36

Selepas maghrib Khadija segera menikmati makan malam alakadarnya, dengan lauk sisa tadi pagi yang dihangatkan. Sangat jauh dari kata layak apalagi mewah, namun gadis itu tidak mengeluh, dia bersyukur masih diberikan rizki untuk makan.

Dia sudah bersiap untuk menemui wanita yang tadi siang menjanjikannya pekerjaan. Khadija berjalan menyusuri trotoar, sepanjang jalan dia melantunkan zikir meneguhkan hatinya yang sebetulnya rapuh dan butuh sandaran.

Tidak terasa, gerbang perumahan yang dimaksudnya sudah didepan mata. Khadija dimintai mengisi buku tamu dan memastikan mengikuti protokol kesehatan. Setelah selesai, dia masih harus berjalan cukup jauh menyusuri jalanan perumahan yang lebar. Cluster elit yang lingkungannya terasa nyaman dan pastinya aman dengan CCTV, security dan one gate system.

“Assalamu’alaikum,” Khadija mengucap salam, didepan gerbang pagar yang tingginya melebihi dirinya. Namun masih sepi, tak ada orang yang menjawabnya.

“Assalamu’alaikum!” Khadija kembali mengucap salam, namun masih sepi tak ada jawaban.

Akhirnya dia hanya berdiri mematung menatap jejeran tralis, tidak tahu harus bertanya pada siapa. Cluster elit seperti ini tidak seperti di kampung, setiap rumah seperti memiliki kehidupan masing-masing.

Khadija merasa kakinya begitu lemas, bagaimanapun setelah seharian berjalan mencari pekerjaan, sore ini pun dia harus berjalan kesitu dengan asupan makanan alakadarnya. Dia berjongkok didepan gerbang itu, sungguh menyedihkan bila ada orang yang melihtanya.

“Tin Tin” suara klakson mobil membuatnya terkaget, dan segera berdiri. Tak berapa lama seorang wanita turun, masih mengenakan belzer yang siang tadi dikenakan.

“Maaf ya Mba, tadi suami saya ada meeting mendadak, jadi jemputnya telat,” Sisy turun sambil tersenyum pada Khadija, wanita itu membuka kunci pagar gerbang rumahnya.

Mereka menepi, ketika mobil berwarna merah itu memasuki halaman rumah terus langsung parkir di garasi. Sisy mengajak Khadija masuk kedalam rumahnya. Dari dalam mobil, turun lelaki kira-kira berusia empat puluh lima tahun, dengan wajah terlihat datar.

“Mba Khadija, ini suami saya Mas Reza,” ucap Sisy ketika suaminya beberapa langkah lagi sampai kearahnya. Khadija hanya mengangguk. Kemudian Sisy mempersilahkan Khadija masuk dan duduk pada sofa empuk di ruang tengah.

Sisy dan suaminya menuju ke lantai atas, kamar mereka ada di lantai dua. Sementara itu Khadija melihat-lihat sekitar, rumah yang cukup luas.

Pembicaraan berjalan lancar, Khadija tidak neko-neko masalah gaji. Berapapun dia terima asalkan bisa untuk menyambung hidupnya tanpa harus melibatkan orang-orang yang dia anggap keluarga. Sisy menjelaskan pekerjaan harian yang harus dilakukan oleh gadis itu. Setelah semuanya jelas, Khadija berpamitan. Dia kembali berjalan menyusuri jalanan perumahan, melewati gerbang, kembali mengayun langkah melewati jalanan yang sama.

Gadis itu tiba di kontrakannya sudah larut malam. Khadiija berselonjor, lengan ringkihnya memijit betis-betisnya yang terasa pegal luar biasa. Setelah beberapa menit, dia bergegas membersihkan diri dan dilanjut shola Isya dan tadarrus Al-Qur’an.

“Hanya pada-Mu aku berserah ya Allah, aku tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini selain Engkau. Peluk aku dalam kasih sayang-Mu, dalam rahman dan rahim-Mu. Meski aku tahu tak pantas, tapi aku tak akan pernah lelah untuk meminta,” itulah penggalan doa yang Khadija ucapkan dipenghujung malam.

