05. Alasan

Menjadikan kesepian sebagai alasan untuk menghadirkan tokoh baru dalam suatu ikatan sungguh tidak bisa dibenarkan.

🌼🌼🌼


Gemericik hujan mengaliri semesta. Suara-suara nyanyian alam itu tak henti menggema. Di salah satu sudut ruangan, Yara sedang menikmati aliran air kiriman dari sang penguasa jagat maya dengan tatapan yang tak terbaca.

"Sebenarnya, aku memang sedang kesepian atau aku hanya tidak terbiasa dengan kesendirian, sih? Seharusnya, kalau aku sekadar merasa sepi, aku cukup meramaikan diri dengan bercengkerama dengan pencipta alam atau merayuNya dengan hangat agar keberkahan hidup semakin tersemat," bisik Yara dalam hati.

Kali ini, perang batin di hati Yara sungguh tidak bisa dihindari. Rasa bersalah dan keinginan untuk menyangkal bahwa ia tidak melakukan kesalahan bergumul menjadi satu. Yara gelisah sendiri.

Di tengah kegiatan melamun yang sangat menyita waktu, suara dering panggilan masuk dari ponselnya mencipta kebisingan. Yara melirik sekilas, satu nama yang begitu lama absen menjadi pengganggu itu tak disangka hadir.

"Assalamualaikum," ucap Yara pelan.

"Waalaikumussalam. Ya Allah, lemes amat sih. Ada masalah?" pekik suara dari seberang yang membuat telinga Yara pengang.

Yara terkekeh sendiri mendengar tembakan yang tepat sasaran dari orang itu. Pasalnya, ia belum menceritakan apa-apa. Sang penelpon itu seolah sudah paham keadaannya.

"Sok tau deh," sahut Yara mengelak.

"Kita pernah satu kamar selama empat tahun, ingat? Aku sampai hapal luar dalam tentangmu, Ra. Masih menyangkal?" seru orang itu dengan heboh.

Sang penelpon itu adalah Firda. Satu-satunya sahabat Yara, yang paling mengerti wanita itu bahkan sampai hampir keseluruhan isi hatinya. Sering bersama-sama kurang lebih empat tahun selama di asrama membuat mereka berdua begitu dekat. Bagi Yara, Firda adalah sosok sahabat terbaik. Tempat cerita dan pemberi solusi yang baik kala itu, atau mungkin hingga saat ini.

Yara masih belum membuka suara. Ia masih merenungi permasalahan hidup yang sedang menimpa.

"Haruskah aku bercerita? Apa boleh membahas problematika rumah tangga pribadi dengan penghuni luar?" tanya hati Yara yang masih berkecamuk.

"Kalau memang nggak patut dibahas, nggak usah cerita, Ra. Namun, kalau kamu mau sedikit lebih lega, cerita saja! Nggak harus semua kok, garis besarnya juga bisa," ujar Firda kemudian.

Yara heran. Padahal, ia belum menjelaskan apa-apa. Namun, sahabatnya ini seolah mengetahui kecamuk hati yang baru saja Yara rasakan.

"Bingung mau mulai ceritanya dari mana, Fir," ucap Yara lesu.

"Dari tadi juga bisa, Ra," timpal Firda sambil tertawa yang sontak membuat Yara berdecak. Ia sungguh kesal dengan sahabatnya itu. Wanita itu memang kerap bercanda. Padahal, tema yang dibahas terkadang cukup serius.

"Aku habis melakukan kesalahan, Fir. Lumayan besar. Aku sengaja memancing amarah Mas Rafif. Kamu ingat Viren?"

"Virendra Malik? Sang aktivis kampus fenomenal, yang dulu pernah mampir ke hatimu itu, ya?" sahut Firda penasaran.

"Ya, lelaki itu," jawab Yara singkat.

"Beberapa bulan lalu, aku ketemu sama dia. Aku nggak tahu kalau dia aslinya orang sini. Kami nggak sengaja ketemu di acara amal yang sedang kuikuti. Ternyata, Viren adalah salah satu tim penggerak komunitas amal itu. Setelah itu, pertemuan berlanjut. Nggak ada hal penting yang dibahas kecuali diskusi tentang kegiatan amal," cerita Yara dengan santai. Ia berhenti sejenak untuk mengambil napas.

