07. Pengasingan

Menjalani hukuman di tempat pengasingan mungkin tidak berat. Hanya saja, yang membuatnya rumit adalah bentangan jarak yang terhampar yang menjadikan muara rindu di hati semakin bersekat.

🌼🌼🌼


Setelah melalui perjalanan panjang selama hampir lima jam, Yara dan Rafif sampai di tempat tujuan. Gerbang Ma'had As-Syarif tampak berdiri kokoh dalam pandang mata. Tulisannya terukir begitu indah. Sisi hati Yara berdesir karena teringat pengalaman pertama di asrama kala itu. Tangisnya menitik. Yara seolah tidak memiliki semangat hidup. Yang orang sebut pesantren sebagai tempat menimba ilmu, kini persepsi semacam itu tidak sama lagi bagi Yara. Tempat ini lebih seperti pengasingan baginya.

Padahal, Yara dulu begitu menyukai tempat ini. Sampai suatu hari, ia pernah memiliki keinginan untuk menetap di daerah sini. Suasananya yang masih asri dan terasa adem bila berlama-lama menghabiskan waktu di sini, membuat Yara betah. Namun, dengan hati yang tidak baik-baik saja seperti sekarang, ia seakan tidak merasakan kesejukan yang sebelumnya ia rasakan.

Bahkan, saat Rafif menyuruhnya mengabdi di tempat ini, Yara sempat menolak. Ia bilang kalau ia tidak mau tinggal di terpencil. Aslinya, bukan itu alasannya. Demi Allah, Yara sangat menyukai keindahan tempat ini. Ada rasa nyaman yang mampu menyihir pendatang baru agar tertahan lebih lama di sini, termasuk Yara. Apalagi, lokasinya jauh dari hingar-bingar duniawi. Itulah yang membuat Yara selalu ingin tinggal di tempat sebaik ini. Namun, tentu saja, tidak dalam keadaan sendiri seperti saat ini.

"Turun, yuk!" ajak Rafif di sela lamunan Yara. Tak ada bantahan. Yara hanya pasrah mengikuti suaminya.

Dari kejauhan, sayup terdengar gema salawat dari audio menggema ke seluruh penjuru. Esok hari, Ramadan sudah tiba, biasanya para santri melakukan ro'an atau kerja bakti untuk membersihkan pesantren satu hari sebelumnya. Selain untuk menyambut bulan mulia, kegiatan ini dilakukan agar suasana terlihat rapi ketika orang-orang yang mau mengaji selama satu bulan penuh datang ke sini.

"Assalamualaikum," ucap Rafif ketika sudah berada di depan dua orang yang telah menunggu kedatangannya itu dengan menyajikan senyum yang sumringah.

"Waalaikumussalam," jawab dua orang itu dengan kompak. Mereka adalah Rafly Osman Syarif, kakak kandung Rafif, dan isterinya yang bernama Rahma Aulia Madjid. Beliau berdua inilah yang dipercaya untuk mengelola As-Syarif ini. Yara dan Rafif biasa memanggil dua orang itu Mas Rafly dan Mbak Rahma.

"Masuk, yuk!" ajak Mbak Rahma pada adik iparnya.

Setelah memasuki kediaman Mas Rafly, keempat orang itu segera menempati tempat duduk masing-masing. Setelah saling menanyakan kabar, Mas Rafly tiba-tiba melontarkan tanya pada Rafif.

"Kaburnya masih lama nggak?" tanya Mas Rafly dengan tegas. Rafif yang mendengarnya pun sontak terkejut. Lelaki itu hanya membalas dengan tawa lirih saja.

Yara yang duduk tidak jauh dari Rafif pun agak berpikir keras.

"Kabur?" bisik hati Yara. Wanita itu langsung teringat pembicaraan dengan sang suaminya kala itu.

"Mas kenapa memilih jadi pengacara?" tanya Yara penasaran saat itu.

"Kabur," jawab Rafif sambil tersenyum lebar.

Waktu itu, Yara hanya menganggap Rafif bercanda dengan jawabannya itu. Ternyata, Yara kini tahu alasan itu tidaklah main-main. Lelakinya itu benar-benar serius dengan ucapan asalnya tersebut.

"Ke belakang yuk, Ra! Nyiapin makanan. Pasti kalian berdua pada lapar," kata Mbak Rahma setelahnya. Yara pun hanya mengangguk sembari mengikuti Mbak Rahma.

Selepas dua wanita itu meninggalkan ruang keluarga, Mas Rafly memulai interogasinya.

"Pertanyaan Mas tadi serius. Kapan kamu pulang? Bebannya terlalu besar kalau Mas memikul ini sendirian," ucap Mas Rafly yang membuat Rafif terdiam.

