21. Renungan

"Allah mendatangkan rezeki berupa anak bisa saja menunggu saat sepasang insan sudah siap, baik mental maupun material."


🌼🌼🌼


"Jalan-jalan, yuk!" Ajak Rafif ketika Yara masih merapikan mukena.

"Boleh." Yara menjawab dengan singkat.

Akhir-akhir ini, Rafif memang kerap berlaku spontan. Terkadang, jalan pikirannya benar-benar di luar nalar.

"Sungguh susah ditebak," pikir Yara.

Setelah melakukan kehebohan dengan terornya yang tak berkesudahan, Rafif kembali bertingkah mengejutkan pagi ini. Menurut Yara, saat ini masih terlalu dini untuk sekadar jalan-jalan. Pencahayaan di luar pun masih redup, hanya ada beberapa lampu jalan yang sinarnya tampak remang.

Namun, Yara tidak bisa menolak.

"Mumpung dekat."

Begitulah isi hati Yara. Selagi tak terhalang jarak, wanita itu ingin memanfaatkan momen bersama.

Kemarin sore, Yara dibuat panik karena mendapat panggilan dan pesan singkat bertubi-tubi. Ternyata, sang penelepon dan pemberi pesan yang memenuhi ponsel Yara adalah sang suami. Padahal, dari beberapa pesan yang masuk, tidak ada hal penting. Selain, pesan berisi pernyataan 'kangen' dan pesan cinta lainnya yang berhasil membuat Yara berbunga.

"Ganti baju dulu, ya?" Yara meminta izin pada suaminya karena dirasa pakaian yang ia kenakan kurang menarik.

"Nggak perlu. Gini aja udah cantik," ucap Rafif santai. Namun, efeknya bisa membuat pipi Yara bersemu.

"Lagian, cuma keliling desa ini aja, Sayang. Itu pun nggak seluruhnya. Kalau sudah capek ya pulang. Palingan nanti mampir sebentar, nyari sarapan," jelas Rafif.

Yara pun pasrah.

"Ayok!" Rafif mengajak Yara untuk segera berangkat karena takut kesiangan. Sebab, jika sudah terik, jalan paginya menjadi tidak asyik.

Setelah berpamitan pada Mbak Rahma, Yara dan Rafif langsung bergerak menyusuri jalanan yang masih terbilang sepi, hanya kawasan pondok saja yang sudah banyak orang-orang berseliweran.

"Dingin?" tanya Rafif ketika melihat sang isteri yang agak menggigil.

Pagi kali ini, cuacanya memang sedang berkabut. Sisa gerimis tadi malam juga masih menyambut. Sehingga, hawa dingin seketika menyusup.

"Nggak, Mas," timpal Yara yang membuat Rafif terkekeh karena mengetahui isterinya yang mencoba berkilah.

"Bawa sini tangannya!" Ucapan Rafif yang tanpa basa-basi itu mengejutkan Yara.

Yara memandang ke sekeliling. Ia takut kalau ada santri atau orang yang kebetulan lewat melihat.

"Nggak ada siapa-siapa. Halal juga, 'kan?" ujar Rafif sambil tersenyum lebar.

Dengan tingkah malu-malu, Yara akhirnya menyerahkan tangannya untuk digenggam oleh sang suami.

Setelah itu, Yara dan Rafif melanjutkan langkah dengan tangan keduanya yang saling bertaut.

"Nyaman."

Perasaan itulah yang Yara rasakan kali ini. Jika boleh memilih, Yara ingin selalu bersama dengan lelaki di sampingnya ini, hingga batas waktu yang Tuhan beri.

"Pohon kopi," lirih Yara sembari mengamati pepohonan kopi yang berjejer rapi di sebelah kanan dan kiri.

Rafif sontak berhenti. Ia mengikuti arah pandang sang isteri.

"Baru tahu?" tanya Rafif heran.

Sekitar lima ratus meter dari pondok, memang ada berbaris-baris pohon kopi, tanaman khas di kota ini. Bahkan, pendapatan dari kopi ini tergolong tinggi. Di sekitar tempat ini, jumlah tanaman kopi tidak terlalu banyak, hanya kisaran seperempat hektar saja yang kebetulan terhubung dengan dusun tetangga. Namun, setahu Yara, ada kawasan tertentu yang ditanami kopi sampai ratusan hektar totalnya.

"Sebenarnya, udah pernah lihat. Cuma, nggak tahu aja kalau di dekat pondok ada juga."

Jawaban Yara memang benar. Selama menetap di pondok, ia memang belum pernah pergi sejauh ini. Paling mentok ya di mini market depan pondok.

"Nanti ketemu perkampungan padat setelah ini. Ramai juga. Ada nasi pecel yang enak di sana. Mau?"

Yara seketika antusias mendengar pemaparan dari Rafif tersebut.

"Sepagi ini, apa udah buka?" Yara penasaran. Pasalnya, dunia masih gelap. Mungkin saja, jam enam pun belum genap.

"Sudah, Sayang. Dari selepas Subuh udah mulai jualan. Soalnya, langganan penduduk sini, terutama bagi orang yang mau ke kebun."

Yara pun manggut-manggut menimpali penjelasan dari Rafif.

Yara dan Rafif kembali terdiam, merasai hangat yang menjalar karena tangan keduanya yang masih saling menggenggam.

