20. Nasihat

"Kejujuran harus selalu diutamakan, jika ingin suatu hubungan berumur panjang."

🌼🌼🌼


"Mbak Yara kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Hasna sembari meletakkan kitab kecil yang berisi bait-bait Alfiyah yang ia pegang. Gadis itu menyudahi hapalannya. Konsentrasinya tiba-tiba saja terganggu.

Sepengetahuan Hasna, semenjak Yara memasuki kamar selepas salat Dhuha berjamaah tadi, aura wanita yang sudah seperti saudaranya sendiri itu tampak tidak wajar.

Yara yang terlihat sedang merenung itu terkesiap mendengar nada tanya yang tak biasa dari Hasna. Bukannya membalas pertanyaan itu, Yara hanya tersenyum singkat sambil melirik sekilas ke arah Hasna.

Pikiran Yara kembali berkelana, menyelami sepotong kejadian seminggu yang lalu sewaktu berlibur di pantai dengan sang suami.

"Mbak Yara!" seru Hasna kesal karena sedari tadi gadis itu merasa dicuekin.

Sepetak kamar asrama yang biasanya seperti tak ada tanda-tanda kehidupan itu, bertambah senyap. Itulah mengapa Hasna uring-uringan. Ada teman di dalam kamar tidak menambah ramai. Yang ada malah nuansa seperti berada di kuburan yang mewarnai. Begitulah kira-kira yang Hasna pikirkan.

"Ngapain teriak-teriak, Has?" Yara heran dengan Hasna yang tampak menekuk wajahnya.

Ah iya, beberapa saat yang lalu panggilan Yara pada gadis yang sedang duduk dengan raut jengkel itu sudah berubah, tak lagi menggunakan embel-embel 'Mbak'. Biar terkesan akrab, pikir Hasna kala itu. Meskipun, jika sudah bersama, dua orang dengan rentang usia tak sama itu kerap berbeda pendapat.

"Mbak Yara tingkahnya nggak jelas dari tadi. Aku khawatir, Mbak. Takutnya, Mbak Yara nggak sengaja ketempelan penunggu pantai gitu." Hasna mengoceh tanpa henti.

"Hus! Ngomongnya!" sahut Yara sambil melotot tajam.

Yara tidak habis pikir dengan isi hati Hasna. Bisa-bisanya gadis itu berasumsi demikian. Padahal bukan itu yang membuat Yara menebar senyuman.

Sang penghuni pantai tidaklah membuat Yara seperti orang kerasukan. Namun, momen romantis dengan sang pemilik hati yang membuat Yara bersikap laiknya orang tidak waras.

Sesaat setelah menjelaskan kesalahpahaman antara Yara dan Rafif waktu itu, drama romantisme kedua insan itu seketika berlanjut. Hanya dengan merenda lagi detail kejadian saat itu, pipi Yara sudah memanas. Rasa malunya merayap ke sekujur tubuh.

"Kejujuran harus selalu diutamakan, jika ingin suatu hubungan berumur panjang."

Semenjak itu, Yara dan Rafif sepakat untuk saling jujur jika ada suatu hal yang mengganjal. Jujur lebih baik, daripada membiarkan segenap rasa prasangka dan semacamnya mengendap. Sebab, tidak jujur adalah cara paling gampang untuk membuat sebuah ikatan itu hancur.

"Sumpah deh, Mbak. Sepertinya Mbak Yara butuh pengobatan intensif. Kalau terlalu dibiarkan terlalu lama, nanti Mbak akan gila beneran," ucap Hasna serius.

Yara memicingkan mata. Ucapan Hasna memang tampak serius, tetapi yang dirasakan Yara tidak begitu.

Yara segera beranjak tanpa menoleh sedikit pun. Pandangannya lurus ke depan.

"Mbak Yara marah, ya? Duh, sini dulu dong! Maafin kata-kataku yang sudah kelewatan ya, Mbak!" Hasna melontarkan kata maaf yang disertai dengan tampang memelas.

Yara tertawa lepas menangkap nada penyesalan Hasna.

"Siapa yang marah, sih? Aku cuma mau ndalem. Mau nyiapin menu istimewa. Soalnya, jatahnya Kang Mas ke sini," jelas Yara sambil terkekeh.

Hasna akhirnya bisa bernapas lega.

***

Selepas dari kamar Hasna tadi, Yara tidak langsung menuju ke ndalem. Ia mampir sejenak ke mini market depan pondok untuk membeli bumbu-bumbu dapur dan perlengkapan lainnya yang sudah habis.

"Mbak Cantik!" seru seseorang yang suaranya sangat familiar di telinga Yara.

"Mau beli apa, Mbak?" tanya Virzha, tanya sang adik dari seseorang yang ia enggan menyebutkan namanya itu.

"Kepo!" timpal Yara.

"Serius tanya loo aku, Mbak." Virzha masih saja penasaran.

