14. Prasangka
Tidak bolehkah berburuk sangka jika gelagat yang ditunjukkan menyiratkan makna yang berbeda?
🌼🌼🌼
"Dulu Mas Rafif disuruh bantu ngawasi Malva nggak mau. 'Kan enak kalau bisa sama-sama menimba ilmu di Al Azhar. Bisa berjuang bersama di sana. Selain itu, bisa buat modal untuk membesarkan pesantren."
Deg!
Kalimat panjang yang tak sengaja Yara dengar itu begitu menyayat hati. Padahal, jelas-jelas Yara juga berada di ruang tamu, bisa-bisanya kata-kata semacam itu tidak disaring terlebih dahulu.
"Harusnya kita jadi besan ya Mas Rafly?"
Hati Yara yang sudah koyak bertambah retak. Yara sampai berpikir tentang dirinya. Mendengar itu, hatinya terasa pilu. Meski dengan nada bercanda, tetapi kata-kata dari keluarga Ning Malva itu sungguh menusuk. Masalah kesalahpahaman yang baru saja terjadi saja belum lama reda, sekarang malah ditambah dengan ujian baru yang kadar menyesakkannya bisa lebih parah dari sebelumnya.
"Bawa aku kabur dari sini, sih!" teriak hati Yara ketika terperangkap di area yang penuh sesak tadi. Ia sampai tidak fokus memerhatikan sekitar. Entah reaksi apa yang suaminya tunjukkan, Yara pun tidak paham.
Kalimat penuh luka itu sudah berlalu sejak beberapa jam yang lalu. Namun, efeknya masih mengganggu sampai sekarang. Yara hanya diam dan menahan sesak di sudut kamar. Ada sisi hatinya yang terluka. Ia merasa bahwa dirinya tidak pantas mendampingi suaminya. Seolah ada tembok kokoh yang terpasang dengan gagah di sekitar mereka.
Pikiran buruk sontak berlari liar di kepala. Yara cukup sadar diri, jika dibandingkan dengan gadis yang ia temui di dekat gapura masjid pagi tadi, Yara kalah telak. Dari segi latar belakang keluarga dan pendidikan, Yara merasa sangat kerdil.
Sosok Ning Malva memang sempurna. Selain putri dari Kyai ternama di kota ini, ia adalah lulusan dari Kairo, Mesir. Cantik dan cerdas juga menjadi persona gadis itu. Rasa minder tentu saja membayangi Yara. Meski ia tahu bahwa sang suami tidak mungkin begitu saja meninggalkannya hanya karena kehadiran gadis itu, Yara merasa takut sendiri. Pasalnya, perihal penerus, Yara masih belum bisa memenuhi hingga saat ini.
"Nggak betah, ya Allah." Yara membatin. Ia seolah berada di tengah kekeliruan yang selama ini coba dipaksakan. Bukannya tidak percaya diri, Yara juga memiliki keahlian sendiri. Namun, tidak untuk diterapkan di pesantren ini.
Isi kepala Yara penuh. Rasanya, ia ingin mundur. Menyoal rasa sepi yang kerap mengelilingi, Yara sudah belajar mengelolanya selama tinggal di sini. Yara yakin ia bisa keluar dari jerat kesepian yang cukup mengekang. Maka dari itu, jika ia terlepas dari keluarga ini, Yara sudah mampu untuk berdiri sendiri.
"Haruskah aku menyerah?"
Beragam tanya itu berkelebat memenuhi hati Yara. Ia masih merekam obrolan singkat antara Rafif dan Ning Malva. Sepertinya, tersirat kedekatan yang sulit digambarkan di antara mereka. Namun, Yara tidak ingin berpraduga tanpa bukti nyata. Mungkin saja, hati Yara yang memang sedang tidak baik-baik saja.
Siang tadi, di saat seluruh anggota keluarga mengantar kepulangan keluarga Ning Malva sampai depan rumah, Yara memilih langsung ke kamar. Yara masih menerka menyoal hubungan antara dua keluarga ini.
"Entahlah," ucap hati Yara.
Yara masih tidak habis pikir dengan keluarga Ning Malva tadi, sepagi buta sudah bertamu di kediaman ini. Padahal, biasanya keluarga pesantren sewaktu lebaran pertama sampai keempat masih sibuk menerima tamu di ndalem. Namun, keluarga mereka sudah bertamu di sini. Ah, bisa saja setiap keluarga memiliki cerita yang berbeda.
"Sudah menjadi tradisi keluarga Kyai Farhan ke sini tiap lebaran pertama. Itu sudah berlangsung semenjak masih ada Abah. Sebab, Abah yang paling dituakan di kota ini. Dulu, Abah merupakan guru dari Kyai Farhan. Maka dari itu, Beliau selalu menyempatkan waktu luangnya ke sini. Padahal, Mas dan Mas Rafly sudah melarang. Ketika Abah sudah tiada, giliran kami yang seharusnya berkunjung ke pesantren Beliau, tetapi tetap ditolak. Bagi keluarganya, menghormati anak temurun dari sang guru adalah hal yang utama. Sehingga, tradisi menahun itu nggak bisa dicegah begitu saja."
Kalimat panjang sebelum Rafif berangkat ke masjid tadi cukup melegakan. Namun, suara hati Yara seakan susah diberi penjelasan.