Bagi Yara, agenda jalan pagi kali ini begitu berkesan. Selain bisa merasakan sejuk yang sudah lama tidak dirasakan, Yara juga bisa kembali merenda keintiman dengan sang suami.

"Tempat pecelnya masih jauh?" tanya Yara setelah melewati sepetak pohon kopi. Kali ini, pemandangan rumah penduduk yang tersaji di depan mata.

"Bentar lagi sampai. Di ujung jalan sana, yang ada orang-orang antre itu." Rafif menjelaskan seraya menunjuk sekumpulan orang yang berbaris rapi di depan warung makan yang terletak di dekat pos ronda.

"Lumayan ramai," gumam Yara lemas.

"Tenang, Sayang! Biasanya, yang makan di tempat didahulukan. Jadinya nggak perlu nunggu lama," kata Rafif yang membuat Yara kian bersemangat.

Sesampainya di warung pecel itu, banyak orang yang menyapa Rafif. Yara hanya tersenyum ramah menanggapi orang-orang yang juga turut beramah-tamah dengannya.

"Loh, Mas Rafif. Lama nggak ke sini," ucap seorang ibu paruh baya yang merupakan pemilik warung pecel ini.

Rafif menjawab sekenanya, tetapi kesan sopan juga masih ada.

"Dibungkus apa dimakan di sini, Mas?" tanya ibu penjual pecel itu.

"Makan di sini saja, Bu. Kangen tempat ini," timpal Rafif yang membuat tawa ibu itu menggema.

"Mbak e namanya siapa, Mas? Lupa e. Maklum, sudah tua," tanya ibu pecel itu lagi, dengan tangan yang masih berkutat pada ulekan yang ia pegang.

"Yara, Bu." Yara menyahutinya dengan lembut.

"Cantik, kayak orangnya."

Yara hanya tersenyum tipis menimpali pujian itu.

"Masih betah berdua, nggih?"

Rupanya, ibu penjual pecel masih melontarkan pertanyaan lanjutan. Yara tertegun mendengarnya. Hatinya begitu nyeri menangkap kata tanya yang selama ini begitu Yara hindari.

"Nggih, Bu. Masih mau pacaran dulu," sahut Rafif.

Rafif paham kegundahan sang isteri. Maka dari itu, ia menjawabnya dengan datar seolah tanpa beban. Padahal, isi hatinya juga bergetar tidak karuan.

Rafif berpikir, pertanyaan sensitif semacam ini seharusnya dipendam. Namun, kebanyakan orang memang tidak paham jika kata yang dianggap biasa saja itu bisa merusak tatanan kehidupan.

"Iya, Mas. Nggak apa-apa kalau mau berdua dulu. Anak 'kan rezeki ya, Mas. Pasrah sama Allah. Semoga diberi jalan terbaik biar bisa dikaruniai buah hati pada waktu yang tepat."

"Aamiin," jawab Yara dan Rafif dalam hati ketika mendapatkan doa baik itu.

"Nih ya, Mas dan Mbak e, kalau belum siap mental menjadi orangtua, sebaiknya memang ditahan dulu. Menjaga amanah itu berat ya, Mas. Awal nikah dulu, pengen nangis rasanya pas mau punya anak. Efek nikah muda, Mas. Masih takut gitu bawaannya. Begitu sudah dapat satu, la kok pengen nambah terus, sampai hampir selusin baru kapok," cerita ibu penjual pecel itu sambil tertawa.

Tawa itu pun menular pada Yara dan Rafif.

Yara tampak lega karena tidak ada nada mencaci yang ia terima.

"Allah mendatangkan rezeki berupa anak bisa saja menunggu saat sepasang insan sudah siap, baik mental maupun material."

Kira-kira seperti itu kesimpulan Yara dari cerita yang didapat di warung pecel ini. Baginya, kata-kata itu begitu melegakan. Sungguh, kalimat sederhana dari ibu penjual pecel itu bisa menjadi sebuah renungan.

Baru kali ini, Yara memperoleh respons positif dari orang lain, bukan komentar sadis nan tajam yang terkadang sangat menyakitkan. Rentang pernikahan yang sudah berumur tahunan, tetapi belum juga dianugerahi momongan, terkadang sangat meresahkan.

Selama ini, segala macam upaya juga sudah dilakukan oleh Yara dan Rafif, dari mulai yang tradisional dan medis pun tak ketinggalan. Ketika periksa ke dokter beberapa waktu yang lalu, sistem reproduksi keduanya tidak bermasalah.

Jika demikian, apa boleh buat? Bisa jadi, Tuhan memang belum mengizinkan. Sehingga, sang hamba pun harus tetap pasrah pada keadaan.

Selain itu, pondasi diri dan kesiapan mental Yara dan Rafif mungkin juga harus kembali diasah.

"Terimakasih ya, Bu," bisik hati Yara.

Menurut Yara, ucapan hikmah tidak harus diperoleh dari orang-orang dengan tingkat pemahaman agama yang tinggi. Perkataan baik dari siapa saja yang ditemui bisa menjadi perenungan diri.

________________

To be continued.

Akhirnya, Khala update jam segini, nggak tengah malam lagi.


Eh iya, selamat membaca, ya ... 🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top