Khadija bergegas tidur, besok dia harus bangun lebih awal karena harus sampai di rumah Bu Sisy sebelum pukul enam pagi. Jam kerjanya lumayan panjang dengan uang saku yang sebetulnya pas-pasan. Sepasang suami istri itu memintanya memulai kerja dari pukul enam pagi sampai pukul lima sore. Sementara untuk sabtu dan minggu Khadija diijinkan libur karena alasan kuliah.

***

Pagi itu Khadija sudah sampai didepan rumah Sisy dan Reza pukul setengah enam pagi. Sehabis sholat shubuh dia sudah berangkat sambil menikmati sejuknya udara pagi. Cuaca yang bersahabat dan kesejukan yang menenangkan memenuhi paru-parunya.

Setelah dipersilahkan masuk, Khadija langsung mengerjakan tugas-tugasnya seperti yang Sisy jelaskan kemarin. Gadis itu terlihat cekatan, dia menyalakan kompor untuk memanaskan air. Sementara menunggu air mendidih, dia bergegas mengumpulkan pakaian untuk direndam dengan deterjen. Setelah itu dikumpulkannya piring-piring kotor yang berserakan dan langsung di eksekusinya.

Beruntung majikannya itu tidak meminta dibuatkan sarapan, karena memang tugas utamanya hanyalah mengurus rumah. Sisy dan Reza sudah berangkat kerja pukul setengah tujuh, meninggalkan dirinya sendirian di rumah. Pastinya CCTV dimana-mana, karenanya meskipun kedua majikannya pergi dia tetap harus memaksimalkan waktu agar pekerjaan selesai dengan baik.

Tidak terasa Khadija sudah hampir tiga bulan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Uang yang didapat hampir selalu tak ada sisa, karena dia diburu oleh biaya kuliah dan tugas-tugas yang bertubi-tubi.

Namun setangguh apapun seorang Khadija, fisik tetaplah fisik yang harus dijaga. Kegiatannya yang padat dan pikirannya yang banyak bercabang, akhirnya membuat gadis bermental baja itu tumbang. Khadija sakit.

Tubuh gadis yang ringkih itu meringkuk didalam kontrakan. Kepalanya berdenyut hebat, matanya terasa panas dan berair, badannya lemah dan terasa sakit semua. Dengan lemah dia memaksakan untuk bangun, diraihnya jaket dan kerudung instannya. Khadija harus tetap keluar mencari sarapan sebelum meminum obat.

Dia berjalan menuju penjual bubur ayam yang biasanya mangkal dipinggir jalan, didekat pertigaan.

“Bang bubur ayamnya, setengah aja Bang,” pesan Khadija. Tukang bubur itu menoleh heran, karena jarang-jarang ada pembeli memesan bubur setengah porsi.

“Kho Cuma setengah, mana kenyang Neng,” ucapnya memastikan.

“Iya Bang, lagi ga selera makan, setengah aja ga tau abis tau engga,” ucapnya dengan bibir yang gemetar menahan hawa panas dan dingin yang menyeruak.

“Kalau lagi sakit kenapa ga istirahat aja Neng, minta beliin aja sarapannya,” tukang bubur itu malah menasihatinya. Khadija hanya mengiyakan, energinya harus dia simpan untuk melangkah pulang.

Tiba-tiba tubuhnya terasa semakin ringan, antara menapak bumi dan melayang. Tatapannya berkunang-kunang, kepalanya berdenyut semakin hebat dan terasa berat. Kemudian semuanya menjadi gelap.

***

Matanya yang masih terasa berat dibukanya perlahan. Tangannya meraba sesuatu yang menempel didahinya, ternyata kain kompres. Perlahan matanya terbuka, namun tidak ada siapa-siapa. Dimana dia?

Khadija mengumpulkan ingatan, tadi dia kehilangan kesadaran diperjalanan pulang ke kontrakannya. Tapi kini dia tengah berada di kamar rawat dengan cat putih bersih, ruang Vip karena ada TV, Ac dan tempat tidur sendiri, disana tersedia juga lemari es.

