01. Runtuh

Mengobati rasa kecewa mungkin mudah. Namun, membangun kembali rasa percaya itu sangat susah.

🌼🌼🌼

Kafe bernuansa klasik yang berada agak jauh dari pusat kota ini terbilang sepi. Auranya yang terkesan dark itu semakin menambah sunyi. Tidak banyak pengunjung yang datang malam ini. Hanya ada sekitar tiga pasang anak muda yang sedang menikmati kopi dan kudapan yang tersaji di meja dengan sangat hening. Bahkan, suara deru napas masing-masing mungkin mampu menyusup indera dengar mereka, saking tidak adanya suara yang menggema di sekeliling.

Lelaki yang baru saja datang itu memindai ke berbagai penjuru seolah ada hal istimewa yang sedang ia buru. Langkah lelaki yang berpenampilan rapi itu sontak terhenti. Ia membatu di tempat. Pasalnya, ada satu pasangan lagi yang berada di area tergelap di tempat ini. Keadaan ruangan yang remang-remang membuat pandangan matanya luput mengawasi gerak-gerik sepasang insan yang sedang kasmaran di kursi bagian ujung sana.

Lelaki dengan bola mata hitam legam itu berulang kali mengerjapkan mata sekadar untuk meyakinkan diri kalau penglihatannya sudah tepat. Setelah memastikan sejenak, rahangnya seketika mengeras mendapati dua orang yang sedang duduk berdempetan dengan tangan yang saling bertaut itu. Keduanya tampak tertawa serempak entah ada hal lucu apa yang membuat mereka tampak bahagia. Lelaki itu berusaha susah payah untuk menekan emosinya sewaktu menyaksikan pemandangan yang ada di depannya. Ia harus mampu menguasai diri sebelum menemui kedua orang yang sedang dilanda asmara itu.

"Nyonya sedang di Kafe Klasiku, Tuan. Mohon maaf, saya tidak bisa mengikutinya sampai ke dalam. Untuk lebih jelasnya, Tuan datang langsung ke alamat yang baru saja saya kirim."

Itu adalah pesan singkat yang dikirim oleh asisten lelaki yang sedang mengamati dua sejoli yang sedang dimabuk cinta tersebut. Sekitar tiga puluh menit yang lalu, sang pria bagai orang kesetanan menyetir mobil ke tempat ini begitu menerima pesan yang membuat hatinya berkecamuk. Pikirannya sudah tidak tenang. Amarah yang ia tahan selama ini seolah ingin meledak. Sebagai lelaki, ia merasa gagal membangun ikatan. Selama ini, media selalu memberitakan kesuksesannya menjadi pengacara muda yang berbakat, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa menjadi seonggok sampah yang tidak becus menjaga belahan jiwanya.

Lelaki itu bernama Rafif Omar Syarif. Pemilik firma hukum yang begitu terkenal di kota yang memiliki motto Ragom Gawi ini. Karena kerap memenangkan beberapa kasus yang dianggap sulit, ia sering menjadi langganan untuk menjadi pengacara para petinggi di kota ini yang membuat namanya semakin melambung hingga saat ini.

Bahkan, beberapa bulan yang lalu, ia didapuk untuk mendampingi calon gubernur yang merupakan terduga kasus korupsi. Kasusnya terbilang panas. Dengan demikian, namanya sebagai pengacara muda turut menjadi sorotan dan ramai diperbincangkan.

Rafif, begitu orang-orang memanggilnya, tanpa sadar menitikkan air mata. Ia merasa menjadi laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Padahal, menurutnya, ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk meluangkan waktu demi sang pujaan. Namun, Rafif tidak menyangka kalau hal tersebut masih dianggap kurang. Sehingga, wanitanya lebih nyaman mendapatkan perhatian kecil dari laki-laki lain.

"Maafkan aku, Tuhan. Aku yang salah. Aku lalai mengemban amanah," gumam Rafif pelan sembari menghela napas kasar. Sungguh, ia tidak bisa berdiam diri saja seperti ini melihat sang wanita sudah berlaku hampir melampaui batas.

Selama tiga bulan ini, Rafif yang merasa aneh dengan tingkah wanitanya, langsung mengutus orang kepercayaannya itu untuk mengawasi sang isteri dan laki-laki yang membuat wanitanya tertarik. Kini, Rafif harus menemui dua sejoli yang berada tidak jauh darinya itu seorang diri sebelum keduanya lepas kendali.

Rafif tidak berpikir terlalu jauh belakangan ini. Ia kenal wanitanya dengan sangat baik. Sosok wanita cerdas dan berpendirian teguh yang selalu membuatnya kagum. Sungguh, perhitungan Rafif meleset. Ia tidak menyangka kalau hal semacam ini bakal terjadi.

"Bolehkah aku meminta satu hal? Seperti apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah tinggalin aku ya, Mas! Meski masalah yang menimpa berat, kita hadapi sama-sama. Sungguh, aku tidak bisa membayangkan jika harus menghabiskan sisa hidupku tanpamu, Mas."

Sederet kalimat itu masih terekam jelas dalam ingatan Rafif. Kata-kata yang meluncur dari wanitanya beberapa purnama yang lalu. Wanita istimewa yang begitu takut ditinggalkan. Wanita istimewa yang sangat tidak menyukai kesepian.

