15. Ketupat
Sejauh mana seseorang berjalan mengikuti segala arah mata angin, titik tumpu yang paling utama adalah menuju pada Tuhan.
🌼🌼🌼
Keakraban terpancar jelas dari wajah orang-orang di masjid. Ada rasa bahagia yang tak bisa ditutupi. Termasuk, Yara. Sedari kemarin, ia dan para santri sibuk memasak ketupat.
Sudah menjadi tradisi di daerah ini, jika pada tanggal 8 Syawal ada yang namanya Badha Kupat atau lebaran ketupat, yang biasanya diadakan setelah enam hari puasa Syawal yaitu antara tanggal 2 sampai 7 Syawal. Setelah itu, penduduk sekitar masjid dan juga beberapa santri turut serta memeriahkan lebaran ketupat tersebut.
Biasanya, setiap warga membawa satu paket ketupat dan sayur berkuah sebagai pelengkap, yang nantinya tiap orang yang datang bisa saling mencicipi. Gandengan yang pas untuk makan ketupat adalah opor ayam, tetapi dimakan dengan sayur lodeh biasa pun rasanya juga mantap.
Begitulah indahnya melanggengkan kearifan lokal.
"Pulang, yuk!" ajak Yara pada Hasna setelah meletakkan ketupat dan sayur yang mereka bawa di tempat yang sudah disediakan.
Yara memang tidak berniat untuk mengikuti agenda Kupatan ini sampai akhir. Setelah mengantar ketupat dan menu pendamping, ia langsung pulang. Padahal, sesi doa bersama akan segera berlangsung. Yara sudah tidak betah. Seluruh badan terasa lengket karena sedari pagi buta sudah berkutat di dapur.
"Ayo, Mbak! Aku mau mandi. Gerah banget ini," timpal Hasna.
Yara dan Hasna berjalan beriringan melewati orang-orang yang hendak mengikuti serangkaian acara lebaran ketupat tersebut. Sesampainya di depan ndalem, Yara dan Hasna berpisah. Sebab, Hasna harus kembali ke asrama.
Di kediaman Mas Rafly tampak sepi. Mbak Rahma ikut kegiatan Kupatan di masjid, sekaligus halal bihalal dengan penduduk setempat.
[Mas baru saja sampai, Sayang.]
Begitu sampai di kamar, Yara mendapat satu pesan dari suaminya. Namun, Yara abaikan sejenak. Ia akan membalasnya selepas membersihkan badan nanti. Yara memang tidak ikut pulang ke kota. Ia meminta izin pada suaminya untuk menetap lebih lama di sini. Ada hal yang harus dituntaskan nanti, diantaranya tentang upaya untuk meng-upgrade diri.
Sepuluh menit berlalu. Yara sudah kembali segar. Lalu, ia duduk di tepi ranjang untuk membalas pesan yang tadi sempat dibiarkan begitu saja.
Dengan pelan, Yara menggulir layar ponselnya. Ada satu pesan lagi yang ia terima. Kali ini, pesan itu berupa voice note. Yara lantas menekan tombol putar. Ia mendengarkan suara merdu dari seseorang nun jauh di sana. Yara sampai tidak sadar. Ia dengan konyolnya menjawab setiap pesan suara itu laiknya ia sedang menerima telepon.
"Astaghfirullah. Ini 'kan voice note, bukan telepon," gerutu Yara pada diri.
Yara tertawa sendiri mengingat tingkah anehnya itu. Bisa-bisanya ia membalas pesan suara dengan jawaban lantang. Sang penerima pesan tak mungkin bisa mendengar. Sungguh tak masuk akal.
[Mas nanti ke sini, nggak?]
Yara bertanya pada sang suami melalui pesan singkat. Ia tidak ingin mengganggu aktivitas suaminya jika harus menelpon pada jam kerja seperti sekarang.
Setelah menunggu lama, tak ada jawaban dari sang suami. Rasa bosan pun seketika menghampiri. Yara sungguh merindukan saat makan ketupat bersama suaminya. Biasanya, tanpa diminta pun Rafif akan dengan sukarela menyuapi dirinya. Padahal, tepat hari Raya, adegan itu sudah dilakukan. Namun, bagi Yara, makan ketupat sepiring berdua dengan suaminya pada saat lebaran ketupat seperti ini rasanya beda.
Sewaktu sang nenek masih ada dulu, Yara sering ikut bergabung dengan ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya untuk memeriahkan lebaran ketupat di masjid komplek.
Yara teringat obrolan dengan sang nenek kala itu, yakni menyoal filosofi lebaran ketupat. Yara selalu terhibur mendengar neneknya bercerita. Selalu ada hikmah dalam setiap kata-kata yang terucap dari beliau.
"Ketupat, dalam bahasa Jawa adalah Kupat, singkatan dari Ngaku Lepat atau mengakui kesalahan. Makanya, lebaran ketupat ini biasanya dimaknai dengan saling mengakui kesalahan dan juga saling memberi maaf."
