08. Jernih
Sejernih aliran sungai yang menyapu pandang, cara berpikir manusia pun seharusnya demikian.
🌼🌼🌼
Dua minggu berlalu semenjak kedatangan Yara di pesantren ini. Rasa hatinya belum sepenuhnya berubah. Ada sisi sunyi yang masih merebah. Namun, wanita itu sudah mulai membaur dengan baik di tempat ini. Ada banyak orang baru yang ia kenal. Ada beragam cerita baru yang ia dengar.
"Di balik pintu kecil belakang dapur itu ada apa, Mbak?" tanya Yara pada teman sekamarnya.
Yara penasaran dengan setiap bagian yang menaungi tempat ini. Pasalnya, dulu, ia tak pernah menetap lama di sini. Seminggu selepas menikah, suaminya langsung memboyong ke pusat kota. Ketika ke sini saat itu, Yara hanya berdiam diri saja di kediaman Abah yang sekarang di tempati oleh Mas Rafly dan isteri. Letaknya pun berada di bagian depan, jadi Yara tak paham seluk beluk tempat ini secara keseluruhan. Yang ia tahu, hanya sebatas bagian depan saja. Dari depan sana, tampak gedung asrama putera dan puteri yang berdiri kokoh di sebelah kanan dan kiri ndalem; rumah Abah.
"Ada kebun sayuran milik pesantren, Mbak. Terus ada sungai kecil gitu. Indah banget. Aku aja baru tahu sewaktu disuruh mengantarkan makanan pada kang santri yang dipercaya mengelola kebun beberapa minggu yang lalu."
Senyum Yara seketika cerah ketika mendengar penuturan teman satu kamarnya itu. Rasanya, ia ingin langsung ke sana, sekadar melepas penat yang kian menyiksa.
"Boleh nggak ya aku ke sana sebentar?" tutur Yara pada temannya yang bernama Hasna itu. Gadis itu kebetulan ketua keamanan putri. Sehingga, Yara harus meminta izin terlebih dahulu.
"Ya boleh lah, Mbak. Masak iya, Ning sendiri kok dilarang," ucap Hasna yang sontak mendapat pelototan dari Yara.
Gadis itu pun terbahak. Sungguh, Yara begitu tidak nyaman jika ada yang memanggilnya 'Ning'. Bagi Yara, dengan kadar keilmuannya yang standar, ia tidak layak dipanggil demikian. Menurutnya, ia hanya beruntung saja sebab dipersunting oleh seorang Gus, putera seorang kyai yang begitu dikagumi oleh masyarakat di sekitar sini.
Awalnya Yara juga tidak mengetahui silsilah dari suaminya itu. Saat itu, Rafif begitu pandai menyembunyikan identitasnya itu. Sampai di saat ada salah satu rekannya yang keceplosan dengan menyebut 'Gus' ketika Yara menemui lelaki itu untuk membahas rencana pernikahannya. Semenjak itu, Yara menjadi sungkan. Ia berinisiatif untuk memanggil lelaki itu dengan sebutan 'Gus' juga. Namun, Rafif tolak.
"Panggilan 'Gus' itu terlalu berlebihan buatku, Ra. Rasanya kok kurang enak didengar. Dengan tingkah lakuku yang masih jauh dari kata baik, aku semakin nggak nyaman," jelas Rafif kala itu.
"Kalau begitu, kupanggil 'Ustadz' saja, ya?" kata Yara memberi pilihan.
"Jangan!" bantah Rafif dengan cepat.
"Ustadz sama dengan guru, 'kan? Apa yang salah?" tanya Raya dengan raut kebingungan.
"Sebutan 'Ustadz' tidak sesederhana itu. Secara harfiah memang maknanya begitu. Namun, bagi seorang ustadz, ada beberapa variabel yang harus dikuasi. Tingkat keilmuannya harus tinggi. Tidak hanya seputar ilmu agama saja, tetapi berbagai disiplin ilmu juga harus paham. Rasanya, aku belum mampu untuk sampai pada titik itu. Masih banyak ilmu yang ingin kugali lebih dalam lagi."
Penjelasan Rafif waktu itu begitu mengena di hati Yara. Ia semakin dibuat kagum dengan pria itu. Bagaimana mungkin ia bersikap merendah seperti itu padahal kenyataannya taraf ilmunya sudah mumpuni. Yara mengetahui itu karena ia juga kerap ikut serta sewaktu ada kajian keagamaan yang rutin diadakan di masjid komplek. Yara begitu menyukai orang semacam ini. Seorang 'Gus' tetapi nggak Gembagus. Kalau istilahnya zaman sekarang yaitu down to earth. Yakni, ia yang tetap membumi meski ilmunya terbilang tinggi.
Yara merasa semakin ciut. Bahkan, kala itu, Yara sempat beberapa kali meminta Rafif untuk berpikir ulang. Namun, Rafif tetap teguh pada pendirian.
"Untuk sampai pada tahapan ini, aku nggak mungkin sembarangan mengambil keputusan, Ra. Aku sudah melakukan diskusi yang panjang dengan Tuhan pada tiap sepertiga malam. Dan, jawabannya tetap sama. Kamu adalah satu-satunya tujuan."
Mengingat kembali momen itu, pipi Yara seketika bersemu. Ia tersenyum penuh haru.
"Mbak Yara nggak apa-apa?" tanya Hasna sembari menepuk lengan Yara pelan.
Yara pun gelagapan. Ia menggeleng untuk menjawab Hasna yang baru saja dilanda kebingungan.
"Jadi ke belakang, Mbak? Kuncinya di rak bukuku. Mbak Yara ambil sendiri aja, ya! Aku mau ke kamar mandi dulu," kata Hasna yang hanya dibalas Yara dengan anggukan.
