06. Rencana

Penyesalan hanyalah milik orang-orang yang tidak mempunyai rencana yang matang.

🌼🌼🌼

Di ruangan kerja yang agak lapang, Rafif merasa tidak tenang. Pikirannya bercabang. Antara segera menyelesaikan pekerjaan atau langsung pulang menemui wanitanya. Pasalnya, sedari pagi Rafif tidak bisa berpikir jernih. Rasanya, ia tidak nyaman melakukan apa pun.

Rafif lantas bangkit menuju kamar mandi kecil yang berada di sudut ruangannya. Ia berencana mengambil air wudu, berharap agar isi kepalanya tidak melayang.

Tepat di bagian ujung di dekat jendela, Rafif biasanya meletakkan beberapa referensi di sana. Buku-buku tebal berjejer rapi di sana. Namun, bukan itu yang ingin Rafif baca. Ia lebih memilih Al Qur'an yang ia percaya bisa menenangkan jiwa. Sungguh, Rafif ingin mengilhami setiap syair yang tercantum dalam lembaran kitab sucinya itu.

Setelah mencari posisi yang pas untuk melafalkan bait-bait indah itu, Rafif perlahan membuka secara acak lembaran ayat-ayatNya tersebut.

Seseorang pernah berkata pada Rafif, "Jika sedang bersedih maka bukalah Al Qur'an secara acak, lalu tunjuk ayat berapa pun itu. Kemudian, bacalah dan resapi maknanya! Jika Allah berkehendak, maka obat kesedihan itu bisa saja berasal dari serangkaian kalimat yang tertuang di sana."

Nasihat lama itu selalu terngiang pada diri Rafif. Tak jarang, ia melakukan hal tersebut. Toh, itu adalah hal baik. Maka dari itu, tidak ada salahnya resep sederhana itu diaplikasikan. Namun, poin pentingnya tidak terletak di sana. Bagi Rafif, bukan semata menyoal bacaannya, tetapi keyakinan pada diri terhadap Allah yang membuat segala keresahan berangsur membaik.

"Bismillah," gumam Rafif pelan. Ia langsung membuka kitab suci yang sedang ia pegang. Sembari memejamkan mata, ia menunjuk satu ayat yang nantinya akan ia baca.

Surat At-Taubah ayat 40 yang terpampang di sana. Rafif merenungi sebait kalimat cintaNya yang berbaris rapi. Ia membacanya dengan lirih. Ada sedikit hantaman yang mengenai hati. Seiring masalah rumah tangga yang menimpa, Rafif terlalu berlarut dalam duka. Tanpa benar-benar ia sadari bahwa ada Allah yang selalu membersamai. Seharusnya, Rafif tidak terlalu terlena dengan jebakan kesedihan yang menghimpit dada. Hingga, ia mengabaikan satu prioritas inti dalam hidup ini.

"Lagi ngapain, Fif? Dipanggil dari tadi nggak respons sama sekali. Kukira kamu pingsan," ucap seseorang yang kedatangannya tidak Rafif sadari itu. Sepertinya, ia terlalu sibuk berperang dengan diri sendiri sejak tadi.

Lelaki itu adalah Alan. Seseorang yang selalu datang pada waktu yang tidak tepat menurut Rafif.

Rafif lantas meletakkan Al Qur'an yang berada dalam genggaman pada rak paling atas. Lalu, ia menuju ke kursi kebesarannya. Bagi Rafif, lebih baik melanjutkan pekerjaan yang tertunda dibandingkan meladeni pertanyaan Alan yang terkadang tidak ada saringannya.

"Rencana yang kemarin jadi?" tanya Alan dengan nada serius. Rafif menoleh sejenak ke arah sahabatnya itu. Ia urung melanjutkan aktivitasnya.

"Jadi," jawab Rafif sembari berkutat lagi dengan tugasnya.

"Yakin? Kamu nggak bakal nyesel?" tanya Alan lagi. Sepertinya, sahabatnya itu berniat membuatnya ragu akan suatu rencana yang sudah ia susun rapi.

"Yakin," timpal Rafif kemudian. Alan hanya menghela napas. Rafif dan kemauan kerasnya memang sulit dipisahkan.

"Penyesalan hanyalah milik orang-orang yang tidak mempunyai rencana yang matang," tambah Rafif yang membuat Alan semakin kesal.

"Dasar nggak waras!" seru Alan sedikit keras sembari melangkahkan kaki meninggalkan ruangan.

Rafif terdiam cukup lama setelah mengutarakan keputusan akhir dari rencananya tersebut. Setelah ini, ia tidak ingin goyah.

