11. Ego
Ego pada diri yang selalu dipupuk setiap hari lebih mengerikan dibandingkan dengan hadirnya orang ketiga dalam suatu hubungan.
🌼🌼🌼
"Mas kangen."
Yara seketika membeku ketika mendengar kata-kata yang tiba-tiba meluncur dari bibir Rafif. Ucapan lelaki itu memang singkat. Namun, dampaknya begitu hebat.
Belum sempat Yara melanjutkan langkah, tangan hangat Rafif mendekapnya erat. Aksi spontan itu membuat Yara seolah mati di tempat. Peluk hangat dari sang suami membuat Yara tersedu. Ia rindu. Akan tetapi, hatinya masih saja ragu.
Ungkapan rindu berulang kali Rafif utarakan. Yara semakin tergugu. Air bening di kelopak matanya mengalir deras tanpa mengenal waktu.
"Maaf."
Rafif juga berkali-kali bergumam kata maaf. Yara hanya diam. Suaranya terasa tercekat. Ia hanya melanggengkan isak tangis dalam rengkuhan sang suami.
"Assalamualaikum."
Satu suara menyusup pada indra dengar Yara dan Rafif. Keduanya seketika mengurai pelukannya. Dua insan itu seolah tertangkap basah. Padahal, jika sudah sah, mau melakukan apa saja pun terserah. Asal tak melanggar syariat.
"Eh, maaf. Ganggu acara temu kangen kalian, ya?" ucap seseorang yang baru saja masuk itu sembari tertawa lebar. Yara menjadi salah tingkah. Sedangkan Rafif hanya tersenyum penuh makna.
"Ajak ke kamar sana, Fif! Biar lebih leluasa ngobrolnya," ujar seseorang itu lagi. Ia tak lain adalah Mas Rafly, kakak Rafif.
Belum sempat memprotes, Rafif sudah membuka suara. Tentu saja, selepas Mas Rafly meninggalkan tempat kedua insan itu berbicara.
"Yuk!" ajak Rafif seraya menggenggam tangan Yara dengan erat.
"Mas!" Yara bersikukuh untuk menolak. Ia benar-benar ingin segera pulang ke asrama.
"Kenapa?" tanya Rafif sambil menatap mata Yara tanpa melepaskan genggaman tangan wanitanya itu.
"Aku mau ke kamar dulu. Mau ikut kegiatan. Sebentar lagi jadwalnya ngaji bareng Mbak Pengurus," timpal Yara dengan agak terbata. Yara sebenarnya bingung untuk menyuarakan alasannya. Sebab, jika ia mengajukan izin, tentu tidak akan ada yang berani melarang. Namun, berada di dekat suaminya dalam waktu yang lama juga bukan solusi utama.
"Mas sudah izin ke Mbak Rahma," sahut Rafif tegas.
Yara pasrah. Ia mengekor sang suami tanpa bantah sembari sesekali melirik tangan yang belum juga dilepaskan oleh Rafif. Yara tak mengelak kalau rindunya pada lelaki yang sedang bersamanya ini begitu berarak. Maka dari itu, ia menurut mau dibawa ke mana saja oleh suaminya. Dibawa pulang juga tak menolak. Namun, rasa gengsi di hati Yara masih merebak.
Setelah berjalan beberapa langkah, Yara dan Rafif sudah berada di kamar yang biasa mereka tempati ketika sedang berada di rumah ini.
Sesampainya di kamar, dua orang yang sedang bergelut dengan rasa rindu itu sama-sama terdiam. Bak pengantin baru, Yara dan Rafif merasa sangat canggung.
Tanpa banyak bicara, Rafif menuntun Yara untuk duduk di sisi ranjang, tepat di sampingnya. Keduanya kembali saling diam. Hanya mata yang saling menatap sebagai petunjuk bahwa mereka sedang menyalurkan rindu.
"Mau ikut pulang?" tanya Rafif lembut. Yara tersentak. Wanita itu tidak menyangka kalau ia akan diajak pulang padahal ia menetap di tempat ini belum genap satu bulan.
"Belum jatahnya pulang," jawab Yara singkat.
"Lalu?" tanya Rafif lagi.
"Mas melanggar janji," kata Yara serius.
"Mas nggak pernah berjanji apapun, tuh. Waktu itu, Mas memintamu untuk mengabdi di pesantren ini dalam jangka waktu satu bulan. Hanya itu. Mas pikir, itu bukan sebuah janji," ungkap Rafif kemudian.
"Jika begitu, aku yang akan dicap tidak amanah. Belum jatuh tempo, masa sudah menyerah," jelas Yara yang membuat Rafif diam seribu bahasa.
"Beberapa waktu yang lalu, Mbak Rahma pernah mengatakan padaku bahwa ego pada diri yang selalu dipupuk setiap hari lebih mengerikan dibandingkan dengan hadirnya orang ketiga dalam suatu hubungan," kata Yara sambil menghela napas.
"Aku berpikir keras. Selama ini, sisi egois pada diriku selalu menang. Karena sikap yang begitu dominan itu, aku berbuat kesalahan. Setelah melakukan perenungan panjang, aku menyadari kalau ternyata bukan sebab ada orang ketiga yang kerap memicu runtuhnya suatu ikatan. Namun, kuatnya rasa egois yang susah dipadamkan."
Rafif masih bungkam.
"Aku percaya, jika seseorang mampu mengontrol sisi egois itu, mereka tidak akan berlaku dengan santainya menghadirkan orang ketiga. Mereka pasti akan berpikir lebih teliti sebelum bertindak sesuka hati. Aku adalah salah satu korbannya, yang telah kalah dalam merapikan ikatan karena sebuah egoisme yang tidak mampu dikendalikan."
