04. Janji
Kaukah itu? Yang berjanji di bawah naungan agama dan negara untuk merajut cinta yang utuh, sekaligus menjadi satu-satunya penyumbang duka paling ampuh?
🌼🌼🌼
Sudah sewajarnya jika ikrar suci atas nama pernikahan itu harus dijaga dengan sungguh-sungguh. Sebab, janji itu bukan hanya disepakati oleh sepasang insan. Akan tetapi, ikatan resmi itu disaksikan langsung Zat yang maha agung. Maka dari itu, ingkar terhadap perjanjian mulia itu sama halnya dengan menodai restu sang maha kuasa.
"Sudahkah aku menjadi pasangan yang baik?" gumam Yara lirih. Beberapa hari ini, ia membaca kembali isi hati dan pikirannya. Yara tak henti merenungi khilaf yang tak bisa ia cegah kala itu.
"Kaukah itu? Yang berjanji di bawah naungan agama dan negara untuk merajut cinta yang utuh, sekaligus menjadi satu-satunya penyumbang duka paling ampuh?" ujar Yara pada diri.
Mungkin memang benar bahwa Yara bersalah. Namun, sang suami juga ikut andil dalam kesalahannya itu. Kalau saja tidak dibiarkan kesepian, Yara tak mungkin melakukan hal memilukan seperti itu.
Malam sudah semakin larut. Saat ini, Yara masih bergelung dengan selimut. Namun, matanya tak mampu sedikit pun terpejam. Ia rindu masa-masa berbagi cerita singkat menjelang tidur dengan suaminya. Ia rindu rasa hangat berbagi dekap dengan lelaki istimewanya.
"Tidak selamanya, hubungan ini akan berjalan mulus. Ada masanya kerikil tajam itu menerjang. Bisa jadi, hal tersebut mampu memicu kehancuran. Makanya, penting banget bagi pasangan untuk selalu membangun momen. Salah satunya ya dengan berbicara dari hati ke hati sebelum tidur seperti yang kita lakukan ini. Itulah cara kita memperkokoh pondasi hubungan ini. Kalau tidak diperkuat, bisa saja ikatan yang berusaha kita rawat dengan baik, akan tumbang."
Setitik bulir bening dari netra Yara menetes ketika mengingat kembali kata-kata menyejukkan dari suaminya itu.
Janji hanya sebatas janji. Kini, Yara telah kehilangan momen yang selama ini mewarnai.
Dalam keadaan hening ini, Yara mendengar suara derap langkah yang agak tergesa mendekat. Dari aroma yang menguar di sekeliling, Yara begitu hapal dengan semerbak bau yang terhidu pada indera penciumannya. Yara seolah berhalusinasi. Ia seperti bermimpi mendapati seseorang yang begitu ia rindu berada tidak jauh darinya. Kali ini, Yara pura-pura memejamkan mata. Ia tidak ingin terlalu berharap. Ia takut dengan pikiran tak masuk akal yang memenuhi kepalanya.
"Sudah tidur ternyata," bisik Rafif pelan yang tentunya masih mampu Yara dengar.
Rafif perlahan mendekat. Merebahkan diri tepat di samping Yara. Lelaki itu mengamati sang isteri yang telah terlelap dengan membelakanginya. Napasnya tampak tersengal.
"Maaf," ucap Rafif singkat sambil tetap memandangi tubuh lelap isterinya.
Di sisi Rafif, Yara sedikit menegang. Ia mati-matian menahan tangisnya yang sebentar lagi keluar.
"Harusnya, aku duluan yang meminta maaf, 'kan?" kata Yara dalam hati.
Yara begitu tersiksa dengan keadaan semacam ini. Baginya, Rafif berlaku kejam dengan tak berhenti menghukumnya dengan rasa bersalah yang kian hari semakin meninggi.
Padahal, kalau Yara mengetahui, Rafif tidak berpikir demikian. Lelaki itu juga merasa, secara tak sadar, telah menyakiti hati sang isteri. Terutama, dalam hal menyumbang kesepian yang mendalam. Namun, Rafif sungguh tidak bermaksud begitu. Ada beberapa misi tersembunyi yang masih Rafif simpan rapi. Yakni, kejutan indah untuk sang isteri. Namun, yang terjadi malah lelaki itu yang terkejut sendiri dengan ulah sang pujaan hati.
Keadaan kembali senyap, dua insan itu telah terlelap setelah lelah berperang dengan gejolak batin masing-masing.
***
Selepas Subuh, Yara sudah sibuk di dapur. Rencananya, ia akan membuat Choco Brownies kesukaan sang suami. Kebetulan, ada sisa cokelat batang yang masih cukup untuk membuat satu porsi. Sehingga, ia memutuskan untuk membuat kudapan legit favorit Rafif tersebut.
Sambil menunggu sang suami pulang dari masjid, ia menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat brownies tersebut. Tak membutuhkan waktu lama, adonannya siap dipanggang. Yara memang sengaja memakai resep sederhana ala dirinya sendiri. Biar lebih cepat matang dan siap dinikmati untuk sarapan.
Rafif memang tidak terbiasa memakan nasi sebagai menu sarapan. Secangkir kopi dan sepotong kue atau sandwich sudah cukup untuk mengganjal perut lelaki itu. Kalau pun masak nasi goreng, Rafif akan memasak hanya untuk sang isteri dan ia akan memasukkan ke kotak bekal untuk dibawa ke kantor.
