23. Keinginan
"Salah satu kebahagiaan sederhana bagi seseorang adalah ketika suatu keinginan dapat terwujud dengan mudahnya tanpa butuh usaha lebih keras lagi."
🌼🌼🌼
"Tiba-tiba pengen ayam bakar," lirih Yara di sela-sela sesi mengaji kitab yang sedang berlangsung malam ini.
Hasna yang duduk di samping Yara seketika menoleh.
"Apa mbak?" tanya Hasna setengah berbisik.
"Hah?" Yara pun hampir kelepasan berteriak. Pasalnya, dirinya tadi hanya bergumam. Ia tidak menyangka kalau Hasna mendengar.
Tak ingin membuat kegaduhan, Yara hanya menggeleng pelan. Suasananya kurang kondusif jika harus membahas perihal ayam bakar sekarang.
Sebenarnya, Hasna masih penasaran. Sebab, indra dengarnya tidak dapat menangkap dengan jelas suara Yara.
"Dibahas nanti saja, abis ngaji sekalian," bisik Yara yang ditimpali dengan anggukan oleh Hasna.
Aroma asap arang yang menguar pada ayam bakar masih membayangi Yara. Apalagi, ditambah dengan sambal terasi dadakan dan lalapan, rasanya akan sangat nikmat. Perut Yara seolah menjerit, ingin segera meminta haknya.
"Sabar ya, perut!" Yara melafalkan mantra tersebut berulang kali. Tentu saja, ia hanya berucap dalam hati.
Namun, Yara seketika teringat, ia tidak sedang berada di pusat kota. Tentunya, ia akan kesusahan mendapatkan salah satu menu favoritnya itu. Di sini, ia tidak bisa mengandalkan aplikasi pesan online seperti yang biasa ia lakukan ketika ingin menyantap sesuatu tempat tinggalnya dulu.
"Nggak mungkin bilang ke Mas Rafif juga. Belum jatahnya Mas pulang." Yara lemas memikirkan itu.
"Mbak! Mbak Yara... !" seru Hasna.
"Hah? Gimana?" Yara gelagapan menjawabnya.
"Ya Allah, Mbak. Berarti sejak tadi Mbak Yara nggak menyimak sama sekali?" Hasna berucap sedikit kencang.
Yara pun lantas menepuk pelan lengan Hasna. Bisa-bisanya gadis itu berkata agak keras perihal kekeliruannya tadi.
"Suaranya, Hasna!" kata Yara sebal.
"Eh, udah pada bubar ya?" tanya Yara begitu melihat ruangan kelas sudah tampak kosong.
"Udah dari setengah jam yang lalu kali, Mbak," sahut Hasna berlagak jengkel.
"Maaf," sesal Yara.
Yara merasa bersalah karena tidak bersungguh-sungguh dalam belajar malam ini. Pikirannya tidak bisa diajak kompromi. Ia malah terang-terangan berkelana tanpa henti.
"Nggak apa-apa, Mbak, yang lagi jauh dari radar sang pujaan hati mah dimaklumi," ujar Hasna sembari tersenyum jahil.
Yara pun langsung mendelik mendengar itu. Sungguh, bukan itu alasan isi kepalanya tidak tentu kali ini.
"Ngamar yuk, Mbak!" Hasna berkata demikian sambil melangkah ke luar ruang kelas. Ia bermaksud ingin segera beristirahat di kamar kesayangannya.
"Heh! Ngamar? Maksudnya?" Yara terkejut saat menyerap ucapan Hasna.
"Ke kamar, Mbak. Bersihkan isi kepala Mbak Yara, Ya Allah," ucap Hasna dengan agak meledek.
"Kalau udah bersuami bebas ya, Mbak. Jalan pikirannya mau berselancar ke mana pun nggak ada yang larang." Hasna mengucapkan sederet kalimat itu sambil tertawa.
"Nggak gitu juga, Hasna. Eh, tunggu! Main tinggal aja," ucap Yara seraya mengejar langkah lebar Hasna.
Hasna agak memelankan langkah ketika mengetahui Yara kewalahan mengimbangi jalannya.
Kelas yang dipakai mengaji malam memang agak jauh dari kamar Hasna. Oleh sebab itu, gadis itu mempercepat jalannya agar segera sampai di kamar. Setelah itu, ia bisa langsung merebahkan badan.
"Lari apa jalan, sih? Cepet amat," keluh Yara.
"Mbak Yara aja yang jalannya lambat." Hasna menimpalinya dengan santai.
"Mbak Yara tadi bilang apa pas ngaji? Aku kayak denger sesuatu gitu." Hasna bertanya ketika Yara hendak berbelok ke arah ndalem yang jalan pintasnya terletak di samping kamarnya.
Yara berhenti sejenak, tepat di depan pintu kamar Hasna.
"Hampir lupa. Tadi tuh aku pengen ayam bakar," timpal Yara.
"Hampir tengah malam ini, Mbak," kata Hasna heboh.
Jadwal mengaji malam untuk santri pengabdian memang sampai pukul setengah sebelas. Kalau pun penjual ayam bakarnya ada, pihak pesantren tidak mungkin mengizinkan. Sebagai ketua keamanan, bisa saja ia memberikan akses istimewa untuk Yara. Namun, Hasna tidak enak dengan santri lainnya. Ia tidak ingin menunjukkan contoh tidak baik pada adik-adik di asrama.
