17. Ragu

Keraguan itu timbul karena banyak hal. Salah satunya adalah ketika seseorang mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan. Akan tetapi, jika keyakinan dalam diri kuat, tidak ada celah bagi rasa ragu itu untuk menyelinap.

🌼🌼🌼

"Tanggung jawab!" teriak Rafif agak keras.

Suara yang menggema secara tiba-tiba itu membuat lelaki yang sedang bersantai di ruang kerjanya itu terkesiap.

"Apa-apaan kamu, Fif? Baru datang sudah bikin heboh," gerutu Alan.

Ya, lelaki yang baru saja didatangi oleh Rafif adalah Alan, sahabat sekaligus rekan kerjanya.

"Adikmu itu dijaga dengan baik. Biar jarinya nggak main ketik sembarangan. Kerjaannya bikin kacau saja."

Rafif mengeluarkan amarahnya yang sejak tadi malam belum tersalurkan. Ia panik. Namun, untuk menemui sang kekasih hati pun belum bisa. Pasalnya, pekerjaannya masih menggunung karena ada kasus yang lumayan pelik yang harus segera diselesaikan.

Alan, dengan tanpa dosanya, tertawa terbahak. Lelaki itu tidak dapat menyembunyikan rona bahagia pada wajahnya.

"Kamu 'kan paham gimana karakter Alin. Sifat isengnya itu memang sudah mendarah daging. Jangankan kamu, aku saja yang memang berbagi rahim dengannya juga kerap menjadi korban kejahilan gadis itu," jelas Alan santai.

"Ya, benar. Aku memang hapal di luar kepala tingkah iseng gadis itu. Tapi, Alin sangat keterlaluan kali ini. Gimana dengan Yara? Apa ia juga akan langsung paham? Lalu, apa menurutmu kesalahpahaman itu nggak bakal terjadi lagi pada kami setelah apa yang dilakukan adikmu semalam? Aku merasa paling dirugikan dalam hal ini," Rafif mendengus keras.

Rafif memang mengetahui dengan baik perihal sifat iseng Alin. Adik kandung Alan itu memang terkadang bersikap di luar kendali. Seperti halnya kali ini, Rafif sungguh tidak bisa memprediksi.

Tadi malam, awalnya Rafif tidak menaruh curiga ketika Alin meminta foto bersama. Sebenarnya, mereka tidak hanya berdua. Ada Alan dan salah seorang teman Alin yang ikut serta. Mereka tidak sengaja bertemu di salah satu restoran tempat Rafif dan Alan bertemu dengan klien, untuk membahas kelanjutan kasus yang sedang ia tangani. Namun, siapa sangka Alin akan bergabung di meja mereka setelah sang klien undur diri. Rafif yang tidak memiliki kecurigaan apapun langsung menyetujui. Toh, mereka sudah saling kenal sebelumnya, kecuali dengan satu wanita yang datang bersama Alin saat itu.

Kini, Rafif sungguh frustasi. Ia tidak yakin kalau istrinya akan begitu saja percaya dengan kebenaran ceritanya. Bahkan, sampai detik ini pun, beberapa panggilan dan pesan singkat untuk sang istri belum juga dibalas.

"Jelasin baik-baik. Aku yakin Yara akan mengerti. Aku mau bantu jelasin juga nggak mungkin. Istrimu saja masih belum kamu bebaskan dari penjara. Mau nyamperin ke sana juga jauh banget. Harus melewati hutan belantara. Ih, ngeri," ucap Alan disertai dengan senyum meledek. Rafif makin sebal dibuatnya.

Tanpa berkata-kata lagi, Rafif segera meninggalkan ruangan Alan. Ia melangkah ke ruang kerjanya. Di kursi kebesarannya, Rafif merenung. Ia tidak fokus bekerja. Kalau saja bisa, ia ingin cepat-cepat meluncur ke As-Syarif, menemui istrinya. Namun, tanggung jawabnya di tempat kerja mengharuskan ia tertahan lebih lama di sini.

Padahal, Rafif biasanya akan bersikap tenang jika ada suatu permasalahan yang menimpa. Namun, tidak untuk kali ini. Rafif takut sang istri akan benar-benar pergi dari sisi.

***

"Salah satu penyesalan terbesarku adalah bertemu denganmu, lagi. Aku tidak menyangka bahwa seseorang yang begitu kudamba menjadi penyebab luka paling utama. Untuk saat ini, kuharap, kamu mau berpura-pura tidak kenal saja jika tanpa sengaja kita bertatap muka. Seperti halnya kamu yang telah bahagia, aku juga berhak merasakan rasa yang serupa. Ingat, Ra! Seberat apapun masalahnya, jangan jadikan orang ketiga sebagai bahan pelampiasan."

Viren, lelaki yang tanpa sengaja Yara torehkan luka, kata-katanya begitu menyentak hati. Pertemuan singkat di teras ndalem tadi, sampai kini masih menghuni isi pikiran Yara.