"Aku serius nggak mau jawab." Setelah mengatakan itu, Yara lantas menuju rak-rak berisi bahan yang ia butuhkan.

Selang setengah jam, Yara sudah selesai berbelanja.

Sesampainya, di depan pintu mini market tersebut, Yara mengamati dua remaja sedang mengobrol di kursi panjang yang terletak di sisi kanan pintu. Hati Yara terketuk untuk menimpali.

"Mas Viren mah enak. Mau lanjut belajar di mana saja bisa. Ekonomi keluarga masih bagus-bagusnya. Makanya, dia kebagian enaknya. Giliran aku yang kena apesnya," ujar Virzha dengan tatapan sendu.

"Beruntung 'kan kakakku satu-satunya itu. Lah aku? Boro-boro melanjutkan ke sekolah yang keren. Aku malah terdampar di sini sekarang," lanjut lelaki muda pada teman sabayanya itu.

"Eh, Mbak Cantik. Sudah selesai belanjanya?" tanya Virzha dengan senyum lebar.

Yara merasakan hawa aneh. Ia paham bagaimana sebenarnya sisi hati anak muda itu. Senyum cerah yang selama ini disuguhkan ternyata sebatas topeng untuk menutupi kesedihan.

"Kalian nggak ada kegiatan?" Yara sengaja tidak menjawab pertanyaan Virzha tadi. Ia merasa itu tidak penting. Lalu, Yara malah balik bertanya.

"Jeda sebentar, Mbak." Virzha mengucapkan itu dengan santai.

Yara hanya manggut-manggut menanggapi penjelasan Virzha.

"Vir, Mbak denger loo kata-katamu tadi," ungkap Yara sambil mengambil posisi duduk di kursi kecil yang tidak jauh dari bangku yang diduduki Virzha dan temannya.

"Yang mana, Mbak?" tanya Virzha yang dibubuhi dengan cengiran.

"Tentang keluh kesah yang kamu suarakan tadi," sahut Yara yang seketika membuat Virzha terdiam.

"Aku salah ya, Mbak? Kesannya kurang bersyukur gitu, ya?" Virzha bertanya tanpa henti.

"Kamu nggak salah kok. Wajar jika merasa kurang beruntung seperti itu. Nggak apa-apa juga kalau berpikir tidak diistimewakan. Namanya juga manusia, 'kan? Merasa tidak baik-baik saja dengan jalan hidup yang nggak sesuai rencana itu bukanlah dosa." Virzha semakin menunduk menerima asupan kata dari Yara.

"Daripada mengeluh, apa nggak lebih baik kamu belajar dengan sungguh-sungguh di tempat ini. Pada dasarnya, menimba ilmu di mana saja itu sama. Asalkan, tujuannya juga harus jelas. Niatkan semuanya karena Allah. Semoga kebaikan selalu menyertaimu."

Yara menghela napas sebelum melanjutkan kata-katanya. Ia sering kesal jika ada orang yang gemar mengeluh. Padahal, dirinya juga sering melakukan itu.

"Terimakasih nasihatnya, Mbak," gumam Virzha masih dengan nada sedihnya.

"Jadi, sekarang paham apa yang harus dilakukan?" tanya Yara spontan hingga Virzha terkejut.

"Sekarang, coba teliti lagi dirimu lebih dalam, Vir! Bagaimana penghambaan dirimu pada Allah. Ibadah wajib dan sunnah tetap terjaga dengan baik apa nggak? Jangan-jangan nih ya, Allah sedang menguji rasa cintamu padaNya. Ketika diberi sesuatu yang mengecewakan, kamu tambah mendekat atau malah semakin menjauh?" ucap Yara dengan lembut.

"Ya sudah. Kalau gitu, Mbak duluan."

Setelah itu, Yara melenggangkan kaki menuju ke ndalem. Rasanya ringan meluapkan nasihat sederhana itu. Sungguh, Yara tidak berniat menggurui. Bagi Yara, memberi nasihat pada orang lain adalah salah satu upayanya memberi pencerahan pada diri. Sebab, jika sampai ia melakukan kesalahan. Ia akan sangat tidak nyaman karena telah melanggar kata-katanya sendiri.

Barang belanjaan tadi sudah Yara susun rapi di dapur. Saat ini, Yara sedang di kamar, menunggu azan Dhuhur yang sebentar lagi berkumandang.

Sebelum mendaratkan diri di ranjang, mata Yara terpaku pada ponsel pintarnya. Ada notifikasi yang masuk jika dilihat dari lampu di pojok atas menyala.

"Lima panggilan tak terjawab dan sepuluh pesan?" lirih Yara dengan segera menekan tanda pemberitahuan itu.

Badan Yara panas dingin. Ia takut kalau ada kabar buruk yang terjadi.

"Huft ...!"

________________
To be continued

Sudah malam banget ya update-nya.

Boleh dibaca besok aja ya, Guys. Sekarang, waktunya istirahat.

Selamat malam. 🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top