"Namanya juga pengen, Hasna. Si Perut mana paham waktu." Yara membalasnya dengan kesal. Kalau keinginan itu dapat dicegah, pasti sudah sedari tadi ditahan. Namun, Yara tidak begitu ahli perihal mengendalikan rasa ingin yang tanpa diduga merasuk pikiran.
"Ada tempat ayam bakar enak, Mbak. Lokasinya di depan gang pas mau masuk ke area pondok ini. Hari biasa gini kadang tutupnya tengah malam. Kalau musim puasa gitu pas waktu sahur juga buka, Mbak." Hasna menjelaskan dengan semangat.
Yara berbinar mendengar itu. Namun, matanya seketika redup ketika mendengar kelanjutan kalimat Hasna.
"Aku nggak berani ngasih izin, apalagi nemenin ya, Mbak. Meski sebenarnya Mbak Yara nggak perlu izin sama aku juga, sih, tapi 'kan nggak enak juga sama Bunda Rahma. Selain itu, maruah pesantren bisa terancam kalau ada santri putri berkeliaran jam segini, Mbak." Hasna mengucapkan itu dengan nada sedih.
Yara pun maklum. Sebab, peraturan yang sudah dibuat sedemikian rupa tetap harus dipatuhi. Yara juga mengerti bahwa membeli makanan di luar pesantren bisa menjadi sebuah pelanggaran ringan.
Benar kata Hasna tadi, Yara juga tidak ingin mencontohkan sesuatu yang buruk dengan melanggar peraturan semacam itu.
"Mbak, ngidam ya?" Hasna bertanya pelan. Ia sesungguhnya ragu sekaligus takut menanyakan hal itu. Namun, rem pada bibirnya seolah tak berfungsi dengan baik.
Yara mencerna pertanyaan Hasna. Ia tidak yakin.
"Mbak nggak usah dijawab. Aku tahu, kata tanyaku tadi kurang sopan. Jangan dimasukin di hati ya, Mbak!" Hasna berkata penuh penyesalan.
Yara hanya membalasnya dengan tawa. Ia tidak mungkin marah ditanyai perihal ngidam begitu. Syukur-syukur kalau kata tersebut menjadi doa yang ampuh, Yara malah bahagia.
"Eh, Mbak. Kalau emang lagi pengen banget, bisa minta tolong Kang Amir," saran Hasna.
Yara hanya mengangguk singkat menanggapinya.
Kang Amir termasuk santri kepercayaan Mas Rafly. Yara juga sudah kenal dengannya. Ia pernah beberapa kali minta tolong pada salah satu santri putra itu. Namun, menyoal ayam bakar, Yara sungkan jika harus merepotkan.
"Ya udah, santai, Hasna! Lagian, masalah ayam bakar bisa ditunda besok kok." Yara berucap demikian untuk menenangkan dirinya sendiri. Entah mengapa, malam ini hatinya begitu sensitif sekali.
"Tak tinggal dulu, ya! Jangan nangis." Yara mengucapkan itu sambil sedikit berlari. Ia harus segera kabur sebelum mendapat omelan Hasna yang bisa sepanjang rel kereta api itu.
Setelah melewati gerbang kecil yang menghubungkan antara asrama dan ndalem, langkah Yara terasa ringan. Ia akan melupakan masalah ayam bakar sesampainya di kediaman yang ia tempati beberapa bulan belakangan ini.
"Sepi." Yara kembali bersedih ketika menapaki rumah ini, apalagi tanpa sang suami. Rasa senyap akan segera meliputi.
Bagi Yara, kesepian itu seakan menikam hati. Namun, Yara mengumpulkan kembali sisa tekad yang sudah terpatri. Ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Maka dari itu, ia tidak boleh lemah jika ingin segera menaklukkan keresahan yang ia alami menyangkut rasa sepi.
Yara segera menghapus sisa-sisa nyeri yang tanpa sengaja merambat dalam hati, lagi. Sebaiknya, ia segera mengistirahatkan diri. Agar esok, dirinya bisa lebih berdamai dengan isi hati.
Setelah menuntaskan peperangan batin, Tangan Yara lantas terulur ke depan untuk menggapai gagang pintu. Namun, sebelum daun pintu tersebut tersentuh, ia dikejutkan dengan deru mobil yang tidak asing. Yara segera berbalik. Raut wajahnya sontak cerah ketika melihat lelaki gagah dengan senyum merekah yang melambaikan tangan ke arahnya. Kejutan yang sangat indah.
"Baru pulang ngaji?" tanya lelaki yang tidak lain adalah Rafif, suami kesayangan Yara.
"Iya," jawab Yara singkat sambil menyalami suaminya itu.
Rafif pun tersenyum ketika mengamati tingkah sang isteri yang salah tingkah saat Rafif dengan sengaja mengelus lembut pucuk kepala wanitanya itu.
"Malu," ucap Yara sambil mengerucutkan bibirnya.
Rafif hanya tertawa menimpalinya.
"Lapar, nggak? Mas bawa ayam bakar tempatnya Pak Karim yang letaknya depan gang ini, Sayang. Kesukaan Mas sejak dulu. Semoga kesayangan Mas ini juga suka," kata Rafif sambil mengajak Yara memasuki rumah.
Senyum Yara pun tampak sumringah. Seolah sudah melakukan telepati, sang suami bisa memahami keinginan hati sang isteri.
"Salah satu kebahagiaan sederhana bagi seseorang adalah ketika suatu keinginan dapat terwujud dengan mudahnya tanpa butuh usaha lebih keras lagi," pikir Yara.
_______________
To be continued.
Selamat membaca.🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top