39
Lelaki itu lebih banyak diam selama diperjalanan, dia tidak banyak bertanya pada gadis yang tengah diboncengnya. Sebelum tiba di kontrakan, Rasyid berbelok arah yang membuahkan complain dari Khadija.
“Kak, jalannya salah,” ucap Khadija.
“Iya tahu,” jawabnya, suaranya berlomba dengan bising kendaraan.
“Terus?” tanya Khadija meminta jawaban.
Dia tidak menjawab lagi, namun sepeda motornya berhenti disebuah rumah makan. Lelaki itu memarkirkan motornya.
“Turun!” ucapnya. Khadija menuruti permintaannya.
“Ayo!” Dia berjalan mendahului, Khadija menarik nafas kasar, lelaki itu terkadang memang menyebalkan.
Khadija masih diam ditempat. Rasyid yang sudah berjalan beberapa langkah menoleh kearahnya.
“Ayo makan dulu!” ucapnya sambil memperhatikan Khadija yang masih mematung. Gadis itu menggeleng. Rasyid kembali menghampiri.
“Kenapa?” tanyanya.
Khadija menunjukkan tentengan plastik yang dibawanya dari rumah Bu Sisy. Dia membawa bekal untuk makan malam tadi.
“Apa itu?” tanya Rasyid.
“Aku tadi buat bekal makan malam, Kakak aja makan sendiri, nanti ini mubadzir,” jawab Khadija.
“Kamu yang masak?” Rasyid bertanya. Khadija mengangguk. Lelaki itu tersenyum sambil mengambil bungkusan plastik itu.
“Ayo tukeran, kamu boleh pilih makanan didalam, ini nanti aku yang makan,” ucapnya sambil kembali berjalan. Khadija mengikutinya.
“Kak, aku ga mau terlalu banyak ngerepotin kalian,” ucap Khadija pelan ketika dia sudah berhasil menjejeri langkah Rasyid.
“Makanya kalo ga mau ngerepotin nurut, suruh makan aja susah, dasar anak kecil,” umpat Rasyid sambil mengacak pucuk kepala Khadija. Gadis itu berjengkit menghentikan langkah.
“Maaf aku lupa, ayo,” Rasyid terkekeh mengingat kesalahannya. Dia lupa kalau sedang membawa stock langka di zaman modern seperti ini. Gadis yang berbeda.
Akhirnya mereka duduk. Seperti biasa, Rasyid akan memilih tempat yang bisa untuk lesehan. Pelayan mengarahkannya ke taman belakang. Keduanya bergegas karena waktu sudah semakin gelap. Rasyid memilihkan makanan untuk Khadija, karena seperti biasa gadis itu jarang sekali makan diluar jadinya selalu ikut pesan sesuai yang mentraktirnya.
Tak berapa lama makanan datang. Mereka makan dalam diam. Bekal buatan Khadija dibukanya, hanya ada nasi setengah kotak makan. Telur dadar dan garam. Rasyid memindahkan nasi itu kedalam piringnya.
“Memangnya di rumah majikan kamu ga ada lauk yang lebih bagus selain telur?” Rasyid bertanya. Khadija menggeleng, kemudian menjawab.
“Aku ga enak aja Kak kalau mau masak makanan yang mahal, aku tau diri lah aku ini siapa, diizinin boleh buat bekal makan malam aja aku sudah bersyukur.”
“Kamu setiap hari makan malam seperti ini?” Rasyid menatap Iba. Khadija kembali menggeleng.
“Aku hanya seminggu dua atau tiga kali membuat bekal makan, tidak enak juga kalau tiap malam,” jawabnya.
Lelaki rupawan itu menatap lekat gadis yang ada didepannya. Pantas saja kini Khadija terlihat lebih kurus, ternyata untuk makan saja dia kesulitan. Hatinya terasa pedih, seperti ada sesuatu yang menusuk. Ingin sekali dia memeluk tubuh ringkih itu, menguatkannya dan meminjamkan bahunya untuk bersandar. Namun dia sadar, gadis didepannya itu bermental baja, dia tidak mudah menyerah dan takluk dengan keadaan.
“Kenapa dengan pekerjaanmu, maksud aku kenapa berhenti?” Rasyid bertanya lagi sambil memakan jatah makan malamnya.
“Pengurangan produksi, kebetulan kontrak aku yang paling dekat dibanding yang lain,” ucap Khadija.
“Kenapa tidak pulang kampung dulu saja? Apa keluargamu tahu sekarang kamu dalam kesulitan?” tanya Rasyid. Gadis itu menghela nafas dan menghabiskan suapan terakhirnya. Dia makan hanya sedikit karena memang perutnya masih bermasalah.