"Lalu, siapa yang sedang ditipu kali ini?" bisik hati Rafif bergemuruh.

Kini, pemandangan yang terpampang di depannya jelas menyiratkan bahwa rasa percaya Rafif terhadap wanitanya runtuh. Lelaki itu menyadari bahwa ia ikut andil pada sikap sang isteri. Namun, bukan seperti ini pembalasan yang setimpal untuk membayar waktu yang hilang. Tentu saja, ada cara lain yang lebih elegan, yang tidak menimbulkan rasa kecewa yang mendalam.

"Astaghfirullah."

Kata ampunan itu berkali-kali meluncur di bibir Rafif. Rasa marahnya yang hampir menggunung seketika berubah. Sebab, bagi Rafif, melanggengkan emosi tidak akan membuat situasi lebih terkendali.

Setelah mengusap setitik bulir bening yang menetes dari netra. Rafif lantas melangkahkan kakinya ke arah sepasang orang yang sedang berbagi rasa nyaman itu dengan perasaan tidak karuan. Ia takut tidak mampu mengendalikan emosi diri yang sudah hampir menyembul di ujung kepala.

"Assalamualaikum, Sayang," ucap Rafif lembut setelah berada di posisi paling dekat dengan dua orang yang sedang diawasinya tadi. Keduanya pun tersentak.

"Mas Rafif," gumam sang wanita dengan terbata. Wanita itu tampak pias. Wanita yang tak lain adalah isteri dari Rafif itu begitu terkejut mendapati suaminya sudah berdiri gagah di depannya. Tentu saja, dengan memasang raut muka datar setelah mengurai senyum tipis sebelumnya. Dengan wajah sendu, wanita itu langsung melepaskan genggaman tangan dari lelaki yang sedang duduk di sampingnya saat ini.

Ayyara Rivania Kiev, atau biasa dipanggil Yara, begitu panik. Ia langsung berdiri tegak menuju ke sisi sang suami yang masih bergeming di dekatnya. Kejadian tak terduga ini membuatnya tak berdaya. Tanpa disangka, air matanya lolos tanpa bisa dicegah. Ada sesak yang menghimpit nadi. Rasa bersalah pun tak dapat dihindari. Suasana kafe yang senyap bertambah semakin pengap. Ketegangan tampak menjadi penghias pergulatan batin malam ini.

"Urusannya sudah selesai? Pulang, yuk! Takutnya terlalu malam sampai rumah," ucap Rafif dengan nada yang masih dibuat sesantai mungkin.

Kali ini, Rafif menyorot tajam pada sang lelaki yang mengoyak batinnya. Mata kedua lelaki itu saling beradu pandang dengan tatapan yang sangat mematikan. Yara yang melihatnya bergidik ngeri. Sekujur tubuhnya seketika meremang seolah akan menyaksikan pertumpahan darah setelah ini.

"Saya bawa pulang ya, Mas? Saya harap, Anda menjaga jarak dengan isteri saya setelah ini," seru Rafif seraya menekan kata 'isteri' dengan kuat. Seolah ada tanda bold di sana sebagai penguat.

Lelaki yang bersama Yara tadi masih tak bersuara. Sepertinya, ia masih membaca situasi yang ada. Rasa terkejut menghias netra. Apalagi, dia sepertinya tidak mengetahui jika wanita yang bersamanya tadi sudah ada pawangnya.

Di lain sisi, Rafif yang sedari tadi sudah disulut emosi mencoba untuk tetap peduli. Ia mencoba menguatkan diri bahwa sang isteri sedang hilang kendali karena kelalaiannya sendiri. Oleh sebab itu, wanitanya mencari binar bahagia di tempat berbeda. Namun, hal semacam itu tetap bukanlah sebuah pemakluman. Memilih pelampiasan dengan bersandar pada bahu orang lain itu sungguh tidak benar.

Rafif sungguh kalut. Bukan sebab hatinya sudah dicurangi yang membuatnya gelap mata, tetapi perihal percaya yang mendadak hilang dalam dirinya.

Di tengah kekalutannya, Rafif merasa ada tangan mungil yang menyentuh lengannya serta isakan lirih terdengar dari sisinya. Wanitanya tersedu begitu hebatnya. Tanpa banyak bicara, Rafif segera menarik tangan Yara dengan lembut. Keduanya beranjak dari tempat itu tanpa pamit terlebih dahulu pada lelaki yang sampai kini masih terdiam di tempat duduknya.

Selain derap langkah yang saling bersahutan, tak ada lagi suara yang terdengar. Rafif dan Yara saling diam. Bahkan, sampai dua orang itu masuk ke dalam mobil, keadaan tetap saja hening.

Begitulah jika rasa percaya sudah runtuh. Tak akan sama lagi ceritanya meski usaha sudah terhitung maksimal untuk membuat keadaan tetap utuh. Sungguh, mengobati rasa kecewa mungkin mudah. Namun, membangun kembali rasa percaya itu sangat susah.

_______________

To be continued.

Bagaimana bagian pertama Khala? 😊

Semoga suka. ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top