40
Khadija kini tengah di sibukkan dengan riset-riset untuk membuat sebuah karya fiksi dengan tema inspirasi. Event bergengsi yang di selenggarakan secara nasional ini di ikuti oleh seluruh masayarakat yang ada di Indonesia. Lomba ini langsung di naungi oleh kemendikbud yang bekerjasama dengan beberapa komunitas literasi nasional.
Khadija benar-benar serius mengikuti lomba itu. Tujuan utamanya memang melihat nominal yang tidak sedikit. Untuk juara pertama akan mendapatkan hadiah dua puluh lima juta rupiah di tambah kontrak penerbitan. Jika kemudian ada produser yang melirik karya pemenang maka tidak menutup kemungkinan karyanya akan di filmkan.
Khadija akhirnya menyelesaikan karya tersebut tepat waktu. Kesulitan dana kali ini menjadi tidak berarti karena ada sahabatnya, Khalima. Bagaimanapun, sejak waktu Khadija sakit, Khalima lebih sering berkunjung ke kontrakan Khadija.
Karya yang di kumpulkan berupa empat rangkap hard copy yang menelan biaya sekitar empat ratus ribu rupiah untuk print, cover dan edit. Serta soft copy yang di kirim melalui email. Pengumuman pemenang akan di umumkan dua bulan lagi.
Selama masa menunggu, Khadija kembali menjalani rutinitas awalnya. Menjalani hari-hari melelahkan dan menguras air mata. Sekali lagi, tidak ada seorangpun yang peduli. Dirinya hanyalah butiran debu yang tidak pernah di anggap.
***
Tiga tahun kemudian
“Bagaimana, Mba tanggapannya mengenai kabar ta’aruf dengan seorang pengusaha properti?”
“Kapan rencananya akan melanjutkan ke jenjang pernikahan?”
“Sebagai publik figure dan tokoh motivator nasional, apakah setelah menikah akan berubah haluan?”
Pertanyaan para wartawan bertubi-tubi. Khadija belum mau mengklarifikasi terkait semua pertanyaan yang di lontarkan tersebut. Khalima yang kini menjadi managernya, menghalau semua wartawan dengan sigap. Bagaimanapun memang kesalahannya yang mengumbar photo ta’aruf kakaknya dengan gadis yang kini sedang menjadi sorotan kamera.
“Permisi ya, nanti kalau udah waktunya, kami akan mengadakan jumpa pers.” Khalima menyibak kerumunan wartawan dan menggandeng sahabat sekaligus calon kakak iparnya tersebut menuju kedalam mobil.
“Ima, kita langsung ke rumahku saja, aku akan berziarah dulu ke makam almarhum Bapak dan Ibu. Semoga lancar syuting filmnya.”
Khalima langsung mengemudikan mobil fortuner putih itu meninggalkan sebuah production house yang akan mengangkat karya Khadija ke layar lebar, mobil itu melesat membelah keramaian. Kini Khadija tinggal menunggu waktu untuk syuting, karena dia terpilih untuk memerankan pemeran utama wanita untuk cerita dalam karya tersebut. Khadija yang awalnya sudah terpilih menjadi salah satu management trainee untuk posisi junior manager, terpaksa harus memilih. Hingga akhirnya,dia memutuskan untuk memilih menyelsaikan karya yang sudah dia buat, dengan mengambil tawaran untuk memainkan peran utama dalam filmnya.
[Assalamu’alaikum, Kak Rasyid, aku dan Ima langsung menuju rumahku, kita ketemu disana, ya.] Khadija mengirim pesan pada lelaki yang sebentar lagi akan resmi menjadi suaminya.
Bunyi notifikasi pesan. Sebuah pesan diterima.
[Wa’alaikumsalam. Ok, aku langsung kesana, meeting dengan team sudah hampir selesai juga.] Balas Rasyid.