Yara memang sudah berhasil meminta maaf secara langsung dengan Viren. Dengan ditemani sang adik, Virzha, akhirnya Viren mau mendengarkan penjelasan dari Yara. Virzha yang tidak paham permasalahan dua orang dewasa itu pun hanya diam tanpa pernah sedikit pun menyela. Meskipun, kerutan samar terkadang tercetak sempurna ketika ada penjabaran yang mungkin saja tak terjangkau nalarnya.

Setelah percakapan sejenak tersebut, hati Yara lega sekaligus ada gundah yang menyiksa. Yara mau tidak mau harus menerima keputusan Viren untuk tidak saling menyapa ketika pertemuan itu terjadi lagi setelahnya. Yara pasrah. Asalkan, tidak ada dendam yang bersarang di hati, itu sudah lebih dari cukup bagi Yara.

"Berpura-pura tidak kenal, apa bisa?" tanya Yara pada diri. Namun, ia tidak ingin berlarut dengan permasalahan itu. Sebab, ada satu ujian rumah tangga yang datang menyapanya lagi. Maka dari itu, Yara harus lebih memprioritaskan masalah yang sedang dihadapi dengan sang suami.

Saat ini, sudah pukul dua siang. Yara masih betah mendekam di kamar. Padahal, di luar suasananya terbilang riuh. Sebagian santri yang baru saja menikmati libur lebaran sudah berdatangan. Sebab, kegiatan inti akan dimulai nanti malam.

"Ragu," gumam Yara sembari menatap langit-langit kamar.

Rasa ragu tanpa sengaja memenuhi akal. Sungguh, isi kepala Yara benar-benar acak.  Yara tidak yakin dengan pasti hal apa yang membuatnya ragu. Sikap Rafif atau dirinya sendiri.

"Ragu-ragu itu adalah tipu muslihat setan. Maka dari itu, perkuat keimanan! Agar setan tak mudah memengaruhi pikiran."

Itu nasihat lama, tetapi efeknya masih mengena sampai sekarang. Setidaknya, untuk diri Yara.

"Keraguan itu timbul karena banyak hal. Salah satunya adalah ketika seseorang mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan. Akan tetapi, jika keyakinan dalam diri kuat, tidak ada celah bagi rasa ragu itu untuk menyelinap."

Bagi Yara, itu salah satu kalimat penenang yang ampuh. Rasa yakin pada diri Yara harus diperkuat agar keraguan tidak lagi mengikat.

"Tidak bolehkah aku ragu jika gambar itu seolah nyata?" Yara bermonolog.

Sungguh, Yara sudah mencoba sekuat tenaga untuk menghilangkan bayangan mengenai foto suaminya yang tengah berdua dengan wanita lain, tetapi gambar itu seakan menancap lebih tajam. Pada akhirnya, Yara susah melupakan.

***

Di lain tempat, seorang lelaki masih sibuk dengan ponsel hitam miliknya. Ia adalah Rafif, yang sampai saat ini masih belum berhasil menghubungi sang istri.

"Angkat, please!" seru Rafif sambil mondar-mandir di ruangan. Entah sudah dering ke berapa, tetapi belum ada tanda-tanda akan diangkat juga.

Rafif berpindah ke dekat jendela dengan tetap memainkan ponselnya. Padahal, Mbak Rahma bilang wanitanya itu sudah kembali ke kamar sejak tiga jam yang lalu. Namun, ponsel hitam yang Rafif pegang tak kunjung mendapat balasan.

"Pulang sana!" teriak Alan begitu memasuki ruang kerja milik sang bos yang pikirannya sedang tidak karuan itu.

"Lama-lama lantainya licin kalau kamu nggak berhenti nyetrika tempat ini, Fif," lanjut Alan.

Rafif masih bergeming.

"Lagian, Alin juga sudah mau ikut jelasin kalau kamu gagal meyakinkan istrimu," kata Alan menenangkan.

Rafif berbalik arah. Ia menatap Alan sebentar. Lalu, ia berlari kecil ke arah meja kerjanya. Ia mengambil kunci mobil.

"Nitip kantor!" seru Rafif seraya beranjak ke luar. Alan hanya tersenyum singkat menanggapinya.

"Dasar bucin," ucap Alan lantang. Rafif hanya terkekeh sembari melanjutkan langkah.

Sesampainya di tempat parkir, Rafif lantas menuju ke arah mobil kesayangannya. Ia menjalankan kendara roda empat itu, memecah jalan raya menuju wilayah yang memiliki julukan kota di balik bukit itu.

Rafif melirik sekilas jam tangan yang bertengger di lengannya. Ia menghela napas. Lima jam perjalanan sungguh melelahkan. Ia memperkirakan kalau ia akan sampai di As-Syarif sekitar Magrib nanti, atau bahkan bisa lebih.

Biasanya, Rafif tidak akan mengemudi seorang diri jika sudah kelelahan bekerja. Namun, demi sang istri, kini ia rela menyusuri jalanan sepi sendirian.

Kendaraan yang dikemudikan Rafif melaju dengan kecepatan sedang. Meskipun, lelaki itu sangat ingin bertemu dengan pujaan hati, tetapi ia masih sayang dengan keselamatan diri.

"Tunggu aku, Sayang," ucap Rafif semangat.

________________

To be continued.

Selamat membaca episode terbaru dari Khala.

Semoga suka. 🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top