“Aku bukan siapa-siapa Kak, tak akan ada yang peduli, buat apa menceritakan kesulitan kalau hanya berakhir hinaan,” ucap Khadija tersenyum getir.
“Maksudku kan bisa pulang dulu ke rumahmu, orang tua akan selalu mendukung anaknya kan?” tanya Rasyid penasaran karena jawaban pertama yang Khadija berikan.
“Ayahku sudah maninggal, sementara ibu,” kalimat Khadija menggantung, terbayang wajah ibunya yang sudah berbahagia dengan keluarga barunya. Dia tidak meneruskan kalimatnya, tiba-tiba matanya terasa panas dan berair. Rasyid menyadari itu dan menghentikan pertanyaannya.
“Saya nanti bantu carikan kamu pekerjaan lain, kenapa sih milih jadi ART?” Rasyid mengalihkan pembicaraan. Khadija menyeka sudut matanya yang berlinang. Setiap mengingat kampung halamannya hanya menorehkan perasaan terbuang, terabaikan dan terhianati.
“Aku udah lelah mencari-cari Kak, ampe berjalan sejauh yang aku mampu tapi ga ada lowongan meskipun hanya sekedar jaga toko, alhamdulilah itupun Kak, masih ada yang mau menerimaku jadi ART, masih bisa menyambung hidup,” ucap Khadija.
Rasyid termenung, dia tak pernah terpikirkan mencari uang untuk menyambung hidup. Selama ini dia belum pernah merasakan berada dalam kondisi seperti itu. Meskipun dirinya dan adik-adiknya kurang kasih sayang dari orang tua. Namun untuk masalah materi, mereka mencukupinya.
Obrolan terus mengalir. Entah perasaan apa yang hadir dalam hati lelaki itu, yang jelas dia selalu merasa sedang ketika berbicara dengan Khadija. Beberapa pesan masuk dia abaikan. Ada sekitar sebelas pesan dari Merlina yang dia tidak lihat walaupun hanya sekedar isinya. Setelah selesai makan, mereka pulang. Rasyid mengantarkan Khadija sampai didepan kontrakan. Namun gadis itu langsung menyuruhnya pulang karena memang sudah larut malam.
Sejak pertemuan hari itu, Rasyid setiap hari mencari-cari informasi mengenai pekerjaan, namun ternyata tidak semudah yang dia ucapkan. Pantas saja Khadija mau mengambil pekerjaan sebagai ART. Lowongan kerja di musim pandemic seperti ini ternyata sulit sekali ditemukan.
Menjelang weekend, Khadija seperti biasa berangkat kuliah. Mengikuti pelajaran seperti biasa. Setiap detail penjelasan dari dosen selalu dia garis bawahi untuk point-point pentingnya. Gadis itu selalu bersungguh-sungguh dalam menjalani apa yang dia putuskan. Diliriknya teman sebelah kursinya. Amira, sahabat dekatnya di kampus. Gadis itu beberapa kali menguap setiap kali dosen menjelaskan.
Khadija sudah hampir bosan menasihati wanita itu. Dia selalu saja mengulangi hal yang sama disetiap mata pelajaran, terutama untuk dosen wanita atau yang sudah berumur. Sedikit tertolong jika dosen yang mengajar termasuk golongan dari para dosen muda incaran mahasiswi.
Meskipun demikian, Amira merupakan orang yang supel dan menyenangkan. Gadis itupun aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Darinya Khadija cukup terbantu, mendapatkan informasi-informasi terkini seperti saat sekarang.
Dosen mata kuliah kedua sudah keluar. Khadija mencolek pinggang Amira untuk menghalau tidurnya.
“Mira!” ucap Khadija agak keras, berteriak dekat telinganya. Amira mengerjap membuka mata. Gadis itu menoleh kearahnya sambil nyengir kuda.
“Apa Kha?” sebuah panggilan yang Khadija tidak mau mendengarnya, namun gadis itu semakin dia tahu Khadija tidak menykainya, dia makin sengaja menggodanya. Akhirnya Khadija membiarkan terserah Mira untuk panggilannya.
“Itu yang lomba membuat kisah novel motivasi atau inspirasi kapan terakhir pendafatarnnya?” tanya Khadija menggunakan kesempatn sebelum dosen berikutnya datang.
“Kamu daftar aja ke BEM, ajuin sinopsis ama plot nya dulu,” ujar Amira.
“Tapi free kan? Ga harus bayar biaya pendaftaran?” Khadija memastikan. Amira mengangguk.
Obrolan mereka terputus ketika dosen berikutnya masuk. Seorang lelaki yang usianya masih muda. Mungkin dia baru saja lulus S2. Perawakan yang proporsional membuat para mahasiswi senyum-senyum sendiri sambil mecuri-curi kesempatan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top