Setelah Abah dan Ibuk tiada, Rafif memang sengaja melarikan diri dari rumah. Jiwa bebasnya meronta ketika diamanahi untuk mengelola yayasan sebesar As-Syarif. Ia sungguh tidak sanggup. Untung saja, Mas Rafly yang saat itu berada di pulau seberang dengan sang isteri bersedia pulang ke rumah untuk menggantikan posisi Abah. Tentu saja, dibantu oleh pamannya yang bernama Paman Mufid.

"Bentar lagi, Mas. Setelah urusan di kota selesai. Aku nggak mungkin pergi gitu aja. Ada amanah yang harus dijaga dengan baik juga. Makanya, nitip jagain isteri dulu. Doain semua lancar ya, Mas," sahut Rafif kemudian.

Rafif seketika teringat perjuangannya selama ini menjadi pengacara. Perjalanan yang tidak mudah. Untuk sampai pada titik ini, Rafif harus berjuang keras. Ia harus lulus ujian di salah satu organisasi advokat terlebih dahulu. Ia juga harus magang sekitar dua tahun lebih di salah satu firma hukum. Membayangkan itu, rasanya berat bagi Rafif jika harus melepasnya begitu saja.

Ditambah lagi, firma hukumnya sudah mulai membaik dari waktu ke waktu. Maka dari itu, ia harus membentuk tim yang solid dulu sebelum meninggalkan salah satu tanggung jawabnya di sana. Rafif sadar, membentuk firma hukum tidak mudah. Saat itu, ia harus bolak-balik mengurus administrasi di kantor notaris dan dinas yang bersangkutan. Meskipun tidak sendirian, karena memang untuk mendirikan firma hukum minimal harus dua orang, tetapi Rafif merasakan beban yang begitu dahsyat juga.

Rafif teringat tujuan awalnya menjadi pengacara. Sungguh, ia tidak semata-mata melarikan diri dari rumah. Ada misi tertentu yang membuat niatnya menggebu. Stigma masyarakat terhadap pengacara sudah terlanjur buruk. Banyak diantaranya menganggap kalau pengacara itu hanya peduli dengan yang berduit saja. Padahal, masih banyak pengacara yang berhati mulia. Hanya saja, mereka jarang terekspos media. Itulah alasan dibalik pendirian firma hukum miliknya. Rafif berniat untuk mengubah pandangan negatif itu.

Rafif bermaksud membuat firma hukum yang didirikannya itu lebih banyak menyentuh kalangan orang yang benar-benar layak mendapatkan dampingan, bukan sekadar berbaik hati pada mereka yang memiliki banyak uang. Aturan tetap ada, tetapi regulasinya tidak terlalu rumit seperti di firma hukum tempatnya magang dulu.

Rafif teringat petuah dari Abah, bahwa berada pada posisi apa pun, seseorang harus bisa berdampak positif untuk banyak orang. Itulah sebabnya Rafif selalu menanamkan pada diri untuk terus menebar manfaat.

"As-Syarif penting. Syarif and Partner juga nggak kalah penting, Mas," ucap Rafif dengan yakin.

Proses yang tidak mudah itu membuat Rafif berpikir panjang untuk meninggalkan. Rasanya, ia tidak bisa memilih salah satu saja. Namun, jika keduanya berjalan beriringan, rasanya sungguh tidak gampang.

"Namun, ada satu hal yang lebih penting dari keduanya, Mas, yaitu ratu hatiku itu," lanjut Rafif yang langsung mendapatkan lemparan bantal sofa oleh kakaknya. Keduanya pun tertawa.

"Kalian sedang ada masalah?" todong Mas Rafly seketika.

"Namanya rumah tangga, Mas. Pasti ada masalah. Komunikasi dan kompromi yang kurang pas saja. Namun, aku yakin semua akan membaik. Mas tenang saja!" jawab Rafif dengan santai. Mas Rafly pun hanya manggut-manggut saja.

"Mas penasaran, kamu sebenarnya bekerja untuk apa?" tanya Mas Rafly.

"Mencari nafkah untuk keluarga dan ingin menjadi manusia yang bermanfaat untuk banyak orang," jawab Rafif serius.

"Yakin? Bukan karena popularitas, 'kan?"

Rafif terdiam agak lama sembari mencerna kata tanya dari kakaknya. Ia kembali memikirkan niat utamanya melakukan pekerjaannya ini.

"Kalau benar niat bekerja seperti yang kamu bilang itu, masalah komunikasi dan kompromi itu nggak bakal berakhir pelik. Kebiasaan dari dulu nggak berubah, ya? Kalau kerja sering tak kenal waktu. Kamu sampai melupakan prioritas inti dalam hidup."

