Dua

Masih terbayang jelas kejadian malam lalu. Sambil berlari menyusuri remang malam bayangan itu berkelebatan. 

***

Waktu itu, dia masih menyendiri dalam biliknya yang berukuran tiga kali tiga meter. Sebuah kamar berdinding bata merah yang belum selesai di tembok. Lantai tanah yang hanya beralaskan karpet yang di pasang menutupi seluruh penjuru ruangan. Ada sebuah dipan kecil terbuat dari kayu jati buatan tangan ayahnya. Lelaki yang begitu di cintainya.

Dia lebih senang menyendiri daripada bergabung dengan ibu, ayah tiri dan adiknya. Terdengar suara gelak canda mereka dari ruang tengah yang memang berukuran sama-sama kecil, hanya tiga kali enam meter. Rumah minimalis dengan dua kamar.

Khadija meringkuk di atas dipan, pikirannya melayang, wajahnya selalu bersemu merah dan ada sesuatu yang menari-nari di hatinya setiap mengingat kejadian malam itu. Baginya Ahmed merupakan sosok sempurna yang tidak memiliki sisi kekurangan apapun.

“Apakah betul Allah mengirimkan dia untuk menjadi imamku?” gumamnya sambil mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, matanya lurus menatap langit-langit kamar yang beberapa sudutnya terlihat bekas bocor air hujan.

“Dia tampan, berpendidikan, berkelas, kaya, sholeh, apakah aku layak untuknya?” Kembali dia bertanya pada dirinya sendiri. Khadija mengubah posisi tidurnya menjadi miring kembali.

“Ya Allah, tapi hati ini bahkan langsung menghangat setiap kali mengingat namanya, alis tebalnya dan....” Sesuatu membuatnya berpaling dan menghentikan semua pembicaraan internal dalam dirinya.

Tok tok tok

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya, di susul kepala seorang anak kecil berusia empat tahun yang melongo ke dalam.

“Kakak Dija, di culuh ibu ke depan, ada tamu.” Gadis itu ialah Melati, adik sambungnya.

“Iya Mela, kakak pakai kerudung dulu ya, nanti kakak kesana,” ucap Khadija sambil mengambil kerudung instan dan memakainya. Bergegas dia menuju ruang depan.

“Assalamu’alaikum,” ucapannya membuat kedua wanita paruh baya yang terlihat canggung dan hanya saling diam itu menoleh ke arahnya.

“Wa’alaikumsalam,” mereka menjawab serempak. Khadija bingung melihat suasana yang begitu canggung di antara keduanya.

“Orangnya sudah datang, permisi." Ibunya Khadija melangkah meninggalkan wanita paruh baya itu dengan anaknya.

“Silahkan duduk Bu." Dengan sopan Khadija mempersilahkan wanita itu untuk duduk setelah menghampirinya untuk cium tangan.

“Saya ambilkan minum dulu ya Bu." Khadija hendak melangkah kembali ke dalam sebelum akhirnya terhenti.

“Tidak perlu, saya tidak lama di sini, duduklah, ada yang mau saya bicarakan." Wanita itu membuka percakapan. Khadija mengangguk dan mengurungkan niatnya.

“Kamu sudah lama berhubungan sama Ahmed?” tanyanya.

“Maksud ibu?” Khadija belum faham arah pembicaraan tamunya.

“Mungkin saya tidak perlu basa-basi, Ahmed sudah saya jodohkan dengan seseorang yang sepadan, mereka kami jodohkan sejak kecil, saya minta tolong sama kamu, jauhi anak saya,” ujarnya tegas dengan raut wajah yang ketus.

DEG

Seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya. Khadija tiba-tiba kehilangan kalimat untuk menjawab pernyataan yang dilontarkan tamunya. Setelah beberapa menit, akhirnya kesadarannya sudah terkumpul kembali. Dia memberanikan diri menatap wajah dingin wanita itu.

“Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Kak Ahmed, Bu,” ujarnya dengan memaksakan senyum di bibirnya.

“Kamu tidak usah menutup-nutupi, saya tahu apa yang Ahmed katakan padamu di kedai baso itu, tolong jauhi dia jika kamu menginginkan kebaikan untuknya...," ucapnya. 

"Kamu tidak sepadan dengannya, dan satu lagi Ahmed anak sholeh dia akan selalu mengutamakan saya--ibunya--bahkan jika kamu masih berkeras untuk mendekatinya,” ucap wanita itu dengan ketus dan sinisnya, kemudian berdiri tanpa ada basa-basi lagi.