Khadija tidak bisa menolak ajakan ta’aruf orang yang sudah banyak menolongnya. Pak Sugeng dan Bu Maya yang berkeras memintanya. Khadija akhirnya menerima ta’aruf dengan syarat, Rasyid berubah. Ternyata lelaki itu tidak menolak permintaannya. Dalam beberapa bulan terlihat dia sudah tidak lagi bergonta-ganti wanita. Lelaki itu pun kini bertanggungjawab dan mau meneruskan bisnis kerajaan properti milik orang tuanya.
Sejak mendengar kabar Khadija berta’aruf dengan Rasyid, tidak lama kemudian terdengar kabar jika Azmi menikahi Arina. Entah angin apa, namun tidak ada sepucuk undangan yang di berikan padanya.
Khadija duduk dengan anggun duduk di samping Khalima. setiap ucapan bibirnya mengandung zikir, mengucap syukur atas segala kebaikan yang Allah limpahkan dalam hidupnya. Semua keberhasilan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Mobil tersebut melaju meninggalkan kota Bekasi menuju kampung halamannya yang mengukir banyak sejarah. Khalima meengemudi dengan tenang. Tidak berapa lama, Khadija sudah tiba di sebuah halaman rumah minimalis yang terlihat baru saja di renovasi.
Melati berlari dengan rambut yang terkuncir dua. Dia memeluk wanita yang selalu dia percaya jika wanita itu adalah kakaknya. Wanita setengah baya mengikutinya dan tersenyum menyambut Khadija. Beberapa tetangga berkerumun ketika Khadija sudah keluar dari mobil. Pastinya kini semua orang berdecak kagum, bagaimanapun Khadija sudah beberapa kali muncul di layar kaca. Kini, semua orang mengenalnya. Seluruh kampung memujinya, tidak ada lagi yang merendahkannya seperti dulu.
Bahkan sebelum keluarga Rasyid menghadap untuk meresmikan hubungan ta’aruf. Ibunya Khadija sudah kedatangan beberapa orang yang memiliki anak bujang untuk mengkhitbahnya. Namun, Khadija menolak, bagaimanapun mereka datang hanya karena melihat kesuksesan yang kini di raihnya. Gadis itu sudah terlanjur patah arang dengan perlakuan seluruh penghuni kampung yang dulu selalu menggunjingnya. Khadija akhirnya membungkam semuanya dengan menerima ajakan ta’aruf dari lelaki yang selama ini banyak menolongnya, Rasyid.
Khadija sudah berdamai dengan masalalu. Meskipun sebuah rahasia yang terkuak membuatnya begitu terpukul. Rupanya desas-desus yang selama ini terdengar memang dengan alasan. Dia adalah anak dari istri kedua almarhum ayahnya. Ibunya meninggal di saat melahirkan dan dirinya di besarkan oleh wanita yang hatinya telah terluka. Wanita yang selama ini dia anggap sebagai ibu kandung itu ternyata ibu sambung yang hatinya pernah terluka.
Bukan salah Khadija, tetapi dia menanggung sikap tak di anggap itu di sebagian besar masa hidupnya. Membuatnya terkucilkan dalam waktu yang panjang. Mengukir trauma dan luka jiwa yang mendalam, jika bukan karena mentalnya yang sekuat baja, mungkin hari ini dia sudah tenggelam dalam kehidupan yang menyedihkan.
Tidak menunggu berapa lama, Rasyid tiba. Dia mengendarai sepeda motornya. Lelaki itu lebih senang berkendara dengan sepeda motor karena lebih efektif. Rencananya hari itu, mereka akan mengunjungi makam almarhumah Ibu Dinda, Ibunya Khadija.
Rasyid menitipkan sepeda motor di rumah calon mertuanya. Dia kini sudah duduk di balik kemudi. Sementara Khalima, duduk di kursi sebelahnya. Padahal Rasyid berharap jika yang duduk di sana adalah Khadija, calon istrinya.
“Udah, deh! Ga usah kebanyakan protes.” Khalima mencubit perut kakaknya ketika matanya mengerling memintanya pindah ke kursi belakang. Rasyid mengaduh sambil meringis.