Tanpa berpikir panjang, Rafif segera mengambil ponselnya. Ia mengabari sang isteri untuk tidak masak karena ia akan mengajak wanitanya itu untuk makan malam di luar. Selain menghabiskan waktu bersama, Rafif juga akan mengutarakan salah satu rencananya.

***

Andai cermin adalah sosok manusia, ia akan sangat bosan karena melihat wajah satu orang saja selama berjam-jam lamanya. Orang itu adalah Yara, yang sedari sore sudah bolak-balik menentukan dress yang pantas untuk acara makan malam dengan suaminya nanti.

Sudah terhitung lima macam dress dengan berbagai model yang Yara singkirkan. Akhirnya, pilihan Yara jatuh pada dress sederhana tetapi tampak elegan begitu melekat di badannya. Dress dengan warna smoke cream itu merupakan produk dari salah satu brand lokal ternama di negeri ini. Yara membelinya sekitar enam bulan yang lalu pada temannya yang merupakan salah satu agen dari brand tersebut.

Selepas Magrib, Yara kembali mematut diri di depan cermin. Ia membubuhkan sedikit riasan pada wajahnya. Sebenarnya, ia bukan tipikal wanita yang gemar berdandan. Namun, untuk malam ini adalah pengecualian.

"Sudah siap?"

Suara yang dinanti-nantikan Yara itu cukup mengagetkan. Padahal, Yara sudah mewanti-wanti pada diri untuk segera bersiap agar bisa menyambut sang suami sebelum lelakinya itu sampai di rumah. Namun, Yara kalah cepat. Suaminya sudah terlebih dahulu berdiri gagah di belakangnya.

"Sebentar lagi ya, Mas. Masih mau benerin pasmina dulu," jawab Yara santai.

Yara memang masih mau memakai pasmina yang warnanya senada dengan dress yang ia kenakan ketika suaminya datang tadi. Rafif hanya tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Lelaki itu segera menyingkir ke luar kamar dan menyampaikan kode bahwa ia akan menunggu di luar.

***

Sesampainya di restoran khas Negeri Sakura, Rafif dan Yara berjalan bersisian. Keduanya menuju tempat yang sudah Rafif pesan. Restoran yang mereka datangi kali ini adalah tempat makan favorit Yara. Suasananya damai dan homey. Sehingga, pas sekali untuk menikmati makan malam berdua dengan pasangan atau pun beramai-ramai dengan keluarga.

"Mau pesan apa?" tanya Rafif pada sang isteri setelah dua orang itu menempati tempat duduknya masing-masing.

"Bingung, Mas," jawab Yara sembari membaca buku menu dengan hati-hati.

"Hot Pot Chicken Ramen, Tempura, minumnya Kiwi Lemonade ya, Kak," ucap Yara pada pegawai restoran yang bertugas mencatat pesanan tersebut.

"Aku mau itu saja. Mas mau pesan apa?" tanya Yara setelahnya.

"Chicken Crispy Mango Sauce dan Lemon Tea," ucap Rafif menyebutkan menu pesanannya.

Setelah mengulangi daftar pesanan Yara dan Rafif, pegawai itu menanyakan apakah ada pesanan tambahan yang langsung dibalas Yara dengan gelengan.

"Nggak mau es krim sekalian?" tanya Rafif memastikan. Pasalnya, isterinya itu sangat menyukai varian es krim di tempat ini.

"Boleh?" Yara balik tanya. Wanita itu tampak ragu-ragu mengutarakannya.

"Boleh, Sayang," timpal Rafif dengan menyajikan senyum yang lebar.

"Tambah Affogato Coffee satu ya, Kak," seru Yara dengan semangat.

Setelah sang pegawai meninggalkan dua orang itu, keadaan kembali sunyi. Tak ada yang bersuara lagi sampai pesanan keduanya datang.

Setelah itu, Yara dan Rafif menyantap makanan yang terhidang di meja dengan hening. Mereka berdua tampak fokus hingga makanan hampir tandas. Kali ini, yang tersisa hanya satu cup Affogato Coffee kesukaan Yara.

"Mas mau?" tawar Yara sambil menyodorkan es krim di depan lelakinya itu.

"Habisin saja, Sayang. Mas sudah kenyang," balas Rafif singkat. Yara hanya mengangguk saja sembari menekuri es krim yang tinggal beberapa suap.

Setelah menu yang dipesan habis, Rafif melontarkan tanya yang membuat degup jantung Yara tak berirama. Rasa takut yang bercokol di hati wanita itu tak mampu dicegah. Harap-harap cemas, Yara mendengarkan sederet tanya dengan saksama.