“Assalamualaikum.” Wanita itu pergi begitu saja meninggalkan Khadija yang masih terduduk sendirian pada kursi bambu yang ada di teras rumahnya.

Wajah gadis itu menunduk, pikirannya masih mencoba mencerna semua kejadian mengagetkan yang tidak di sangkanya. Tiba-tiba ada tetesan bening meleleh, seolah mewakili pedihnya kuncup yang baru hendak mekar kemudian terserang badai. Ibunya Ahmed dengan terang-terangan mengatakan dirinya tidak sepadan.

“Sesakit ini ternyata menjadi orang yang tidak punya,” gumamnya dalam hati sambil menarik nafas panjang dan mencoba menenangkan perasaannya.

“Tapi darimana ibunya Kak Ahmed tahu secepat ini, baru kemarin malam kejadian itu, di sana hanya ada Arsya dan penjual baso?” Berputar-putar pertanyaan di kepala Khadija yang tidak bisa dia temukan jawabannya.

Tanpa dia sadari ada sepasang mata sedang menatapnya dari sisi gelap halaman rumahnya. Sejak tadi dia berdiri di balik pohon akasia yang tumbuh liar. Gadis itu menghela nafas berat, seolah ada sebuah beban yang baru saja terhempaskan.

“Maafkan aku Khadija,” ucapnya lirih, kemudian tubuhnya menghilang pada tikungan jalan.

***

“Khadija!” Arsya berlari menyusul sahabatnya yang sudah memunggunginya. Tetapi langkah kaki Khadija begitu cepat.

Arsya menghentikan langkahnya sambil terengah-engah. Ada perasaan lega mendengar jawaban Khadija untuk lelaki yang di kaguminya, akan tetapi hati kecilnya sebetulnya tidak tega melihat sahabatnya itu menangis.

Arsya berbalik hendak kembali ke kedai baso itu untuk memastikan sesuatu. Bagaimanapun dia harus tahu apa yang lelaki itu akan lakukan setelah penolakan di lakukan oleh sahabatnya.

Arsya melihat dirinya dari pantulan ponsel genggamnya, memastikan kerudung yang di pakainya terlihat sempurna menghiasi wajah manisnya. Dia berjalan cepat, berharap semoga Ahmed masih ada di sana. Beruntung sekali ketika dia datang, lelaki itu baru saja hendak pergi meninggalkan kedai baso itu.

“Kak Ahmed." Arysa berlari kecil menghampiri lelaki itu.

“Ada apa Sya, bukannya kamu menemani Khadija pulang?” Kening Ahmed berkerut.

“Emh anu, emh itu." Arsya kebingungan memberikan jawaban. Apalagi berada dalam jarak sedekat itu dengan lelaki yang sejak lama di kaguminya diam-diam.

“Hmm?” Gumaman Ahmed mengandung pertanyaan.

“Itu Kak, tadi Khadija memintaku untuk menanyakan tanggapan Kakak,” jawabnya gugup.

“Tanggapan?” Kening Ahmed berkerut sempurna namun tidak mengurangi sedikitpun ketampanannya.

“Iy-iya, itu tanggapan Kakak atas jawaban Khadija tadi Kak." Arsya mencoba mencari tahu isi hati lelaki yang ada di depannya itu. Ahmed tersenyum singkat.

“Apapun perasaan dan tanggapanku untuknya, hanya dia yang boleh langsung mendengarnya, katakan padanya untuk menemuiku lagi jika dia memang benar-benar ingin tahu semuanya,” ujar Ahmed tegas, sambil berbalik hendak melanjutkan langkahnya.

Arsya tak bergerak, menatap punggung lebar itu menjauh. Sinar bulan yang sedang terang membuat sosok lelaki itu masih terlihat berjalan cepat dalam remang. Arsya memegang dadanya mencoba menghentikan detak jantung yang semakin cepat setiap berada di dekatnya. Ahmed baginya adalah panutan dan lelaki idaman. Terlebih dia selalu mendengarkan ibunya menceritakan bagaimana ketika ayahnya dan keluarga Ahmed membuat kesepakatan.

“Bagaimanapun, kamu akan tetap menjadi milikku Kak,” ucap Arsya dalam dada. Kemudian dia melangkahkan kaki menuju kediamannya. Besok dia akan menemui sahabatnya lagi. Dia harus memastikan kalau keputusan Khadija tidak berubah.

Next?
Kalau ada yang baca minimal 10 orang lanjut nih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top