"Viren juga pernah mengantarku pulang karena memang katanya tempat tinggal kami searah. Jadi, aku nggak bisa nolak. Namun, bukan itu intinya. Masalahnya, aku membuat kesalahan dengan memanfaatkan kedekatan kami berdua untuk menarik perhatian Mas Rafif. Aku tahu beberapa waktu yang lalu suamiku menyuruh asistennya untuk mengamati aktivitasku," lanjut Yara. Ia merasa lelah bercerita panjang lebar seperti ini. Namun, sudah kepalang tanggung. Kalau tidak dijelaskan semua, sahabatnya juga akan salah paham.

"Puncaknya, waktu di kafe, aku sedang mengobrol berdua dengan Viren selepas Magrib. Kebetulan, rekan-rekan yang lain sudah pulang duluan. Aku sengaja mengulur waktu karena tak sengaja melihat asisten Mas Rafif berada di kafe bagian luar. Aku yakin Mas Rafif akan menyusul kalau sampai malam aku belum pergi dari tempat itu."

Yara menghela napas. Ia memberi jeda sebentar sebelum melanjutkan. Di seberang sana, Firda masih mendengarkan dengan saksama.

"Tebakanku benar. Mas Rafif benar-benar datang. Setelah melihatnya, aku sengaja bersikap agak intim dengan Viren. Habislah aku setelah itu, Fir. Mas Rafif jadi dingin banget padaku. Perhatiannya memang masih sama, tetapi tatapan mesra itu nggak ada lagi," pungkas Yara dengan nada semakin melemah. Ia menyesal telah melakukan hal konyol itu.

Yara teringat kembali kejadian itu. Di mana saat Viren terkejut ketika tangannya digenggam. Yara cukup sadar menyoal ketertarikan lelaki itu padanya. Maka dari itu, ia berlaku jahat dengan menjadikannya tameng atas niat terselubungnya. Apalagi, Yara belum sempat menjelaskan pada Viren perihal statusnya sebagai isteri orang. Maka dari itu, teman lama yang sekaligus cinta lama Yara itu tak menyadari.

"Sudah ceritanya?" tanya Firda membuyarkan lamunan Yara.

"Kurang lebih seperti itu, Fir," jawab Yara singkat.

"Ini mau dikasih komentar pedas level berapa, Ra?" tanya Firda lagi. Yara semakin gusar. Pasalnya, sahabatnya ini kalau memberi masukan bisa begitu pedas seperti sambal.

"Sebelum ngasih feedback, aku mau tahu dulu alasanmu melakukan itu apa, Ra? Aku nggak mau berpikir subjektif. Makanya, aku butuh penjelasan mengenai alasanmu sampai kamu berani melakukan hal memalukan itu. Jangan bilang hanya masalah sepele terus kamu besar-besarkan," kata Firda kemudian.

"Kamu tahu kalau aku paling nggak suka kesepian 'kan, Fir. Selama ini, kealpaan orangtua menemaniku bertumbuh, membuatku selalu bergantung pada orang lain untuk bisa meraih bahagia. Dulu, ada nenek yang selalu melimpahkan kasih sayang dan perhatiannya. Terus, sewaktu di asrama, ada kamu yang gantiin peran nenek. Setelah menikah, ada Mas Rafif yang kuharap bisa menjadi teman sepi sepanjang waktu. Makanya, begitu Mas Rafif sedang sibuk-sibuknya dengan dunianya, aku merasa kesepian lagi. Di sudut hatiku ini, seolah ada yang kosong," jelas Yara menggebu.

"Apalagi, selepas menikah, aktivitasku monoton, Fir. Mungkin, label negatif sebagai ibu rumah tangga tidak pernah ada, karena pemikiran orang-orang di lingkungan sini lebih terbuka. Namun, tetap saja. Aku kadang juga bosan. Biasanya kita nggak berhenti melakukan banyak aktivitas, 'kan? Ritme yang timpang itu membuat pikiranku buntu. Baru sekitar tiga bulan ini aku ketemu komunitas amal itu, yang sayangnya, aku malah melakukan kesalahan fatal," ungkap Yara setelahnya.

