tetap terjaga."
Yara menunduk menahan tangis. Ia sadar kalau ucapannya kurang pantas didengar. Kalau ada Rafif, pasti lelaki itu akan menegurnya habis-habisan.
"Kualitas keturunan seperti apa yang kamu maksud, Ra?" tanya Mbak Rahma dengan tegas.
"Aku dan Mas Rafif 'kan nggak sekufu, Mbak. Beda dengan ...," ucap Yara terbata. Ingatan tentang wanita cantik yang juga merupakan anak seorang kyai kembali menyita pikiran Yara.
"Kalau seperti ini, kamu berarti nggak percaya dengan Rafif, Ra. Mana mungkin suamimu itu memilih pasangan tanpa pertimbangan yang matang. Kamu yang udah bertahun-tahun bersama dengannya harusnya lebih paham. Kamu dipilih Rafif karena memang ada hal istimewa pada dirimu yang nggak ada pada wanita lain. Itu menurut, Mbak," ujar Mbak Rahma.
"Sejak kapan seorang Yara minder gini, sih?"
Yara merasa tersentil. Yara juga tidak mengerti dengan isi hatinya yang kerap tidak beraturan akhir-akhir ini.
"Istighfar, Yara!" perintah Yara dalam hati.
Yara memantapkan diri untuk memohon ampun berkali-kali, agar Allah mau memaafkan menyoal prasangka buruk yang tidak mampu ia hindari.
"Mbak nggak mau ngasih wejangan sok bijak gitu, Ra. Mbak yakin kamu bisa mengatasi masalah ini dengan baik," kata Mbak Rahma.
"Mau Mbak bilang banyakin sedekahnya, ya Mbak tahu dengan jelas nominal yang kamu keluarkan tiap bulannya berapa untuk pesantren ini atau bahkan yang sering kamu lakukan sembunyi-sembunyi itu. Meskipun, sedikit banyak Mbak juga tahu. Makanya, Mbak merasa nggak berhak menasihatimu perihal sedekah."
Mbak Rahma memberi jeda sejenak. Lalu, ia melanjutkan ucapannya.
"Mau Mbak bilang tingkatkan lagi ibadahnya, ya keliru. Mbak saja yang sedari bayi tinggal di pesantren, belum tentu kualitas imannya sebaik kamu. Apalagi, progres beberapa bulan terakhir, luar biasa sekali, Ra. Mbak sampai mengira kalau kamu berniat menjadi wali saking getolnya tirakat."
Mbak Rahma mengucapkan itu sembari menahan tawa.
"Mbak Rahma berlebihan. Nggak baik itu namanya," gerutu Yara. Ia sebal karena menurutnya, ucapan Mbak Rahma banyak yang dilebih-lebihkan. Bisa dibilang, ia begitu alergi terhadap pujian semacam itu. Sebab, menurut Allah, belum tentu benar.
"Percaya saja sama Allah, jangan mudah tersulut dengan pendapat orang lain."
Yara mengangguk paham. Perkataan Mbak Rahma kali ini sungguh memicu rasa lega yang tak terkira.
"Tes kehamilanmu boleh saja negatif, tapi isi kepalamu jangan!" Mbak Rahma menambahkan.
"Ada-ada saja Mbak Rahma, nih," kata Yara sambil tertawa.
"Lah iya to? Hanya karena pandangan orang lain terhadap kita negatif, jalan pikiran kita tidak seharusnya ikutan negatif. Sebab, dunia akan terasa lebih damai jika kita terus berpikir positif."
"Terimakasih ya, Mbak," ucap Yara penuh haru.
Yara berusaha untuk membuang pikiran negatif pada dirinya. Ia tidak ingin digerogoti dengan asumsi liar yang bisa saja merusak nalar.
Setelah puas menuangkan kegelisahan, Yara pun bergegas ke dapur, sesuai tujuan awalnya tadi. Namun, sesampainya di halaman depan ndalem, pikiran negatif yang baru saja ia kubur, mendadak kabur. Pemandangan yang menyita tepat di hadapannya membuat pertahanan diri Yara hancur.
Yara merasa sedang dibodohi. Hatinya seolah tercabik ribuan kali. Sungguh nyeri.
"Allah, apa lagi ini?" Yara bergumam.
Semakin lama, langkah Yara semakin membatu. Ia seakan berubah menjadi patung es yang beku dan lama kelamaan akan mencair karena terkena hawa panas. Ia sangat lemas. Tentu saja, bukan tubuh Yara yang seperti terbakar itu. Matanya. Ya, matanya memanas menatap panorama yang tidak pernah ia prediksi sebelumnya.
Sungguh, Yara seakan diajak untuk senam jantung pagi-pagi.
________________
To be continued.
Selamat membaca. 🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top