Yara memberi jeda sejenak. Lalu, ia kembali menyuarakan isi hatinya.
"Kali ini, aku ingin menaklukkan sisi egois yang masih belum sepenuhnya padam ini, Mas. Di sini, aku mendapatkan banyak pelajaran. Termasuk, dalam hal menekan ego. Aku sudah mulai nyaman berada di tengah-tengah para santri yang perjuangannya begitu hebat. Aku belajar dari mereka yang luar biasa itu."
Yara kembali mengambil napas sebelum melanjutkan kata-katanya. Ia mencoba menahan sesak yang kini memenuhi rongga dada.
"Selain itu, aku mulai bisa berdamai dengan rasa sepi," lanjut Yara lagi.
Rafif belum membuka suara. Ia masih mencerna kata-kata yang diucapkan sang istri tercinta.
"Yakin?" tanya Rafif. Yara mengangguk mantap sebagai balasan.
"Sungguh?"
Rafif bertanya begitu hanya untuk memastikan dirinya sendiri apakah ia akan baik-baik saja tanpa wanita ini lebih lama lagi. Padahal, ia yang meminta istrinya ke tempat ini. Namun, saat ini, hatinya sendiri yang rasanya sudah tak karuan jika berada jauh dari sang istri.
"Berhenti, please! Jangan bikin goyah," bisik Yara dalam hati sambil menunduk dalam. Ia tidak ingin merusak tekad dalam diri yang sudah bulat.
"Aku minta maaf," gumam Yara pelan.
"Aku minta maaf meski kata maaf itu tidak pernah bisa mengembalikan sesuatu yang sudah telanjur rusak."
Yara mengucapkan itu dengan terisak. Ia tak bisa menahan diri lagi untuk tetap tegar. Padahal, ia sudah mati-matian meredam, tetapi tangis itu tetap saja tak bisa ditahan.
"Aku tinggal ke kamar dulu, ya. Mas baik-baik di rumah."
Setelah mengucapkan itu, Yara segera berlalu. Ia meninggalkan Rafif yang masih dalam mode diam.
"Sebentar, Sayang!" cegah Rafif sebelum Yara membuka pintu kamar. Yara berbalik dan ia terkejut begitu lelakinya itu merengkuhnya dengan erat.
"Seperti ini dulu, ya! Mas mau mengisi energi. Mas takut kalau kita tidak bisa ketemu lagi dalam waktu dekat ini."
Yara tak menyahut. Ia merasai lagi kerinduan yang sudah lama ia pendam. Ia menikmati momen istimewa ini sebelum suatu perpisahan kembali menjadi penghalang.
"Ya sudah, aku pergi dulu. Mas hati-hati pulangnya nanti," ucap Yara sembari melepaskan diri dari rengkuhan sang suami. Lalu, ia segera menuju asrama sebelum pertahanan dirinya benar-benar lemah.
***
"Capek, Mbak?" tanya Hasna selepas Yara tiba dari dapur.
"Lumayan," balas Yara sembari tersenyum.
Setiap ingat momen tadi pagi bersama sang suami, Yara seketika senyum-senyum sendiri. Ia memang langsung mengikuti seluruh kegiatan yang biasanya diikuti selepas beranjak dari hadapan sang suami. Namun, ia menyadari bahwa mendapat suntikan energi dari lelakinya itu membuat semangat pada diri semakin menguat lagi.
"Mbak Yara lagi mikirin apa sih? Lama-lama kayak yang sering nongkrong di depan gerbang asrama," ledek Hasna seraya mengedipkan mata.
Yara lantas berdecak kesal. Ia sebal karena disamakan dengan orang yang bermasalah dengan kejiwaan tersebut; seorang pria setengah abad yang sering menggoda santri putri yang lewat di sekitar gerbang depan. Karena sering berkeliaran, maka tidak heran kalau orang itu terkenal seantero pesantren. Terutama, di kawasan pondok putri.
"Lagi malas berdebat aku, Mbak. Badan lengket semua. Aku mau mandi dulu. Mumpung masih pada ada kegiatan. Keburu antrean mengular. Bye!" ucap Yara sembari tertawa. Lalu, ia mengambil handuk dan peralatan mandi miliknya.
"Yara!" seru seseorang di depan kamarnya. Melihat wajah panik itu membuat jantung Yara berdegup kencang. Ia khawatir jika ada kabar buruk yang datang. Sungguh, ia tidak siap.
"Ada apa, Mbak?" tanya Yara penasaran. Wanita yang datang itu adalah Mbak Rahma.
"Mobil Rafif kecelakaan, Ra," ucap Mbak Rahma yang sontak membuat Yara lemas. Tenaganya seakan terkuras.
"Mas Rafif," lirih Yara menyebut nama sang suami. Tangisnya tanpa sadar sudah mengalir tanpa henti.
Di sela rasa pilu yang menyesakkan dada, Yara merekam kembali setiap momen dengan lelakinya itu. Salah satunya adalah pertemuan singkat pagi tadi yang sungguh berkesan. Wanita itu tidak sanggup membayangkan hal tak baik menimpa sang pujaan.
_________________
To be continued.
Ketemu lagi dengan Yara dan Rafif.
Semoga menjadi teman baca yang baik hari ini ya. 🌹
Note:
Untuk scence romantisme, boleh banget diaplikasikan, asal dengan pasangan halalnya yaa.. 🤭
Kalau belum, mohon bersabar. Ikhtiar yang kenceng dulu. Semoga dimudahkan urusan jodohnya sama Allah. 🤲❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top