"Terlebih, aku belum punya anak. Sudah dua tahun menikah loo, Fir. Apa nggak bikin aku was-was itu? Kesibukan Mas Rafif yang nggak ada habisnya itu menjadikan program yang harusnya sudah berjalan dengan baik malah tertunda. Aku 'kan kesal, Fir."

Tangis Yara seketika pecah selepas menuntaskan cerita dengan detail. Ia juga sudah menjelaskan alasan versinya pada Firda. Sahabatnya itu tampak sedang menghela napas.

"Ra, denger! Kalau orang lain yang nggak kenal sama kamu, mungkin sikap kamu ini dibilang berlebihan. Minta disayang-sayang kok harus melakukan kesalahan. Namun, aku sudah kenal kamu cukup lama. Maka dari itu, aku paham banget apa yang kamu rasakan. Kamu dan rasa sepi itu memang nggak bisa disatukan," ucap Firda seraya mengatur napas untuk melanjutkan nasihat atau nanti bisa berubah menjadi komentar pedas.

"Kalau itu orang lain, aku mungkin akan bilang 'otak cerdas yang kamu miliki itu kok mendadak lumpuh sih, Ra?' Namun, sebagai sahabat, aku akan terkesan jahat kalau sampai mengucapkan itu. Aku tidak ingin berpikir hanya satu arah saja," jelas Firda sambil terpingkal.

"Ra, kamu tahu sendiri bahwa menjadikan kesepian sebagai alasan untuk menghadirkan tokoh baru dalam suatu ikatan sungguh tidak bisa dibenarkan," pungkas Firda mengakhiri sesi ceramahnya.

"Kamu nggak jadi marah-marah sama aku, Fir?" tanya Yara setelahnya. Ia sadar bahwa sikapnya sudah di luar batas. Maka dari itu, Yara sudah pasrah jika mendapatkan amukan dari sang sahabat.

"Kamu beneran mau dimarahi, Ra?" Firda balik bertanya.

"Nggak! Enak saja. Eh, terimakasih ya nggak semakin menambah buruk suasana hatiku," ucap Yara tulus. Ia begitu bersyukur memiliki sahabat seperti Firda. Wanita itu selalu bisa memposisikan diri dengan baik sebagai sosok sahabat yang sangat bisa diandalkan.

"Sudah ya, Ra. Kapan-kapan lagi dilanjut celotehannya. Ingat ya, Ra! Kamu itu baik. Kamu nggak harus merendahkan harga dirimu untuk mencapai keinginanmu. Perihal bahagia, itu kamu bisa menciptakan. Tidak harus selalu menunggu orang lain untuk membahagiakanmu. Kamu harus mencari kegiatan apa saja yang bisa membuat hatimu nggak lagi kosong meski minim afeksi dari orang lain. Untuk persoalan dengan Mas Rafif, itu urusan kalian berdua. Aku yakin kamu sebenarnya sudah tahu akan melakukan apa untuk memperbaiki semua. Semangat, sahabatku."

Hati Yara tersentuh begitu mendengar petuah dari sahabatnya itu. Ia sungguh terharu.

Setelah melakukan sesi curhat yang begitu panjang, Yara kembali dengan pikirannya yang masih sedikit kacau. Namun, kali ini ada rona bahagia yang menyusup lembut di dasar hatinya. Yara bertekad untuk mengisi hari-harinya dengan lebih semangat. Ia harus memulai kembali membuat daftar keinginan yang ingin ia capai. Tentu saja, suatu hal yang bisa membuat dirinya lebih bahagia.

"Bismillah, aku yakin bisa," gumam Yara seraya mengepalkan tangannya dengan penuh semangat.

[Sayang, nanti nggak usah masak untuk makan malam. Kita dinner di luar, ya!]

Satu pesan singkat dari sang suami semakin membuat secercah semangat di hati Yara berkobar. Senyum di bibirnya pun tak henti mengembang.

__________________

To be continued.

Bagaimana part ini?

Semoga teman-teman suka, ya. ❤

Eh iya, selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga dimudahkan segala urusannya. 🤲

Mas Rafif dan Yara belum ikutan berpuasa. Mungkin, sekitar dua part lagi deh. 🤭

Btw, semangat beraktivitas. 🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top