"Mas boleh bicara serius?" tanya Rafif pada sang isteri. Yara hanya diam saja. Ia tampak enggan untuk menanggapi kata tanya dari suaminya.

"Mas minta maaf kalau sudah membuatmu merasa nggak nyaman selama ini. Ada sederet rencana yang harus Mas kejar. Itulah sebabnya Mas sibuk akhir-akhir ini," kata Rafif dengan serius seraya menatap lurus ke arah Yara. Wanita itu hanya menunduk saja.

"Komunikasi kita memang perlu diperbaiki. Ego kita mungkin harus ditekan lebih kuat lagi. Agar kejadian seperti beberapa waktu yang lalu tidak terjadi," jelas Rafif dengan pelan.

Suasana mendadak senyap. Yara sama sekali belum berucap.

"Sebelum Mas lanjut, ada yang mau disampaikan?"

Pertanyaan spontan dari Rafif membuat Yara berpikir keras. Sebenarnya, ia ingin meluapkan segala resah yang mengganggunya. Namun, ia takut jika pemilihan katanya kurang berkenan sehingga membuat nuansanya semakin mencekam.

"Aku minta maaf, Mas. Aku sudah melakukan kesalahan besar. Mas Rafif pasti paham alasan aku melakukan itu tanpa penjelasan yang detail sekali pun," ungkap Yara agak terbata. Ia menahan tangis yang sudah mengapung di sudut matanya

"Mas tahu, Sayang. Mas juga turut andil dalam kesalahan itu. Namun, perihal interaksi dengan lawan jenis yang agak berlebihan, itu sudah menabrak aturan. Seharusnya, hal semacam itu tidak perlu dilakukan jika komunikasi antara kita berdua lebih baik. Jujur, Mas kaget. Soalnya, itu bukan gayamu melakukan hal gegabah semacam itu. Biasanya, Yara-ku selalu melakukan sesuatu dengan penuh perhitungan," ucap Rafif dengan gamblang.

"Yara-ku," bisik hati Yara. Ia semakin khawatir membayangkan hal buruk yang akan menghampirinya.

"Maaf."

Hanya kata singkat itu yang berhasil keluar dari bibir Yara.

"Saling memaafkan ya, Sayang. Sebentar lagi Ramadan, sudah sepantasnya tidak ada lagi beban hati yang mengganjal," kata Rafif dengan tenang.

"Namun, ada satu permintaan Mas agar ke depannya hubungan antara kita semakin membaik. Boleh?"

Pertanyaan dari Rafif barusan menyita perhatian Yara. Wanita itu kembali mencerna. Ada rasa was-was yang membayangi sukma.

"Mas nggak memintaku pergi dari hidup Mas, 'kan?" tanya Yara agak panik. Rafif hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Yara tersebut.

"Mas minta, selama Ramadan nanti, kamu tinggal di As-Syarif untuk bantu-bantu Mbak Rahma. Seperti biasanya, orang-orang banyak menghabiskan waktu Ramadan untuk ngaji di sana. Makanya, Mbak Rahma butuh tenaga ekstra untuk meng-handle kegiatan itu," ucap Rafif dengan tegas.

"Mas nggak bercanda, 'kan? Dengan keadaan kita yang tidak baik-baik saja seperti sekarang, Mas malah menyuruhku ke tempat terpencil itu. Mas sengaja mau mengusirku secara perlahan?"

Yara sudah berubah kesal. Rasa manis es krim yang ia telan terasa hambar. Padahal, ia yakin kalau sisa manisnya tadi masih tertahan di tenggorokan.

Saat ini, Yara terasa seperti kehabisan akal. Tangis yang sedari tadi ia tahan seketika tumpah. Perasaannya remuk mendengar keputusan sepihak dari suaminya itu. Ia ingin membantah. Namun, ia juga salah.

Yara mendengus keras. Ia benar-benar marah pada suaminya kali ini. Ia tidak bisa membayangkan betapa nelangsanya hidup di tempat terpencil tanpa suami di sisi. Meski ia selalu menyukai aura kedamaian yang disajikan tempat itu, tetapi jika dengan kondisi hatinya yang masih panas, Yara tidak yakin akan bertahan dengan baik di sana.

_________________
To be continued.

Terimakasih yang sudah berkenan untuk membaca kisah Yara dan Rafif. 🌹

Sengaja tidak dibagikan menu menggiurkan ala dua pasangan itu. Soalnya masih terlalu pagi. Takut khilaf. Jadi, bayangkan saja, ya! 🤭

Oh, iya, krisan dengan bahasa yang elegan sangat ditunggu ya man teman. ❤

Semangat berpuasa. Semoga aktivitas hari ini lancar jaya. 🤲✊

I love u all.. 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top