Sepeninggal Hasna, Yara segera menyeret langkahnya ke sebuah rak buku mini tadi. Ia mengambil satu-satunya kunci yang tergeletak di sana. Tanpa menunda, Yara segera meluncur ke tempat yang ditunjukkan Hasna.
Begitu keluar kamar, suasananya sepi. Para santri sibuk dengan agendanya masing-masing. Yara melangkah dengan serius ke arah pintu belakang yang berada tidak jauh dari area dapur. Yara perlahan mendekat ke pintu berwarna cokelat tua di depannya, lalu ia membukanya dengan pelan.
Pintu pun terbuka, Yara seketika menganga. Ia takjub dengan pemandangan yang terhampar di hadapannya. Ada beraneka ragam sayur mayur ditanam di sana. Ada beberapa petak yang sudah disesuaikan jenisnya. Dari mulai kacang panjang, terong, kembang kol, selada, dan lain sebagainya tumbuh dengan subur. Melihat keindahan seperti ini saja sudah mampu menjadi vitamin bagi mata Yara.
Puas memandangi tanaman yang didominasi warna hijau itu, Yara lantas menggerakkan kakinya ke tempat berbeda. Jarak sekitar dua ratus meter dari deretan sayuran tersebut, terdapat sungai kecil yang begitu jernih. Apalagi, dilengkapi dengan bebatuan hitam pekat berbagai ukuran menambah estetik saat dipandang mata. Yara memilih duduk di bebatuan yang agak besar. Ia ingin menikmati bagaimana bersentuhan langsung dengan air jernih di dekatnya itu.
"Sejernih aliran sungai yang menyapu pandang, cara berpikir manusia pun seharusnya demikian," gumam Yara pelan.
Memang benar, banyak insan yang mengaku beriman, tetapi menjadikan nafsu sebagai tumpuan. Alih-alih mengandalkan kejernihan pikiran, orang-orang kerap berlaku sesuka hati demi menjadi yang paling benar. Padahal, kebenaran sejati hanya milik Tuhan, sang penguasa alam.
"Apa aku termasuk orangnya?" pikir Yara kemudian. Yara bergerak gelisah hingga bulir bening di netra seketika tumpah.
Terlalu banyak melamun membuat Yara tak mengamati sekeliling. Ia sampai terkejut ketika ada kecipak air yang berasal dari lemparan kerikil. Tak pikir panjang, Yara sontak menoleh ke arah asal lemparan tersebut.
"Allahu Akbar," teriak dua pemuda yang memakai koko dan sarung itu penuh tanya. Dari kostum yang dikenakan, Yara menyimpulkan bahwa dua anak muda itu adalah santri.
"Mbak Bidadari?" ucap pemuda yang mengenakan sarung berwarna hitam polos itu dengan senyum mengembang. Yara melotot mendengarnya. Ia tak habis pikir, bisa-bisanya ada manusia aneh di tempat senyaman ini.
Yara mengalihkan pandangan. Ia kembali fokus pada air sungai di depannya. Yara mendengar dua pemuda itu berbisik. Entah apa yang sedang dibicarakan, yang jelas indera pendengaran Yara tidak mampu menangkap satu kata pun.
"Kalian bolos?" tanya Yara dengan nada datar.
"Nggak, Mbak. Kami sedang mencari inspirasi. Ada tugas untuk mengarang bebas. Jadi kami butuh udara segera, Mbak. Biar idenya lancar," ucap salah satu pemuda itu dengan cekikikan.
Yara geleng-geleng kepala dengan alasan yang dilontarkan anak muda itu. Justru pernyataannya tadi itu sudah termasuk karangan bebas, 'kan?
"Mana ada disuruh mengerjakan tugas malah keluyuran di kebun? Harusnya, mereka mencari referensi di perpustakaan," seru Yara yang hanya dibalas dengan tawa oleh dua anak muda itu.
Agenda menepi yang Yara lakukan sudah terganggu. Ia pun segera berdiri, berniat untuk meninggalkan tempat ini.
"Mbak Bidadari, namanya siapa?" ucap lelaki bersarung hitam polos itu lagi. Yara melirik sekilas tanpa menanggapi. Dilihat dari postur tubuh dan level ketampanan, Yara yakin pemuda satu ini banyak digandrungi santri putri. Tipikal tampan dan menyenangkan biasanya memang selalu masuk hitungan.
"Yara, ingat! Mas Rafif yang paling menawan," bisik hati Yara. Lagian, nggak mungkin juga Yara menyukai anak muda ini. Yang ada, Yara malah kesal setengah mati. Sebab, jalan menyendiri yang sedang ia nikmati, dirusak tanpa permisi.
"Namaku Virza Malik. Catat ya, Mbak! Jangan sampai lupa. Nanti kalau ketemu lagi, awas kalau nggak nyapa!" ucap pemuda yang bernama Virza itu setengah mengancam. Yara paham kalau itu sekadar candaan. Maka dari itu, ia hanya menanggapi dengan diam.
"Tunggu dulu! Virza Malik?" batin Yara di tengah perjalanan menuju kamarnya. Yara menggumamkan nama belakang itu berulang. Hatinya bergemuruh. Ia kembali teringat kesalahannya.
"Apa kabar lelaki itu? Aku belum minta maaf dengan benar."
Yara mengucapkan itu sembari mempercepat langkahnya. Ia ingin segera sampai di kamar agar tidak ada yang melihat wajah sendunya. Sungguh, sampai saat ini Yara masih merasa bersalah terhadap lelaki yang sudah ia libatkan dalam kerumitan cerita rumah tangganya itu.
_________________
To be continued.
Selamat menunggu waktu berbuka, ya.. 🌹
Sembari membaca Khala boleh juga.
🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top