Khadija terkekeh. Kakak beradik itu sudah seperti tom dan jerry, selalu berseteru. Mereka kemudian melaju, menyusuri tepian kalimalang. Menuju salah satu kampung terpencil di pesisir kota Karawang. Di sanalah sang ibu dulu tinggal dan menghembuskan nafas yang terakhir. Kebenarannya di tutup rapat oleh ayahnya selama ini.
Hampir dua jam, mereka baru tiba. Angin pantai terasa menyapu wajah. Dinda, almarhumah adalah perantau yang terdampar. Khadija harusnya masih memiliki silsilah keluarga dari ibunya. Namun, sampai saat ini, ibu sambungnya belum mau bercerita darimana ibunya Khadija berasal. Selalu jawabannya adalah tidak tahu, hanya almarhum ayahnya yang mengetahui identitasnya. Begitulah selalu jawaban setiap kali Khadija menelisik tentang kebenarannya.
Mereka bertiga beriringan, menuju pemakaman umum yang terbentang. Khadija sejak tadi tak henti berdzikir. Hatinya selalu terenyuh setiap kali mentap pusara ada di sana. Sosok yang dia rindukan, namun tidak mungkin lagi bisa dia dekap.
Mereka bertiga duduk bersimpuh. Rasyid memimpin membaca doa meski tidak sefasih Khadija. Dalam masa ta’aruf ini dia kembali di tuntut untuk belajar ilmu agama. Meski tidak terlalu pesat, namun perkembangannya cukup lumayan.
Hampir setengah jam, mereka terduduk khusuk. Mengirim doa, salah satu amalan jariyah yang tak akan pernah putus. Ibu Dinda, entah kebaikan apa yang dia lakukan selama hidupnya. Khadija adalah bukti betapa wanita itu beruntung, memiliki anak sholehah yang akan selalu mendoakannya setiap masa.
Setelah selesai, mereka kembali berjalan menuju mobil. Angin pantai terasa memanggil mereka untuk meneruskan perjalanan. Khalima, dia salah satu provokasi agar mereka mampir sebentar. Pantai pakis yang kini menjadi pilihan.
***
“Terimakasih sudah mau menjadi calon istriku, calon ibu dari anak-anakku. Aku memang pandai berbisnis dan mencari uang, tetapi memang betul wanita sepertimu yang aku butuhkan, yang bisa memberikan kedamaian.”
Lelaki itu berdiri dengan jarak beberapa langkah di sampingnya. Sementara Khadija sedang duduk di atas pasir menunggu Khalima yang sedang membeli es kelapa muda. Gamis dan kerudungnya basah terkena deburan ombak.
“Apakah kamu tidak menyesal memilihku, Dija?” Kali ini Rasyid mendekat, hanya menyisakkan jarak beberapa senti lagi.
“Jodoh itu di tangan Allah. Dia yang memilihkanmu untukku. Dalam sholat istikhoroh tidak ada bayangan yang Dia tunjukkan selain dirimu, Kak. Aku tidak pernah menyesal tentang semua takdir, baik dan buruk adalah sudah suratan dari-Nya.”
Ucapnya tanpa menoleh. Tubunya terasa sejuk di terpa angin pantai.
“Woooi, ingat belum muhrim!” Tiba-tiba Khalima datang dan menyela. Gadis itu mendorong Rasyid hingga terjatuh dan basah terendam deburan ombak-ombak kecil.
Khadija dan Khalima tertawa bersama. Sementara lelaki itu membalas mereka dengan cipratan-cipratan air laut yang di lempar kearah mereka.
Memang, bahagia itu sederhana. Selalu memiliki cara tersendiri untuk mengukir tawa. Kebahagiaan di bagikan merata. Bahagia itu bukan hanya milik si kaya, si muda, si cantik, si tampan, si sholeh dan sholehah. Bahagia itu milik siapapun yang ingin memilikinya, termasuk kita.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top