"Bikin apa?" tanya Rafif mendadak yang membuat Yara tersentak.
"Brownies, Mas. Sebentar lagi matang. Tunggu, ya!" ucap Yara sedikit lebih santai. Ia mencoba untuk bersikap biasa saja di hadapan Rafif. Meskipun, ada sederet persoalan yang masih butuh kejelasan.
"Oke," timpal Rafif singkat. Lelaki itu perlahan meninggalkan area dapur untuk bersiap-siap.
Yara menghela napas. Ternyata, hawa dingin itu masih menyelimuti. Yara pikir, setelah kejadian menyejukkan tadi malam, hubungan mereka akan berangsur membaik. Namun, Yara salah. Tatapan hangat dari lelakinya itu masih belum juga kembali utuh. Namun, Yara masih bersyukur. Diberi maaf oleh suaminya saja, ia masih untung.
Selang dua puluh menit, brownies cokelat sudah siap disajikan. Ia begitu puas melihat hasil karyanya ini. Meski sederhana, tetapi rasanya selalu luar biasa. Itu sih yang selalu Rafif ucapkan dulu. Entah kalau sekarang, pujian manis itu apa masih Yara dapatkan.
"Alhamdulillah, selesai. Tinggal bikin kopi saja," seru Yara dengan riang.
"Sudah jadi?" ucap Rafif setelah berada di dekat meja makan. Lelaki itu sudah berpenampilan rapi.
"Sudah, Mas. Selamat menikmati," sahut Yara masih dengan penuh semangat.
"Di sini saja, ya! Temani Mas."
Yara masih terdiam. Ia mencerna permintaan Rafif barusan. Sungguh, Yara agak terkejut. Baru saja ia akan meninggalkan tempat itu. Suara Rafif sontak menahannya. Tadinya, ia berpikir kalau suaminya itu tidak nyaman kalau ia berada di sekitarnya. Namun, bayangan Yara terbantahkan dengan kata singkat yang meluncur dari Rafif itu.
Yara ragu-ragu mendaratkan diri di kursi tepat di depan Rafif. Aura sepi itu masih ada. Namun, kali ini berbeda. Masih ada hangat yang menyapa.
"Aaaa.. " ujar Rafif sembari menyodorkan secuil brownies di hadapan Yara. Wanita itu tampak bingung. Namun, ia menyadari bahwa sang suami bermaksud ingin menyuapinya.
Yara begitu terharu setelah seiris brownies itu berhasil masuk ke dalam mulutnya. Matanya berembun. Kalau tidak ia tahan, air matanya pasti akan tumpah saat ini juga.
"Mas berangkat dulu, ya? Baik-baik di rumah. Assalamualaikum," ucap Rafif sambil berlalu dari hadapan Yara.
Yara masih tertegun di tempat. Setelah membuat hatinya jumpalitan, lelaki itu meninggalkan Yara sendirian. Cara berpamitan Rafif juga dirasa Yara kurang tepat. Tak ada jabat tangan apalagi kecupan di kening, meski singkat. Yang ada hanyalah senyuman segaris yang sangat tipis yang begitu membekas.
"Ternyata, belum ada yang berubah," batin Yara sembari meluncurkan tangisnya dalam diam. Rasanya, ia ingin mengejar Rafif untuk sekadar melambaikan tangan. Namun, kakinya seakan tertahan oleh perasaan yang berkecamuk yang sampai detik ini mengisi lubuk hati paling dalam.
***
Dalam perjalanan, Rafif sungguh tak tenang. Pikirannya kembali melayang pada wanitanya di rumah. Ia tidak tahan menatap bola mata pujaan hatinya yang hampir pecah. Ia tidak siap menenangkan orang lain sedangkan hatinya sendiri masih belum sembuh dari patah.
"Maaf," bisik hati Rafif spontan.
Rafif menyadari kesalahan yang baru saja ia lakukan. Sungguh, ia ingin sekali berdamai dengan keadaan. Namun, di sudut hatinya masih ada setitik ragu yang menahan.
Rafif kembali menekuri jalan raya yang mulai padat. Ia tidak ingin melakukan hal di luar nalar yang bisa saja merugikan orang lain. Apalagi, masalahnya hanya karena lamunan seperti anak remaja yang baru terjerat cinta. Sungguh memalukan.
Jarak antara kantor dan rumah sebenarnya tidak begitu jauh. Namun, hari ini perjalanan yang ditempuh oleh Rafif seolah lama sekali. Entah karena mobilnya yang tidak bisa berjalan cepat atau memang pikirannya yang sedang tersumbat.
Sesampainya di tempat parkir di kantornya, Rafif tidak langsung masuk ke dalam. Ia berdiam diri sejenak di dalam mobil.
"Perjuangan mempertahankan ikatan ternyata masih panjang," pikir Rafif seketika. Ia berniat menepi sejenak dari isterinya, tetapi ia merasa bahwa hatinya sendiri ikut tersiksa.
"Allah," gumam Rafif sedikit tertahan.
Kali ini, Rafif harus meyakinkan diri. Kalau ingin tetap bertahan, ia harus melakukan cara terbaik sesuai aturan Tuhan. Ia akan memperbaiki sebait janji yang hampir berantakan.
________________
To be continued.
Bonus Resep Brownies ala Yara. 🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top