Sebenarnya, Yara tidak ingin berprasangka yang bukan-bukan, tetapi kejadian itu mampu mengusik hati terdalam dengan kejam. Meski Rafif sudah menjelaskan detail kedatangan sang tamu, agar Yara tak salah paham, tetapi hal tersebut tetap tak mampu meredam buruknya prasangka.
"Tidak bolehkah berburuk sangka jika gelagat yang ditunjukkan menyiratkan makna yang berbeda?" bisik hati Yara bergemuruh. Sungguh, ia bertekad tak ingin kembali menangis kali ini, tetapi rasa nelangsa membuat hatinya teriris.
Yara berdiri sejenak memandangi nakas yang berada tepat di sisi kiri ranjang. Lalu, ia mendekat. Ia membuka bagian loker paling atas. Ada benda pipih berwarna Rose Gold di dalamnya. Tidak lain, itu adalah ponsel Yara.
Terhitung sudah lebih dari satu bulan ponsel itu tidak ia sentuh. Ternyata, baterainya habis. Padahal, Yara ingin sekali menguhubungi sahabatnya. Disaat hatinya sedang kacau seperti sekarang, selain menghamba pada Sang Penguasa Semesta, berbincang dengan sahabat terbaiknya itu bisa menjadi obat bagi Yara.
Selepas mengisi daya, Yara kembali duduk di sisi ranjang. Ia menatap penunjuk waktu yang terletak di atas nakas. Ternyata, sudah hampir jam dua siang. Akan tetapi, sang suami belum juga pulang dari masjid.
Kemudian, Yara memutuskan untuk ke luar kamar. Sedari pagi, tamu tidak kunjung berhenti. Untung saja, ada beberapa santri yang membantu keluarga ndalem untuk menjamu para tamu tersebut. Sehingga, tugas Yara tidak terlalu berat. Ia hanya sesekali membantu jika dibutuhkan.
Ketika sudah berada di dapur, tempat para santri menyajikan minuman dan kudapan untuk disuguhkan pada tamu yang datang, Yara melihat ke sekeliling. Ia mencari sosok yang beberapa hari yang lalu menghiasi tawanya. Namun, Yara tidak kunjung menemukan wujudnya.
"Mbak Yara!" seru suara itu. Yara refleks menoleh. Senyum di bibir Yara tercetak sempurna ketika mendapati seseorang yang ia cari berada di dekatnya.
"Mbak Hasna dari mana saja? Kok baru kelihatan," tanya Yara pada Hasna.
"Kangen ya?" ledek Hasna sambil tertawa yang membuat Yara melotot karena kesal.
"Habis laporan tadi rehat bentar di kamar, Mbak. Tidak hanya hati, badan ini rasanya juga lelah ternyata," jelas Hasna seraya tertawa. Yara pun menimpalinya dengan gelak serupa.
"Di asrama sepi ya, Mbak?" tanya Yara yang langsung mendapat anggukan oleh Hasna. Yara pun lemas. Padahal, ia ingin menghabiskan waktu di asrama setelah kejadian menyesakkan tadi menggerogoti hati.
Setelah berbasa-basi sejenak, Yara pamit ke kamar. Ia hendak menelpon Firda, sang sahabat yang sudah satu purnama tidak ia sapa.
Sesampainya di kamar, sang suami belum juga datang. Ia tidak ingin berpikiran buruk. Mungkin saja, ada tamu yang harus ia temui saat ini.
Ponsel yang tadi Yara charge sudah kembali menyala. Meski daya pada telpon genggamnya itu masih sekitar lima puluh persen, ia tetap tak mengurungkan niatnya untuk menelpon sang sahabat.
Setelah itu, Yara segera memencet tombol telpon untuk memulai panggilan. Sudah bisa ditebak, sahabatnya itu akan mengomeli Yara begitu telpon tersambung. Yara pun hanya mendengarkan dalam hening.
"Sudah marahnya?" tanya Yara pelan. Di ujung telpon, sahabatnya itu sudah terengah, seolah hampir kehabisan napas karena lelah mengoceh.
Perdebatan singkat sudah berangsur surut. Kemudian, Yara menjelaskan perihal dirinya menghilang. Firda, sang sahabat, akhirnya maklum.
Sungguh, dalam hati Yara hendak bercerita tentang si gadis cantik yang membuat hatinya terusik. Namun, ia pendam.
"Culik aku!"
Yara ingin menyerukan kata andalan itu. Namun, ia tidak ingin masalah yang belum tentu sebagai suatu kebenaran terdengar sampai di luar. Sebisa mungkin, Yara harus menyimpan rapat perasaan gundahnya. Ia tidak ingin menambah runyam suatu ikatan hanya karena prasangka buruk yang ia pelihara.
Setengah jam berselang, sesi bertukar kabar dengan sang sahabat pun usai. Yara kembali kebingungan sendiri setelahnya. Sembari memainkan ponselnya, Yara menunggu kedatangan suaminya.
"Duhai diri, jangan menyerah ya!"
Yara menyemangati dirinya sendiri. Masak iya, belum berperang saja ia sudah harus kalah.
________________
To be continued.
Selamat membaca episode terbaru dari Khala. 🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top