Ceklek

Pintu kamar mandi terbuka, Khadija menyipitkan mata agar bisa melihat dengan jelas sosok yang keluar dari kamar mandi itu.

“Dija udha siuman?” suara yang dikenalnya, Khadija tersenyum meski matanya masih melihat secara kabur.

“Ima, kamu yang nolongin aku, makasih ya,” Khadija mengenali suara sahabatnya Khalima. Gadis itu berjalan mendekat.
“Bukan aku yang nolongin,” ucapnya sambil duduk pada kursi disamping ranjang Khadija.

“Terus siapa?” Khadija bertanya penasaran.

“Kak Rasyid, dia tadi mau berangkat ngampus katanya, eh tau-tau panik nelepon aku suruh kesini,” ucapnya santai. Khadija hanya mengangguk-angguk.

“Kamu kurusan sekarang, kangen sama kita ya, suruh siapa ngontraknya pindah,” Khalima mencebik.

“Bukan gitu, sekarang aku banyak berolahraga, dan setiap hari berjalan ke tempat kerja,” ucap Khadija. Dia teringat sesuatu, gadis itu menanyakan ponselnya.

“Ima aku belum ngabari majikan aku kalau hari ini aku ga kerja, bisa bantu cariin ponsel aku?” tanya Khadija.

“Dimana nyarinya Ja?” Khalima bingung.

“Tadi pagi, aku simpan di kanting jaket,” ucap Khadija.

Khalima bergegas mencarikan ponsel gadis itu. Khadija segera mengetik pesan untuk Sisy, dia memberitahu kalau hari itu dia tidak masuk kerja. Beruntung majikannya itu mengerti, Khadija merasa lega.

“Assalamu’alaikum,” suara seseorang yang tiba-tiba sudah berada didepan pintu masuk dengan membawa tentengan.

“Wa’alaikumsalam,” jawab kedua gadis itu serempak.

“Kakak bolos kuliah?” Khalima tanpa basa-basi menembak kakaknya.

“Hush,” Rasyid mendelik.

“Lha terus apa namanya kalau bukan bolos?” Khalima mencebik.

“Pulang duluan,” jawab Rasyid santai sambil mengeluarkan makanan dari dalam plastiknya dan beberapa buah-buahan.

“Sama aja keles,” Khalima kembali memanyunkan bibirnya.

“Udah ah, diem, bawel,” Rasyid menjembel pipi adiknya. Khadija hanya menatap mereka dengan senyum tertahan. 

“Ja, ini aku beliin lagi bubur dari tukang jualan yang tadi, bubur kamu tumpah,” ucap Rasyid.

“Makasih kak,” ucap Khadija sambil memaksakan untuk tersenyum.

“Mag kronis, jaga pola makan, jangan kebanyakan begadang dan minum kopi,” ucap Rasyid sambil menyodorkan mangkuk bubur pada Khalima.

“Ih apaan sih Kakak,” Khalima berjingkat pergi. Bukannya dia ga mau disuruh menyuapi Khadija, namun dia masih berharap sahabatnya itu bisa menjadi kakak iparnya.
“Kalau nolong jangan setengah-setengah, pamali,” ucapnya sambil merampas satu buah potong pepaya dan keluar meninggalkan kedua orang itu.

“Biar saya makan sendiri Kak,” Khadija mengulurkan tangan yang masih gemetar.

“Udah diem, buka mulutnya,” ucap Rasyid menepis tangan Khadija lembut. Lelaki itu duduk pada kursi yang tadi diduduki adiknya. Khadija merasa canggung.

“Ayo buka mulutnya,” ucap Rasyid lagi, kali ini bukan meminta tetapi memberikan perintah. Akhirnya Khadija mengikuti kemauannya.

Suapan demi suapan akhirnya mengisi lambungnya yang terasa perih. Ada air mata menetes pada pipi gadis itu. Sebuah rasa haru yang tak terbendung.

“Terimakasih Kak,” hanya itu akhirnya ucapan yang keluar dari mulut mungilnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top