Yara rasa, itu bukan asli kata-kata dari neneknya. Sebab, banyak orang tua yang Yara temui selalu menjelaskan perihal makna lebaran ketupat seperti demikian. Bisa jadi, sederet kalimat itu sudah turun-temurun diucapkan oleh para leluhur sejak dulu. Bahkan, tak jarang pula yang menjelaskan secara detail mengenai ketupat.
Bentuk belah ketupat yang terpampang pada ketupat memiliki arti mendalam. Dalam kaidah Jawa disebut kiblat papat limo pancer, yang menunjukkan empat arah mata angin, yaitu barat, selatan, timur, dan utara. Namun, dari segala penjuru itu, ada satu pusat yaitu kiblat.
"Sejauh mana seseorang berjalan mengikuti segala arah mata angin, titik tumpu yang paling utama adalah menuju pada Tuhan."
Setidaknya, Yara menyimpulkan demikian. Berlari sekencang apapun, tetap saja kembalinya harus pada Allah, Sang Penguasa Jagad Raya.
"Yara!" seru Mbak Rahma dari luar kamar. Yara agak terkejut mendengar seruan itu. Seketika, bayangan perihal makna ketupat buyar.
Setelah menyahuti panggilan dari kakak iparnya itu, Yara segera beranjak. Lalu, ia membuka pintu kamar dengan pelan.
"Gimana, Mbak?" tanya Yara setelah berhadapan langsung dengan Mbak Rahma.
"Makan dulu, gih! Mbak sama Mas tadi udah makan di masjid," jawab Mbak Rahma.
Yara mengangguk lemas. Ia tidak bisa membayangkan betapa sepinya menyantap makanan seorang diri. Apalagi, pesan singkat untuk suaminya belum dibalas sampai detik ini.
Dengan langkah gontai, Yara menuju ke dapur. Ia lantas duduk di salah satu kursi yang terletak di samping dapur. Lalu, ia mengambil satu ketupat berukuran kecil untuk dimakan.
Ketika membelah ketupat, pikiran Yara kembali mengurai makna yang tersembunyi di dalamnya. Seperti yang sering disebutkan dalam salah satu materi ketika menimba ilmu dulu, bahwa beras adalah simbol kemakmuran. Sedangkan, warna putihnya melambangkan kesucian hati. Artinya, setelah berpuasa satu bulan penuh, seseorang kembali suci.
Membedah tentang ketupat memang tak ada habisnya. Bungkusnya saja memiliki makna yang sangat kuat. Entah siapa yang mencetuskan pertama kali perihal lebaran ketupat ini. Yara sebenarnya tidak paham. Kalau tidak salah ingat, awal mulanya ketika pemerintahan Demak sekitar abad ke-15.
"Semoga ingatanku tidak melenceng," bisik hati Yara.
Membahas sejarah selalu menjadi kesenangan tersendiri bagi Yara. Terutama, jika berkaitan dengan filosofi suatu peristiwa tertentu. Yara akan semangat menggalinya.
"Janur?" Yara bergumam pelan.
Sejak dulu, Yara masih menerka perihal mengapa daun kelapa yang masih muda itu bernama Janur.
Setelah melakukan pencarian beberapa waktu yang lalu, ada penjelasan mengenai Janur, yang ternyata maknanya Jatining Nur atau hati nurani.
"Apa mungkin maksudnya adalah cermin bahwa hati nurani seseorang harus tetap bersih dan suci?" tanya hati Yara.
"Ah, entahlah," lanjut Yara lagi.
Yara seperti orang gila memikirkan keanehannya sendiri.
"Ternyata, banyak sekali makna dari ketupat. Keren sekali yang merinci tentang filosofi ketupat hingga menjadi narasi semenarik itu," ungkap Yara.
Tidak hanya makna Janur yang membuat Yara kagum. Makna dari anyaman rumit dari ketupat itu pun semakin menambah riuh di hati Yara. Anyaman Janur tersebut menggambarkan kompleksitas masyarakat Jawa. Sehingga, agar tercipta harmoni, harus dipererat dengan silaturahmi.
"Alhamdulillah," ucap Yara penuh syukur selepas menghabiskan ketupat dengan opor ayam.
Setelah membereskan piring kotor, Yara melangkah ke kamar. Pembahasan masalah lebaran ketupat sudah usai seiring habisnya ketupat yang Yara santap.
"Belum ada balasan," kata Yara ketika mendapati ponselnya seolah mati karena belum ada notifikasi.
Selang lima menit, nada pesan menyusup telinga. Yara segera membacanya. Namun, balasan yang ia terima sontak membuatnya kecewa.
[Maaf, Sayang. Mas nggak bisa pulang malam ini. Masih ada pekerjaan penting yang belum kelar.]
________________
To be continued.
Bagaimana lebaran kali ini? Membahagiakan atau....? 🤭
Btw, selamat membaca ya.. 🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top