Rafif tercengang mendengar rentetan kalimat dari kakaknya itu. Ia sadar akhir-akhir ini kesibukannya memang luar biasa tak terkendali. Namun, kalau bukan karena misi tertentu, Rafif tidak mungkin bekerja segila itu.

"Seperti apa saja alasannya, keluarga itu tetap prioritas utama. Terutama, sang ratu. Isteri itu ibaratnya pelita dalam rumah tangga. Kalau ia dibuat bahagia, aura baik akan terpancar di dalamnya. Begitu pun sebaliknya, kalau ia dibuat nelangsa, aura negatif itu akan memancar dengan sempurna. Terkadang, para lelaki itu lupa cara membahagiakan wanitanya," ucap Mas Rafly seraya menarik napas agak panjang.

"Wanita itu tidak melulu berharap lelakinya selalu berada dalam jangkauan. Namun, jangan lupakan perhatian-perhatian kecil pada sang wanita. Sesibuk apa pun kamu, luangkan sedikit waktu untuk memberikan waktu terbaik untuk membuat sang ratu itu bahagia. Sebenarnya, sesederhana itu memahami wanita."

Belum sempat Rafif menyuarakan pembelaan diri, sang kakak sudah kembali bersuara.

"Jangan dibiasakan meninggikan ego kalau menghadapi wanita. Jangan merasa sudah paling benar sebelum menanyakan apa saja sebenarnya kemauan sang isteri. Terkadang, isteri itu selalu memainkan kode-kode untuk menunjukkan kemauannya. Makanya, tugas suami itu untuk lebih peka dalam menangkap sinyal-sinyal cinta yang disuguhkan wanitanya. Memang benar, wanita itu sering bersikap ajaib. Terkadang, apa yang mereka mau bukan seperti apa yang kita pikirkan. Oleh sebab itu, kita, sebagai lelaki yang sudah berjanji atas nama Gusti Allah untuk memuliakannya, harus terbiasa meladeni hal-hal tak terduga semacam itu."

Sesi curahan hati tiba-tiba terhenti karena panggilan dari Mbak Rahma. Ternyata, waktunya makan telah menyapa.

Suasana di meja makan tampak hening. Tak ada yang bersuara selain denting peralatan makan yang saling beradu.

"Mau berapa lama di sini, Ra?" tanya Mbak Rahma pada Yara yang saat ini masih fokus dengan makanan yang tinggal tiga suap lagi.

"Selamanya juga boleh, Mbak," sahut Yara sambil tersenyum lebar. Di mata kakak iparnya itu, Yara mencoba bersikap biasa saja. Padahal, hatinya sangat tersiksa.

"Lanjutkan dulu makannya, ngobrolnya nanti saja," pungkas Mas Rafly setelahnya. Lelaki itu tidak ingin pembicaraan serius tertahan di meja makan. Selain merusak nafsu makan, Mas Rafly juga mengetahui bahwa raut wajah adik lelakinya sudah berubah pucat sewaktu mendengar sahutan spontan dari sang isteri.

Acara makan telah usai semenjak satu jam yang lalu, Yara sudah diantar ke kamar yang akan ia tempati di sini. Ia memilih tinggal di asrama pengurus dibandingkan tinggal di kediaman kakak iparnya. Ia ingin beradaptasi di tempat ini. Yara berharap, rasa sepi itu tidak lagi menghampiri.

Menjelang sore, Yara masih berdiam diri di kamar. Ia memandang lurus ke arah jendela dengan pikiran melayang. Di lihat dari tempat duduknya sekarang, suasana sudah mulai ramai di luar. Orang-orang yang akan mengaji selama ramadan sudah tampak berdatangan.

"Mas-mu mau pulang, Ra. Nggak mau ketemu dulu?" tanya Mbak Rahma yang sontak membuat Yara kaget. Yara hanya menggeleng sembari menyuguhkan senyum tipis saja.

Akhirnya, Mbak Rahma menyerah membujuk Yara. Lalu, ia pamit untuk menemui Rafif yang sudah bersiap-siap pulang di rumahnya.

Yara masih dengan posisi yang sama. Ia melanjutkan berkelana dengan pikirannya. Bagi Yara, menjalani hukuman di tempat pengasingan mungkin tidak berat. Hanya saja, yang membuatnya rumit adalah bentangan jarak yang terhampar yang menjadikan muara rindu di hati semakin bersekat.

___________________

To be continued.

Jumpa lagi dengan perjalanan cinta Yara dan Rafif.🥰

Selamat membaca dan semangat beraktivitas.

Semoga urusan hari ini dipermudah yaa..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top